Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » MENUMBUHKEMBANGKAN KEHIDUPAN SASTRA JAWA

MENUMBUHKEMBANGKAN KEHIDUPAN SASTRA JAWA

Oleh Suparto Brata



Seminar Sehari Sastra Jawa
Taman Budaya Jawa Tengah
Solo, 13 Juli 2008



Oleh Panitia saya diberi tema: Peranan Masyarakat, Institusi Pendidikan dan Kebudayaan, dan Media Massa Dalam Menumbuhkembangkan Kehidupan Sastra Jawa. Sastra adalah bahasa lisan yang ditulis. Sastra Jawa adalah bahasa Jawa tutur yang ditulis. Oleh karena itu sebelum saya bicara soal sastra Jawa, terlebih dulu saya memberi gambaran sekilas bahasa Jawa yang dituturkan orang saat ini.

Tahun 2003 Ayip Rosidi berceramah di Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta, bahwa kemungkinan buku sastra Jawa bisa banyak terjual, karena penutur bahasa Jawa 70 juta orang. Tahun 2006, William P. Tuchrello, Field Director Library of Congress Office Southeast Asia, datang ke rumah saya langsung bertanya, penutur bahasa Jawa ada 80 juta orang, tetapi mengapa tidak ada bukunya? Dia mencari buku bahasa Jawa tidak ada. Apakah saya bisa menerangkan? Tahun 2008, di hadapan 200 kepala sekolah SD-SMP-SMK-SMA Negeri dan Swasta se Surabaya mengatakan, bahwa menurut UNESCO penutur bahasa Jawa sekarang 90 juta orang lebih.

Dari tahun ke tahun, jumlah penutur bahasa Jawa ternyata terus bertambah. Tidak susut. Dan itu jumlahnya sangat besar. Ada yang berkata: Penutur bahasa Jawa masuk nomer 8 terbanyak dituturkan orang di dunia saat ini.

Sebenarnya orang Jawa tidak perlu minder bicara bahasa Jawa.

Namun puluhan tahun terakhir ini para penutur/pemerhati/penggemar/pejuang bahasa Jawa prihatin, karena bahasa Jawa gejalanya kian hari kian tidak digunakan sebagai alat komunikasi antarkeluarga Jawa. Lebih-lebih di kota besar. Anak-anak (generasi muda) sudah tidak lagi berbicara bahasa Jawa. Kebanyakan orang Jawa hanya bisa mengeluh, dan merasa tidak berdaya lagi mencegah kemerosotan ini, dan membiarkan perkembangan melenyapkan bahasa Jawa tadi. Membiarkan, karena perkembangan pelenyapan bahasa Jawa itu TIDAK MERUGIKAN perkembangan anak-anak (generasi muda) dalam menghayati hdupnya.

Keterpurukan ini terjadi karena: Orang Jawa sudah tidak HANDARBĒNI lagi bahasa Jawa, tidak bangga dengan bahasa Jawa, dan ORA TRIMA ditakdirkan Allah sebagai orang Jawa. Gusti Allah disalahkan.

Beberapa gejala dari sikap tadi bisa disemak dari KENDALA berikut ini:

Kendala

* Mengeluh, mengkhawatirkan bahasa Jawa akan lenyap. Membiarkan, karena sudah sewajarnya mengikuti zamannya.

* Tidak merugikan perkembangan generasi muda. (Gak ngomong basa Jawa gak pathèken).

* 726 bahasa daerah ditengarai terancam punah akibat globalisasi teknologi yang semakin canggih dan meluas.

* Kurikulum 1975 yang mengharuskan sekolah dari TK sampai PT hanya berbahasa Indonesia. (Bahasa daerah hilang dari sekolah).

* Perkembangan TV swasta 1990 yang berpancar sepanjang hari hanya berbahasa Indonesia. (Mengurangi berbicara dan mendengar tuturan bahasa Jawa setiap waktu setiap tempat ada TV di dekatnya. Padahal, bocah Jawa di rumah tidak bisa lepas dari menonton TV).
Usaha Pelestarian dan Pengembangan (Politik Bahasa)
* Kesadaran berbahasa Jawa sebagai roh budaya Jawa yang adiluhung, mengatur tingkah laku kehidupan bangsa yang berbudi luhur, oleh karenanya harus dilestarikan dan diperjuangkan berkembangannya.

* Departemen Pendidikan mendirikan Balai Penelitian Bahasa di Yogyakarta (daerah bahasa Jawa).

* Tahun 1970-an ada kegiatan PKJT di Sasana Mulya Solo dipimpin Bp. Gendon Humardani, yang menyelenggarakan kegiatan serba seni bahasa Jawa, seperti pagelaran wayang singkat, pentas drama bahasa Jawa, penulisan sastra Jawa beserta diskusi problem-problemnya..

* Tahun 1991, prakarsa Gubernur Jawa Tengah Pak Ismail menyelenggarakan Konggres Bahasa Jawa.

* Konggres-konggres bahasa Jawa tiap 5 tahun sekali diselenggarakan di 3 provinsi penutur bahasa Jawa (Jawa Tengah, DIJ, Jawa Timur).

* Peraturan daerah melaksanakan hasil-hasil Kongres. Sifatnya memperhatikan, mendukung, memberi kemudahan, mencari jalan untuk menumbuhkembangkan bahasa Jawa.

* Misalnya Jawa Timur baru-baru ini (Juni 2008) Biro Mental Spiritual Propinsi menyelenggarakan Semiloka Menanggulangi Lunturnya Bahasa Daerah dan Sastra Jawa Propinsi Jawa Timur 2008.

* Pusat Bahasa (Jakarta) bersama Balai Bahasa (di daerah-daerah) dan Perguruan Tinggi melaksanakan pemetaan bahasa daerah (sebanyak 746). Akan diluncurkan pada Konggres IX Bahasa Indonesia 28 Oktober – 1 November 2008 di Jakarta. Peta bahasa daerah diharapkan membantu peran Pemerintah Daerah dalam upaya pelestarian /pertumbuhan bahasa daerah di wilayahnya.

* Sejak berlakunya otonomi daerah, upaya pengembangan dan pembinaan bahasa mengalami desentralisasi. Kebijakan mengenai bahasa Indonesia dan asing tetap menjadi wewenang Pemerintah Pusat. Sedang kebijakan bahasa daerah menjadi wewenang Pemerintah daerah.


Kegiatan masyarakat

* Adanya pentas-pentas kesenian yang menggunakan bahasa Jawa.

* Tumbuh perkumpulan/sanggar pengguna bahasa Jawa, seperti perkumpulan macapatan, pendidikan upacara adat Jawa, sanggar-sanggar sastra Jawa.

* Stasiun TV dan radio swasta menggunakan bahasa Jawa.



Sastra Jawa

* Segala sesuatu yang dilihat dan didengar dengan cara indrawi atau kodrati, akan luntur, akan hilang, tidak bisa dialihkan kepada orang lain lebih-lebih alih generasi. Jadi apa yang kita saksikan sekarang, apa yang kita lihat dan dengar sekarang, tidak bisa dilestarikan dan tidak bisa dikembangkan. Begitu juga bahasa tuturnya yang kita ucapkan dan dengar sekarang, akan selesai riwayatnya apabila tidak dituliskan. Tulisan bahasa tutur adalah sastra. Maka sastra adalah sarana untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa. Sastra Jawa adalah pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa tutur atau lisan.

* Sastra Jawa tidak mati. Sampai sekarang ada yang menulis (berkarya), ada yang menerbitkan karya sastranya, ada pembacanya.

* Sastra Jawa modern, konvensinya: ditulis dengan huruf ABC, bahasa narasinya ngoko, tanpa guru gatra, guru lagu, guru wilangan (gancaran).

* Sastra Jawa modern tumbuh bongsai karena ladangnya hanya di majalah bahasa Jawa. Umurnya pendek, begitu dipublikasikan, majalah nomor yang baru terbit, selesai riwayatnya. Namun pengarang sastra Jawa hilang tumbuh silih berganti, tetap ada sulih generasinya.

* Untuk menumbuhkembangkan dan melestarikan bahasa Jawa perlu sastra Jawa, untuk menumbuhkembangkan dan melestarikan sastra Jawa lebih lanjut perlu karya sastra Jawa diterbitkan jadi buku. SASTRA ITU BUKU, ilmu pengetahuan apa saja itu buku. Kiat hidup modern itu membaca buku dan menulis buku.


Buku Sastra Jawa Modern

* Menerbitkan buku ada dua tujuan utama, SANAK dan SATAK. Buku diterbitkan untuk dibaca, dinikmati isinya (tujuan sanak). Buku diterbitkan untuk barang komoditi, laku dijual, untuk mencapai keuntungan finansial (tujuan satak).

* Karena peminat baca buku sastra Jawa sangat kurang, maka buku sastra Jawa untuk diperdagangkan mencapai keuntungan finansial (sebagai benda komoditi) tidak diminati oleh penerbit komersial/profesional dan instansional (pemerintah).

* Oleh karena itu sejauh ini penerbitan buku sastra Jawa hanya atas prakarsa dan dorongan pengarangnya sendiri, umumnya dibeayai oleh pengarangnya sendiri. Untuk memperoleh keuntungan finansial (satak) atau setidaknya kembali modal (ROMI = return of marketing investment) pengarang/penerbit buku biasanya bertindak KKN. Menghubungi teman atau instansi suruh membeli bukunya. Cara ini selain sangat amatir juga tujuan pertama penerbitan buku (sanak) tidak tercapai. Buku tidak dibutuhkan dan tidak dibaca oleh pembelinya. Ya kalau buku sastra Jawa tidak dibaca, ya sama saja sastra Jawa tidak berkembang dihayati oleh masyarakatnya.
KIAT-KIAT MEMASARKAN BUKU
Karena sampai saat ini penerbitan buku sastra Jawa hanya diprakarsai sendiri oleh pengarangnya, maka pengarang yang berprakarsa menerbitkan bukunya agar bisa mencapai dua tujuan utama (SANAK DAN SATAK) harus sekalian punya kiat memasarkan bukunya. Pengarang yang menerbitkan bukunya harus menguasai:
Isi Buku
* Cerita harus menarik. Pengarang harus punya ilham yang kuat. Dipikirkan berulang-ulang, dimatangkan, sudah dipersiapkan cerita dari A sampai Z. Setelah ditulis, dikoreksi dan dikoreksi lagi sebelum dikirim ke percetakan.

* Punya gambaran wujud dan tebalnya buku. Standar buku komoditi ukuran 13X19Cm, tebal minimum 100 halaman.

* Sekat-sekatlah isi cerita dengan subjudul (bab).

* Hindarilah penulisan kalimat yang terlalu panjang. Hindari juga penulisan alinea yang terlalu panjang.

* Jangan terlalu panjang menulis pikiran tokoh. Jangan terlalu panjang menulis suasana. Lebih baik menuliskan gerakan tokoh, disela dialog, disekat ganti suasana atau ganti jalan cerita (misalnya disela flash-back). Menuliskan dialog pun jangan terlalu panjang berhalam-halaman.

* Jangan terlalu sering mengulang kata yang sama. Usahakanlah penyebutan kata yang sama artinya dengan padanannya, sehingga pembaca selalu menemukan kata yang baru, segar.

* Usahakan jangan menggurui pembaca. Sastra itu dulce et utile. Jangan menyiksa pembaca dengan pemikiran-pemikiran yang rumit. Hiburlah pembaca.

* Banyak pengarang sastra Jawa yang romantisme menjadi unsur pokok jatidirinya, sehingga menceritakan polisi jatuh cinta sama dengan dokter jatuh cinta. Lebih cenderung menceritakan perasaannya. Sangat jarang menyusun cerita yang profesi tokoh menjadi sebab dan akibatnya lakon. Karena itu pengarang sastra Jawa harus menguasai banyak profesi-profesi untuk dijadikan bahan ceritanya.

* Tulislah masalah yang wajar dengan cara yang tidak wajar, dan masalah yang tidak wajar dengan cara yang wajar (bisa dinalar).

* Untuk memperbaiki kualitas dan memperkaya ilham, pengarang sastra Jawa harus terus-menerus belajar, membaca buku orang lain, mempelajari teori sastra dan kritik sastra. Juga selalu memaksa diri menulis dengan memperhatikan konvensi-konvensi baku dalam penulisan cerita, ejaan, bahasa dan lain-lain. Kirimkanlah hasil karya itu kepada redaksi mass-media atau orang yang kritis menekuni sastra Jawa. Hasil tinjauan orang lain atas karyanya dijadikan pembelajaran diri sendiri. Menjadi pintar dari nasihat atau meniru orang lain itu bijak, menjadi pintar atas usaha dirinya sendiri itu munafik dan seringkali sesat.
Wujud Buku
* Judul buku harus menggugat, singkat, mengandung curiosity, menggigit, kontroversial, melawan kelaziman, provokatif, tapi mewakili isi cerita. Jangan menipu, jangan judul beda dengan isi ceritanya.

* Judul pada sampul depan harus ditulis jelas. Kata yang aneh, kontroversial, menggelitik ditonjolkan. Selain judul dan nama pengarang, bisa dituliskan keberhasilan buku tadi pada sampul depan, tapi singkat-singkat saja, jangan terlalu panjang.

* Untuk novel, sampul depan buku seyogyanya ada gambar tokoh wanita yang jadi lakon. Syukur sedang eksyen, tidak still life. Sampul depan sebaiknya tata-warna.

* Sampul belakang luar buku dituliskan kehebatan buku itu. Tentang ceritanya, tentang pengarangnya, tentang pujian yang disampaikan para pakar.
Pemasaran Buku Sastra Jawa
* Memasarkan buku sastra Jawa melalui KKN memang mencapai sasaran satak. Tetapi tidak mencapai sasaran sanak, alias stagnan, macet, tidak melestarikan dan juga tidak menumbuhkembangkan bahasa dan sastra Jawa.

* Memasarkan buku sastra Jawa agar memenuhi sasaran sanak, sebaiknya melalui pemasaran buku yang profesional, yaitu punya gerai atau toko buku. Di situ jelas yang membeli buku adalah yang butuh membaca atau ingin tahu isinya buku tersebut. Buku bakal dinikmati isinya. Kalau yang dibeli di toko buku sastra Jawa, ya sastra Jawa tumbuh berkembang (ada pengarangnya, ada bukunya, ada pembacanya, dan pembacanya bisa bertambah – sejilid buku dibaca oleh beberapa orang bergantian, disawalakan, -- dan bisa beralih generasi juga).

* Dipasarkan melalui iklan. Siapa yang membeli buku karena iklan tentu ingin tahu isinya, ingin membacanya. Sanak dan satak tercapai. Dalam hal perniagaan, biaya iklan biasanya 25% dari modal produksi. Tentu saja ini terlalu susah ditempuh oleh pengarang sastra Jawa yang menerbitkan bukunya dengan beaya sendiri, karena beaya iklan pada sehalaman di majalah untuk bukunya sama dengan beaya iklan memasarkan real estate.

* Mendorong penulis lain untuk meresensi bukunya di koran atau mass-media lainnya.

* Mengadakan bedah buku atau diskusi tentang bukunya.

* Teknik baru memasarkan buku (juga buku sastra Jawa) dengan Ebook (buku elektronik). Yaitu memasarkan buku seutuhnya melalui internet. Dalam hal ini pengarang bisa langsung memasarkan bukunya kepada pembaca, menghubungi pembacanya melalui internet. Berarti pengarang melakukan self-publishing. Pengarang mengetik bukunya, mengedit, membuat cover, persis seperti apa buku yang dicetak oleh penerbit, lalu menjualnya melalui internet. Untuk pengarang sastra Jawa teknik ini tentulah masih belum tercapai (penguasaan), tetapi teknik self-publishing ini kemudian hari pasti juga harus ditempuh kalau pengarang sastra Jawa ingin melestarikan dan mengembangkan sastra Jawa. Untuk belajar self-publishing, kemarin (3 Agustus 2008) saya menghadiri lokakarya self-publishing yang diselenggarakan di Gedung IKA-ITS Surabaya, diasuh oleh Sdr. Agus Harian, yang bisa dikunjungi juga di www.AyoMenulis.com/selfpublishing.
Buku adalah Pertahanan Terhandal
Bangsa kita terpuruk di segala bidang karena dilanda gelombang globalisasi (teknologi, ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain).

Identitas bangsa adalah budaya. Budaya bangsa tanpa kesenian tradisional akan lenyap. Kesenian tanpa bahasa daerah akan lenyap. Bahasa daerah tanpa sastra tulis, akan lenyap. Sastra tulis tanpa buku akan lenyap. Ada buku tidak dibaca, ya akan lenyap tak berguna. Buku tidak dibaca adalah benda mati. BUKU YANG DIBACA, DIBACA, DIBACA LAGI DAN DITULIS LAGI, DIBACA LAGI BERKALI-KALI ADALAH PERTAHANAN IDENTITAS BANGSA YANG PALING HANDAL.
Menumbuhkembangkan bahasa Jawa
(menanggulangi segala macam globalisasi)
Cita-cita luhur menumbuhkembangkan bahasa Jawa ada. Politik bahasa di Republik Indonesia sekarang ini mendukung. Bahasa Jawa tutur sastra tulisnya ada. Buku sastra Jawa diterbitkan, tetapi tidak dibaca dan tidak laku karena bangsa kita TIDAK PUNYA KEGEMARAN, KESENIAN, KEBUDAYAAN MEMBACA BUKU.

Jadi keterpurukan berbahasa Jawa (identitas bangsa terluhur) bangsa kita tersendat pada ketidakberbudayanya bangsa membaca buku dan menulis buku.
PENDIDIKAN SEKOLAH KEMBALIKANLAH
KEPADA FITRAHNYA
Di mana memberbudayakan putra bangsa membaca buku dan menulis buku? DI SEKOLAH. Sekolah (di seluruh dunia) adalah sistem membudayakan anak manusia membaca buku dan menulis buku. Oleh karena itu pendidikan di sekolah KEMBALIKANLAH KEPADA FITRAHNYA.

Membaca buku dan menulis buku adalah SARANA (jalan, infrastruktur) untuk menerima lalu lintas kendaraan (muatan ilmu yang diajarkan di sekolah). Oleh karena itu kalaupun muatan ilmu pengetahuan diperbaharui, dipermodern, dipercepat, diperindah, namun kalau sarana jalannya alamiah menurut kodratnya (murid menerima hanya dengan melihat dan mendengar --- kodrati) sarana jalannya tidak disentuh pembangunan (membaca buku dan menulis buku), maka segala ilmu pengetahuan yang dilewatkan jalan tadi pasti terperosok, dan tidak sampai pada sasaran tujuannya.

Karena itu, ajarkanlah, latihlah terus-menerus tiap hari di sekolah, sejak usia dini, sehingga putra bangsa ketika dewasa berkebudayaan meembaca buku dan menulis buku. Dengan berbudaya membaca buku dan menulis buku putra bangsa punya kiat hidup modern, sanggup menanggulangi segala macam gelombang globalisasi, kreatif, inovatif dan mandiri. Termasuk penguasaan bahasa Jawa.

Mengembalikan fitrah sekolah sebagai tempat membudayakan putra bangsa membaca buku dan menulis buku adalah rediscovery masa lampau yang hilang, perlu sekali ditambahkan pada tugas pendidikan yang telah diselenggarakan pada masa lampau.
Segala ilmu pengetahuan sudah direkam dalam buku. Dan akan terus ditulis dalam buku. Dalam segala bahasa dunia, termasuk bahasa Jawa. Untuk menguasai ilmu apa saja, harus punya budaya membaca buku dan menulis buku. Termasuk sastra Jawa, bahasa Jawa. SASTRA ITU BUKU.
SASTRA = BUKU. TEKNOLOGI = BUKU
EKONOMI = BUKU. POLITIK = BUKU
Untuk menanggulangi gelombang globalisasi, yaitu untuk mempertahankan kemurnian identitas bangsa maupun menumbuhkembangkan apa saja, putra bangsa harus berbudaya membaca buku dan menulis buku. Membaca buku dan menulis buku adalah kiat hidup modern. Kalau tidak punya budaya atau kebiasaan membaca buku dan menulis buku, dia atau mereka adalah orang-orang primitif, yang mencapai kemakmuran hidupnya hanya dengan pengalamannya, kesaksiannya, mendengar dan melihat, secara indrawi atau kodratnya. Sekolah 12 tahun adalah sistem membudayakan putra bangsa membaca buku dan menulis buku.
AKHIRUL KATA
Manusia ini adalah binatang yang menghayati hidupnya dengan menggunakan alat dan pikiran. Anak umur 3 tahun nonton TV, mengandalkan kodrat indrawinya (melihat dan mendengar) belum menggunakan alat bantu, belum menggunakan pikiran, masih mengandalkan naluri kodratnya, Belum jadi manusia. Yang berumur 30 tahun pun kalau begitu kebiasaannya (budayanya) dia pun belum jadi manusia.

Untuk mengemudikan mobil, bermain piano, membaca buku dan menulis buku, diperlukan perkenalan dengan barangnya (alat) dan berlatih cara menggunakannya (pikiran). Itulah tandanya bahwa makhluk itu manusia, bukan binatang.

Untuk mengemudikan mobil, manusia harus berlatih seminggu dua minggu, maka mahir mengemudikan mobil. Syarat utamanya ia harus dewasa. Untuk bermain piano, manusia harus berlatih setahun dua tahun membunyikan alat itu, baru mahir main piano. Syarat utamanya harus punya bakat. Kalau tidak punya bakat mungkin sudah berlatih 10 tahun, tetap saja tidak mahir main piano. Bakat itu bukan kodrat, oleh karena itu untuk mengembangkan bakat harus ada perkenalan dengan alatnya dan pelatihan terus menerus.

Membaca buku dan menulis buku itu juga bukan kodrat. Untuk menguasai atau berbudaya membaca buku dan menulis buku harus diperkenalkan dengan buku bacaan, dan menulis buku. Syaratnya? Untuk membudayakan tidak mungkin hanya sebulan dua bulan seperti kalau mahir mengemudikan mobil. Harus dilatih tiap hari membaca buku dan menulis buku setiap hari, selama bertahun-tahun, sehingga mahir benar (berbudaya) membaca buku dan menulis buku. Di mana? Di rumah? Tidak mungkin. Di rumah ada TV, ada playstation yang bisa menyedot waktu anak (3 tahun s/d lulus SMA) 12 jam lebih seharian nyemak TV (jam 05.00-20.00) tanpa jeda. Ada yang mengatakan, TV bagi putra bangsa Indonesia adalah kenikmatan hidup yang utama, TV adalah guru budaya yang utama, mubalig, dan cendela hidup di dunia. TV adalah hidup itu sendiri bagi putra bangsa Indonesia, sedang aktivitas lain (termasuk mandi, sholat, mengerjakan PR sekolah, pergi ke les bimbingan belajar, pergi ke sekolah, diajak ortu arisan keluarga, dan lain sebagainya yang bisa mengurangi jam menonton TV) adalah gangguan hidup. Cara menontonnya dekat sekali kurang dari 2 meter (TV 20”), bunyinya keras sekali. Kalau aktivitas gangguan hidup itu dipaksakan (disuruh berhenti nonton TV agar sholat dulu, misalnya), itu merupakan hukuman.

Di Bekasi bulan lalu (Juni 2008) ada seorang laki-laki menumpang menonton TV di rumah tetangga. Suaranya begitu keras. Ditegur oleh nyonya rumah, bunyinya jangan terlalu keras. Lalu nyonya rumahnya dibunuh, suaminya juga dibunuh sekalian oleh laki-laki penumpang menonton TV tersebut. Maka berhati-hatilah melarang atau menegur mereka (anak-anak atau orang dewasa) yang asyik menonton TV.

Jadi di mana putra bangsa untuk dibudayakan membaca buku dan menulis buku? Di tempat yang putra bangsa bisa lepas dari menonton TV. Yang paling tepat ya di sekolah. Di sekolah ada guru, ada buku, ada kebersamaan, jauh dari TV. Rumah sekolah memang sejak zaman Plato (428 -399 SM) mendirikan academus dibangun sebagai sistem tempat anak manusia dibudayakan membaca buku dan menulis buku. Dan sejak itu membaca buku dan menulis buku menjadi kiat hidup modern.

Maka sangat naif, kalau bangsa Indonesia yang hidup di zaman modern ini (abad XXI, 25 abad setelah Plato) tidak punya budaya membaca buku dan menulis buku. Pendidikan sekolah 12 tahun Indonesia keluar dari sistem.

Padahal, mengajarkan anak manusia membaca buku dan menulis buku itu tidak sulit dan tidak mahal. Tidak perlu si murid harus berpakaian seragam baru, bukunya tidak perlu ganti-ganti, gurunya tidak perlu harus sarjana S2. Cukup seorang adik yang belum bisa membaca buku, ada buku, ada seorang mbakyu yang bisa mengajari membaca buku, meskipun di perkemahan pengungsian tsunami Aceh, bisa. Yang penting terus-menerus sepanjang tahun-tahun sekolah tiap hari dilatih, dilatih, dilatih, dilatih.

Begitulah. Semoga ceramah ini bermanfaat. Amin.

Tags:

0 comments to "MENUMBUHKEMBANGKAN KEHIDUPAN SASTRA JAWA"

Leave a comment