Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » »

(1). Kadurakan Ing Kidul Dringu, 192 halaman, harga Rp 35.000,- Pakdhe Karwo, Gubernur Jawa Timur, selalu teringat cerita Kadurakan Ing Kidul Dringu ini ketika dibacanya sebagai cerita bersambung di majalah Panjebar Semangat tahun 1964. Waktu memperingati hari lahir Pancasila 1 Juni 2011 di Balai Pemuda Surabaya, Pakdhe Karwo mengumpulkan seluruh komponen pendidikan di Surabaya, yakni para Rektor, Dosen, mahasiswa perguruan tinggi di Surabaya untuk memantapkan bahwa Pancasila harus dihayati sebagai tiang budaya kehidupan bangsa Indonesia, para pakar pendidikan dan hadirin disuruh menanggapi ikut naik podium. Dan oleh Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), Drs.Bonari Nabonenar Pak Suparto Brata supaya naik podium untuk memberi tanggapan, begitu Suparto Brata naik podium Pakdhe Karwo menyambutnya dengan santun, seraya berucap, “Kula inggih sampun maos cariyos Kadurakan Ing Kidul Dringu saking majalah PS”. Padahal ya baru saat itu Pakdhe Karwo bertemu dengan Pak Suparto Brata. Masih ingat ceritanya, masih ingat nama pengarangnya! Sangat berkesan dengan cerita Kadurakan Ing Kidul Dringu yang dimuat bersambung di majalah Panjebar Semangat 1964. Kadurakan Ing Kidul Dringu adalah wiracerita atau epos, yakni cerita kepahlawanan dalam kancah peperangan. Ketika Belanda mengadakan agresi I menyerbu daerah Republik Indonesia bulan Juli 1947, banyak kota di Jawa Timur diduduki oleh tentara Belanda. Bangsa Indonesia apapun pekerjaannya di kota-kota yang diserbu pasukan Belanda, pada melarikan diri mengungsi keluar dari kotanya. Bukan hanya pemuda pejuangnya, juga ada yang membawa semua keluarganya. Tidak mau dijajah oleh Belanda. Para pemudanya mengungsi bukan saja menyelamatkan diri dari penyerbuan tentara Belanda, di dusun pengungsian mereka mengadakan kelompok perlawanan, malam hari mengadakan serangan bergerilya mengganggu ketertiban malam kota yang diduduki oleh tentara Belanda. Nah, seorang pemuda bernama Dulmanan pada suatu serangan malam ke kota terkena tembak peluru musuh perutnya. Tidak mati, tapi juga tidak hidup. Tidak sadar, tetapi selalu mengigau berkeluh-kesah atas sakitnya kena peluru. Dibawa ke desa pengungsian. Mau diapakan? Di sana jauh dokter. Paling ada dukun, tapi tidak bisa mengeluarkan peluru dari perut Dulmanan. Keluh kesahnya yang mendesis-desis tanpa henti membuat desa jadi resah. Harus dihentikan, tapi bagaimana? Akhirnya dengan melalui musyawarah para pemuda pejuang, diputuskan menyelesaikan masalah kerisauan mendengarkan desis keluhan orang yang terluka tembak tadi. Penyelesaian masalah dilaksanakan, tetapi ternyata tidak menyelesaikan masalah, melainkan menimbulkan masalah baru yang kian berlarut-larut. Cerita yang lain daripada yang kebanyakan! (2). Jemini, 196 halaman, harga Rp 36.000,- Pernah mendengar legenda Nyai Dasima? Pada zaman Hindia Belanda dahulu legenda Nyai Dasima sangat populer, menceritakan kehidupan perempuan pribumi Indonesia yang dijadikan ‘nyai’ atau ‘perempuan piaraan orang asing’ alias gundik yang dipiara orang Belanda. Diceritakan bagaimana perempuan Indonesia (Jawa) itu diperlakukan seperti itu, namun dia tabah melakoni hidup dan tetap memberikan tauladan yang baik sebagai seorang ibu. Legenda Nyai Dasima begitu masyur karena diterbitkan jadi buku, dan juga difilmkan, diproduksi sebagai film Jawa. Nah, buku Jemini ini juga berkisah tentang nasib perempuan Jawa yang dimunci atau dijadikan nyai, bukan saja oleh bangsa Belanda tetapi juga oleh bangsa Jawa sendiri yang jadi pejabat. Buku Jemini bukan hanya bercerita tentang nasib Jemini saja, melainkan juga berkisah tentang kehidupan keluarga Jawa yang bekerja sebagai prajurit Kumpeni. Hidup bersama anak-istri, ditempatkan di tangsi bersama keluarga prajurit lainnya, tiap kali atau tiap waktu bisa dipindah-pindah. Jemini salah seorang bocah perempuan kelahiran tangsi. Selanjutnya dibesarkan juga ikut orangtuanya, yang berpindah-pindah dari tangsi ke tangsi, dari kota ke kota lain. Pendidikannya tak terurus. Sejak kecil Jemini sudah kentara nakalnya, melebihi kenakalan anak-anak lain. Tidak mau hidup seperti jamaknya bocah tangsi. Namun menginjak remaja dipaksa dikawinkan dengan prajurit Jawa tangsi di tempatnya. Tidak mau. Malam pengantinan dia lari. Lanjutnya dia mau dimunci oleh prajurit Jawa tangsi yang berpangkat. Berbahagiakah dia? Dan apa hubungan Jemini dengan bangsa Belanda? Itulah perjuangan seorang perempuan tangsi Jemini. (3) Kelangan Satang, 266 halaman, harga Rp 45.000,- Kelangan Satang merupakan trilogi cerita seri Wiradi. Tokoh Wiradi muncul pertama bersamaan dengan pertama kalinya Suparto Brata menulis cerita dalam bahasa Jawa. Yaitu ketika tertarik dengan lomba menulis cerita bersambung (novel) di majalah Panjebar Semangat tahun 1958. Ia mengirimkan karangannya berjudul Kaum Republik. Ternyata menang nomer satu, mengalahkan pengarang terpopuler waktu itu Any Asmara (mendapat hadiah nomer 3 dengan cerita judul Putri Tirtagangga), dan Basoeki Rachmat (dengan nama samaran Andanawarih mendapat hadiah nomer 2 dengan cerita judul Mungsuh Sandi). Ketika cerita Kaum Republik dimuat bersambung di majalah Panjebar Semangat mulai 23 Januari 1960, oleh redaksi judulnya diganti Djiwa Republik. Dengan judul tadi Suparto Brata kurang setuju, sebab tokoh Wiradi yang ikut berjuang bergerilya zaman Perang Kemerdekaan Indonesia di Solo 1948 merupakan karakter yang lemah, ragu-ragu, tidak tegas. Bukan begitu Jiwa Republik Indonesia. Pengarang memilih orang berkarakter lemah Wiradi dijadikan tokoh dalam cerita triloginya Kelangan Satang, karena karakter tadi tercipta akibat pendidikan dari Ibunya. Ibunya selalu mencacat anak sulungnya (Wiradi), tidak dipercaya, kalah mendapat kasih-sayang dibanding-bandingkan dengan adik-adik Wiradi. Suatu pengingatan bahwa peranan seorang Ibu penting sekali mengukir karakter puteranya. Pada cerita Kelangan Satang yang merupakan sindiran dari orang berperahu tetapi tidak memiliki dayung ( = satang, welah ), tokoh Wiradi hidup dengan penuh keraguan, mengalami hidup di Surabaya yang banyak penyakit kemasyarakatan (pelacuran) di Kota Buaya itu. Buku bisa dipesan pada Penerbit Narasi, Jl. Cempaka Putih no. 8, Deresan CT, X, Kejayan, Yogyakarta 55283, Telp: (0274)555939, 556043, Fax (0274)546043. E-mail: penerbitnarasi@yahoo.com Website: www.penerbit-narasi.com Blog: www.penerbitnarasi.blogspot.com Harga buku ditambah ongkos kirim. Atau hubungi pengarangnya di e-mail: sbrata@yahoo.com

Tags:

0 comments to " "

Leave a comment