Sabtu 24 Mei kemarin saya ketamuan Mas Isha Anshori, announcer/reporter Radio Suara Surabaya. Malam sebelumnya dia telah telepon mau wawancara dengan saya, untuk menyambut hari jadi Kota Surabaya ke 715 ia akan menyiarkan wawancara dengan saya itu mengenai Hari Jadi tadi, namun terutama mengenai mengapa dulu di Gentengkali (Gentengkali 85) ada gedung Kabupaten Surabaya. Sejak terima telepon itu saya sudah siap-siap mencari hal-hal yang penting mengenai hal yang ditanyakan tadi dengan mengobrak-abrik dokumenku.
Ada sesuatu yang penting yang saya ingat, namun tidak saya temukan dari dokumen yang saya bongkari malam itu. Yaitu sebelum Surabaya menjadi kota gemeente (kotapraja) yang dibentuk berdasarkan Instellings Ordonansi statblad 1906 nomor 149, tanggal 1 April 1906. Saya ingat, sebelum jadi gemeente Surabaya itu dikuasai oleh Gezaghebber, luas daerahnya sampai di Porong, Mojokerto, Gresik. Salah satu Gezaghebber (administrator wilayah) adalah van Hogendorp (aku ingat nama van Hogendorplaan adalah nama jalan zaman Belanda yang sekarang Jalan Kartini Surabaya). Van Hogendorp inilah administrator kota Surabaya yang membangun Gedung Grahadi. Ini yang ingin saya katakan kepada Suara Surabaya. Sebab, setelah jadi gemeente, Kota Surabaya wilayah administrasinya hanya meliputi 1 kawedanan (Kawedanan Kota) serta membawahi 6 Kecamatan, yaitu: Nyamplungan, Kapasan, Kranggan, Kupang, Krembangan, Gubeng.
Dengan wilayah administrasi pemerintahan yang begitu, maka jelas bahwa sisa wilayah administrasi Gezaghebber Surabaya sebelumnya bisa jadi Kabupaten Surabaya. Dan oleh karena itu, mungkin banget sisa wilayah itu nama administrasi pemerintahnya Kabupaten Surabaya, dan ibukotanya (tempat rumah bupatinya) di Genteng Kali 85 itu. Itulah jawaban yang kupersiapkan dalam wawancara dengan Mas Isa, yang mengkhususkan mengapa di Kota Surabaya kok ada gedung Kabupaten di Genteng Kali 85 itu.
Saya siapkan juga beberapa perkembangan pemerintahan kota Surabaya. Semula kepala pemerintahan disebut Asisten Residen. Tapi sejak tahun 1916 disebut Burgemeester (Walikota) dengan Burgemeester I, Meester A. Meyroos (diangkat tanggal 21-8-1916).
Pada zaman Jepang pemerintah gemeente diubah menjadi Surabaya Shi, dengan Kepala Daerah disebut Shitjo. Shitjo I adalah Takashi Ichiro, sedang wakilnya adalah Rajamin Nasution.
Pada pemerintahan Sekutu (akibat peristiwa 10 November 1945), Walikota Surabaya Rajamin Nasution memerintah kota Surabaya dari pengungsian di Mojokerto. Pemerintahan Kota Surabaya secara de facto dikuasai oleh tentara Sekutu yakni A.M.A.C.A.B. (Alied Military Administration Civil Affaire Branch)..
Setelah tentara Sekutu (Inggris) pergi dari Surabaya (1946) Kota Surabaya dikuasai oleh tentara Kolonial Belanda dengan perubahan struktur pemerintahan, yaitu dengan pembentukan K.B.Z. (Kantoor Bevolking Zaken) yang membawahi Wijk sebagai Organisasi Pemerintahan terendah.
Masa penyerahan Kedaulatan Negara Republik Indonesia, sebutan kota Surabaya berdasarkan Undang-undang nomor 16 th. 1950 tentang pembentukan kota besar di Jawa dan Madura, diubah menjadi Kota Besar Surabaya.
Yang menjadi Walikota: Doel Arnowo (1950-1952). Walikota inilah yang mengubah bagian besar nama-nama jalan di Surabaya yang semula bahasa Belanda, menjadi Indonesia. Misalnya Tamarindelaan jadi Pandegiling. R. Moestadjab Soemowidigdo (1952-1956), R. Istidjab Tjokrokoesoemo (1956-1958).
Undang-undang nomor I tahun 1957, sebutan Kota Besar Surabaya diubah menjadi Kotapraja Surabaya. Dengan Undang-undang tahun 1965 terjadi penambahan 5 Kecamatan baru dari Kabupaten Surabaya (Gresik) kepada Kotapraja Surabaya, yaitu: Tandes, Sukolilo, Rungkut, Wonocolo, Karangpilang.
Begitulah yang saya siapkan untuk wawancara dengan Radio Suara Surabaya mengenai pemerintahan Kota Surabaya.
Seperti diketahui saya bekerja sebagai pegawai Kota Surabaya 1971 – 1988, sebutan pemerintahan Surabaya adalah Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya. Itu menurut berlakunya Undang-undang Nomor 5 tahun 1974.
Wawancara dengan Mas Isa akan diedit sesuai dengan kepentingan siaran radio. Saya sendiri tidak pernah lagi mendengarkan radio, jadi tidak bakal tahu siarannya seperti apa. Tetapi Suara Surabaya selalu disetel oleh Mas Yudi (menantu saya) kalau sedang naik mobil ke luar kota, dan saya ikut mendengarkan kalau sedang ikut menumpang mobil tadi.
Penyiaran wawancara Mas Isa dengan saya pernah juga disiarkan. Saya sendiri tidak mendengar siarannya. Namun anak saya yang di Jakarta punya teman yang sekarang tinggal di Negeri Belanda, menghubungi anak saya, bahwa siaran suara saya didengar jelas di Negeri Belanda.
Ada sesuatu yang penting yang saya ingat, namun tidak saya temukan dari dokumen yang saya bongkari malam itu. Yaitu sebelum Surabaya menjadi kota gemeente (kotapraja) yang dibentuk berdasarkan Instellings Ordonansi statblad 1906 nomor 149, tanggal 1 April 1906. Saya ingat, sebelum jadi gemeente Surabaya itu dikuasai oleh Gezaghebber, luas daerahnya sampai di Porong, Mojokerto, Gresik. Salah satu Gezaghebber (administrator wilayah) adalah van Hogendorp (aku ingat nama van Hogendorplaan adalah nama jalan zaman Belanda yang sekarang Jalan Kartini Surabaya). Van Hogendorp inilah administrator kota Surabaya yang membangun Gedung Grahadi. Ini yang ingin saya katakan kepada Suara Surabaya. Sebab, setelah jadi gemeente, Kota Surabaya wilayah administrasinya hanya meliputi 1 kawedanan (Kawedanan Kota) serta membawahi 6 Kecamatan, yaitu: Nyamplungan, Kapasan, Kranggan, Kupang, Krembangan, Gubeng.
Dengan wilayah administrasi pemerintahan yang begitu, maka jelas bahwa sisa wilayah administrasi Gezaghebber Surabaya sebelumnya bisa jadi Kabupaten Surabaya. Dan oleh karena itu, mungkin banget sisa wilayah itu nama administrasi pemerintahnya Kabupaten Surabaya, dan ibukotanya (tempat rumah bupatinya) di Genteng Kali 85 itu. Itulah jawaban yang kupersiapkan dalam wawancara dengan Mas Isa, yang mengkhususkan mengapa di Kota Surabaya kok ada gedung Kabupaten di Genteng Kali 85 itu.
Saya siapkan juga beberapa perkembangan pemerintahan kota Surabaya. Semula kepala pemerintahan disebut Asisten Residen. Tapi sejak tahun 1916 disebut Burgemeester (Walikota) dengan Burgemeester I, Meester A. Meyroos (diangkat tanggal 21-8-1916).
Pada zaman Jepang pemerintah gemeente diubah menjadi Surabaya Shi, dengan Kepala Daerah disebut Shitjo. Shitjo I adalah Takashi Ichiro, sedang wakilnya adalah Rajamin Nasution.
Pada pemerintahan Sekutu (akibat peristiwa 10 November 1945), Walikota Surabaya Rajamin Nasution memerintah kota Surabaya dari pengungsian di Mojokerto. Pemerintahan Kota Surabaya secara de facto dikuasai oleh tentara Sekutu yakni A.M.A.C.A.B. (Alied Military Administration Civil Affaire Branch)..
Setelah tentara Sekutu (Inggris) pergi dari Surabaya (1946) Kota Surabaya dikuasai oleh tentara Kolonial Belanda dengan perubahan struktur pemerintahan, yaitu dengan pembentukan K.B.Z. (Kantoor Bevolking Zaken) yang membawahi Wijk sebagai Organisasi Pemerintahan terendah.
Masa penyerahan Kedaulatan Negara Republik Indonesia, sebutan kota Surabaya berdasarkan Undang-undang nomor 16 th. 1950 tentang pembentukan kota besar di Jawa dan Madura, diubah menjadi Kota Besar Surabaya.
Yang menjadi Walikota: Doel Arnowo (1950-1952). Walikota inilah yang mengubah bagian besar nama-nama jalan di Surabaya yang semula bahasa Belanda, menjadi Indonesia. Misalnya Tamarindelaan jadi Pandegiling. R. Moestadjab Soemowidigdo (1952-1956), R. Istidjab Tjokrokoesoemo (1956-1958).
Undang-undang nomor I tahun 1957, sebutan Kota Besar Surabaya diubah menjadi Kotapraja Surabaya. Dengan Undang-undang tahun 1965 terjadi penambahan 5 Kecamatan baru dari Kabupaten Surabaya (Gresik) kepada Kotapraja Surabaya, yaitu: Tandes, Sukolilo, Rungkut, Wonocolo, Karangpilang.
Begitulah yang saya siapkan untuk wawancara dengan Radio Suara Surabaya mengenai pemerintahan Kota Surabaya.
Seperti diketahui saya bekerja sebagai pegawai Kota Surabaya 1971 – 1988, sebutan pemerintahan Surabaya adalah Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya. Itu menurut berlakunya Undang-undang Nomor 5 tahun 1974.
Wawancara dengan Mas Isa akan diedit sesuai dengan kepentingan siaran radio. Saya sendiri tidak pernah lagi mendengarkan radio, jadi tidak bakal tahu siarannya seperti apa. Tetapi Suara Surabaya selalu disetel oleh Mas Yudi (menantu saya) kalau sedang naik mobil ke luar kota, dan saya ikut mendengarkan kalau sedang ikut menumpang mobil tadi.
Penyiaran wawancara Mas Isa dengan saya pernah juga disiarkan. Saya sendiri tidak mendengar siarannya. Namun anak saya yang di Jakarta punya teman yang sekarang tinggal di Negeri Belanda, menghubungi anak saya, bahwa siaran suara saya didengar jelas di Negeri Belanda.
salam hormat, pak SUPARTO BRATA
Saya juga ndengerin wawancara bapak dg mas ISA.
Terdorong paparan bapak yang tersiar di radio SS, saya jadi lebih bisa menikmati suasana bekas kantor kabupaten SURABAYA.