Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » HIKAJAT SOERABAIA

HIKAJAT SOERABAIA

“Mari kawan, jangan menganggur. Mari cari kerja. Cari kerja jadi pegawai susah, aku jualan singkong goreng. Di tengah kota banyak saingan, aku jual di pinggiran. Yang beli sedikit, lebihnya banyak. Sayang busuk dibuang, aku makan sampai kekenyangan. Modalnya tak kembali, aku bangkrut. Ada teman bernasihat, jualan saja barang yang awet tidak busuk. Dan kalau tidak laku bisa dipakai sendiri. Ikut nasihat teman aku jualan peti mati. Dengan pikiran barangnya awet, tidak membusuk. Dan kalau tidak laku bisa kupakai sendiri. Aku buat peti mati hari Rabu, hari Kamis selesai. Hari Jumat ibuku sakit, hari Minggu meninggal dunia. Peti mati belum laku, ibuku sendiri yang pakai.....”
Kisah itu diceritakan lisan di pentas, dengan gaya pantun atau bersyair “kidungan” atau “gandhangan” ludruk bahasa Surabaya. Ritme dan lirisnya pas. Misalnya bait awal ada kata Kamis, bait akhir ada kata menangis. Cara mendeklamasikan lancar, diiringi gamelan gendhing jula-juli. Yang punya kisah dan berpantun adalah Cak Kartolo, pemain ludruk warga Surabaya yang sangat populer saat ini. Digandhangkan di Gedung Cak Durasim Jl. Genteng Kali 85 Surabaya, Sabtu siang tanggal 21 Februari 2009.

Lanjutnya di pentas muncul pula Cak Sapari. Berdua berdialog dan juga berbuat lucu, penonton terbahak-bahak. “Mengapa kamu di sini? Diundang Pak Dukut, untuk peluncuran bukunya Hikayat Surabaya Tempo Dulu. Diberi honor berapa? Wah, kata orang Pak Dukut ini pelit, honornya sedikit. Lo, orangnya di sini, mari kita tanyakan, kita panggil naik pentas.”

Dukut Imam Widodo naik pentas, memakai celana dan jas hitam parlente.

“Anu, Pak. Kalau jasnya nanti mengkerut, berikan saja kepada saya, pas, Pak. Daripada dikatai Sapari katanya Pak Dukut pelit. Aku tahu kok, Pak Dukut tidak pelit. Ketemu di pasar Blawuran menyapa, Hei, Kartolo, dagangannya bagaimana? Kurang laku, Pak. Aku diberi Rp 50.000,00. Lain hari ketemu di pasar Keputran. Dagangan masih kurang laku, aku diberi Rp 100.000,00. Begitu kok dikatai pelit. Sebulan kemudian ketemu di pasar Wonokromo. Gimana dagangannya? Wah, lumayan laku, Pak. La kalau begitu kembalikan uangku dulu itu. Semuanya ditambah bunganya 15%....!”

Dukut Imam Widodo, penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe, Grissee Tempo Doeloe, Malang Tempo Doeloe, hari itu menyelenggarakan acara peluncuran bukunya yang baru, Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe. Acaranya ketat dengan peristiwa-peristiwa yang mempesona didukung teknis penyelenggaraan pentas yang profesional. Ada pengiring musik hidup yang melagukan lagu-lagu khas tentang Kota Surabaya, pembawa acaranya dua bahasa, Indonesia dan Inggris, latar pentasnya sorot tentang buku yang diluncurkan dan gambar Kota Surabaya lama, ada layar besar lain yang digunakan memutar video, pembicara penyambutnya: Wawali Surabaya Arif Afandi, Sekjen Dewan Kota Surabaya Pinky Saptandari, sastrawan Surabaya Budi Darma. Para pengunjung diikat sampai akhir acara dengan door-prize barang berharga dan berguna (misalnya sepeda) yang nomornya dapat prize ditaruh di kardus suguhan yang diterima pengunjung waktu mendaftar di buku tamu, dan juga ada kuis yang ditanyakan setiap ganti acara.

Acara pertama diputarkan video perkenalan siapa Dukut Imam Widodo, di mana lahir, apa yang dikerjakan. Di akhir acara nanti juga diputarkan video lagi, tentang kegigihan Dukut Imam Widodo menyusun buku-bukunya, mencari bahan, koleksi barang-barang aseli di Surabaya zaman dulu (misalnya kayu ukir hiasan kisi-kisi pintu rumah, ukirannya beda dengan ukiran di Solo atau Jogya, agak kasar tapi khas berjiwa dinamis Surabaya), uang zaman dulu, pengering tinta yang ada merknya Boekhandel van Dorp Soerabaia, pernik-pernik lain misalnya gelas minum dengan merk Hotel Oranje Toendjoengan Soerabaia, botol obat dengan merk Aphoteek Rathkam Soerabaia, dan kumpulan foto-foto. Baik narasi video, maupun teknik pemutarannya telah disiapkan dengan sebaik-baiknya, sehingga penonton seperti menonton TV saja, tidak terganggu kesalahan teknik maupun “menunggu waktu”.

Wawali Arif Afandi bicara tanpa teks, mengungkapkan “How to Read, and How to Write”.Dulu dia melihat Surabaya zaman dulu adalah Wonokromo, yaitu karena membaca novel Pramudya Ananta Tur. Itulah kekurangan kita. Yaitu tidak ada buku sejarah yang ditulis, dan tidak banyak orang Surabaya sekarang yang membaca buku sejarah. Misalnya tentang Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Orang tahunya hanya Bung Tomo. Padahal kan banyak pejuang yang ikut jadi pahlawan dalam peristiwa itu? Buku Pak Dukut adalah sumbangan yang sangat berharga untuk mengenang, mempelajari, dan memberi pelajaran bagi generasi sekarang dan yang akan datang tentang sejarah Surabaya. Namun, buku Pak Dukut yang lalu-lalu dinilai terlalu berat. Berat narasinya, berat bukunya, dan berat harganya, sehingga pembacanya sangat terbatas. Buku yang diluncurkan hari ini sudah mencair lebih gampang dicapai makna bacaannya, maupun harganya. Mudah-mudahan laris.

Dalam sambutannya Sekjen Dewan Kota Surabaya Pinky Saptandari mengatakan Kota Surabaya merupakan kota besar sekaligus kota berusia tua yang lengkap, tampil sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, pembawa perubahan nilai-nilai sosial, penyedia ruang dan juga sebagai pemelihara warisan budaya yang telah ada sejak tempo doeloe. Sejarah perjalanan kota Surabaya sejak tempo doeloe sebagai kota dagang, kota budaya, ataupun kota pahlawan merupakan informasi yang menarik untuk diketahui, terutama untuk generasi penerus bangsa. Buku “Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe” garapan Dukut Imam Widodo menjadi referensi penting bagi mereka yang ingin mengenal kota Surabaya secara utuh sejak tempo doeloe. Tidak saja sejarah secara fisik, juga aspek sosial budaya hikayat tempo doeloe, menarik untuk diketahui dalam konteks pembangunan kota Surabaya kini dan masa depan. Sayangnya karena buku sejarah Kota Surabaya sangat jarang ditulis oleh bangsa kita, dan putra bangsa pun tidak punya budaya membaca buku, maka tentang perjuangan Dr. Soetomo (yang masih leluhur Bu Pinky) sebagai tokoh Kebangkitan Nasional Indonesia pun tidak banyak yang tahu. Di mana Gedung Nasional Indonesia yang dibangun oleh Parindra yang terletak di Surabaya pun generasi sekarang tidak tahu. Sangat sayang, tidak banyak orang seperti Pak Dukut Imam Widodo. Bu Pinky menutup sambutannya dengan parikan seperti yang dipantunkan oleh Cak Kartolo: Belanja duku ke pasar Kalasan. Banyak baca buku menambah wawasan. Ada cocak dan perkutut, terbang melesat ke angkasa raya, memang hebat Cak Dukut, mengangkat sejarah Kota Surabaya.


Sastrawan Budi Darma merasa sangat bahagia dengan adanya buku-buku sejarah garapan Dukut Imam Widodo. Merasa bersyukur bahwa ada bangsa kita yang mau dengan tekun menulis buku sejarah. Tempo dulu memang sudah ada sastrawan yang menulis tentang Surabaya, misalnya Idrus dengan novelnya “Surabaya” yang menceritakan perjuangan Arek-arek yang tidak berpengalaman perang melawan pasukan Inggris Oktober-November 1945, Idrus menyebut pejuang-pejuang itu sebagai cowboy, Dan waktu ini ada penulis asing yang sedang menulis buku tentang Surabaya, yaitu Ms. Judith M. Heimann (Amerika) tentang Surabaya tahun 1962, ketika kita sedang merebut Irian Jaya. Ya menerbitkan buku sejarah, itulah yang sangat kita perlukan. Hanya dengan menerbitkan buku sejarah peradaban itu bisa dipelajari, ditilik, dan dijadikan sumber penataan peradaban masa depan. Masyarakat membaca buku adalah masyarakat transisi, yang membawakan/aspirasi masa lalu ke inpirasi masa depan. Pak Dukut dengan rendah hati tidak mau disebut ahli sejarah. Menilik kedudukannya di masyarakat, dia tidak punya pendidikan akademi sejarah, memang patut dia menyebutkan dirinya sebagai “pemulung data sejarah”, bukan ahli sejarah. Tetapi apa yang telah diperbuat dengan buku-bukunya “Soerabaia Tempo Doeloe”, “Grissee Tempo Doeloe”, “Malang Tempo Doeloe” adalah suatu prestasi besar. Kecintaannya mengumpulkan data dan kemudian menyusunnya jadi buku, merupakan achievement yang sangat tinggi kualitasnya. Dukut, dalam bukunya yang diluncurkan sekarang ini, tidak saja mendata benda-benda mati seperti benda kuno di museum, melainkan dia menghidupkan kembali karakter-karakter yang dijumpai dalam tokoh masa lalu. Dengan kepiawainya sebagai penulis novel (Dukut juga telah menulis beberapa buku novel), Dukut memberikan narasi temuannya dengan lelucon-lelucon yang menggelitik, membuat pembacanya sering tersenyum atau bahkan tertawa bahak-bahak. Misalnya terbaca dalam bab “Monggo Dipun Sruput, Embong Mambeng, Ulang Taune Ratu Landa”, dan sebagainya. Buku “Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe” sangat cair, pembacanya tidak mengerutkan dahi, tidak membosankan.

Dalam sambutan lisan penutup acaranya Dukut menjelaskan, ia kelahiran Malang, pergi ke Surabaya bukan dengan cita-cita menulis buku atau menjadi novelis. Menjadi novelis karena kepepet. Sebenarnya ia ingin melukis. Tetapi pengalaman membuktikan bahwa dia menjadi penulis buku sejarah. Dia bersemangat mengumpulkan data sejarah selanjutnya berhasil menerbitkan buku seperti sekarang ini antara lain dipicu oleh teman-teman wartawan yang selalu mendukung kreativitasnya, antara lain Rudi Zaki, Imung Mulyanto, Lufti Subagyo, Arif Santosa, Kiki Irnawati. Dukut menghaturkan terima kasih kepada mereka.

Di antara jeda pergantian acara disela pengumuman door-prize, suatu acara yang tentu diminati pengunjung, dan kuis pertanyaan dengan hadiah langsung. Pertanyaan kuis yang dibagi dalam beberapa jeda, antara lain: “Siapakah nama kecil Sawunggaling? (Joko Berek); Jalan Basuki Rakhmat dulu namanya jalan apa? (Embong Kaliasin); Balai Pemuda dulu namanya apa? (Simpang Sociëteit); Jalan Walikota Mustajab, dulu namanya apa? (Ondomohen); Surabaya Plaza dulu namanya apa? (CBZ=Centrale Burgere Ziekenhuis = Rumah Sakit Umum Pusat); Jembatan Petekan dulu...yang membuat siapa? (namanya Velwerda-burg, insinyirnya tidak terjawab); Walikota Surabaya bangsa Indonesia yang pertama siapa? (banyak yang menyebut Dul Arnowo, tetapi yang benar adalah Rajamin Nasution).” Dari pertanyaan itu yang dijawab benar oleh orang muda hanyalah pertanyaan pertama, Sawunggaling nama kecilnya siapa? (Joko Berek). Sedang yang lain terjawab oleh orang yang lanjut usia. Jalan Basuki Rakhmat dan Balai Pemuda terjawab oleh Cak Kadaruslan (78 tahun), Surabaya Plaza dan Walikota Surabaya pertama oleh Suparto Brata (77 tahun). Jembatan Petekan, tidak ada yang bisa menjawab.

Buku “Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe” ini menurut pengakuan Dukut bukan buku sejarah, melainkan buku hiburan yang mencerdaskan. Tebalnya 825 halaman dicetak dalam 3 jilid dengan hiasan ratusan foto Surabaya tempo dulu. Pengerjaan buku tadi berlangsung selama 20 tahun.

Anda kepingin memiliki? Sudah banyak beredar di toko buku dan bahkan restoran atau hotel di Surabaya, Malang, Sidoarjo, Gresik. Atau kirim uang Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) ke: Dukut Imam Widodo, Jl. Wiguna Tengah IX/7 Surabaya 60294, Anda dapat satu set buku “Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe” (tiga jilid).

Suparto Brata
Surabaya, 24 Februari 2009.



Tags:

0 comments to "HIKAJAT SOERABAIA"

Leave a comment