Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » VALERIE MINER

VALERIE MINER

“Aku lahir di New York, 28 Agustus 1947. Ibuku seorang imigran. Ayahku seorang pelaut, yang jarang tinggal di rumah melainkan selalu menggeluti profesinya menjelajah dunia. Karena itu semasa kecilku keluarga sangat jarang bersatu berbincang-bincang santai. Malah aku sering diajak ayah mengunjungi tempat-tempat ayah berlayar, seperti kota di Asia dan Afrika. Lalu kembali lagi ke rumah (Amerika). Dengan ikut berlayar demikian, maka sejak kecil sudah lebih tahu masyarakat lain daripada masyarakat sekitar rumah tinggalku. Di sana aku mengenal karakter-karakter masyarakat yang berbeda-beda, tidak saya sadari kemudian hari menjadi sumber inspirasi ketika saya menulis novel. Ayah seringkali pulang membawa boneka dari negeri yang dikunjungi seperti Inggris, Australia, India, Kanada. Boneka-boneka itu bagiku seperti wakil-wakil karakter dari negeri asalnya. Maka aku punya orientasi bahwa rumah tinggalku adalah dunia ini. Ini dipengaruhi antara lain oleh Miles Davids, seorang penyanyi Arkansas yang melantunkan suaranya, bahwa jalan-jalan di Arkansas adalah suaraku (suara Davids). Dunia pengembaraanku adalah rumahku, pikirku. Dan lalu seringkali berpikir, mengapa sih aku lahir di Amerika? Mengapa sih Amerika sebagai rumahku? Menganggap dunia sebagai rumah banyak menjadikan sumber inspirasiku dalam menulis novelku, menulis karakter lakon, serta budaya masyarakatnya.“Aku sudah menulis 7 novel, 4 kumpulan cerita pendek, dan sebuah memoir tentang ibuku. Menulis novel merupakan membebaskan diri untuk berpikir, sehingga novelku bisa bersifat fiksi sosial, filosofi, politik, meskipun temanya (seringkali) berfokus tentang keluarga. Atau sejarah. Dengan seringnya berpindah tempat, aku tertarik akan kehidupan citra keluarga dalam suatu kelompok sosial yang berbeda-beda. Beda etnis, beda agama, beda budaya, tetapi dalam suatu tempat suatu zaman, mereka bisa hidup berbahagia meskipun pada ukuran masing-masing kelompok. Pada pengamatanku, kehidupan masyarakat ini tercurah pada tanggung jawab keluarga, kontak sosial sesamanya, di mana pun mereka bermasyarakat.

“Pada awalnya aku menulis sebagai wartawan. Sangat beruntung penjelajahanku waktu kecil sangat mendukung penulisanku sebagai wartawan. Kategori geografi dan sejarah sangat menonjol dalam penulisan kewartawanan. Aku meliput berita di Kanada, Eropa, Afrika. Aku meliput berita kebebasan Tansania, Presiden Julius Runeno. Selain politik (pembebasan bangsa) aku juga berperhatian pada gerakan perempuan. Waktu itu aku tergolong sebagai penulis muda. Selain karya wartawan, aku sudah menulis fiksi. Waktu itu penulisan fiksi didominasi oleh kaum laki-laki. Sangat sulit untuk menerbitkan fiksi perempuan. Selain bukunya tidak laku, pertimbangannya waktu itu, menulis karya wartawan adalah mendapatkan uang dengan cepat (honor), sedang menulis fiksi adalah pembebasan berpikir dari banyak segi kehidupan, tapi tidak cepat bisa mendapatkan uang untuk biaya hidup. Kira-kira hanya 5% pengarang Amerika yang bisa hidup dengan didukung oleh profesinya sebagai pengarang. Pengarang lainnya harus mencari nafkah kehidupan dengan pekerjaan lain. Termasuk aku, yang meskipun berkemampuan menulis fiksi, untuk menopang hidupku aku harus bekerja pada lain bidang. Menulis novel hanyalah samben, aku kerjakan karena menuruti kesenangan hatiku saja. Namun bakatku menulis novel itu tidak aku terlantarkan, malah terpacu untuk lebih giat lagi menulis dengan kualitas yang lebih baik. Itulah antara lain aku memerlukan berkunjung ke negeri-negeri lain, untuk mendiskusikan hal-hal yang penting yang berhubungan dengan penulisan novel. Aku yakin, dengan diskusi begini kita akan memperluas pandangan kita, dan lebih mempergiat atau memperkuat kebersamaan kita dalam membangun dunia penulisan fiksi.

“Setelah berprofesi sebagai wartawan, ternyata saya bisa mengajar (umur 25 tahun), menjadi guru. Profesi sebagai guru lebih bisa dinikmati. Seperti penulisan fiksi yang memerlukan pengalaman dan riset, ~ beda dengan wartawan yang meliput fakta ~ mengajar juga harus kreatif emosi yang jitu. Maka dalam pengalamanku menjadi guru atau pengajar selama 25 tahun ini, aku juga menggabungkan mengajar dengan kolaborasi dengan seni musik, seni akting, disiplin dan rajin.

“Ada novelku yang menceritakan tentang keluarga Irlandia pada zaman pembebasan Irlandia Utara. Novel lain mengisahkan keluarga Amerika tentang protesnya terhadap perang Vietnam. Terus terang ini merupakan intertekstual dari narasi King Lear, karya William Shakespeare, yaitu kesetiaan keluarga terhadap negara. Ada juga novelku yang berkisah tentang masyarakat di suatu lembah utara California yang terisolir. Di situ berdiam kelompok-kelompok etnis yang berbeda, ada suku Indian, ada suku Spanyol (Amerika Latin), dan keturunan Eropa. Mereka hidup dengan kebiasaan masing-masing, baik bahasanya, karakternya maupun kebiasaannya mencari nafkah. Ada yang ahli menebang pohon, ada yang sangat religius. Dari keadaan itu tiap kelompok karakter menemukan sorganya sendiri-sendiri.

“Ada kecenderungan di Amerika, bahwa pengarang dari negara bagian A disambut baik oleh negara bagian A, tetapi tidak disambut baik oleh negara bagian B. Masing-masing negera bagian menyanjung pengarang dari daerahnya sendiri. Oleh karena itu bisa saja buku novelku yang diterbitkan di New York, tidak dikenal di California.”

*

Demikianlah cerita Valerie Miner di Gedung Utama Balai Pemuda Surabaya, 2 April 2009 yang lalu. Dia bercerita di podium yang terletak disudut ruangan. Tiap sepotong cerita dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Esti ke bahasa Indonesia yang lancar. Esti gadis berjilbab ini duduk di meja berhadapan dengan sidang, adalah pegawai dari Konsulat Amerika Serikat di Surabaya. Saya ingat, 16 Maret 2006 yang lalu dia menelepon saya untuk mengantarkan Field Director Library of Congress Office, Southeast Asia, Embassy of The United States of America, Willam P. Tuchrello ke rumah saya. Masuk rumah saya, Tuan Tuchrello setelah menjabat tangan saya bertanya langsung, “Bahasa Jawa sekarang dituturkan oleh 80 juta orang lebih, tetapi saya kok tidak melihat buku-buku bahasa Jawa? Sudah saya cari di Jogya dan di mana-mana, tetapi tidak saya temukan.” Selanjutnya saya harus menerangkan hal tidak banyaknya buku bahasa Jawa kepada tamuku itu. (Adakah yang bisa menerangkan mengapa buku bahasa Jawa tidak beredar di masyarakat saat ini? Dan bagaimana solusinya? Silakan menerangkan kepada saya). Esti tadi adalah puteri seorang dosen UNDIP di Semarang.

Setelah bercerita panjang lebar, Valerie Miner ingin tanggapan dari hadirin. Para hadirin adalah mereka yang mendapat undangan dari Dewan Kesenian Surabaya dengan judul Diskusi Sastra dan Kebudayaan, Finding Shapes in Our Stories, dengan pembicara Valerie Miner. Boleh dikata ini adalah kegiatan kesenian oleh DKS yang pertama setelah dipimpin oleh Sabrot D.Malioboro, yang dipilih jadi ketua melalui konvensi seniman Surabaya 18 Februari 2009. Hampir 2 tahun sebelumnya, DKS krisis kepemimpinan, tidak ada kegiatan sama sekali.

Hadirin yang menanggapi antara lain Akhudiat, “Bagaimana perkembangan pers modern di Amerika sekarang?” Jil Kalaran, “Mengapa tidak banyak pengarang Amerika yang menulis tentang derita kurban pemboman di Amerika sendiri?” Dukut Imam Widodo (langsung bahasa Inggris) “Saya orang kelahiran Malang, tetapi menulis hikayat-hikayat Kota Surabaya, Gresik, dan Malang. Pernah ada yang mengatakan, mengapa harus sibuk dengan menulis tentang Kota Surabaya wong kelahiran Malang?”. Sinta Yudisia W (langsung bahasa Inggris) “Saya telah menulis lebih dari 40 novel. Dulu saya tinggal di Tegal, sekarang di Surabaya. Kebanyakan penulis novel yang diterbitkan oleh penerbit buku di Jakarta menjadi populer. Meskipun pengarang dari kota kecil, kalau pengerjaannya dengan baik, juga diperhatikan oleh penerbit buku di Jakarta. Apakah kiranya bisa buku-buku Indonesia diterbitkan di Amerika Serikat?”

Waktu itu hari sudah menjelang magerip (diumumkan oleh pembawa acara). Diskusi yang sudah dimulai sejak jam 16.00 segera ditutup. Saya memang sudah gundah karena dengan waktunya yang menjelang malam. Sehingga saya tidak konsentrasi lagi mendengarkan pembicaraan sidang. Kegundahan saya, karena kalau hari sudah mulai gelap, akan sulit bagi saya mencari angkutan kota pulang ke Rungkut. Untungnya yang hadir juga terlihat Mas Yudha Herbeno, yang rumahnya juga di daerah Rungkut. Dia pun mau menggoncengkan saya pulang. Sudah di halaman Balai Pemuda, tinggal menunggu Mas Yudha mengambil motornya, ada kru TV yang ingin mewawancarai saya. Tempatnya gelap, dan saya sudah tidak konsentrasi lagi, maka saya tolak. Maaf.

Di antara yang hadir saya lihat dan saya sapa juga Mas Farid Dimyati (teman ketika di Humas Pemkot, terhitung pendiri DKS). Dan pengarang Surabaya Lan Fang (pengarang Perempuan Kembangjepun, Laki-laki Yang Salah) juga terlihat, tetapi agaknya hanya sebentar dia hadir. Tidak sempat saya sapa.

*

Valierie Miner adalah novelis asal Amerika Serikat. Saat ini dia tinggal di San Fransisco, California. Sejumlah karya bukunya telah membuahkan berbagai penghargaan internasional, di antaranya dari The Rockefeller Foundation, The McKnight Foundation, The NEA, The Jerome Foundation, The Heinz Foundation, The Australia Council Literary Arts Board dan masih banyak lagi. Karya novel terbarunya, After Eden, diterbitkan sebagai salah satu seri Kesusastraan Amerika Barat oleh University of Oklahoma Press (2007).
Sejak 2006, Valerie Miner menjadi Profesor di Standford University. Namun sebelumnya, selama 25 tahun dia telah mengajar, serta memberi workshop ~ khususnya tentang creative writing ~ di berbagai belahan dunia.

Kesibukan lainnya yang digeluti saat ini ialah sebagai artist-in-residence; berkolaborasi dalam menulis buku; menggelar pameran di berbagai museum; serta terlibat di beberapa pertunjukan teater. Yang terakhir ini, beberapa kali ikut sandiwara radio dan telah diputar di BBC.

Tags:

0 comments to "VALERIE MINER"

Leave a comment