Syukuran Pernikahan Emas Rudi Isbandi-Sunarti
Syukuran diselenggarakan di rumahnya, Jl. Karang Wismo I/10 Surabaya, pada hari Sabtu 20 Desember 2008, jam 10.00 sampai selesai. Aku berangkat dari rumah jam 09.00 naik bemo RT, di Bratang pindah bemo WB. Begitu turun dari RT, lewat WB kosong. Aku naik. Belum jauh, di belakang ada WB yang lain, juga kosong. Ketika melewati Menur Pumpungan, jalannya macet. WB-ku berhasil meninggalkan jauh WB di belakangnya. Dan menyalip WB di depannya, juga kosong. Dengan WB yang disalipnya kejar-kejaran hingga ke Manyar Kertoarjo. Juga dalam keadaan jalan macet. Baru ketika lewat Toko Buku Gramedia, bemoku dapat tambahan satu penumpang. Sampai di Karang Wismo I, WB-ku hanya mengangkut dua orang penumpang. Begitu susahnya cari penumpang angkutan kota lyn WB.
Sampai di rumah Mas Rudi jam 10.30. Banyak wajah yang saya kenal. Saya datang, ada tamu yang pamit pulang, sarimbit. Melihat kedatangan saya, yang pria menjabat tangan saya, sambil berucap, ”Ayo mengadakan sayembara tari Serampang 12 lagi!” Oh, ini Mas Marno dan isterinya. Masih gagah dan sehat. Kami tahun 1977, pernah menyelenggarakan lomba tari Serampang 12 di Taman Kebudayaan Gentengkali 85 (sekarang Gedung Durasim). Kini, tidak sempat ngobrol sama Mas Marno sekalihan, karena mereka pamit pulang. Tamba teka lara lunga.
Setelah itu banyak wajah-wajah seniman lama bersalaman denganku. Nurkolis, yang pernah membuat arca diriku (sayang saya belum pernah arca/patung tadi). Sabrot D. Malioboro dan Cak Kadaruslan. “Ojok lali, mené esuk ndhuk Pusura!” ujar Cak Kadar (ketua Pusura). Sabrot menerangkan, besok di Pusura diselenggarakan diskusi: Apakah Jiwa Kepahlawanan Surabaya sudah mati? Saya diminta jadi pembicara atas usul Dr. Aminuddin Kasdi, MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia). Cak Kadar tahu, saya lebih banyak menulis daripada bicara. Bersama Sabrot Cak Kadar bercanda membesarkan hati saya, “Arek Suroboyo, mene ngomonga sing ndlodok aé. Ojok kalem-kalem!”
Juga baru datang Lini, pelukis cilik masa lalu. Dia saya cium. Langsung tanya, “Bagaimana Teratai?” Dan saya tanya bagaimana Swandayani (kakak Lini, teman sekelas Teratai di SMP). Bagaimana bapak (pelukis Teja Suminar, di Bali), ibu (sudah wafat), paman Thalib (tinggal di Lawang). Lini sekarang (isteri dosen ITS) rumahnya di perumahan dosen ITS. Rumah di sebelah Lapangan Hoki Darmawangsa masih ada. Dulu, kami para seniman, seringkali mengadakan pertemuan di sana. Termasuk Pertemuan Sastrawan Surabaya.
Seorang tamu perempuan mendekat, dan menegur saya, “Ingat saya nggak?” Oh, Bu Tea. “Tentu saja!” Dan saya menciumnya. Bu Tea adalah dosen bahasa Inggris di IKIP (sekarang Unesa), dan isteri Mas Gatut Kusuma (seniman film, novelis).
Nyonya Rudi melihat saya, membaca kaos yang saya pakai: Kerajaan Raminem. “Iki buku karanganku.” “Oh, Suparto Brata!” Nyonya Rudi juga mantan dosen IKIP Ketintang. Dan tamu perempuan yang duduk di kursi lalu menyapaku, “Yang sering menulis di Jaya Baya dan Panjebar Semangat, ya?” Dia baru tatap muka wajahku sekarang, meskipun jadi penggemarku bertahun-tahun.
Tamu perempuan lain yang mendekati saya adalah Nyonya Krisna Mustajab. Mas Krisna (almarhum) adalah pelukis dan penggemar fotografi. Pernah menjabat Direktur Kebudayaan Lembaga Indonesia Amerika di Jalan Dr. Sutomo.(LIA/PPIA). Dulu sangat aktif menyelenggarakan pertemuan-pertemuan budaya/seniman di sana. Setelah Mas Krisna meninggal, diganti Mas Rudi. Dan gedung LIA/PPIA pindah ke Darmahusada Indah, menyisih ke sebelah timur kota. Kurang strategis. Kegiatan pun berkurang.
Saya pun ngobrol dengan Bu Tea dan Bu Krisna. Bu Tea mengisahkan cucunya yang masih di SMP jadi juara catur, dikirim bertanding ke mana-mana. Saya ingatkan tentang puteranya Didit, yang satu kelas dengan Tera dan Mas Yudi di SMAN 1, diceritakan nakalnya. Waktu ulangan Didit sukar menyelesaikan pekerjaan, dia keluar kelas, lalu membunyikan bel waktu ulangan selesai. Saya singgung tentang Mas Gatut yang sudah mengumpulkan cerita tentang Sabarudin, Bu Tea malah cerita, bahwa waktu Sabarudin memenggal kepala mantan Cudancho Surya di Alun-alun Sidoarjo, Bu Tea masih sekolah di Sidoarjo. Ngeri. Kami juga saling kenal dekat dengan sastrawan Setyagraha Hoerip almarhum. Oyik, yang kami tahu dia putera bupati Nganjuk yang terakhir menjabat Residen Madiun. Saya mengenal Mas Oyik pertama kalinya di Bandung, tahun 1955. Saya masih bekerja di Kantor Telegrap Surabaya, tetapi sudah mengarang cerita pendek di majalah Kisah. Waktu cuti tahunan saya pergi ke Bandung (ke rumah kakak, waktu itu dapat rumah di Jalan Dago), saya perlukan mampir ke Hotel Naripan. Di situ sedang dihuni oleh Soekanto SA, seorang pengarang yang saya kenal lewat majalah Kisah, yang bekerja di Kantor Pos, sejawatan dengan saya (juga jawatan yang diabdi oleh Andrea Hirata masa kini). Berhari-hari saya berjalan-jalan dengan Soekanto SA dari kantornya ke hotelnya, sambil dia nuntun sepedanya, perkenalan kami kian akrap. Bahkan kemudian hari Soekanto SA menikah dengan Mbak Suryaningsih (maaf agak lupa namanya) dari Pasuruan, menikahnya di Surabaya yang menjadi saksi sastrawan tetangga saya di Surabaya, Soepriyadi Tomodihardjo. Waktu saya menerima Hadiah Sastra Rancagé 2001 (diterima di IPB Bogor 2002) Soekanto SA menegur saya, dia hadir dalam upacara itu. Sedangkan istrinya, pernah satu asrama dengan saya ketika kami mendapat lokakarya penulisan buku kanak-kanak oleh Dep. P&K di Cipayung 1976, Mbak Suryaningsih sakit, muntah-muntah, saya tolongi. Sedang Mas Soepriyadi Tomodihardjo tanggal 1 Oktober 1965 ditugasi oleh pemimpin redaksi suratkabar Trompet Masyarakat, Goei Poo An (di mana Mas Pri sebagai redaktur independen mengasuh rubriek sastra di koran itu) untuk menghadiri perayaan hari jadi RRT, tidak bisa kembali ke Indonesia karena peristiwa G30S/PKI. Mas Pri sampai sekarang menetap di Koln, Jerman, kadang-kadang masih menulis di Kompas. Konon Mas Soekanto SA pernah melawat ke Inggris, dan mamapir bertemu dengan Mas Pri di Amsterdam apa begitu. Kembali tentang cuti saya di Bandung 1955, pada kesempatan itu saya juga menemui Mas Oyik di pondokannya (lupa alamatnya di jalan apa). Cuma saya ingat Mas Oyik tidak bisa menemui lama, karena di rumahnya ada pesta kecil-kecilan, ada acara dansa. Namun selanjutnya, tahun-tahun 1972-78, saya sering ke Jakarta kalau ada acara sastra (di TIM atau sebagai pemenang sayembara penulisan cerita) selalu menginap di Kompleks Griya Wartawan Cipinang Muara, ya di rumah Mas Gunawan Mohamad, Susilomurti, atau yang paling sering rumah Setiagraha Hoerip (Oyik). Kedekatan kami terutama ketika tahun 1972-1974 Mas Oyik jadi redaktur Seni Budaya di Sinar Harapan (Jalan Dewi Sartika), saya sering meliput kesenian di Dewan Kesenian Surabaya, tiap hari Sabtu di Sinar Harapan pasti ada laporan saya tentang kesenian, entah penglolaan Dewan Kesenian Surabaya, Farida Syuman Menari Di Surabaya,, Faxtor X Pada Wishnu Wardhana, Indonesia Republik Tanpa Sastra (Terpencilnya sastra merupakan hasil nyata dari kurangnya sikap intelektuil kita,” ucap Pak Budi Darma di artikel yang saya tulis di Sinar Harapan, 20 September 1973), Ucok dari Band AKA, Nonton “Graffito”, Perkembangan Ballet di Surabaya, Marlupi Siyangga, Puisi Mbeling Nurinhwa. Sehingga ada yang menyangka saya anggota redaksi Sinar Harapan. Setyagraha Hoerip juga “berjasa” menyertakan nama saya sebagai penulis cerita pendek Indonesia, dengan diterbitkannya Cerita Pendek Indonesia (jilid 1 – 4) oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1979. Atas usaha Mas Oyik juga, cerita pendek saya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Dr. Wuri Sudjatmiko diterbitkan di luar negeri (saya hanya dikabari, tidak diberi nomor bukti).
Kembali ke rumah Mas Rudi. Banyak seniman muda dan tua menyalami Bu Kris. Bu Kris selalu menyuruh mereka bermain ke rumahnya, Jalan Cimanuk 2 (pojokan). Dulu sering digunakan sebagai tempat pertemuan seniman. Pernah juga Pertemuan Sastrawan Surabaya. Bu Kris sekarang punya menantu bule dua orang, satu orang perempuan, satu orang laki-laki. Menggaetnya mudah. Anak lelakinya semula belajar tentang masak-masak di waralaba, dikirim ke sana ke sini, akhirnya direktrisnya jatuh hati pada putra Bu Kris.
“Judul bukumu basa Jawa baik-baik. Mbok aku diberi bukunya,” kata Bu Kris. Ia minta alamatku, serta mau kirim utusan ke rumah. “Saya di rumah hanya dengan seorang pembantu. Anak-anak sudah mentas dan pindah rumah sendiri-sendiri. Datanglah ke rumah. Saya ingin rumah saya digunakan untuk aktivitas seni.”
“Sama, Mbak. Bedanya cuma, Mbak janda, saya duda,” gurauku.
Saya, Bu Tea dan Bu Kris, bertemu bertiga paling akhir pada tahun 2002 menjelang Lebaran Idul Fitri, di Grahadi, ketika Gubernur Jawa Timur Imam Utomo memberi hadiah kepada 100 seniman Jawa Timur. Sepuluh dinilai terbaik tahun itu mendapat hadiah istimewa, di antaranya Suparto Brata (dapat Rp 10 juta), Gatut Kusumo (diwakili oleh Bu Tea), Indraswari Ibrahim, seniman ludruk, seniman musik, pelukis dan seni lainnya. Saya terpilih di antara 10 seniman penerima hadiah istimewa yang menjadi dewan penilai antara lain: Sabrot D. Malioboro.
Karena acara tidak dibatasi waktu, setelah makan prasmanan lalu pada pulang, dan masih ada yang baru datang. Akhirnya, jam 12.00 saya pulang. Naik WB yang lewat dekat situ. Penumpangnya ada 4 siswa, dan 2 guru perempuan (menitik seragamnya dan bicaranya). Baru sampai di Kertajaya sudah pada turun. Tinggal seorang di samping sopir. Dan tambah seorang penumpang sebelum Rumah Sakit Haji. Di belakang sudah ada WB lagi. Di pertiga sesudah RS Haji, WB saya ditabrak sedan dari tikungan. Berhenti cukup lama, sehingga penumpang di sopiran dan yang baru naik pada turun. Mereka tergesa-gesa. Cari tumpangan lain. Tapi untunglah perkaranya segera tuntas, dan WB berangkat lagi. Sudah disalip dua WB. Sampai di Menur Pumpungan, sekali lagi macet. Lebih parah daripada yang tadi. Terutama antara perempatan Manyar Tompotika-Manyar. Saya turun Manyar setelah perempatan Ngagel Jaya Selatan, ganti bemo GS. Lebih satu jam baru melintas. Sampai di rumah jam 15.00.
Diskusi
MASIH ADAKAH NILAI-NILAI KEJUANGAN & KEPAHLAWANAN BANGSA?
Menuruti undangan Cak Kadar dan Mas Sabrot, saya datang di Pusura Jalan Yos Sudarso jam 10.00 lebih sedikit. Bemo macet. Tapi suasana masih sepi. Selain tuan rumah ada beberapa yang sudah hadir segera saya kenali adalah Suparto Wijaya, Ali Syahbana. Di kelompok yang lebih tua saya kenal Pak Karsono dari Angkatan Udara, yang dulu pernah menjabat di DPRD Surabaya ketika saya jadi pegawai Humas. Yang agak membuat saya heran di latar mimbar tertulis:
Diskusi MASIH ADAKAH NILAI-NILAI KEJUANGAN
& KEPAHLAWANAN BANGSA?
Pembicara: DR. Aminuddin Kasdi, MSI,
Suparto Brata,
Prof..Dr.Hotman Siahaan,
Moderator: Dr.Suparto Wijaya..
Kerja sama Pusura, DHC ’45 Kota Surabaya, Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).
Yang saya heran, nama saya terpampang diapit nama-nama kondang para akademisi. Pada hal, terus terang, karena undangan secara lisan, spontan, dan Mas Sabrot pesan santai saja karena diskusi antarseniman, maka saya datang dengan kaos norak seniman (lorek merah-hitam). Ternyata yang lain pakai baju batik lengan panjang. Dan saya tidak bersedia naskah atau makalah apa yang harus saya ungkapkan. Ternyata Pak Aminuddin Kasdi membuat makalah panjang dan rapi (4 halaman spasi 1 A4).
Meskipun yang hadir tidak sampai separoh jumlah kursi yang tersedia, dan kebanyakan orang tua-tua, namun mereka kelihatannya bersemangat. Dan betul bersemangat ketika diberi kesempatan berbicara.
Pembicara pembuka adalah Pak Karsono, yang mewakili dari DHC ’45. Bicaranya panjang dan bersemangat, cara pegang mik terlalu dekat, akustik gedung Pusura berkumandang, tidak tepat untuk diskusi, suaranya menggaung hingga suara Pak Karsono terlalu keras malah tidak jelas apa yang dikatakan.
Moderator Dr. Suparto Wijaya, seorang intelektual tegas-jelas yang humoris, cara memegang mik agak jauh, hingga suaranya jelas, membuat suasana diskusi menjadi hangat bersemangat. Pembukaan didahului dengan menyanyi bersama lagu Padamu Negeri, yang mengisyaratkan kita masih punya negeri.yang harus dibela, dipimpin oleh Pak Ali Syahbana (dari birokrasi, pernah mencalonkan diri jadi Walikota Surabaya).
Meskipun saya tercantum sebagai pembicara kedua, tapi oleh moderator menjadi pembicara pertama. Dengan menghirup napas dalam-dalam, saya ingat nasihat Mas Sabrot agar santai saja, serta cara memegang mik meniru sang moderator. Dengan pelahan berusaha tenang saya berbicara tanpa teks (tapi sudah saya hafalkan di rumah sebelumnya), istilah saya mengabsen para “pahlawan Surabaya” apa sumbangannya kepada negara dan bangsa Indonesia sejauh ini.
“Nama saya Suparto Brata, lahir di Surabaya Plasa, tengah keramaian Kota Surabaya, hari Sabtu tanggal 27 Februari 1932. Lahir sehari bersama saya adalah bintang film cantik Elizabeth Taylor. Nggak sumbung, saya pernah tidur bersama dia beberapa kali, yaitu saya tidur di rumah saya, dia tidur di hotel berbintang. Yang bersama hanya waktunya. Saya mau ngabsen para pahlawan Surabaya, apa jasanya kepada negara dan bangsa Indonesia. Saya mulai dari agama Islam. Agama Islam di Jawa dimulai dari mana? Dari Ampel Denta, Raden Rakhmat atau Sunan Ampel. Wali Sanga sebagai pelopor, tetapi paling tua dan terdahulu adalah Sunan Ampel. Kalau mau safari ke Wali-wali Sanga, sebaiknya terdahulu haruslah berkunjung ke Surabaya, Sunan Ampel.
Masih tentang Islam. Tahun 1913 didirikan Sarekat Dagang Islam. Di mana? Di Surabaya. Tokoh-tokohnya, Tjokroaminoto, Kyai Mas Mansyur. Masih soal Tjokroaminoto. Di rumahnya di Plampitan-Peneleh Surabaya dipondoki seorang pelajar HBS. HBS gedungnya di SMAN Wijayakusuma sekarang. Pelajar itu tiap hari pulang-pergi ke sekolah naik sepeda pancal selama 5 tahun. Namanya Soekarno. Siapa dia? Dia proklamator Negara Republik Indonesia 1945. Di Surabaya tentang nasionalis dan Islam Soekarno terdidik terpengaruh Tjokroaminoto.
Seratus tahun yang lalu, berdiri Budi Utomo ditengarai sebagai Kebangkitan Nasional (bangsa Indonesia). Siapa pemimpinnya? Dokter Sutomo. Di mana? Di Surabaya, mendirikan partai politik Parindra. Markasnya di GNI (Gedung Nasional Indonesia) Jalan Bubutan 87 Surabaya. Dr. Sutomo juga berjasa menciptakan pers tertua yang masih hidup saat ini di Indonesia. Yaitu Panjebar Semangat. Panjebar Semangat bukan saja tertua, tetapi juga perintis pers bahasa Jawa dan sastra Jawa modern. Yaitu pers bahasa Jawa dan sastra Jawa modern ditulis dengan huruf ABC, bahasa narasinya ngoko, tanpa menggunakan tembang (narasinya tak terikat oleh guru lagu, guru gatra, guru wilangan). Itu berlaku sampai sekarang.
Masih tentang GNI Bubutan 87 Surabaya. Pada tanggal 23-25 Agustus 1945 diselanggarakan rapat terus-menerus selama 3 hari dipelopori Angkatan Muda membentuk KNI (Komite Nasional Indonesia, setarap dengan Dewan Perwakilan Rakyat sekarang), dan terpilih susunan KNI Karesidenan Surabaya sebagai berikut: Ketua Dul Arnowo, Wakil Ketua: Bambang Suparto dan Mr. Dwijasewojo, Penulis Ruslan Abdulgani, anggota: sederet nama sebanyak 25 orang. Selesai rapat, KNI mengumumkan kepada seluruh rakyat Surabaya supaya mengibarkan bendera Merah Putih. Maka, meskipun banyak dihalangi oleh pasukan Jepang (Kenpeitai) berkibarlah Sang Merah Putih di mana-mana, termasuk di kantor Karesidenan Surabaya (sekarang kantor Gubernur, pada zaman Jepang belum ada pembagian wilayah provinsi, yang ada Karesidenan atau Syu). Pengibaran bendera Merah-Putih di Surabaya yang mendapat halangan oleh Kenpeitai ini oleh Ruslan Abdulgani dinamai Flaggen Actie (bahasa Belanda, artinya gerakan pengibaran bendera), adalah keberanian Arek-arek Surabaya mendahului daerah Indonesia lainnya. Pengibaran bendera Merah-Putih secara nasional baru diumumkan oleh Presiden pada tanggal 1 September 1945, setelah sidang KNI Pusat di Jakarta. Pembentukan KNI Karesidenan Surabaya di GNI itu semula guna persiapan penyelenggaraan sidang pertama KNI Pusat di Jakarta tanggal 29-31 Agustus 1945.
Masih tentang GNI Bubutan 87 Surabaya. Pada 4 September 1945, di situ digunakan sebagai rapat susunan tingkat kewilayahan BKR (Badan Keamanan Rakyat), yang hadir para mantan anggota tentara Peta (Pembela Tanah Air, tentara tingkat petinggi bangsa Indonesia yang dibentuk zaman Jepang), dan Heiho (tentara bangsa Indonesia tingkat rendahan yang dibentuk oleh Jepang). Rapat itu adalah lanjutan dari rapat hari sebelumnya (2 September 1945) yang diselenggarakan di Jalan Kaliasin 121, yaitu rapat pembentukan pemerintahan Republik Indonesia di Surabaya.
Rapat di Jalan Kaliasin (sekarang Jalan Basuki Rachmat. Pada zaman Orde Baru tempat itu direnovasi jadi Gedung PDAM) atas undangan Dul Arnowo sekapasitas anggota KNIP. Dul Arnowo pada zaman Jepang jabatannya Ketua Badan Pembantu Prajurit (BPP, bagian dari pemerintahan Surabaya Shi) gedungnya di Kaliasin 121 itu. Pada rapat itu terbentuk (1) BPKKP (Badan Penolong Keluarga Kurban Perang yang bertugas sebagai pemerintahan sipil) dengan ketua Dul Arnowo, wakil ketua Mohamad Mangundiprojo (mantan Daidancho tentara Peta wilayah Sidoarjo). Di sini kelihatan sekali kehati-hatian Dul Arnowo membentuk pemerintahan sipil yang berlaku darurat. Sebab menurut sidang KNIP di Jakarta, yang ditunjuk sebagai Gubernur Jawa Timur adalah Wakil Syuchokan Bojonegoro, R.M.T.A. Suryo, bukan Dul Arnowo ataupun Sudirman (Wakil Syuchokan Surabaya). (2) BKR (Badan Keamanan Rakyat yang bertugas mengamankan rakyat alias pertahanan dan berjuang demi kemerdekaan negara) dengan Ketua: Drg Mustopo (mantan Daidancho Peta wilayah Gresik). Dari rapat pembentukan BKR tanggal 2 September itulah maka tanggal 4 September diselenggarakan rapat susunan wilayah BKR di GNI Bubutan 87 itu. Hasil rapat: BKR Jawa Timur dipimpin oleh Drg Mustopo, Untuk eselon Karesidenan: Abdul Wahab (mantan Cudancho), untuk Kota Surabaya: Soengkono (mantan Cudancho).
Itulah nama orang-orang Surabaya terpenting dijajaran pemerintahan resmi dan bertanggungjawab ketika kemudian terjadi pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Dan ditambah lagi dengan ratusan nama pejuang 10 November 1945. Yang paling menonjol adalah Bung Tomo.
Saya peringatkan, peristiwa pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, adalah yang pertama kalinya di dunia bangsa yang terjajah melawan pemerintahan kolonial Eropa dengan senjata, dan berhasil memerdekakan bangsa dan negara dari penjajahan. Yang pertama kalinya di dunia. Setelah itu cara melawan bersenjata untuk merdeka ditiru oleh bangsa-bangsa di Asia dan Afrika. Kalau tidak terjadi pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, mungkin bangsa dan negara Indonesia tidak akan ada. Karena niat Belanda untuk kembali menjajah begitu sempurna dan perkasa dengan terbentuknya NICA (Nederlands Indies Civil Administration, baca nika) oleh van Mook di pengungsian ketika Jepang menduduki Indonesia, maka bangsa Indonesia yang terkenal lemah lembut yang telah dijajah 350 tahun oleh Belanda, tentu dengan mulus kembali jadi negeri jajahan. Tidak disangka ada pemberontakan bersenjata yang tercetus di Surabaya 10 November 1945. Persiapan yang begitu sempurna jadi berantakan. Atau, kalau tidak ada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Negara Republik Indonesia akan merdeka karena mendapat hadiah dari Ratu Juliana. Tidak dengan perjuangan bersenjata yang memunculkan pahlawan-pahlawan seperti sekarang.
Sedikit lagi saya meneruskan meng-absen nama pahlawan Surabaya yang berhasil mengukir nama untuk negara dan bangsa Indonesia. Tanggal 28 Oktober 1928, terjadi rapat Sumpah Pemuda. Di situ terdengar ayunan lagu: Indonesia Raya mulia, mulia, Tanahku Negeriku yang kucinta. Lagu apa? Lagu kebangsaan Indonesia Raya. Siapa yang mengarang? WR Supratman. Di mana WR Supratman? Di Surabaya. Rumahnya di Manggaweg atau Jalan Mangga Tambaksari Surabaya, dimakamkan pertama kalinya di Makam Kapasan (di depan Klenteng Jalan Kapasan), tahun 1954 dipindahkan ke Jalan Kenjeran.
Jadi sejak Sunan Ampel sampai Bung Tomo, Surabaya telah menyumbangkan pahlawan-pahlawan untuk kepentingan negara dan bangsa Indonesia. Dan Surabaya sudah ditahbiskan sebagai Kota Pahlawan. Agaknya memang kondusif sejak turun-menurun kota ini dijadikan pembibitan pahlawan-pahlawan bangsa Indonesia. Maka dari itu, senyampang Saudara-saudara bertempat-tinggal atau menghuni Kota Surabaya, berpikirlah, bercita-citalah, bahwa Saudara-saudara berkesempatan menjadi pahlawan bangsa dan negara Indonesia. Siapa tahu virus kepahlawanan telah merambat menjadi wabah di kota ini.
Sekian. Terimakasih.”
*
Saya bicara, karena sudah hafal luar kepala, tidak lebih dari 15 menit. Tentu saja saya memerlukan catatan-catatan data dan nama yang telah saya siapkan dari rumah, agar bicaraku akurat, sebab seringkali saya lupa nyebut nama meskipun sudah sampai di bibir.
Saya selesai, Pak Ali Syahbana mohon diri, karena ada acara lain yang harus dihadiri. Diminta sambutan sedikit, Pak Ali minta diskusi seperti itu agar dikembangkan, dan hasilnya sebarkan kepada publik dan saran-sarannya diajukan kepada instansi yang berwenang atau kompeten.
Giliran Pak Aminuddin Kasdi. Beliau memang dari MSI, dan yang diajak bekerja sama dalam diskusi Nilai-nilai Kepahlawanan ini. Jadi siap dengan makalah. Judulnya: KINI; MASIH ADAKAH NILAI-NILAI KEPAHLAWANAN? Dimulai dengan membicarakan zaman telah berubah. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi terjadilah perkembangan kebudayaan sebagai superorganik yang sangat pesat. Kemajuan iptek itu banyak mengubah kehidupan manusia dengan segala nilai, norma dan tatanannya, semua orang bertekuk lutut kepada ilmu dan teknologi, tidak lagi sebagai high human need melainkan telah turun menjadi basic human need. Dari situ lalu bicara soal Perspekstif Perubahan, yang menceritakan masyarakat Indonesia sejak tahun 1960, lewat Orde Lama dan Orde Baru (1967) yang menjadwal menjadi Pembangunan Lima Tahunan (Pelita). Itu dalam makalahnya. Tetapi dalam orasinya, beliau juga menceritakan tentang pembentukan Surabaya serta riwayat orang-orang yang membuat sejarah zaman itu, seperti Airlangga, Raden Wijaya, Sungai Pacekan (apa artinya pacekan? Pak Parto Brata tahu), Sawunggaling, Pangeran Pekik dan selanjutnya.
Selanjutnya para hadirin dipersilakan tanggapannya. Seperti pada forum diskusi demikian, pada kesempatan berbicara mereka lupa batasan waktu. Meskipun hanya dibatasi bicara 5 menit, mereka minta waktu sedikit lagi, sedikit lagi, akhirnya juga jadi setengah jam lebih. Dan dalam forum ini, memang bebas, bicara mengemukakan unek-unek apa saja boleh asal masih berhubungan dengan nilai-nilai kepahlawanan, terutama kepahlawanan Kota Surabaya. Agak lain dengan diskusi biasanya, para hadirin bertanya kepada pembicara di mimbar untuk mendapatkan keterangan yang lebih jelas atau yang dipertanggungjawab-kan oleh pembicara di mimbar. Tapi biasa, biasanya memang tidak bertanya (wong sudah tahu jawabannya) melainkan menguraikan sendiri gagasannya.
Para hadirin yang berbicara cukup banyak, (maaf tidak saya catat namanya), rata-rata sudah sepuh, ada yang usul karena Kota Surabaya ditahbiskan sebagai Kota Pahlawan mengharap nama jalan-jalan diperbanyak nama pahlawan. Ada yang usul, agar monumen-menumen atau simbul-simbul kota yang tidak bersemangat kepahlawanan dihancurkan saja. Ada yang sejak dari rumah sudah menyiapkan gambar-gambar dan foto bagaimana menceritakan tentang terbunuhnya Mallaby. Ada yang dari rumah sudah menyiapkan deklarasi. Tidak ada kaum ibu yang mewakili berbicara dalam forum ini. Dan hanya seorang muda, dari mahasiswa UNESA jurusan sejarah, yang bertanya kepada pembicara (tidak menguraikan pendapatnya sendiri), bagaimana dia sebagai mahasiswa jurusan sejarah bisa mengetahui secara gamblang tentang sejarah kota Surabaya, misalnya tentang pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, selain harus mewawancarai para pelaku sejarah. Pada hal pelaku sejarah tentulah sudah amat jarang. Apalagi pelaku sejarah zaman Majapahit yang awal pembangunan kerajaan itu juga dari Surabaya.
Ketika para pembicara mimbar diharapkan mengevaluasi diskusi ini, giliran pertama pada saya, saya berkata:
“Yang perlu saya tanggapi hanya seorang, yaitu mahasiswa UNESA tadi. Ke mana kaum muda mencari data sejarah. Kelemahan bangsa kita adalah kita tidak mempunyai budaya membaca buku dan menulis buku. Kaum muda bisa memperoleh cerita dan data seperti di forum ini, hanya dengan mendengarkan bicara lisan, nanti, keluar dari sini, cerita dan data itu sudah hilang. Cak Kadar, ketika terjadi pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, dia berumur 14 tahun dan di Surabaya. Coba tanya kepadanya, apa yang terjadi di Balai Pemuda bulan Oktober 1945? Paling yang bisa dijawab: Balai Pemuda waktu itu jadi markas besar PRI (Pemuda Republik Indonesia, badan perjuangan) dengan ketua Sumarsono. La kalau Cak Kadar sudah tidak ada, mahasiswa tadi untuk memperoleh cerita tentang Balai Pemuda tahun 1945 kepada siapa?
Saya tahu lebih banyak dari Cak Kadar, karena saya membaca buku, dan menulis buku. Ya kebetulan saja saya menulis buku tentang Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya bersama Mas Aminuddin Kasdi karena ditugasi oleh Pak Blegoh Sumarto, Ketua DPRD Jatim 1986. Tapi pada buku yang saya tulis bersama Pak Aminuddin Kasdi tidak tercantum bahwa di Balai Pemuda bulan Oktober 1945 itu digunakan menyembelih orang-orang Belanda dan memperkosa nonik-nonik Belanda. Saya mengetahui hal ini karena saya membaca bukunya Richard L. Klaessen Macaber Soerabaja 1945, de werfstraatgevangenis, (terbit 1996 cetak ulang 2004) dan buku W.Meelhuijsen Revolutie in Soerabaja 17 agustus – 1 desember 1945, (terbit tahun 2000) dan buku DR.H.TH. Bussamaker Bersiap! Opstand in het paradijs. (terbit tahun 2005). Ketiga buku menceritakan pengungsian perempuan dan anak-anak Belanda dari kamp tawanan di Lapangan Jalan Flores dipindahkan dengan 4 truk ke RS Darmo untuk dikumpulkan dengan tawanan lainnya yang nantinya akan diangkut ke Tanjung Perak (hal itu sudah dirundingkan dengan pihak Indonesia dan Inggris/RAPWI). Namun di Sonokembang, 4 truk itu ditembaki oleh pejuang Indonesia, hingga kocar-kacir. Truknya terbakar (ada gambarnya).
Tentang Balai Pemuda digunakan untuk memperkosa nonik-nonik Belanda, sebenarnya ketika menulis buku sejarah 10 November 1945 di Surabaya, saya sudah diceritai oleh Mas Wiwik Hidayat. Tetapi tidak saya tulis. Di buku Meelhuijsen bahkan secara terperinci diceritakan dalam sub-babnya yang berjudul De Bloedige Maandag (halaman 97-101).
Richard L. Klaessen, adalah tawanan Jepang yang ketika Indonesia merdeka, dipindahkan ke Penjara Kalisosok. Karena bencinya orang Surabaya terhadap orang Belanda yang mau menjajah lagi Indonesia (terlihat misalnya peristiwa pengibaran bendera Belanda di Oranje Hotel 19 September 1945, atau petualangan Hijer), maka semua orang Belanda dibunuh saja. Juga yang ditawan di Kalisosok. Tetapi Klaessen bebas, karena sebelum dibunuh Penjara Kalisosok diserbu oleh Pasukan Inggris, dan para tawanannya dibebaskan. Setelah 10 November 1945, orang Indonesia meninggalkan Surabaya, Surabaya diperintah oleh tentara Sekutu yakni AMACAB (Alied Military Administration Civil Affairs Branch) sampai Januari 1946 dipindahkan kepada pemerintah Belanda dengan dibentuknya KBZ (Kantoor Bevolking Zaken = Kantor Urusan Penduduk). Pada periode itu Klaessen menjadi sopir taksi, armada taksi MTD (Motor Transport Dienst) yang dikaryakan oleh de Koninklijke Marine dibawahi oleh Motor Transport Officier Luitenant ter Zee A.D.Leuveling Tjeenk. Namun menjelang penyerbuan tentara Belanda ke daerah Republik Indonesia 21 Juli 1947, Klaesssen masuk menjadi tentara Belanda, ikut menyerbu ke daerah Republik Indonesia. Setelah Indonesia berdaulat kembali ( 29 Desember 1949), Klaessen pergi ke negerinya (Belanda). Di sana dia membuat iklan besar, siapapun bangsa Belanda yang hidup di Surabaya 1945, harap menulis semua pengalamannya kepadanya. Maka datang dari segala penjuru dunia, dari Amerika, Australia, Canada, Belanda sendiri, surat-surat laporan mengenai pengalamannya, ada yang diketik, ada yang didtulis tangan, ada yang bahasa Belanda, Inggris, ada yang panjang, ada yang pendek, ada yang kirim suratkabar yang memberitakan tentang keadaan Surabaya 1945, foto-foto. Pendeknya lengkap. Dan semua itu dikumpulkan serta dicetak jadi buku dengan judul MACABER SOERABAJA 1945 (Hal yang mengerikan Surabaya 1945). Buku itu sudah dengan sendirinya menjadi buku sejarah. Bisa diwujudkan karena apa? Karena bangsa Belanda, apa pun pendidikannya yang paling rendah sekalipun (karena perang, dipenjara, sehingga tidak bisa belajar sebagaimana di sekolah), punya budaya membaca buku dan menulis buku.
Buku-buku yang saya baca tadi (saya siapkan bawa dari rumah saya tunjukkan di mimbar), diterbitkan tahun 2004, 2000, 2005. Artinya mahasiswa Belanda zaman sekarang, dengan membaca buku itu, tahu persis apa yang terjadi dan apa yang dialami oleh para penulisnya. W.Meelhuijsen, misalnya, kelahiran Malang tahun 1928, ketika 10 November 1945 berada di Surabaya, tinggal di Jalan Brantas no 5 Surabaya. Cukup dewasa memantau dari dekat de Bloedige Maandag (Senin yang berdarah). Sedang bapak-bapak yang hadir di sini dengan semangat berapi-api mau mencitrakan semangat kepahlawanan peristiwa 10 November 1945, tahu berapa jauh tentang peristiwa itu? Dan juga para penikmat kehidupan Surabaya masa kini, para anggota DPRD atau pejabat birokrasi, sampai seberapa jauh mengetahui perjuangan rakyat Surabaya yang kini berhasil menciptakan Surabaya seperti sekarang? Dan juga menjawab pertanyaan mahasiswa UNESA tadi, di mana dia harus mengetahui nilai-nilai kepahlawanan pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya? Tidak banyak yang ditulis oleh para pelaku sejarah, karena mereka tidak punya budaya menulis buku dan membaca buku. Sampai saat ini bangsa Indonesia TIDAK PUNYA BUDAYA MEMBACA BUKU DAN MENULIS BUKU, jadi peristiwa sejarah ataupun pengumpulan ilmu, tidak bisa dipelajari oleh generasi muda. Kalau mahasiswa tadi ingin meneliti sejarah peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, paling bisa pergi ke Belanda, membaca buku di sana. Tapi apa yang akan diperoleh? Buku-buku tadi ditulis oleh orang Belanda, yang dalam peristiwa 10 Noveember 1945 akhirnya menderita kekalahan (Indonesia merdeka). Yang ditulis tentu banyak peristiwa yang justru menyakitkan hatinya. Bukan jiwa kepahlawanan Arek-arek Surabaya.”
Begitu saya selesai bicara, bapak-bapak angkatan tua yang di depan mendatangi dan meminjam buku saya. Dilihati bersama. Mereka antusias karena gambar-gambar fotonya ya banyak. Waktu mengembalikan kepada saya, bapak tadi berkata, “Ini bisa diterjemahkan oleh Edi Samson.” Edi Samson adalah tokoh di Surabaya yang masih fasih berbahasa Belanda, dan punya koleksi buku-buku sejarah Surabaya, jadi anggota penggemar karya-karya Von Faber. Von Faber adalah wartawan keturunan Jerman kelahiran Surabaya dan tinggal lama di Surabaya, sangat populer bukunya Oud Soerabaia, Nieuw Soerabaia, Er Werd Een Stad Geboren....terbitan tahun-tahun 1936-an (maaf saya tidak punya bukunya). Tapi ada yang dicetak ulang tahun 1952 (setelah Indonesia merdeka).
Diskusi selesai pada jam 14.00. Mas Sabrot mendatangi saya, menjabat tangan saya, dan mengucapkan banyak terima kasih, karena bicara saya begitu mengesankan. Sungguh begitu mengesankan, katanya. Saya jadi terharu. Sebab, saya tahu betul Mas Sabrot ini sangat thokleh (menegur langsung), tegas, jujur dan suaranya keras tidak tedheng aling-aling. Misalnya ketika mengeritik Cheng Hoo Galajapo (baca diblog saya yang lalu). Sebelumnya dia tadi khawatir kalau pembicaraan saya tidak menarik, karena saya terkenal susah berbicara di depan umum, dan lebih mengandalkan mengemukakan pendapat dengan tulisan. Tapi ternyata ini tadi bicara saya sangat memikat, katanya. Dia beberapa kali menyampaikan selamat.
Saya pulang nunut Mas Aminuddin Kasdi yang mau menjemput isterinya yang sedang sakit di Rumah Sakit Haji, bersama juga Mas Suhardi, dari MSI yang turun di Bratang. Di jalan kita bicara tentang sejarah Surabaya. Ketika melewati Darmawangsa/Sriikana/Kertajaya, saya sempat mempertanyakan daerah ini kampung-kampung dan jalannya diberi nama raja-raja Jawa Timur masa kerajaan Hindu, tetapi mengapa yang diambil justru Kertajaya. Kertajaya adalah nama raja Kediri yang kelakuannya tidak baik. Bukan pahlawan. Kok dijadikan nama jalan, malah nama kampung yang luas. (Saya cuma heran, tidak punya saran apa-apa. Tetapi ini juga menunjukkan bahwa para birokrasi yang punya wewenang, sama sekali tidak punya perhatian khusuk mengenai jiwa pembangunan kota yang menuju perbaikan. Misalnya nama jalan Bung Tomo. Mengapa ditaruh menggantikan nama Jalan Ratna, tempatnya tersembunyi dan pandak saja. Siapapun anggota DPRD/Walikota yang menyetujui penamaan itu, sangat tidak menghargai semangat perjuangan Bung Tomo).
*
Turun di Bratang, saya harus naik bemo GS. Seperti hari sebelumnya, lama sekali, baru lewat. Sampai di rumah jam 15.30. Ada amplop besar dialamatkan saya di rumah. Baru akan saya buka, HP-ku berbunyi. Ada SMS dari Sandra, hari itu masuk ke Kidzania bersama anak-anak. Bertanya apa harus ambil SIM dulu? Saya jawab tidak.Wong itu cuma SIM-SIMan berlaku di Kidzania saja.
Saya buka amplop besar, berisi koran Radar Surabaya, Minggu 14 Deseember 2008. Di halaman 12 (halaman akhir, belakang) pada rubrik PERSONA terpampang fotoku, serta buku-bukuku. Judul artikel yang terpampang: Sang Pendekar Sastra Jawa, dan Tergiur Kho Ping Hoo. Penulisnya gropyokan:Karina/Anita/Umi/Sunardi. Saya jadi ingat mereka (Sunardi/Rosi/Karina/Anita/jurufoto Agung Rahmadiansyah) datang ke rumah saya hari Jumat 12 Desember 2008, dipimpin Lambertus L. Hurek. Janji datang diawali dari Lambertus melalui telepon. Mengapa tertarik kepada saya? Lambertus meskipun berasal dari provinsi bagian timur Indonesia, lama tinggal di Surabaya, belajar membaca buku sastra Jawa, dan sangat tertarik dengan buku saya Suparto Brata’s Omnibus yang telah dibacanya cerita pertama. Maka ingin mem-PERSONA-kan saya di Radar Surabaya. Lalu terjadilah perkunjungan hari Jumat itu.
Saya akhir-akhir ini memang kurang sekali membaca koran. Jadi ketika Radar Surabaya yang memuat berita tentang saya hampir satu halaman penuh itu terbit, saya pun tidak menyemak. Untung dikirimi. Terimakasih Mas Nardi, terimakasih Mas Lambert. Saya sungguh merasa berhasil, maksudnya usaha saya menghidangkan buku bahasa Jawa sekualitas Suparto Brata’s Omnibus (tebal, harganya Rp 70.000,00) bisa memikat pembaca bukan orang Jawa. Mudah-mudahan yang orang Jawa beneran tidak mau ketinggalan menyimak buku-buku bahasa Jawa.
*
Senin 22 Desember 2008.
Ketika sedang mengeetik file ini, jam 13.00, kriing, berdering telepon rumah.
“Hallo?”
“Pak Parto, ya?” suara perempuan ramah.
“Iya. Siapa ini?”
“Vonny.”
“Oh, Vonny. Aku senang sekali Vonny menghubungiku.”
“Aku juga senang bisa menghubungi Pak Parto. Kapan hari aku lewat depan Pusura, baca spandoek Pak Parto jadi pembicara. Pembicara apa, Pak. Kapan?”
“Oh, sudah kemarin, Minggu. Tentang Nilai-nilai kepahlawanan, apakah masih ada? Sayang publikasinya kurang, mungkin juga tidak diliput wartawan, beritanya di koran kok tidak ada.”
“Wahduh, mbok kalau ada begitu saya dikabari, barangkali bisa hadir. Itu kan penting. Sayang kalau masyarakat Surabaya tidak menyimak.”
“Tapi ini saya coba saya tayangkan di blog saya, kok.”
“O, ya? Kalau begitu saya simak di sana, ya. Bagaimana, Bapak sehat, kan?”
“Sehat. Saya bertambah sehat ksrena Mbak Vonny menghubungiku ini.”
“Aku juga senang, Pak.”
Akhir-akhir ini saya jarang hadir di pertemuan-pertemuan. Namun, di antara yang jarang itu, saya sering bertemu dengan perempuan muda, cantik, yang selalu menyapa ramah kepadaku. Aku ingat, dia pernah ke rumahku bersama seorang temannya laki-laki, mewakili harian Surya, keduanya meninggalkan kartu nama yang serupa ada tulisannya huruf Cina. Tapi kartu nama itu hilang di jalan bersama buku catatan teleponku seluruhnya tahun lalu. Saya lupa nama dia. Tapi sapaannya sangat mengesan. Waktu saya mendapat undangan acara Halal Bihalal oleh Perkumpulan Indonesia Tionghoa Jawa Timur tanggal 9 Oktober 2008 di Restoran Fu Yuan Palace, tempat yang asing dan tentu saya tidak akan datang ke sana kalau tidak dapat undangan, saya sangat sadar oleh keasingan saya, ternyata perempuan cantik itu menghadapi meja penerima tamu, menegur ramah menyebut namaku, “Pak Parto, selamat datang.” Dan saya jadi tidak asing lagi. Saya menulis nama dan alamat di buku tamu, dia menyimak dengan tekun. “Lo, rumah Bapak pindah di Rungkut?” Ah, tidak. Mulai dulu ya di Rungkut. “Lo, dulu bukankah di Tenggilis?” Oh, Tenggilis itu rumah besan saya, dulu. “Lo, pada waktu saya ke sana, apa Pak Parto di rumah besan? Bukan rumah sendiri?”
Pembicaraan belum selesai, sudah ada perempuan muda lain yang menyapaku, lalu menggandengku masuk ke restoran mendudukkan saya di tempat yang tentulah saya senang, yaitu satu meja dengan Cak Kadaruslan. Perempuan itu Lan Fang, pengarang novel Perempuan Kembang Jepun, yang membuat saya jadi lebih kian tidak asing lagi di restoran itu. Tetapi saya tetap tidak tahu, si cantik penerima tamu itu namanya siapa.
Tanggal 10 Desember 2008, saya pulang mengantar cucu dan Tera dari Jakarta, naik kereta Anggrek siang. Sampai di Pasarturi jam 21.00. Dijemput Mas Yudi, Kaka dan Wildan. Ketika lewat Jl. Pucang sehabis perempatan Kertajaya/Darmawangsa, saya lihat lampu reklame terang: PETRA TOGAMAS. Keesokan harinya, Kamis 11 Desember 2008, Mas Yudi masuk kantor, saya masih lelah baca-baca santai, dibilangi Tera bahwa masuk ke HP-nya Mas Yudi ada undangan dari Pak Johan untuk saya, menghadiri pembukaan Petra Togamas, nanti sore jam 18.30. Karena undangan malam hari, saya tergantung pada Mas Yudi, mau mengantar atau tidak. Ternyata Mas Yudi mau, bahkan mengajak Kaka. Karena belum pulih dari kelelahan datang dari Jakarta, dan undangannya per telepon yang salah alamat, maka saya kira yang diundang para seniman penggemar buku. Jadi saya berpakaian santai saja, pakai kaos.
Masuk gedung SMA Petra Pucang, dijaga ketat oleh penjaga keamanan. Mas Yudi sulit mencari parkir, saya masuk sendirian, agak bingung, kok para undangan yang datang menunjukkan undangannya serta menulis di buku tamu. Ketika saya mau menulis di buku tamu, ditegur penjaga buku tamu, apa saya mau beli buku? Tidak, saya diundang per telepon oleh Mas Johan. “Oh, masuk saja!” Jadi saya masuk ke halaman yang di situ telah ada panggung serta kursi berjejer-jejer untuk tempat para tamu. Di panggung telah berpidato Pak Johan Budisolva (maaf kalau salah eja) direktur Togamas. Saya duduk di tengah-tengah deretan kursi, saya lirik para hadirin berpakaian baik-baik, bahkan ada yang pakai dasi segala. Tidak ada seorang “seniman” pun yang saya kenal. Ternyata Pak Walikota Bambang D.H. juga hadir, duduk di deretan kursi paling depan. Dan setelah Pak Johan, Pak Walikota memberi sambutan. Walikota antara lain mengatakan: antara Johan dengan beliau adalah Johan tinggi semampai, beliau pendek agak gemuk, tapi kata orang, tubuh pendek itu ada kedekatan kepala dengan jantung, antara pikiran dan hati itu lebih dekat. Itu menyimbulkan antara pikiran dan perasaan lebih harmonis, mempengaruhi benar tabiat orangnya, beretika baik. Beliau juga pernah mengajar di SMP Petra Manyar, dulu. Titik temu sekolah dengan buku, adalah tandanya murid yang cerdas, karena itu Toko Buku Diskon Togamas adalah panyambung instrumen pendidikan yang paling terdepan bagi kecerdasan bangsa. Pak Walikota bercita-cita membangun sekolah di Surabaya yang berkapasitas 1 guru mengajar 25 orang murid saja.
“Pak Parto!” seorang perempuan muda cantik duduk agak jauh berbatasan gang deretan kursi dengan saya menyapa sambil melambaikan tangannya kepadaku. Oh, si dia yang aku lupa namanya. Kemudian sambutan-sambutan belum selesai dia keluar lewat gang deretan kursi di dekatku, “Mau ke toilet dulu.” Saya jadi kesendirian lagi.
Setelah Walikota menyambut, dihidangkan musik duet. Kami diideri panganan dan minuman. Setelah musik, tibalah acara yang terakhir, Monolog oleh Butet Kartaredjasa sambil mempromosikan bukunya Presiden Guyonan. Sementara Mas Butet bercerita tentang bukunya, tiga orang anak buahnya menjajakan bukunya kepada hadirin. Tentu saja saya membeli. Monolog selesai, maka sebagai kahormatan Mas Butet memberikan bukunya kepada 3 orang. Yang pertama kepada Walikota Surabaya,(buku segera diberikan oleh Mas Butet) ke dua kepada Ir. (Direktur SMA Petra, tuan rumah). Ke-tiga kepada Suparto Brata. Lo! Tentu saja perhatian hadirin tertuju kepadaku ketika Mas Butet mendatangi tempatku duduk tiga deretan kursi belakang Walikota. “Wa, ketemu lagi. Sudah lama tidak berjumpa,” ujar Mas Butet. Saya menunjukkan bukunya yang saya beli. “Wah, sudah beli?” Ya, tentu saja. Kami memang sudah berkenalan. Saya lebih kenal dengan ayahnya (Bagong Kussudiardja) maupun Pakliknya, Handung Kus Sudiyarsana. Mas Handung sejak lama memimpin majalah bahasa Jawa Mekar Sari (kantor redaksi Tugu 42) Yogya, kemudian juga menulis drama-drama dan kethoprak bahasa Jawa yang diterbitkan jadi buku. Juga menjadi pemimpin Produksi Pusat Pelatihan Tari “Bagong Kussudiardja”. Saya, Mas Basuki Rachmat (redaksi Jaya Baya) dan Mas Satim Kadarjono (redaksi Panjebar Semangat) tahun 1966 pernah menginap di rumah Mas Handung di Ngasem, ketika diulemi untuk membentuk OPSD (Organisasi Pengarang Sastra Djawa) atas saran Susilomurti, Sudharmo KD, N.Sakdani Darmopamoedjo, Muryalelana, tanggal 25-26-27 Agustus 1966 di Sanggarbambu 59 Yogyakarta. Pada pembentukan OPSD yang juga didukung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX (juga memberi sambutan), yang menjadi pembicara utama adalah: Drs. Hardjono HP, Susilomurti, dan Handung Kus Sudiyarsana. Tahun 1990, ketika saya menjadi pemimpin redaksi embrio Tabloid Praba di Yogya, saya sering mengunjungi Mas Handung, bahkan puteranya, Mas Heru Kesowo Murti, ikut membantu keredakturan penerbitan Praba. Waktu itu theater Gandrik yang pelaku intinya Mas Butet dan Mas Heru sedang berjaya, keluarga Tabloid Praba sering mendapat kesempatan menonton pementasannya. Nama Handung sebagai wartawan Kedaulatan Rakjat di Tugu 42 bahkan saya abadikan di buku novel saya Mencari Sarang Angin (halaman 676).
Ketika bubaran, banyak wartawan mewawancarai tokoh-tokoh, termasuk saya. Perempuan cantik itu menemui saya, “Pak saya kenalkan dengan penerbit buku bahasa Jawa dari Yogya. Ini.” Dan kami bertiga pun asyik membahas tentang kemungkinan menerbitkan buku-buku bahasa Jawa. Penerbit dari Yogya itu Mas Haryadi, dari CV.Solusi Distribusi, Jl. Kusuma No. 582, Gendeng Baciro Yogyakarta. Dia lebih ingin menuntun pengarang menjadi penerbit buku, bukan sekedar jadi pengarang yang terima royalti saja. Saya memberi kartu nama, perempuan cantik itu juga minta. Dia pun juga memberi kartu namanya. “Kartu nama Mbak yang pakai huruf Cina, hilang,” ujarku. “Ya sudah lama, Pak, hampir 5 tahun yang lalu. Ini baru.” Di situlah saya baru tahu, namanya Vonny Budiarto. Masih tetap di Harian Surya (dan group Kompas/Grasindo), bagian Pemasaran Cetak. Karena itulah ketika siang-siang suaranya terdengar di telepon rumah dan menyebut namanya Vonny, saya segera bergembira bicara dengan dia. Apalagi inti bicaranya menunjukkan perhatiannya terhadap aktivitas saya.
Di buku Presiden Guyonan pemberian Mas Butet, halaman kosong pertama sudah diberi catatan Mas Butet, “Saya persembahkan buku ini bagi: leluhurku, guru2ku, sahabat2ku dan terutama: Ruli, Giras, Ucis & Galuh”. Maka saya ingin buku yang saya beli juga dengan catatan, urung kepada Mas Butet, saya inginkan dari Mas Johan, karena saya merasa Mas Johan juga sangat perhatian terhadap saya.
Pulang, saya masih bertanya-tanya, siapakah yang mengusulkan saya mendapat kehormatan sebagai penerima buku dari tangan Mas Butet. Saya tidak menuliskan nama pada buku tamu, dan tidak bertemu dengan orang-orang yang saya kenal. Memang bertemu juga dengan Mas Bonari, tapi hanya di akhir acara, dan tidak sempat bicara apa-apa. Apa dia pengusulnya? Hubungan Mas Bonari dengan Toga Mas juga dekat. Ketika saya tanyakan bukunya Mas Tiwiek SA bahasa Jawa Carang-Carang Garing yang terbitnya diseponsori oleh Mas Bonari saya tanya bagaimana cara memasarkannya, Mas Bonari mengatakan lewat Toga Mas. Saya tidak sempat bertanya kepadanya soal penunjukan saya sebagai penerima buku Mas Butet. Kemungkinan yang lain adalah Vonny, menilik aktivitasnya yang saya temui di pertemuan-pertemuan yang saya hadiri.
Ada selebaran yang terbawa dari acara tadi. Yaitu dari Toko Buku Diskon Toga Mas, yang mengajak mereka yang berminat usaha toko buku. Toga Mas membuka program partnership usaha toko buku, tiap kabupaten/kota hanya satu partner. Di situ dicantumkan syarat-syaratnya. Kepada mereka yang berminat harap berhubungan dengan Ian (081 6543 9681) atau Yimy (081 2522 1336). Toko Buku Diskon Toga Mas sudah ada di Malang, Denpasar, Yogyakarta, Surabaya, Depok Jakarta, Bandung. Juli 2005 saya pernah mengisi acara di Toga Mas Yogyakarta, atas undangan Mbak Ardini Pangastuti ketika peluncuran Majalah Kebudayaan Jawa Nilakandhi. Kalau di Surabaya, saya sering menghadiri maupun jadi pembicara tiap kali Toga Mas mengadakan acara bedah buku, sejak berada di Embong Malang, lalu di DWC, dan Jalan Diponegoro. Buku-buku saya penerbitan Narasi Yogyakarta, juga dipampangkan di toko buku tersebut.
Tentang bisnis buku, saya pernah juga membaca selebaran yang disebarkan lewat Toko Buku Gramedia Basuki Rachmat Surabaya yang mengajak Menjadi Penjual Bermental Harimau.... Kalimat-kalimat pertamanya: Penjualan 2008 terus menurun.... Daya beli semakin lemah.... Solusinya.... Penjual harus semakin CERDIK.... Kalau itu dikaitkan dengan bisnis buku, maka sebenarnya usaha bisnis penerbitan buku maupun pemerintah yang ingin memperbanyak perpustakaan di sekolah, sudah cukup gigih. Termasuk usaha pemerintah lewat buku murah yang disebarkan lewat e-book. Namun, toh, dari 200 juta penduduk Indonesia yang MEMBELI BUKU secara teratur tidak lebih dari 0,001%. Buku dicetak 3000 eks tidak habis selama 5 tahun. Banyak yang mengeluh, alasannya tidak membeli buku karena buku mahal, ada yang Rp 100.000,00 per buku. (Tapi kalau rokok atau pulsa HP, sebulan habis Rp 100.000,00 tidak terhitung mahal, terjangkau oleh kantong). Lalu, apa solusinya? Hanya satu hal. Bangsa Indonesia tidak punya budaya membaca buku dan menulis buku, sedang bangsa-bangsa yang maju berbudaya membaca buku dan menulis buku. Jadi yang belum digarap oleh pemerintah Indonesia selama Indonesia merdeka 63 tahun ini adalah: membudayakan putera bangsa membaca buku dan menulis buku. Di mana bangsa-bangsa maju membudayakan putera bangsa membaca buku dan menulis buku? Di usia awal sekolah selama 12 tahun. Sekolah usia awal 12 tahun adalah sistem membudayakan putera bangsa membaca buku dan menulis buku. Dan budaya membaca buku dan menulis buku adalah alat atau instrumen manusia menangkap ilmu pengetahuan terekam abadi, akibatnya membuat anak manusia menjadi cerdas. Ini yang tidak dilakukan oleh bangsa Indonesia sejak merdeka hingga sekarang. Biarpun ilmu pengetahuan diperberat diajarkan di sekolah sampai seumur hidup, tetapi kalau instrumennya (membaca buku dan menulis buku) tidak ada (tidak berbudaya membaca buku dan menulis buku) segala ilmu yang diajarkan akan tetap tidak diapresiasi dengan baik, instan, hanya sementara teerekam, bahkan segala ilmu itu akan segera dilupakan. Dan manusia penerima ilmu tadi kembali bodoh. Menjadi bangsa paria. Itulah bangsa Indonesia sampai detik ini.
Oleh karena itu, saya mohon, mohon, mohon, agar pendidikan usia sekolah dini 12 tahun yang paling utama tugasnya dijadikan sistem membudayakan putera bangsa berbudaya membaca buku dan menulis buku. Tidak ada jalan lain untuk mencerdaskan putera bangsa dan anak manusia, kecuali membudayakan mereka membaca buku dan menulis buku. Dan hasil pembudayaan yang terbaik adalah mendidiknya pada usia awal sekolah 12 tahun itu.
Semoga terkabul. Amin.
Home » Catatan » Akhir Desember 2008
Akhir Desember 2008
Posted by Admin on 24.12.08 // 2 comments
Terima kasih sudah disentil di blog ini. Kapan-kapan kami main lagi ke rumah Pak Suparto, sekadar bersantai dan minum teh.
Selamat membaca dan menulis!!
wah panjang sekali tulisanya pak saya baca separo dulu besok baca lagi