Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » Novel Kremil dalam Teori Seksualitas Freud

Novel Kremil dalam Teori Seksualitas Freud

KREMIL (NOVEL 782 HALAMAN)
PUSTAKA PELAJAR YOGYA 2002




Novel KREMIL dalam Teori Seksualitas Freud
Oleh: Ratun Untoro
Mahasiswa Program Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada

1. Pendahuluan.


Karya sastra adalah hasil karya orang-orang yang mampu mengkreasikan sebuah ide yang ada dalam pikirannya dengan realita dalam masyarakat. Demikian lebih kurangnya pengertian yang disampaikan Aristoteles dalam menanggapi teori Plato yang menyebutkan bahwa karya seni (sastra) adalah tiruan dari tiruan ide. Karena karya sastra adalah hasil olahan pemikiran manusia maka kahadirannya pun sedikit banyak menyangkut kehidupan manusia sebagai pengarang maupun sebagai masyarakat. Oleh karenanya karya sastra yang dihasilkan mempunyai tanda-tanda sosial masyarakat dari masyarakat yang mempengaruhi pemikiran pengarang.

Karya sastra yang telah sampai pada masyarakat yang juga mempunyai latar belakang sosial diinterpretasikan sesuai dengan latar belakang dan kemampuannya menginterpretasikan sebuah karya. Pada saat itu pembaca (masyarakat) dapat menginterpretasikan karya sastra jauh melebihi maksud pengarang ataupun sama sekali melenceng/tidak sesuai dengan maksud pengarang. Hal tersebut sangat wajar karena karya sastra yang telah disampaikan kepada masyarakat telah meninggalkan pengarangnya (the dead of the author). Makalah ini menyajikan interpretasi sebuah novel berjudul Kremil karya Suparto Brata yang menonjolkan kehidupan di daerah pelacuran. Dengan memberi judul Kremil agaknya pengarang ingin memikat pembaca dengan sesuatu yang berbau seksual. Seolah-olah pengarang sadar bahwa Id di kalangan pembaca kita masih menonjol daripada superego. Suparto Brata tidak mengambil judul Dendam atau Pencarian Seorang Pembunuh atau yang lain untuk novel ini. Selain karena novel detektif kurang begitu populer di khasanah sastra Jawa, Kremil atau Kremil daerah pelacuran terkenal di Surabaya ini lebih merangsang untuk dibaca atau lebih dilirik di toko buku, setidaknya bagi mereka yang sudah pernah mendengar, mengenal, melihat atau bahkan mengunjunginya.

Makalah ini mencoba menginterpretasikan Kremil dengan teori Freud tentang seksualitas. Kremil merupakan lokalisasi, tempat para wanita tuna susila dilokalisasi dalam melakukan transaksi seksual dalam arti genital atau setidaknya hubungan seksual dengan lawan jenis. Dalam novel ini terdapat seorang tokoh wanita yang tinggal di Kremil dalam rangka memenuhi kebutuhannya atau kepuasannya, bukan dalam hal kepuasan seksual melainkan kepuasan mencari pembunuh keluarganya. Kejadian-kejadian di seputar kehidupan tokoh wanita tadi adalah hal-hal yang selalu berhubungan dengan seksualitas genital tetapi tidak membuat si wanita menjadi orang yang terjerumus dalam kehidupan seksual tersebut. Dengan demikian pemuasan nafsu mencari pembunuh keluarganya disandingkan dengan pemuasan nafsu seksual (senggama).
2. Landasan Teori.
Freud, dengan segala bantahan atau bahkan kecaman, melontarkan sebuah pemikiran bahwa segala sesuatu tingkah laku manusia berawal dari naluri seksualitas. Hal tersebut berlaku pada setiap manusia bahkan pada anak-anak. Seksualitas dalam pemikiran Freud adalah bukan sekedar seksualitas genitas, yaitu semua yang berhubungan dengan fungsi-fungsi organ pengembangbiakan (Freud, 1992:104). Bagi Freud naluri seksual adalah sesuatu hal yang jauh lebih luas dan jauh lebih tua daripada seksualitas genitas.
Naluri seksualitas yang muncul adalah akibat dorongan Id yang bekerja berdasarkan kepentingan kesenangan. Untuk mencapai pemuasan kesenangan akibat dorongan Id, manusia karena dibatasi oleh superego yang merupakan perwakilan dari berbagai nilai dan norma yang ada dalam masyarakat, mengalihkan naluri seksualnya kepada obyek-obyek lain yang tidak bertentangan dengan superego (LPUI, 2000:4). Sifat energi (dorongan Id) yang lentur memungkinkannya untuk selalu mencari obyek pemuas pengganti atau pemindahan (displacement).
Freud membuktikan bahwa pulsi seksual berdiri sendiri, artinya lepas dari setiap usaha menemukan makhluk dari jenis kelamin berlawanan dan dari tujuannya, yaitu lepas dari penyatuan seksual seperti yang dikenal orang selama ini.
Pemindahan dorongan/naluri seksual kepada obyek-obyek yang tidak berhubungan sama sekali dengan masalah genital merupakan wujud kreativitas yang luar biasa. Dorongan tersebut diinvestasikan dalam obyek pemuas tertentu. Freud yakin bahwa seluruh peradaban manusia seperti terwujud dalam seni, politik, ekonomi dan lain-lain adalah hasil dari proses pemindahan naluri hidup atau naluri seks dan cinta.
3. Analisis.

Berdasarkan pemikiran Freud tersebut makalah ini mencoba memperhatikan novel Kremil karya Suparto Brata, terbitan Pustaka Pelajar, 2002.
Kremil berlatar belakang kehidupan sosial pada masa pemberontakan PKI Madiun dan sesudahnya (hal. 114-117). Marini adalah anak seorang yang membenci PKI (hal. 115). Suatu ketika Marini tahu bahwa Ayah, ibu dan adik-adiknya telah dibunuh PKI (hal. 119). Cerita selanjutnya adalah usaha Marini dalam mencari pembunuh keluarganya. Dalam pencariannya Marini memakai berbagai nama samaran antara lain Suyati. Pencariannya difokuskan di kompleks pelacuran antara lain di Silir dan Kremil. Novel ini banyak menceritakan kehidupan orang-orang di kompleks pelacuran daripada kehidupan Suyati sendiri. Seolah-olah pengarang ingin mengekspos kehidupan di sebuah kompleks pelacuran*1), baik mengenai pelacurnya, induk semangnya, maupun keluarga induk semang yang terdiri dari suami, anak, dan pembantunya.
Suyati tinggal di Kremil dalam rangka melampiaskan nafsunya mencari pembunuh keluarganya. Dia menyamar menjadi seorang gadis yang lugu dan tidak memahami kehidupan kompleks pelacuran. Dalam keluguannya, Suyati mencoba mengorek keterangan dan memperhatikan gerak-gerik orang-orang yang datang ke Kremil. Dengan tingkah laku yang lugu, Suyati berhasil hidup di Kremil tanpa harus turut menjajakan diri. Sampai akhir cerita, Suyati masih suci, belum terjamah laki-laki (hal. 746).
“Aku belum pernah menerima tamu!.... aku selamat bertempat tinggal di kompleks pelacuran, tetapi tidak melacurkan diri.”
(Hal. 772).


Pengarang seolah-olah memaksakan diri untuk membawa Suyati menuju Kremil. Tanpa ada cerita pendahuluan bahwa pembunuhnya sering menuju ke tempat pelacuran, pengarang tiba-tiba menggambarkan bahwa Suyati dalam pencariannya selalu keluar masuk kompleks pelacuran. Alasan satu-satunya yang diungkapkan adalah bahwa orang yang dicurigai membunuh, Busro alias Sugeng yang tidak lain adalah sepupunya dan Herman selalu mencari tempat penginapan aman di tempat lokalisasi WTS. Hal tersebut berdasarkan pemikiran Suyati sendiri dan tidak diperkuat dengan cerita lain yang mendukung pemikiran Suyati. Alasan tersebut kurang kuat mengingat masih banyak tempat yang lebih aman dibandingkan lokalisasi WTS. Selain itu tidak disebutkan pula bagaimana Suyati bisa tahu bahwa Busro sering menginap di lokalisasi. Pengarang seakan-akan mengajak kepada sebuah pemikiran bahwa segala sesuatu tindakan manusia akan bersinggungan dengan kehidupan seksual dalam arti seksualitas genital.
Pengarang--------Seksualitas----------Pembaca
-pemikiran
-tindakan
Suyati sadar betul bahwa pencariannya harus melalui pelacuran atau setidaknya melalui tempat pelacuran. Dia tidak berpikir untuk mencari tempat di mana PKI berkumpul atau mencari informasi pada orang-orang yang tahu tentang gerakan PKI. Pada pikirnya terarah pada hal-hal yang berbau seks. Padahal jelas diketahui bahwa Suyati tidak berpengalaman dalam bidang seksualitas sama halnya dengan ketidaktahuannya tentang dunia politik. Dia hanyalah anak seorang aktivis PNI yang pada saat itu masih sekolah. Pola pikir yang dekat sebenarnya lebih kepada pencarian di tempat-tempat lain yang jauh dari hal-hal yang berbau seks.
Dengan demikian jelas bahwa kepergian Suyati ke Kremil adalah ambisi pengarang yang dipaksakan untuk mendekatkan setiap sisa kegiatan manusia kepada naluri seksualitas. Di dalam novel tersebut juga diceritakan bahwa orang yang datang ke Kremil bervariasi mulai dari wartawan, sarjana, orang asing, polisi, pegawai negeri dan lain-lain. Selain itu diceritakan bahwa Kremil bukan hanya tempat mencari rezeki bagi saudagar seks, perempuan jalang. Kremil juga tempat mencari rezeki bagi pedagang yang jujur, hidup suci dan suka bekerja, jual-beli sesuatu yang sesuai dengan hukum ekonomi. Pengarang mencoba mendekatkan lagi kreatifitas seseorang yang menuju kepada pemuasan ke obyek lain dibawa kepada hal-hal yang berdekatan dengan seksualitas.
Obyek Nongenital
Naluri Seksual

Tindakan-tindakan
tokoh dalam Kremil
Suyati mempunyai ambisi, mempunyai hasrat, mempunyai nafsu untuk mencari pembunuh keluarganya. Nafsu dan hasrat tersebut berasal dari Id yang menurut Freud adalah penjelmaan dari naluri seksualitas. Keluarga Suyati, ayah, ibu dan adiknya merupakan orang-orang yang mampu memuaskan libidonya atau energi seksualnya. Ibu adalah salah satu orang yang menjadi tumpuan pelepasan libidonya pada saat prenatal sampai dia terlahir, bahkan sampai ia dewasa dengan melalui sejumlah tahapan psikoseksual. Pada setiap tahapan perkembangan libido harus tersalurkan lewat daerah erogen tertentu. Suyati yang saat itu sekolah di Madiun yang jauh dari rumah orang tuanya merasa rindu untuk segera bertemu (hal. 101-102). Kerinduannya pada orang-orang yang bisa dijadikan curahan libidonya setelah melalui proses pengalihan dari ketergantungannya kepada ibu, terhambat ketika mengetahui bahwa keluarganya tidak ada. Suyati yang masih usia sekolah itu masih memerlukan pemuasan yang lebih dari orang tua dan keluarganya tetapi tiba-tiba ada sesuatu yang menghalanginya (anti kateksis). Hal tersebut membuat dia frustrasi dan menimbulkan investasi libido berlebih pada daerah erogen bersangkutan*2). Investasi yang berlebih tersebut kemudian muncul berupa dendam kesumat pada orang-orang yang telah menghalangi/memutus hubungannya dengan obyek pemuasnya. Hal ini seolah-olah mengulang kejadian pada saat bayi ketika pertama kali dia diputus dengan ASI (air susu ibu) atau tidak boleh menetek lagi. Frustrasinya pada saat itu diwujudkan dalam tangisan yang keras dan akhirnya mendapat obyek pemuas lain berupa dot.
Dendam kesumat Suyati yang merupakan wujud dan terhambatnya penyaluran libido yang merupakan penjabaran dari naluri seksualnya dimanfaatkan oleh pengarang untuk dijadikan alasan mendekatkan Suyati ke kompleks pelacuran. Pengarang mengajak pembaca untuk mengembalikan hakikat dendam kesumat kepada naluri seksualitas dalam arti genital. Sebagian besar novel menceritakan kehidupan di Kremil tempat Suyati berada. Meskipun Suyati tidak menjadi pelacur, tetapi dari tingkah lakunya dan tingkah laku orang-orang di sekitarnya membuat pembaca berasumsi bahwa pada akhirnya nanti Suyati pasti akan terjerumus menjadi pelacur.

“Tapi jangan dulu dikaryakan, lo, tante. Saya masih.....!” sela Sueb
(Hal. 5).
“Saya melihat wajah ayu di balik rambutnya yang kusut dengan pita merahnya yang kusam. Makanya aku tadi langsung terima. Ia bakal menjadi bunga yang molek,” ujar Bu Tinny.
(Hal. 8).

Perkataan Sueb, orang yang mengatur Suyati ke Kremil dan Bu Tinny, pemilik kedai tersebut membawa asumsi bahwa kelak Suyati akan dikaryakan.
Asumsi tersebut tidak berlebihan mengingat ada beberapa tokoh yang terjerumus dalam pelacuran karena frustrasi atau akibat dari adanya anti kateksis. Seperti halnya tokoh Ningsih. Dia melakukan kegiatan pelacuran karena dipaksa menikah oleh ibunya yang berarti dia harus menyalurkan libidonya pada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Penyaluran libido yang ditahan dan ditekan ini akhirnya menumpuk dan dibawanya ke Kremil untuk dilampiaskan. Libido yang diinginkan Ningsih pada saat itu mungkin bukan dalam arti seksual genital (sayang tidak diketahui usia Ningsih sehingga tidak bisa menentukan tahap perkembangan psikoseksualnya), tetapi begitu menumpuk, oleh pengarang dibawa kepada asal muasal yaitu pemuasan dalam arti seksual genital. Ningsih melampiaskan frustrasinya kepada pemuasan seksual (senggama). Ada hal menarik dalam novel ini sehubungan dengan psikoseksual yaitu ketika Ningsih bertemu dengan ayahnya, Brono, untuk yang pertama kali setelah sekian lama tidak berjumpa.

Ningsih menyerbu, menubruk, memeluk, menciumi, segala hal yang selama ini dianggap aneh, tak masuk akal bakal terjadi......
Brono lupa segala ikatan sopan santun, tiba-tiba membalas pelukan Ningsih dengan ganti memeluk, dan menciumi wajah itu. Ningsih tidak mencegah atau menghindar, bahkan memacu. Boleh! Tidak ada yang melarang! Brono menemukan kenikmatan luar biasa. Bukankah bertemu putrinya itu yang dirindukannya selama ini? Ingin bertemu, melihat, berdekatan, berbincang, bersentuhan, memeluknya, menciumnya, menjilatnya, menggigitnya, menelannya. Oh, inilah buah rindu. Ketika bibir mereka bersentuhan, Ningsih menyerang mengecupnya, dan Brono menyerang juga, menyedot dan mencepitnya..... Dengan gerakan dan perbuatannya seperti yang dilakukannya sekarang, ia menemukan kepuasan.
(Hal. 462)

Tindakan yang dilakukan anak-bapak tersebut adalah pelampiasan dari penumpukan libido yang terhambat sekian lama yaitu berupa keinginan atau nafsu untuk bertemu dengan ayah/anaknya. Libido atau nafsu untuk berjumpa yang pada dasarnya adalah pemindahan atas obyek pemuas selain seksual tersebut ketika keduanya bertemu, menemukan obyek pemuasnya, maka terjadilah perbuatan atau tindakan yang mirip dengan tingkah laku pemuasan seksual genital. Ayahnya yang merupakan pemindahan obyek pemuasan setelah ibunya tidak lagi bisa dijadikan curahan pemuasan karena memaksanya menikah telah dia temukan setelah sekian lama tertahan. Hubungan ayah dan anak telah dikaburkan menjadi hubungan lawan jenis yang merupakan sasaran utama energi seksual sebelum dipindahkan kepada pemuas lain selain seks. Ningsih yang sudah lama melacur dan ayah yang sudah lama tidak melakukan hubungan seksual semenjak istrinya meninggal adalah orang-orang yang sedang dalam tahap perkembangan psikoseksual genital. Mereka adalah sosok manusia paling sempurna dalam teori Freudian (LPUI, 2000:6). Mereka dengan karakter ini telah berhasil mengembangkan hubungan sosial-seksual yang matang dalam cinta heteroseksual. Tindakan Ningsih dan ayahnya ini semata-mata memuaskan libido/nafsu ingin bertemu tetapi karena keduanya telah mencapai pada tahap genital maka tindakannya seolah-olah merupakan tindakan hubungan seksual. Pemuasan untuk bertemu telah dikalahkan oleh kekuatan naluri seksualnya. Ningsih yang saat menjalani tahap laten adalah frustrasi terhadap ibunya mengarahkan tumpukan libidonya ke Kremil sehingga pada saat dewasa, pribadi yang terbentuk adalah pemuasan libido melalui hubungan seksual (senggama). Hal itu terwujud dalam hampir setiap segi hidupnya, bahkan kepada ayahnya sendiri. Mengenai hubungan antara anak perempuan dengan orangtua laki-laki Freud telah membahasnya dalam kerangka Oedipus.
Tindakan pertemuan Ningsih dan ayahnya dalam memuaskan libidonya tersebut ternyata berbeda dengan Suyati ketika bertemu dengan Busro dan Herman. Hal ini dapat dilihat pada masa tahap laten keduanya yang memang berbeda. Suyati dan Ningsih ketika mengalami pemutusan hubungan dengan obyek pemuasnya sama-sama dalam masa tahap laten yaitu tahap yang tidak terlalu berhubungan dengan erogen tertentu tetapi merupakan tahap yang penting sebagai penentu tindakan atau sifat kepribadian selanjutnya ~ dewasa. Perbedaannya adalah pada tindakan dalam rangka mencari obyek pemuas pengganti. Kalau Ningsih menyalurkan kekecewaannya pada hubungan seksual, bukan pada yang menghambat ~ ibunya, sedangkan Suyati melampiaskannya pada dendam kesumat yang diarahkan pada orang yang membunuh ayahnya ~ orang yang menghambat.
Suyati yang tinggal di Kremil akhirnya tidak menjadi pelacur karena memang kepuasannya tidak diarahkan ke seksual melainkan kepada balas dendam.
Maka pertemuan antara Suyati dengan Busro dan Herman sangat berkebalikan dengan pertemuan antara Ningsih dan ayahnya.

Suyati yang berteriak-teriak telah sampai di halaman, mengejar becak-becak, terus kian mendekat…
… Suro yang tinggi besar, menyentak melepaskan diri dari polisi, langsung menyerang Suyati yang kecil mungil. Heru berbuat sama membantu menyerang Suyati. Suro hampir saja menggapai dan mencekik leher Suyati. Tetapi Suyati bukan perempuan yang lemah mulus. Bagaikan terbang ia menyepak kemaluan Suro, dan saat berikutnya ia menjatuhkan diri kakinya menggait kaki Heru. Suro mundur sejajar kesakitan memegangi pangkal pahanya, dan Heru jatuh terjerembab mencium tanah. Keduanya tidak mengira bakal mendapat perlawanan begitu ganas. Polisi segera bertindak menangkapnya. Tapi sebelum tawanan tertangkap, terdengar tembakan pistol dua kali. Suro menggeliat, dan jatuh terduduk. Kaki dan lututnya kena tembak. Berdarah. Lumpuh.
(Hal. 745 – 746)

Demikianlah pertemuan Suyati dengan Busro dan Herman yang menyamar menjadi Suro dan Heru. Sangat berbeda dengan pertemuan antara Ningsih dan ayahnya meskipun keduanya sama-sama puas. Sama-sama melepaskan libidonya yang selama ini tertahan. Meskipun berbeda, tetapi Ningsih dan Suyati sama-sama tinggal di Kremil, tempat pelampiasan nafsu seksual. Dengan demikian keduanya tidak berada jauh dari kehidupan naluri seksual genital.
Dari sudut pengarang dapat ditafsirkan bahwa pengarang ingin mengajak pembaca untuk melihat bahwa setiap segi kehidupan baik itu ekonomi, politik, sosial selalu berdekatan dengan naluri seksual seperti penjabaran Freud tentang teori seksualitas. Hal demikian diakui oleh pengarang dengan menuliskan bahwa Kremil (baca: Naluri Seksual) adalah tempat manusia-manusia yang kalah dan tersingkir dari percaturan hidup (terhambat dalam upaya mencapai pemuasannya), tetapi mereka tidak menyerah dan berjuang untuk tetap hidup senang dan damai (mencari obyek pemuas lain, displacement).

Suyati #Tidak bisa bertemu dengan Marah. Bertemu/menemukan
keluarganya karena Datang ke Kremil untuk mencari pembunuh keluarganya.
keluarganya dibunuh orang. pembunuh keluarganya.
Berdampingan dengan aktivitas
seksual genital.

Kedua tokoh terseut, Suyati dan Ningsih merupakan individu-individu yang mengalami kekecewaan berat akibat terputus dengan sesuatu yang membuat mereka bahagia (baca: puas). Mereka sedang dalam masa peralihan dari masa kanak-kanak, remaja, menuju dewasa atau dalam istilah Victor Turner mereka sedang dalam kawasan liminal dari dunia yang berbeda. Suyati atau Marini yang sudah rindu ingin bertemu dengan keluarganya tidak kesampaian, maka pemberontakan timbul dari dalam dirinya. Demikian halnya dengan Ningsih yang sedang berada dalam masa pacaran/bersenang-senang dengan keluarga dan lawan jenis yang dicintainya harus tertahan dan terhambat karena ibunya memaksanya kawin dengan orang yang tidak dicintainya. Ibu yang seharusnya menjadi curahan kasih sayang, pelindung, dan tempat menumpahkan segala kerinduannya tiba-tiba menjadi seorang yang menjengkelkan dan mengerikan. Situasi yang dihadapi Ningsih dan Marini ini sebenarnya pernah mereka rasakan pada saat mereka terputus dari ASI untuk pertama kali. Saat itu mereka hanya bisa menangis dan meronta. Namun kali ini mereka mampu berbuat lain. Pelarian Ningsih ke pelacuran merupakan pengembalian wujud hakikat seksualitas. Dokter Naek L. Tobing dalam salah satu wawancara di sebuah stasiun televisi pernah mengatakan bahwa ada sebagian orang yang ketika mengalami stress, bingung ataupun sedang menghadapi masalah besar, mereka melakukan hubungan seksual (melakukan aktivitas seksual genital) untuk mengurangi ketegangan. Demikian halnya dengan Ningsih.
***
Daftar Pustaka
Brata, Suparto 2002. Kremil. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hartono, Budi. 2000. “Dasar-Dasar Psikoanalisa Freudian” dalam Bahan
Pelatihan Psikoanalisa. Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.

Max Milner. 1992. Freud dan Interpretasi Sastra. Jakarta: Intermasa.

Sumber lain.

Catatan kaki:
*1) Istilah pelacur dan pelacuran sebenarnya tidak begitu pantas ditulis dalam makalah ini karena mengandung suasana emotif dan menjaga jarak. Namun karena sulitnya mencari padanan kata yang ringkas maka kata ini digunakan dengan kesadaran penuh tanpa suasana emosi.

*2) Manurut teori Freud usia seumuran Suyati pada saat ia pulang sekolah tersebut termasuk dalam tahap perkembangan psikoseksual laten, yaitu usia 6 atau 7 tahun hingga awal masa remaja. Sayangnya Freud mengatakan bahwa pada tahap ini tidak terkait dengan daerah erogen tertentu. Namun Freud menyatakan bahwa tahap ini adalah tahap yang penting karena merupakan tanggul penentu kehidupan selanjutnya.

Tags:

0 comments to "Novel Kremil dalam Teori Seksualitas Freud"

Leave a comment