Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » Catatan Oktober 2008

Catatan Oktober 2008

Rabu, 8 Oktober 2008.

Mataku memang sudah rabun. Apalagi malam hari, tidak berani saya pergi ke luar rumah. Kalau ada undangan atau acara malam hari, sering saya tidak datang, meskipun saya ingin sekali datang. Tentu jauh hari sebelumnya aku tanya Tera, apa Mas Yudi bisa mengantar. Seringkali saya tidak tanya, karena saya tahu tiap orang pasti punya agenda sendiri. Maka kalau ada undangan siang hari dan aku mau hadir, saya pasti pergi sendiri, sudah saya rancang bagaimana bisa sampai di tempat acara agar tepat waktu, naik bemo (angkutan kota) apa, uang receh untuk bayar angkutan juga sudah saya siapkan.
Rabu, saya ditelepon Mas M. Wijotohardjo, redaktur PS, diundang Panjebar Semangat, halal-bihalal keluarga PS sambil peringatan 75 majalah PS di Restoran Nur-Pasific Jalan Gubeng Raya, jam 18.30. Hari itu masih termasuk hari Lebaran, Neo sekeluarga (anak saya nomer 3 yang tinggal di Jakarta) malam terakhir di Surabaya, berangkat kembali ke Jakarta nanti jam 03.00. Sudah berencana, hari itu tidak masak (pembantu belum datang), mau makan bebek di Tugu Pahlawan. Jadi, berangkat 2 mobil dengan anak-anak, rumah kosong, saya diantar dulu ke Restoran Nur-Pasific. Nanti kira-kira jam 21.00 Tera yang jemput. Hari hujan, hujan pertama setelah kemarau panas. Masuk restoran, ternyata pertemuan keluarga PS di lantai 3A. Belum banyak tamu, tetapi penyanyi dari restoran sudah menyanyi-nyanyi. Sayang musik dan nyanyinya terlalu nyaring, hingga sulit bagi hadirin bicara satu sama lain. Hal seperti ini, sudah tiap kali saya alami pada pesta-pesta. Musik tidak lagi menghibur tapi sudah mengganggu para pengunjung pesta untuk berakrap-akrapan. Pertemuan yang sebenarnya saling bertukar kabar berita keluarga, jadi terdiam karena musiknya terlalu nyaring.

Ini memang pesta keluarga PS. Redaksi, tata-usaha, percetakan, pengantar, masing-masing datang dengan keluarganya (istri dan anak-anaknya). Para penulis kontributor dan relasi lain yang diundang hanya yang ada di kota Surabaya saja.

Saya duduk berkenalan dengan Pak Ki Nayantaka. Usianya sudah 86 tahun. PS selama 2 tahun ini tiap terbit sampul belakang luarnya gambar wayang dengan tata warna (dan kertas sampul) yang indah. Di baliknya ada ringkasan cerita satu halaman yang menerangkan siapa gambar wayang itu. Itulah karya Ki Nayantaka di Panjebar Semangat. Sudah berkumpul begitu banyak, saya mikir-mikir, alangkah baiknya kalau gambar wayang yang telah diterbitkan oleh PS itu dihimpun diterbitkan jadi buku dengan teks seperti di PS tadi. Tentu itu buku sumber budaya yang adi. Apa lagi andaikata diterbitkan jadi buku selain teks bahasa Jawa, diberi teks bahasa Inggris. Bisa jadi cendera mata dinas pariwisata yang ampuh untuk disebarkan ke masyarakat maupun ke luar negeri. PS sendiri tentu tidak mampu menerbitkan buku begitu. Apakah pihak pemerintah atau penerbit swasta tidak ada yang berminat?

Sudah beberapa lagu dinyanyikan, suasananya menjadi monotoon. Pertemuan belum juga dibuka. Jam 20.00 saya terima SMS dari Tera, mobil jemputan sudah menunggu di tepi jalan di depan restoran. Saya balas, pesta belum dimulai.

Pesta menunggu Mas Moechtar, pemimpin redaksi/penanggung jawab. Datang terlambat karena taksi terlambat menjemputnya. Rumahnya juga kosong karena pembantu pulang mudik. Jam 20.30 pesta baru mulai. Hidangan prasmanan. Setelah makan (cepat-cepat) saya pulang, kasihan Tera sekeluarga menunggu di depan restoran.


Kamis, 9 Oktober 2008.

Neo sudah SMS jam 08.00 sudah di Pantai Rembang. Hari ini saya dapat undangan (dengan surat, diantar oleh anggota sendiri, bukan kurir atau pos) di Restoran Fu Yuan Palace, jam 18.30, acara Halal Bihalal. Pengundanganya Perkumpulan Marga Huang Jawa Timur, Perhimpunan Indonesia Tionghoa Jawa Timur, Yayasan Margo Utomo. Mas Yudi saya tanya, bisa mengantar. Di kartu selain nama saya, tercetak: Berlaku 1 orang. Nggak apa, sementara saya di restoran nanti Mas Yudi mengajak anak-anak pergi ke Toko Buku Gramedia, tidak jauh dari restoran..

Restoran Fu Yuan Palace terletak di Jalan Pregolan 1-3-5 Surabaya. Jalan Pregolan yang saya ingat, dulu tahun 1970-an, ada rumah yang ditempati oleh D. Subali, seorang redaktur budaya Jawa Pos. Saya pernah diundang diskusi beberapa kali di situ. Dalam sejarah (September 1945), ada rumah di Jalan Pregolan yang dijadikan markas oleh BKR Surabaya, Sungkono. Saya tidak menyemak lagi fisik pembangunan Kota Surabaya, ternyata Restoran Yuan Palace sebuah gedung di pojok utara Jalan Pregolan, tempat mobil menurunkan penumpangnya harus menanjak cukup tajam.

Begitu turun dari mobil, beberapa penerima tamu mempersilakan dengan akrab saya masuk gedung. Terus terang, saya tidak kenal wajah-wajah itu. Apalagi hari sudah malam, mata sukar mengawasi. Tapi waktu masuk ruang depan dan mendaftar, ada perempuan muda penerima tamu yang menyebut nama saya dengan akrab, dan dia bilang pernah ke rumah saya, apakah saya pindah rumah? Wah, saya jadi tidak merasa asing lagi. Apa lagi setelah digandeng Lan Fang, pengarang Perempuan Kembang Jepun, saya dibawa ke meja di mana Cak Kadaruslan, perasaan saya menjadi lebih hangat. Lan Fang berperan penting dalam Perhimpunan Indonesia Tionghoa Jawa Timur dan Yayasan Margo Utomo. Desember 2007 Lan Fang pernah bedah bukunya Lelakon (Gramedia Pustaka Utama, 2007) di Fu Yuan sini, didukung sepenuhnya oleh keluarga besar Yayasan Margo Utomo. Meskipun hujan ketika itu hadir dalam bedah buku Audifax (moderator), Prof. Dr. Budi Darma, Phd (pengupas), Konsulat Jendral China, kepala Taman Budaya Jawa Timur, perwakilan Pusat Kebudayaan Prancis, pengurus perhimpunan INTI (Indonesia Tionghoa) dan para seniman Surabaya.

Selain Cak Kadar, selanjutnya malam ini di sekeliling meja kami ada Pak Budi Darma, Dwi Eko Lokononto (pemimpin umum & redaksi media online beritajatim.com), Charles Honoris (lawyer Hanafiah Ponggawa & partners), dan lain-lain. Cak Kadar, Ketua Pusura Surabaya, adalah teman seangkatan sekolah saya lulusan SMPN II Surabaya 1950. Dia masih sehat dan bersemangat, hanya pendengarannya yang katanya sudah terlalu kurang peka. “Seumur-umur kita harus bersyukur masih bisa menyaksikan Surabaya seperti ini”, bisik saya. Cak Kadar menjawab, “Pokoknya asal selalu berpikir, orang pasti sehat seperti kita.” Dia juga bercerita bahwa salah satu penghayatan hidupnya dipacu oleh keanggotaannya jadi pandu, pimpinan Pak Daha, baik waktu di Surabaya zaman Belanda, maupun ketika di Kediri zaman mengungsi 1945-1950. Kepanduan Lord Beden Powel, sangat mewarnai karakter hidup Cak Kadar. Dia juga bercerita telah menasihati Lan Fang, jangan mengubah namanya, untuk menunjukkan bahwa geliat sastra-budaya Surabaya ini didukung oleh berbagai komunitas yang berbeda-beda..

Dalam kesempatan itu Pak Budi Darma juga banyak bicara denganku. Beliau bertanya buku saya yang menceritakan zaman Orde Baru atau zaman ini apa saja. Beberapa yang saya sebut beliau sudah baca. Bahkan buku saya basa Jawa Suparto Brata’s Omnibus, beliau juga memberi pujian untuk cerita yang pertama (Astirin Mbalela). Yang aneh, beliau tanya, mengapa saya tidak beristeri lagi. Antara lain saya jawab, sisa hidup saya untuk mengibadahkan amanah Allah karena anugerah-Nya kesehatan, kebebasan memilih, dan kemampuan saya membaca buku dan menulis buku. Meskipun bebas memilih, tetapi saya tidak memilih menikah lagi. Saya tanya mengapa Pak Budi Darma bertanya begitu. Kata Pak Budi Darma banyak kawan dan mahasiswa sekitarnya rerasan tentang saya mengenai hal itu (saya kok tidak beristeri lagi).

Beberapa seniman juga saya lihat hadir, tapi karena tempatnya berjauhan saya tidak sempat menyapa. Ada Sasa, bergerak lincah ke sana kemari. Menyapa Pak Budi Darma dan saya. Sasa (Diana A.V.) public relation dari Lembaga Persaudaraan Fajar Timur, yang bergerak dalam Bugila (baca buku gila). Baik kepada Pak Budi Darma maupun saya dia mengundang untuk diskusi buku Lekra Tak Membakar Buku, Sabtu 18 Oktober 2008 di PB NU Gayungsari. Undangan lisan ini disertai pula keterangan bahwa Lekra itu lembaga kebudayaan Komunis, tapi tidak membakar buku dan itu akan diulas di gedung milik NU. Saya bilang, kalau diadakan siang hari, saya usahakan hadir. Kalau malam hari, maaf, saya tidak berani pergi ke luar rumah sendirian malam hari.

Sampai jam 20.00 acara halal-bihalal belum resmi dibuka. Di meja kami juga masih kosong makanan. Hanya ditawari minum. Saya tanya coca-cola, tidak ada. Yang tersedia hanya teh dan air putih. Ya saya minta air putih, karena minuman saya sehari-hari memang air putih. Meskipun di rumah cucu-cucu sering dapat dan suka minuman macam-macam (coca-cola, Marjan, himaviton, pocarisweat, dan sebangsanya) yang diperoleh gratis dari relasi Mas Yudi, tapi saya tetap minum rutin air putih, tidak ikut minum macam-macam tadi. Cak Kadar juga gelisah, karena saat ini dia juga diantar oleh anak menantu dan cucu-cucunya yang kini menunggu di mobil, di depan restoran.

Ternyata acara resmi dibuka menunggu kelengkapan datangnya tamu-tamu terhormat, antara lain Walikota, pimpinan NU, pimpinan Mohamadiah Jawa Timur/Kota Surabaya. Walikota tidak datang, diwakili wakilnya, Pak Arif Afandi. Acara resmi dibuka dengan pidato-pidato, baik dari yang punya gawe maupun para undangan terhormat. Lalu hidangan makan mulai diedarkan. Tidak prasmanan ambil sendiri seperti waktu di Nur-Pasific/PS, tetapi digilir porsi demi porsi. Saya tidak begitu hirau terhadap makanan, lupa apa saja yang dihidangkan awal-awal tadi, makanan ringan. Tapi waktu awal hidangan ke dua berakhir, Cak Kadar HP-nya bunyi, ternyata cucunya minta pulang. Dia pun pulang. Saya pun mengikuti aksinya, yaitu ketika hidangan ke tiga baru diedarkan, saya ingat, itu mi, makanan berat. Saya tidak sempat makan. Mas Yudi sudah siap di depan restoran, cucu pada tidur.

Sampai di rumah saya betul-betul baru makan (nasi).

Dua hari berturut-turut diundang halal-bihalal bertempat di restoran, selalu makannya tertunda-tunda. Tera bilang, “Besok lagi, meskipun undangannya di restoran, sebaiknya Bapak sebelum berangkat dhahar dahulu. Toh yang dipentingkan Bapak bukan makanan di restoran, tetapi pertemuannya. Bapak toh bukan orang yang berselera makan neka-neka.”

“Yang saya sesali, mengapa sampai sekarang orang Indonesia masih selalu menunda dimulainya acara yang telah dijadwalkan. Jam karet, molor. Tidak menghargai waktu atau umur orang lain. Ini juga harus diberantas!” tukasku. Apa perlu diatur dengan undang-undang, ya?


Sabtu, 18 Oktober 2008.

Sehari sebelumnya, Jumat, saya dapat telepon dari Sasa, bahwa bedah buku tidak jadi di NU Gayungsari, melainkan pindah ke Gedung Kesehatan Jalan Bendul Merisi 7, Sabtu jam 0900. Tempat itu saya lebih jelas tahu daripada di Gayungsari. Jadi, saya pun datang. Ruangannya enak. Saya tanya, mengapa pindah ke situ? Pada hal saya lihat di internet undangan juga disebutkan di Gayungsari. Sasa mengatakan, tidak tahu tiba-tiba Gayungsari membatalkan. “Apa ada hubungannya dengan luka lama, yaitu antara Lekra dengan NU?” tanyaku. Sasa tidak mau menjawab.

Acara lengkapnya adalah pemilihan PK PMII Unesa masa pergerakan 2008-2009, serta launching buku Lekra Tak Membakar Buku (suara senyap lembar kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965). Buku ini karya Muhidin M. Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri. Pembedah buku adalah Halim Hadi (Solo). Sidang dihadiri pula oleh ex. Ketua PMII Unesa Surabaya, Dr.H.A.Fathoni Rodli, M.Pd., yang sekarang jadi Ketua Umum Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Pusat, (The National Council of Private Education), d/a Ditjen Mandikdasmen, Jl. R.S.Fatmawati, Cipete Jakarta Selatan 12410.

Buku Lekra Tak Membakar Buku adalah kumpulan segala macam tulisan yang pernah dimuat pada lembaran budaya di surat kabar Harian Rakjat. Inilah “buku putih” yang menjelaskan “apa adanya” kerja-kerja kreatif yang dihasilkan oleh para pekerja kebudayaan Lekra dengan seluruh aliansi ideologisnya, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI), tulis Prof. Dr. M.Syafii Maarif, guru besar sejarah, cendikiawan Muslim dan mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah serta penerima Magsaysay Award 2008 (tertulis di sampul belakang luar buku ini).

Saya mengalami zaman-zaman itu (1950-1965). Tiap kali ada pengerahan masa atas nama rakyat, disalut dalam pesta berkesenian, festival wayang, ludruk, drumband, lagu-lagu rakyat, Pekan Pemuda. Kegiatan kesenian rakyat (kerumunan massa) dikerahkan betul. Mengerikan juga, tiap kali ada kerumunan massa, meneriakkan yel-yel “ganyang imperialis-kapitalis”, “ganyang Nekolim!”, “ganyang setan kota!”, menyanyikan lagu-lagu daerah, “rakyat yang menjadi hakim!”, wajah rakyat mengganas. Pakaian mereka hitam-hitam, mengenakan ikat kepala merah, dan kalau sudah berpakaian begitu mereka “berani mati!”. Sifat-sifat kekerasan massa memaksakan kehendak nyata sekali. Ada yang mereka musuhi, ada yang harus mereka kalahkan dengan kekerasan. Siapa tidak sejurus dengan tujuannya akan diberantas. Mereka merasa besar, merasa kuat, berkumpul begitu merasa sangat banyak. Karena merasa banyak maka yang sedikit harus dipaksa menurut kehendaknya. Asu gedhe menang kerahe. Itulah politik. Mereka melakukan politik sebagai panglima. Dan kebudayaan serta kesenian rakyat menjadi dasar alat politiknya.

Lekra, Lembaga Kesenian Rakyat, politik sebagai panglima, dangan banyaknya peristiwa kesenian (rakyat) yang mengerumunkan banyak orang, dan sementara mereka berkesenian ada yang dibenci (kapitalis, imperialis), maka gerakan tadi terkesan banyak orang, mereka rakyat yang miskin dan bodoh, tetapi merasa besar (kerumun orangnya) dan benar, mereka membenci yang tidak sepaham (tidak terlihat dalam kerumunan, pastilah tidak banyak jumlahnya, lebih kecil dari kerumunan orang yang terlihat), maka tindakan mengancam mengalahkan golongan yang lebih kecil itu mudah sekali terlaksana (anarkis). Andai kata waktu itu ada orang lewat dekat kerumunan rakyat yang kelihatan mewah (tidak miskin) tentu orang lewat tadi dianggap antek Nekolim, tidak sefaham dengan kerumunan rakyat miskin, bahkan bajunya tidak seragam hitam-hitam, orang lewat tadi sudah jadi bulan-bulanan. Jadi zaman itu terasa sekali, kerumunan orang yang banyak, besar, tapi miskin, bodoh (rakyat jelata) merasa tertindas, membenci, mengancam, menghancurkan golongan (bangsa sendiri) yang tidak sefaham, kecil, mapan karena mengikuti faham lain (waktu itu kapitalis/imperialis). Negara tidak aman karena gerakan ini: kelompok yang besar (tapi miskin, bodoh, merasa tertindas) ingin menghancurkan kelompok lain yang lebih kecil, tidak sepaham, kecil tapi mapan. Ingin menghancurkan kelompok yang tidak sefaham, karena faham yang dianut adalah faham yang benar sendiri. “Darah rakyat masih berjalan, menderita sakit dan miskin......Rakyat yang menjadi hakim!” itulah nyanyian mereka. Mereka menghendaki negara kesatuan, satu faham: komunistik, pada hal Indonesia adalah negara persatuan. Selama pergolakan seperti itu, maka Indonesia tidak pernah aman, dan akan menuju kehancuran. Nekrofilia.

Mengenang hal itu, saya merasa sejarah kekerasan tekanan massa memaksakan kehendak dan benar sendiri berulang. Kita tidak beranjak dari masa lalu menuju damai sejahtera bersama. Sampai sekarang pun kita merasa tekanan kekerasan asu gedhe menang kerahe, yang sedikit harus menurut kehendak yang banyak. Kelompok yang sedikit, tidak dipelihara untuk ikut bahagia di negeri ini, karena itu harus dihancurkan. Tunggak jarak padha mrajak, tunggak jati padha mati.

Dalam cerita wayang purwa sudah sangat populer dijiwai oleh orang Jawa, Bala Kurawa yang banyak (100 orang bersaudara), bodoh, serakah, digurui oleh Pendita Durna yang kekok akalnya, selalu ingin merebut kekayaan dan kekuasaan saudaranya Pendawa (5 orang), tetapi selalu kalah. Sungguh aneh, kalau cerita wayang Mahabarata yang berabad-abad menjadi suri tauladan orang Jawa itu menjadi kenyataan di negeri Indonesia dari masa ke masa. Lalu, apa yang diperoleh dari suri tauladan itu?


Rabu, 29 Oktober 2008.

Dari baca agenda kota di Jawa Pos, saya menghadiri Kuliah Tjokroaminoto untuk Kebangsaan dan Demokrasi, yang diselenggarakan FISIP UNAIR, dengan tema “Strategi Kebudayaan Indonesia Pasca 80 Tahun Sumpah Pemuda”. Pembicaranya Sri Sultan Hamengku Buwono X. Seperti pada jadwal, saya sudah di Gedung C, Lt 3 jam 09.30. Tetapi karena pesawat Lion Air dari Yogya tertunda keberangkatannya, maka baru jam 11.00 Ngarso Dalem berceramah memberi kuliah.

Namun, selama menunggu dimulainya kuliah, hadirin tidak merasa bosan. Karena secara spontan acara diisi oleh dosen FISIP Pak Suko Widodo dengan kocak mengajukan dialog dengan para hadirin (yang ternyata tokoh-tokoh terkenal Kota Surabaya bidang apa saja, ada sepak bola, ada pelawak, ada budayawan, ada anggota DPRD, guru-guru pelajaran sejarah dan mahasiswa), serta merta dengan begitu beliau mengutarakan bahwa Kuliah Tjokroaminoto untuk Kebangsaan dan Demokrasi adalah kuliah bulanan dengan mengundang pembicara tokoh-tokoh yang diharapkan punya peduli dengan Kebangsaan dan Demokrasi, tidak melihat kedudukan atau jabatan apa mereka itu. Bisa politikus, budayawan, akademisi, bisa orang asing, tokoh nasional, tokoh lokal di bidang apa saja. Moment kuliah ini tidak digunakan sebagai ajang politik. Meskipun hari ini yang berbicara Sri Sultan yang kebetulan siang harinya kemarin mengumumkan diri untuk menjadi Capres, tetapi kuliah hari ini harap tidak digunakan sebagai ajang propaganda politik. Selain untuk umum dan undangan, terutama guru-guru, penyelenggaraan kuliah Tjokroaminoto untuk Kebangsaan dan Demokrasi ini sehabis kuliah menyediakan makan siang, dan untuk para guru disediakan sertifikat kehadirannya pada kuliah ini (langsung diberikan setelah kuliah hari itu selesai)..

Akhirnya Ngarso Dalem datang. Dalam kuliahnya antara lain mengemukakan tentang bahwa Indonesia ini negeri yang terdiri dari berbagai pulau, suku, budaya, kesenian. Didirikan negara ini dari banyak perbedaan yang dipersatukan. Tidak mungkin misalnya seperti zaman Orde Baru, negeri ini dijawanisasikan. Tidak mungkin kita membuka suatu acara di Papua dengan memukul gong, sebab di Papua tidak ada budaya gong. Jadi di negeri ini, perbedaan harus dijunjung tinggi, harus saling dihormati, diajak maju bersama untuk sejahtera, tidak memperhitungkan besar-kecilnya, dalam hidup berbudaya beda-beda bersama tidak yang besar pasti menang dan hidup makmur, yang kecil jadi korban. Bukan karena orang Jawa terbanyak di negeri ini maka adat kebudayaan dan segala kehidupan Jawa harus mendominasi di seluruh negeri. Lihatlah Sumpah Pemuda 80 tahun yang lalu. Meskipun waktu itu bahasa Jawa paling banyak yang mengucapkan, paling lengkap dan paling tua berada di negeri ini, tetapi bukan bahasa Jawa yang dijadikan persatuan bangsa, melainkan bahasa Indonesia. Para pendiri dan pemikir bangsa ini sudah menggariskan teladan. Jadi dalam menyelenggarakan negeri ini, etnis yang kecil dan sedikit pun harus diajak maju bersama bahagia seperti sifat-sifat dasar penghayatan budayanya masing-masing. Itu kekuatan kita bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak pulau, bukan negeri yang berada di kesatuan benua. Penghayatan budaya daerah atau pulau kecil harus ikut hidup makmur, tidak harus ditindas. Indonesia ini negera agraris, kepulauan, maritim jadi harus itu yang dijadikan strategi untuk membangun harkat hidup rakyatnya. Dalam UUD tercantum Bhinneka Tunggal Ika sebagai simbul negara. Marilah kita ubah, bukan sebagai simbul negara belaka, melainkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai strategi perjuangan hidup bangsa Indonesia. Ke mana pun arah pambangunan bangsa, dasarnya harus persatuan bersama dari berbagai budaya lokal setempat-setempat yang berbeda-beda, baik lokasinya maupun budaya dan penghayatan hidupnya. Kita berjuang dengan bentuk budaya berbeda-beda dalam persatuan bersama mencapai kejayaan, keadilan dan kesejahteraan bangsa; bentuk penghayatan budaya yang berbeda-beda harus tetap terpelihara. Tidak dibunuh oleh budaya etnis yang terbesar, tidak juga dibunuh oleh gelombang global yang berujud ekonomi, tehnologi, agama, informasi dan lain-lain. Gelombang global tidak akan membunuh, melainkan menjadi sarana dan prasarana pertumbuhan kejayaan bangsa bersama.

Begitu antara lain kuliah Sri Sultan Hamengku Buwono X siang itu. Maaf, tidak saya catat secara lengkap-akurat, melainkan saripatinya saja yang saya apresiasi sesaat. Sri Sultan Hamengku Buwono X berbicara tanpa teks, jadi sangat mungkin pendengaran saya meleset menangkapnya.

Kuliah berakhir jam 15.30. Sekali lagi saya menghadiri acara yang molor waktunya. Tapi siapa yang salah di sini? Teknologi penerbangan.

Tags:

0 comments to "Catatan Oktober 2008"

Leave a comment