Sabtu 23 Agustus kemarin saya mengikuti bedah buku “Merdekakan Negeri dengan Hati” di Toko Buku Gramedia Jl. Basuki Rakhmat
Bedah buku ini yang menjadi pembicara Andy Noya yang populer dengan acara Kick’s Andy di Metro TV. Dan didampingi oleh Andrea Hirata, pengarang populer buku Laskar Pelangi. Ketika saya datang, pentas sudah dikerumuni banyak orang. Saya tidak melihat panggungnya, tapi suaranya terdengar jelas. Andy sedang membicarakan kehadirannya di Metro TV, tapi tidak ada respon dari pengerumunnya. “Mungkin orang
Andrea juga menceritakan kepopulerannya menjual buku. Eloknya, kalau di kota-kota lain (Jember dan
Andrea berkisah, bahwa dia pegawai Pos, dulu pernah bertugas di Ketintang Surabaya selama 3 tahun. Saya dulu juga pegawai Pos Telepon Telegrap (1952-1960), sedikit-sedikit bisa merasakan bagaimana menjadi pegawai Pos yang pusat-pendidikan pegawainya di
Andy juga pernah berumah di
Kalau Andy sekarang populer, kaya, sukses, para pengagumnya yang ingin seperti dia jangan melihat dia sekarang. Tapi pelajarilah prosesnya. Dia dulu anak yang tidak mampu. Begitu pula Andrea, tempat kelahirannya dusun kecil yang jorok “bahkan setan pun tidak mau membuang anaknya di
Pada galipnya, orang
Andy yang punya banyak penggemar kini mendirikan yayasan, mengumpulkan dana untuk memberi beasiswa, kalau bisa dari sejak masih sekolah dasar hingga sampai lulus perguruan tinggi. Mottonya: Satukan hati mencerdaskan bangsa.
Sedangkan Andrea punya cita-cita membangun sekolah sebanyak-banyaknya. Mottonya: Tebalkan kemauan, jangan gampang menyerah. Hal itu mengingatkan saya pada awal kegiatan saya di bidang tulis-menulis. Tahun 1950 menjelang lulus SMP, kakak yang membiayai hidup saya dikirim study ke Negeri Belanda, tidak ada lagi yang membiayai hidup saya. Maka saya bertekad mencari penghasilan dengan menulis karangan dikirimkan ke media masa tulis. Namun, tiap kali saya kirimkan naskah karangan saya, selalu ditolak oleh redaksi. Tapi saya harus hidup, setidaknya harus bisa lulus dari sekolah SMP. Jadi saya juga menulis lagi, menulis lagi, menulis lagi, meskipun selalu ditolak. Tulisan saya baru dimuat dan mendapat honorarium setelah saya lulus SMP dan dengan ijazah SMP itu saya bisa bekerja di Kantor Pos, Telepon, Telegrap tahun 1952. Kebiasaan menulis tetap saya lakukan, terutama mengarang cerita panjang (novel). Tetapi novel sudah saya bikin, tetap ditolak oleh penerbit buku. Saya tidak mau kalah. Jadi tetap menulis roman. Waktu itu suratkabar belum ada yang meneerbitkan cerita bersambung. Yang mau memuat cerita bersambung barulah majalah Penjebar Semangat, berbahasa Jawa. Maka, karena kemauan saya menulis cerita panjang (novel) tidak terbendung lagi, saya limpahkan dalam bahasa Jawa., mulai tahun 1959. Akhirnya saya menjadi pengarang sastra Jawa. Mengarang cerita panjang bahasa Indonesia baru saya mulai lagi pada tahun 1967 ketika saya diperhentikan dari pekerjaan (tahun 1960 saya pindah pekerjaan di Perusahaan Dagang Negara Jaya Bhakti) karena tidak mau menjadi anggota SOKSI (embrio Golkar). Saya bertekad mau hidup dengan mengarang cerita. Yang sudah jelas berbahasa Jawa. Saya kirimkan novel saya bahasa Jawa kepada Kho Ping Hoo, pemilik penerbit buku CV Gema di Solo, yang waktu itu menerbitkan buku-buku cerita silat. Kho Ping Hoo menerima baik karanganku (novel bahasa Jawa Lintang Panjer Sore dan Patriot-patriot Kasmaran diterbitkan jadi buku), dan menganjurkan saya menulis bahasa Indonesia cerita silat. Saya penuhi keinginan Kho Ping Hoo, dan cerita silat bahasa Indonesia saya terbit jadi buku. Namun, cerita silat bukan keinginanku, tetapi saya lakukan karena saya harus hidup dengan mengarang cerita. Pengiriman naskah cerita silat tetap saya lakukan kepada Kho Ping Hoo, dan tiap kali naskah terkirim honornya diberi, tetapi tidak (belum) diterbitkan jadi buku. Saya jadi sungkan. Maka saya hentikan pengiriman naskah cerita silat itu, dan honorpun berhenti. Saya tidak bisa hidup hanya dengan mengarang cerita. Saya hidup dengan pekerjaan lain (jadi pns Kota Surabaya). Sampai sekarang saya masih mengarang cerita, tetapi tidak bisa meraup kakayaan seperti Andrea Hirata. Pernah Pak Budi Darmo memberi ulasan mengenai diri saya, bakat kepengarangan saya mungkin hanya kurang dari 20%, tetapi etos kerja keras saya yang tidak mau kalah itulah yang membuat saya menjadi seperti saya sekarang. Betul motto Andrea, jangan gampang menyerah.
Pagelaran bedah buku yang dipandu langsung oleh Radio
Wah, saya jg suka bgt sama kedua orang ini. Mereka sama2 bekerja dgn hati. Merintis jalan hidup dari bawah memang bagus krn tidak akan gmpang menyerah dan putus asa saat impian mulai diwujudkan. Saat ini sy jg mulai merentas jalan mnjadi penulis sperti Andrea, Andy Noya(bliau mantan wartawan)dan tentu sja seprti sinuhun sastra jawa sperti ANDA. Doakan Saya!