Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » KONTELASI DONYANE WONG CULIKA DALAM DUNIA PENERBITAN SASTRA JAWA

KONTELASI DONYANE WONG CULIKA DALAM DUNIA PENERBITAN SASTRA JAWA

DONYANE WONG CULIKA, NOVEL BHS JAWA 537 HALAMAN
(NEGERINYA ORANG-ORANG CULAS). NARASI YOGJA. 2004


KONTELASI DONYANE WONG CULIKA
DALAM DUNIA PENERBITAN SASTRA JAWA:
SEBUAH KEBERANIAN SUPARTO BRATA
Oleh
Drs. Dhanu Priyo Prabowo, M. Hum.
(Balai Bahasa Yogyakarta
)

I.

Dalam sejarahnya, sastra Jawa dipengaruhi oleh beberapa kebudayaan dunia (Hindu, Islam, dan Barat). Beberapa kebudayaan itu dapat diasimilasikan sehingga keberadaannya menjadi lebih semarak. Hasil karya sastra Jawa yang terpengaruh oleh kebudayaan Hindu terdapat di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada masa ini, muncul parwa-parwa dan kakawin Mahabarata dan Ramayana dengan bahasa Jawa Kuna. Periode ini meliputi zaman Sindok, Airlangga, Mamenang, Jenggala, dan Singasari.

Pada abad ke-14 Masehi, terus mengalami perkembangan. Pada kurun waktu tersebut, sastra Jawa memasuki Zaman Pertengahan dan unsur-unsur baru mulai berpengaruh (di samping kebudayaan Hindu). (Darusuprapta, 1990;76). Hasil karya sastra Jawa yang muncul pada masa ini, antara lain Nagarakartagama karya Prapanca, Arjunawijaya karya Tantular, Pararaton. Ketika Islam mulai masuk ke Jawa (sekitar abad ke-15 Masehi), khazanah sastra Jawa pun terpengaruh oleh kebudayaan Islam. Pada masa ini, muncul karya sastra Jawa berupa suluk dan kitab-kitab keagamaan Islam, misalnya Serat Suluk karya para wali.

Pada zaman Mataram, kurang lebih abad ke-17 Masehi, sastra Jawa makin berkembang. Tidak hanya para pujangga, tetapi para bangsawan juga banyak yang menggubah karya sastra dengan bermacam-macam isi. Pengaruh sastra Jawa pada masa ini menembus ke tanah Pasundan, Cirebon, Banten, dan Madura. Karya-karya sastra yang lahir pada zaman ini, misalnya Nitipraja, karya Sultan Agung, Pranacitra karya Ranggajanur.

Memasuki akhir abad ke-19 Masehi, khazanah sastra Jawa memasuki babak baru, terutama karena pengaruh kebudayaan Barat (Eropa) dan kemudian lebih dikenal sebagai masa sastra Jawa modern. Pada masa sastra Jawa modern ini, sastra Jawa dibagi dalam dua masa, yaitu masa kebangkitan dan masa kemerdekaan. Masa kebangkitan dimulai tahun 1832 sampai dengan tahun 1945, yaitu ketika Institut Bahasa Jawa (lembaga pendidikan bahasa Jawa formal yang pertama kali, bertempat di Surakarta) memulai kegiatannya dengan menerbitkan tulisan C.F.Winter, Candranegara, Suryawijaya, Padmasusastra (Darusuprapta, 1990;72). Kegiatan kebahasaan dan kesastraan Jawa kemudian berlanjut sampai dengan masa penerbit Balai Pustaka, yang sebelumnya bernama Commissie voor de inslandsche School en Volkslectuur (didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908). Penerbit tersebut sangat besar peranannya dalam perkembangan sastra Jawa. Namun, pengaruh itu, sedikit demi sedikit menyurut seirama dengan perubahan zaman, khususnya semenjak Indonesia merdeka.

Pada masa kemerdekaan, sastra Jawa memasuki periode perkembangan bebas ditandai dengan berkembangnya novel, cerita pendek, puisi bebas. Pada tataran ini, sastra Jawa didukung oleh angkatan kasepuhan (sebelum 1945), angkatan perintis (tampil 1945), dan angkatan penerus (tampil 1960). Kemudian tahap berikutnya, yaitu periode sastra majalah (1966). Dengan kata lain, pada tahapan ini sastra Jawa lebih bertumpu pada majalah dan surat kabar, karena penerbit buku (terutama Balai Pustaka) sudah tidak mempedulikan lagi keberadaan sastra Jawa (lihat Hutomo, 1975). Antara tahun 1966 – 1970-an, sastra Jawa mengalami masa kritis, khususnya setelah terjadinya pembreidelan buku sastra Jawa oleh Komres Surakarta (Operasi Tertib Remaja II Sala) pada tahun 1971 *1). Dalam catatan sejarah sastra Jawa, pembreidelan itu muncul sebagai akibat adanya penilaian (oleh pihak aparat keamanan negara-polisi) bahwa buku-buku sastra Jawa yang beredar dinilai meresahkan masyarakat karena isinya dinilai berbau pornografi. Keadaan ini membuat kegiatan sastra Jawa agak sepi. Tamsir AS (1991;4) mengatakan bahwa pengarang yang mempunyai kekuatan pena di masa-masa setelah kejadian itu mulai berkurang, misalnya Poerwadie Atmodiharjo, Sri Hadidjojo, Any Asmara, Widi Widayat, Esmiet, Suparto Brata, dan beberapa orang penulis lain yang sesekali muncul kemudian tenggelam tidak ada kabar beritanya.
II.

Bangkitnya kembali sastra Jawa setelah masa suram itu didukung oleh hasil Sarasehan Sastra Jawa di Sasanamulya Surakarta, pada awal dekade 1980-an. Pada dekade 1980-an sampai menjelang akhir dekade 1990-an pertumbuhan sastra dan pengarang Jawa justru sangat pesat. Hal ini dapat dilacak lewat tulisan di berbagai media massa berbahasa Jawa yang masih bertahan hidup (Penjebar Semangat, JayaBaya, Djaka Lodang, Mekar Sari, Jawa Anyar, Panakawan, Pustaka Candra, dsb) *2) maupun lewat penerbitan-penerbitan buku sastra Jawa oleh penerbit yang masih “peduli” terhadap sastra Jawa *3). Karya sastra Jawa yang diterbitkan dalam bentuk buku, meliputi jenis prosa (gancaran) yang berbentuk novel, kumpulan cerita pendek, dan drama, serta yang berjenis puisi (geguritan), baik yang diterbitkan oleh penerbit komersial maupun penerbit pribadi.

Penerbitan pribadi? Dibiayai pribadi oleh si pengarang? Ya. Memang itu yang terjadi sekarang dalam dunia sastra Jawa. Mengapa dapat terjadi?

Merunut kembali keadaan perbukuan sastra Jawa, kita dapat menengok kembali beberapa tahun yang lalu. Sekitar akhir tahun 1980-an, maecenas penerbitan sastra daerah (termasuk sastra Jawa) di Indonesia ~ Balai Pustaka ~ sudah tidak lagi terlibat aktif penerbitan buku-buku sastra daerah. Badan penerbitan milik pemerintah Republik Indonesia itu, lebih condong menerbitkan buku-buku berbahasa Indonesia atau buku-buku pelajaran. Hal itu dapat dimengerti karena setiap penerbit (walaupun milik pemerintah RI) tetap tidak mau merugi, walau demi memajukan kebudayaan bangsanya. Barangkali, menerbitkan buku-buku sastra Jawa artinya sama dengan membuat proyek merugi. Akhirnya, dalam jangka sepuluh tahun kemudian, sastra daerah ~ termasuk Jawa ~ benar-benar sudah tidak lagi menarik Balai Pustaka. Saat itulah para pengarang sastra Jawa mulai merasakan bahwa kehidupan perbukuan sastra sudah berakhir. Mereka menganggap dunia penerbitan yang dikelola swasta tentu tidak akan mau mengambil resiko merugi dengan menerbitkan sastra Jawa, karena penerbit yang dibiayai pemerintah saja sudah enggan dengan sastra Jawa. Pilihan satu-satunya bagi pengarang sastra Jawa dalam mempublikasikan sastra Jawa hanya tinggal di majalah berbahasa Jawa (jenis cetak) dan di radio (untuk lisan). Penerbitan seperti ini tentu sifatnya hanya sesaat.
Bagaimana dengan yang lebih bersifat monumental (buku)? Peristiwa inilah yang membuat dunia sastra Jawa menjadi menarik dan menantang bagi sebagian sangat kecil pengarang Jawa, sebagaimana yang dilakukan oleh Suparto Brata *4) ketika menerbitkan Trem (2000). Pada tahun itu, dengan merogoh kantongnya sendiri sebesar 2.500.000,00 rupiah, ia dapat menerbitkan kumpuilan cerkak-nya itu di penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Dengan uang sebesar itu, ia memperoleh 300 eksemplar (dengan kata lain, sebenarnya sang pengarang telah membeli buku terbitannya sendiri). Langkah ini, jika tidak dilakukannya, karena ia berkeyakinan, pasti tidak akan dapat mempublikasikan bukunya. Namun, pada tahun yang sama, bukunya Trem memperoleh hadiah Rancagé.

Peristiwa yang sama diulanginya lagi ketika ia menerbitkan Donyane Wong Culika. Buku ini dimodali Suparto Brata sebesar 8.000.000,00 rupiah. Diterbitkan oleh Penerbit Narasi, Yogyakarta. Kedua penerbit itu, sama-sama mengaku tidak berani menerbitkan buku sastra Jawa, karena dinilai tidak komersial dan sulit dijual *5). Ketakutan ini juga sangat disadari oleh Suparto brata. Oleh karena itu, ia berusaha untuk tidak tenggelam dalam dunia penerbitan buku walaupun para penerbit buku sudah “enggan bersahabat” dengan sastra Jawa. Dalam salah satu suratnya kepada saya, beliau menyampaikan alasan mengapa bersedia “bersusah-payah” untuk merugi demi sastra Jawa:

“Kula kedah tanggung jawab. Salah satunggilipun ngudi nerbitaken buku sastra Jawa. Ngantos sapriki pranyata taksih angel sanget para penerbit ingkang kersa nerbitaken buku sastra Jawa. Margi sastra Jawi pancen mboten kumedol, para penerbit mesthi rugi. Mila kula lan Mas Hoery *6) lajeng kumawantun sarana wudhu kangge nerbitaken buku sastra Jawa menika….. Kula langkung ngajengaken sastra Jawi menika ugi sastra dunia, sageda dipunwaos tiyang sakdonya. Kanthi mekaten, sastra Jawi tetep eksis ing saputeripun donya abad menika. Pramila, mugi-mugi penjenengan taksih kemutan, Donyane Wong Culika rumiyin kula suwun dipuntawekaken dhateng Pak Mas’ud, margi Pak Mas’ud sampun berjasa nerbitaken Trem ingkang pranyata sampun beredar bawera….. Ingkang pokok, nyebaraken buku menika sabawera-baweranipun. Kula betah para maos. Yen namung saged mbandhani nanging mboten saged nggiyaraken, rak sami kaliyan Parikesit.” *7)

Dari paparan tersebut, tampak bahwa Suparto Brata dalam menerbitkan buku-bukunya, baik Trem maupun Donyane Wong Culika, bukan karena uang atau hadiah, tetapi keinginannya untuk mewujudkan sastra Jawa sebagai sastra buku dan sastra dunia. Jika dilihat dari kacamata saat ini, tindakannya tersebut dapat dinilai sebagai suatu langkah “gila” dan tak masuk akal. Jika kebanyakan pengarang Jawa (maupun pengarang Indonesia) sibuk mencari honor, sebaliknya Suparto Brata sibuk “membuang” uangnya demi sastra Jawa. Suatu langkah berani Suparto Brata melawan arus zaman yang tidak memihak kepada sastra Jawa di era kapitalisme.
Kehadiran novel Donyane Wong Culika tidak hanya sebagai langkah yang penuh keberanian, tetapi juga suatu tindakan “spektakuler” dan monumental. Jika kebanyakan buku-buku sastra Jawa modern terbit maksimal hanya 150 halaman, Donyane Wong Culika hadir dengan ketebalan 553 halaman. Belum pernah ada sastra Jawa modern terbit dengan jumlah halaman sebanyak itu. Bukan hanya hal-hal tersebut, yang membuat Donyane Wong Culika menjadi menarik untuk disimak, tetapi juga karena gaya bercerita Suparto Brata yang lihai. Kemampuannya sebagai penulis cerita detektif telah mengalirkan kisah “tragedi” manusia pasca-G-30-S PKI sebagai bacaan yang menggoda untuk disuntuki hingga habis. Pertanyaan yang akan muncul jika tidak membaca secara runtut dari awal hingga akhir adalah: apakah yang dimaksudkan pengarang dengan “dunia (atau negeri, atau kekayaan budaya) orang-orang culas” itu. Itulah, salah satu hal, yang menjadikan novel itu mempunyai kekuatan. Kemampuan menulis dengan suspens yang menggoda dalam sastra Jawa hanya dapat dihitung dengan jari sebelah tangan. Dan, salah seorang itu adalah Suparto Brata.

Suparto Brata, lewat Donyane Wong Culika telah mampu membangun “suatu dunia yang sosiologis” dalam karya sastra. Bahkan, ia telah mampu “merekam” suatu dunia pedesaan Jawa di Pesisir Selatan Tanah Jawa (Kedu, Purworejo). Saya, yang tempat tinggalnya di pedesaan dan bersebelahan dengan desa-desa yang menjadi latar Donyane Wong Culika, cukup memuji hal ini. Suparto Brata, dengan jeli mencatat desa Bangkuning, Sruwoh, Grabag, Jombang, Purwodadi, Magersari, Sangubanyu, Bagelen, Jenar, Kecamatan Ngombol, Pasar Njasa, Sungai Bogawanta, dan sebagainya sebagai kawasan yang pernah menjadi “daerah tragedi” sewaktu Partai Komunis sedang berkibar dan mengganas. Novel ini, dari sisi literer, menjadi sebuah “saksi dan catatan” tentang polah tingkah organ-organ Partai Komunis yang sangat menakutkan, misalnya BTI (Barisan Tani Indonesia):

“La ing kono Tukinem weruh Susmanta. Aktip. Ora aweh katrangan bab pigunane rabuk ZA maneh, ora menganggo sarwa putih maneh, nanging menganggo klambi sarwa ireng, kalungan kacu abang, menehi aba-aba baris pambengoke bantas, “Ganyang Kabir!” Susmanta nglatih baris ing Ngombol, pasukane pijer wira-wiri antarane Bangkuning-Magersari. Liwat Omah Cekli, liwat ngarepe tokone Tukinem. Pirang-pirang sore wong kuwi mimpin baris ing kono, kaya-kaya pamer kekuwatane, panguwasane. Wis pira wae dibon pidhato ing rapat raseksa neng Purwodadi, Jenar, Ngombol, Sruwoh. Biyen ngancam marang sing sok sapaa ora gelem tuku rabuk ZA ing Padi Sentra. Saiki ngancam wong sugih-sugih sing ora gelem ngedum sawahe marang rakyat! Semangate makantar-kantar. Jenenge sangsaya kerep disebut-sebut. Embuh kapan dadi petani, nanging dheweke kondhang dadi pengarepe Barisan Tani Indonesia (BTI). Dheweke ngojok-ojoki rakyat sing miskin, sing ora duwe tanah, dikon ngrebut tanahe wong sugih sing ora gelem mlebu dadi anggota barisane para tani sing dikuwasani lan diayomi! Tanah kuwi bandhane wong tani. Sing duwe asale ya wong tani. Mula kudu dadi kekuwatane wong tani mbangun uripe. Asile dipangan bebarengan sapadha-padha. Kahanane saiki ora mengkono, ora adil. Mula kudu direbut, diadili. Sing sugih kuwi wong-wong borjuis-kapitalis, wong srakah, kudu direncak. Rakyat nuntut keadilan!”
(DWC, hlm. 148)

Kawasan di beberapa desa yang disebutkan tersebut memang daerah pertanian yang dikenal dengan kejahatannya hingga saat ini. Jika tahun 1960-an karena ulah orang-orang Partai Komunis, sekarang karena ulah berandalan. Kawasan tersebut memang kawasan pertanian yang dapat dikatakan tidak surplus. Melalui Donyane Wong Culika, kita semua seperti diingatkan bahwa sebuah kawasan miskin dan jauh dari gemerlapan kota besar pun memiliki pesona ketika diangkat menjadi latar sebuah novel Jawa modern. Suasana yang dibangun di dalam novel itu juga terasa dan tercium baunya sebagai khas novel Jawa. *8).
III.
Kehadiran Donyane Wong Culika semakin mengukuhkan keberadaan Suparto Brata sebagai pengarang Jawa. Produktivitasnya menempatkan dirinya secara mantap dalam dunia sastra Jawa modern. Karya-karyanya selalu menekankan pada perjuangan hidup secara realistis melalui penggambaran tokoh-tokohnya. Dalam setiap karyanya, Suparto Brata jarang menampilkan sosok hitam putih. Artinya, tokohnya tidak selalu menggambarkan sosok hero, gagah, dan selalu menang. Cara penggambaran tentang masalah ini didasari oleh pemahaman bahwa dalam mencipta karya sastra tokohnya tidak selalu harus menang. Hal ini didasari oleh pemahaman bahwa kelemahan manusia pun dapat menjadi sumber dalam penokohan.

Apa yang dibutuhkan oleh cerita berbahasa Jawa saat itu adalah keanekaragaman lakon. Di dunia ini banyak lelakon atau gerak pergeseran hubungan antara manusia di luar hubungan cinta asmara yang bisa menarik untuk diceritakan. Mengapa hubungan cinta asmara mesti dijadikan pokok cerita? Mengapa bukan hubungan dan pergeseran yang lain itu dijadikan masalah? Cinta asmara bisa hanya dijadikan bumbu penyedap cerita. Mengapa tidak diambil tema ketakutan seseorang? Ketakutan! Rasa takut seseorang menjadi tulang punggung ceritaku. Aku cari sebab-sebab ketakutan seseorang. Orang yang dihinggapi rasa takut bukanlah mesti seorang perempuan atau anak kecil, tetapi juga seorang laki-laki yang bersenjata pula. Zaman yang baru saja lewat, yang juga kualami, masih tandas mengesan di hatiku. Mudah mencari laki-laki dewasa ketakutan pada zaman perang, ketika peluru nyasar mudah mengoyak dada manusia dan menerbangkan nyawa pejuang Indonesia. Nah, pilihan tokohnya sudah kutemukan. Seorang pejuang Indonesia masuk kota pendudukan Belanda dan terjebak oleh pertempuran sehingga harus terperangkap di daerah musuh. Lalu? Mesti ada bumbu cinta asmara. Pejuang yang terjebak itu harus kupertemukan dengan seorang gadis remaja. Tidak mungkin aku ambil tokoh begitu saja seperti ambil wayang dari kotaknya, kumainkan di atas layar, dan nanti setelah tidak diperlukan kembali kumasukkan kotak! Tokoh perempuan itu harus punya latar belakang kehidupan sebagaimana manusia wajarnya. Jadi kurekalah peri kehidupan si gadis: asal-usul dari keluarganya. Ia juga harus punya kisah tersendiri mengapa sampai di rumah tempat pejuang tadi terjebak!”
(Jatuh Bangun Bersama Sastra Jawa, 1981;19-20)


Ungkapan Suparto Brata di atas menampakkan mengenai jati dirinya dalam memandang persoalan sastra Jawa. Ia berani menyimpang dari “kebiasaan” yang berlangsung dalam sastra Jawa, yaitu penulisan kisah asmara yang dangkal dan penggambaran tokoh cerita yang serba hitam-putih. Dari ungkapannya itu pula tampak bahwa sistem kepengarangannya tidak terpola seperti pengarang-pengarang yang lain (tidak ingin berlaku seperti dalang wayang kulit). Demikianlah dengan tokoh-tokoh Kasminta, Tukinem, Pratinah, Guru Kardi yang akhirnya terlibat dalam keculasan.
***
DAFTAR PUSTAKA
Brata, Suparto, 1981, Jatuh Bangun Bersama Sastra Jawa. Jakarta: Proyek Penulisan dan Penerbitan/- majalah Pengetahuan Umum dan Profesi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Hamangkubuwana X, Sri Sultan. 1998. “Refleksi Sastra” Dalam Caraka (edisi khusus), Oktober.

Hutomo, Suripan Sadi, 1975. Telaah Kesusastraan Jawa Modern. Jakarta; Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Suryadi Ag., Linus, 1995. Dari Pujangga ke Penulis Jawa. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Tamsir AS. 1991. “Sanggar Sastra Jawa sebagai Benteng Pelestarian Sastra Jawa” Makalah Kongres Bahasa Jawa I. Juli.

Catatan kaki:
*1) Tamsir As (1991;4) menyebut peristiwa pembreidelan itu suatu petaka bagi sastra Jawa. Sementara itu, majalah Mekar Sari, Yogja, 1 Februari 1967, X, No. 23, membeberkan judul buku yang dilarang (dibeslah), yaitu: (1) Asmara Tanpa Weweka, (2) Cahyaning Asmara, (3) Godhane Prawan Indo, (4) Jeng Any Prawan, (5) Aboting Kecantol Kenya Sala, (6) Asmara ing Warung Lotis, (7) Pangurbanan, (8) Kabuncanging Sepi, (9) Nyaiku, (10) Tape Ayu, (11) Tumetesing Luh, (12) Sih Katresnan Jati, (13) Wanita Methakil, (14) Ketangkep Teles, (15) Gerombolan Gagak Mataram, (16) Peteng Lelimengan, (17) Rebutan Putri Semarang, (18) Lara Branta, (19) Macan Tutul, (20) Lagune Putri Kasmaran, dan (21) Gara-Gara Rok Mepet Rambut Sasak.

*2) Majalah merupakan sarana yang paling efektif bagi publikasi sastra Jawa. Kenyataan ini semakin tampak setelah penerbit-penerbit buku tidak lagi tertarik untuk mempublikasikan sastra Jawa karena nilai komersialnya tidak dapat diandalkan.

*3) Pada tahun 1980-an muncul novel (1) Mendhung Kasaput Angin (1980), karya Ag. Suharti; (2) Guntur Geni Manggalayudha (1982), karya Any Asmara; (3) Trajumas (1986), karya Imam Sarjono (Is. Jon); (4) Dokter Wulandari (1987), karya Yunani; (5) Daradasih (1980), karya Sudibyo Z. Hadisutjipto, dan (6) Krikil-krikil Pesisir (1988) karya Tamsir As. Pada tahun 1990-an terbit novel (1) Wong Wadon Dinarsih (1991); (2) Ombak Sandyakalaning (1991), karya Tamsir As; (3) Pacar Gadhing (1991), (4) Bumerang (1991), karya Ardhini Pangastuti; (5) Sumpahku-Sumpahmu (1993) karya Nanik PM (PC. Pamudji); (6) Sintru oh Sintru (1993), karya Suryadi WS; (7) Nalika Prau Gonjing (1993), karya Ardhini Pangastuti; (8) Kerajut Benang Ireng (1993), karya Harwimuka; (9) Kembang Alang-alang (1993), karya Margaretha Widhie Pratiwi; (10) Kubur Ngemut Wewadi (1993); (11) Lintang Saka Padhepokan Gringsing (1994), karya AY Suharyono; (12) Timbreng (1994), karya Satim Kadaryono; (13) Nalika Langite Obah (1997), karya Esmiet; (14) Pethite Nyai Blorong (1996); (15) Sanja sangu Trebela (1996); (16) Astirin Mbalela (1995), karya Pèni (Suparto Brata); (17) Lintang (1997), karya Ardhini Pangastuti, dan (18) Pupus kang Pepes (1998), karya Suharmono Kasiyun.
Antologi cerita pendek (yang tidak digabungkan dengan geguritan), yaitu (1) Usaha Kang Pungkasan (1987) karya Sukardo Hadisukarno; (2) Byar (1992) karya Sanggar Triwida; (3) Niskala (1993), (4) Jangkar (1994); (5) Mutiara Sagegem (1995) karya Suwardi Endraswara; (6) Nalika Srengenge Durung Angslup (1996) karya Ardhini Pangastuti; (7) Sajak (1997) karya Wakidi, dan (8) Ratu (1995) karya Krishna Mihardja. Di pihak lain, antologi gabungan antara cerita pendek Jawa dan geguritan, di antaranya (1) Saroja Mekar (1986) karya Subagio Ilham Notodidjojo; (2) Antologi Geguritan dan Crita Cekak (1991) oleh Taman Budaya Yogyakarta; (3) Rembulan Padhang ing Ngayogyakarta (1992); (4) Cakramanggilingan (1993); (4) Pangilon (1994); (5) Pisusung (1997) editor Dhanu Priyo Prabowo; (6) Anak Lanang (1993) karya Raminah Baribin; (7) Pesta Emas (1995) editor Dhanu Priyo Prabowo dan Linus Suryadi Ag.; (8) Pemilihan Lurah (1996) editor H. Mardianto dkk, dan (9) Lion Tembang Prapatan (1999) oleh Taman Budaya Yogyakarta; dan Trem; Antologi Crita Cekak (2000) karya Suparto Brata.
Antologi puisi Jawa modern (geguritan) juga muncul pada dekade 1980-1990-an. Karya puisi yang diterbitkan dalam bentuk buku, yaitu (1) Kidung Awang-uwung (1981), karya A. Nugroho dkk.; (2) Geguritan: Antologi Puisi Jawa Modern (1940-1980),editor Suripan Sadi Hutomo (1985); (3) Angin Sumilir: Kumpulan Guritan 1967-1982 (1988), karya Suripan Sadi Hutomo; (4) Kalung Barleyan (1988), editor Suripan Sadi Hutomo; (5) Paseksen: Guritan Gagrak Anyar (1989), karya Wieranto; (6) Kalabendu (1991); (7) Pajar Sumiyar ing Adikarta (1992), karya Suryanto Sastroatmodjo dkk.; (8) Gurit Panantang (1993), karya Widodo Basuki, (9) Lading (1994), karya Bene Sugiarto, (10) Kristal Emas (1994), karya Suwardi Endraswara, (11) Festival Penyair Sastra Jawa Modern (1995), oleh Sanggar Triwida; (12) Drona Gugat (1995), editor Sugeng Wiyadi dan Widodo Basuki; (13) Guru Rong Puluh (1995) karya Budi Palopo; (14) Pisusung (1995), editor Sugeng Wiyadi; (15) Cuwilan Urip Jro Tembung (1996), Keluwarga Mahasiswa Sastra Jawa FSUI; (16) Siter Gadhing (1996), karya Djaimin K.; (17) Potret Reformasi dalam Puisi Tegalan (1998), editor Endy Kepanjen CS dkk.; (18) Ruwat Desa (1998), editor Lanang Setiawan; (19) Layang Saka Tlatah Wetan (1999), karya Widodo Basuki; (20) Kirab Gurit 45 (1999); (21) Paseksen Anake Ki Suto Kluthuk (1999); dan (22) Kirab Gurit 53, karya Diah Hadaning.
Di samping itu, juga terbit kumpulan naskah drama sayembara tahun 1979 yang berjudul Pengurbanan (1980), karya Aryono KD; Kali Ciliwung (1980), karya Moch. Nursyahid P.; Sacuwil Ati lan Wengi karya Suliyanto (1980); Gandrung Kecepit (1981), karya Sarwoko Tesar (kumpulan naskah drama); Tugas (1981), karya Soetiatmi; Tumiyuping Angin Wengi (1981), karya Aryono KD.; dan Gapit (1998), karya Bambang Widoyo Sp.

*4) Novel-novel Suparto Brata yang dimuat secara bersambung di majalah berbahasa Jawa, yaitu (1) “Kaduk Wani” (Terlanjur Berani), 1966, Jaya Baya, (2) “Kena Pulut” (Terkena Getah Lengket), 1967, Jaya Baya, (3) “Titising Sepata” (Ketepatan Bicara), 1966, Jaya Baya, (4) “Sala Lelimengan” (Solo Gelap Gulita), 5 April – 15 Agustus 1965, Panjebar Semangat; (5) “November Abang” (November Merah), 1965, Jaya baya; (6) “Jaring Kalamangga” (Jaring Kalamangga), Januari-Maret, 1966, Jaya Baya; (7) “Nyawa 28” (Nyawa 28, dengan nama samaran Eling Jatmika), 1967, Jaya baya; (8) “Luwih Becik Neraka” (Lebih Baik Neraka Daripada Kolonialisme, naskah ini diganti judulnya oleh redaksi menjadi “Tangise Prawan Sundha”, Tangis perawan Sunda), 1970, Panjebar Semangat; (9) “Dlemok-dlemok Ireng” (Noda-noda Hitam, naskah ini diganti judulnya oleh redaksi menjadi “Ngebut”, Ngebut), 1971, Jaya Baya; (10) “Dom Sumurup Ing Banyu” (Jarum Menyusup Ke Air), 5 Desember 1971 – 8 Maret 1972, Jaya Baya; (11) “Jemini” (Jemini, dengan nama samaran Pèni), 1972, Jaya Baya; (12) “Fantasi” (Fantasi), 1972, Jaya Baya; (13) “Nglacak Ilange Sedulur Ipe” (Melacak Hilangnya Saudara Ipar, naskah ini diubah judulnya oleh redaksi “Kepelet”, Terculik), 1973, Jaya Baya; (14) “Garuda Putih” (Garuda Putih), 1974, Panjebar Semangat; (15) “Ngingu Kutuk ing Suwakan” (Memelihara Ikan Kutuk di Kubangan) 1975, Panjebar Semangat; (16) “Rembulan Kasmaran” (Rembulan Jatuh Cinta), 1977, Jaya Baya; (17) “Nona Sekretaris” (Nona Sekretaris, dengan nama samaran Pèni), 9 Januari – 5 Agustus 1984, Jaya Baya; (18) “’t Spookhuis” (Rumah Hantu), 1991, Panjebar Semangat; (19) “Kunarpa Tan Bisa Kandha” (Mayat Tak Bisa Bicara), 17 November 1991 – 8 Maret 1992, Jaya Baya; (20) “Astirin Mbalela” (Astirin Berontak), dengan nama samaran Pèni, 27 Maret – 10 Juli 1993, Djaka Lodang (naskah ini kemudian dicetak menjadi buku oleh Lembaga Studi Jawa Jogyakarta pada tahun 1995); (21) “Dahuru Ing Loji Kepencil” (Gejolak di Gedung Terpencil), 1993, Jawa Anyar; (22) “Clemang-Clemong” (Asal Bicara), 4 Agustus – 22 Desember 1996, Jaya Baya; (23) “Pariwara Mini” (Iklan Mini), 25 Oktober – 15 November 1998, Djaka Lodang; (24) “Pacare Udin” (Pacarnya Udin), 2 Januari – 10 April 1999, Panjebar Semangat; (25) “Bekasi Remeng-remeng” (Bekasi Remang-remang), 2000, dengan nama samaran Pèni, Panjebar Semangat; (26) “Keluwarga Pejuwang” (Keluarga Pejuang), 2002, dengan nama samaran Pèni, Panjebar Semangat; (27) “Cintrong Traju Papat” (Cinta Segi Empat), 2006, Panjebar Semangat; (28) “Ser! Ser! Plong!” (Dag-dig-dug), 2006, Jaya Baya; (29) “Mbok Randha Saka Jogja” (Janda dari Jogja), 2006, Djaka Lodang; (30) “Cocak Nguntal Elo” (Pipit Menelan Jagung), 2007, Damar Jati.
Karya-karya Suparto Brata berbahasa Jawa yang berbentuk novel dan kumpulan cerita pendek yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku, yaitu (1) Kadurakan Ing Kidul Dringu (Kedurhakaan di Selatan Dringu), 1964, Ariyati Surabaya; (2) Lara Lapane Kaum Republik (Suka Duka Kaum Republik), 1965, Penerbit Jaya Baya, Surabaya; (3) Tanpa Tlacak (Tiada Bekasnya), 1962, CV. Setia Kawan, Surabaya; (4) Katresnan Kang Angker (Cinta Yang Angker), 1962, CV. Setia Kawan, Surabaya; (5) Pethite Nyai Blorong (Ekornya Nyai Blorong), 1965, dengan nama samaran Pèni, CV. Ariyati Surabaya; (6) Emprit Abuntut Bedhug (Pipit Berekor Bedug), 1966, CV Ariyati, Surabaya; (7) Tretes Tintrim (Tretes Sepi Senyap), 1965, CV Ariyati Surabaya; (8) Asmarani , 1983, dengan nama samaran Pèni, Bina Ilmu Surabaya; (9) Pawestri Telu (Tiga Orang Perempuan), 1983, Bina Ilmu Surabaya; (10) Sanja Sangu Trebela (Bertandang Bawa Peti Mati), 1967, CV. Ariyati Surabaya; (11) Patriot-patriot Kasmaran (Patriot Yang Jatuh Cinta), 1966, CV. Gema Surakarta (punya Khoo Ping Hoo); (12) Lintang Panjer Sore (Bintang Berkelip Sore Hari), 1966, CV. Gema Surakarta; (13) Dinamit, 1966, CV Gema Surakarta; (14) Astirin Mbalela (Astirin Berontak), 1995, Lembaga Studi Jawa, Yogyakarta (dengan samaran Pèni, naskah ini pernah dimuat di Djaka Lodang, 27 Maret – 10 Juli 1993; (15) Trem (kumpulan cerita pendek Jawa 1960-1993), 2000, Pustaka Pelajar Yogyakarta. (16) Donyane Wong Culika, 2004, Narasi Yogyakarta, (17) Lelakone Si Lan Man (kumpulan cerita pendek Jawa 1960-2003), 2005, Narasi Yogyakarta, (18) Dom Sumurup Ing Banyu, (Jarum Menyusup ke Air) 2006, Narasi Yogyakarta; (19). Cintrong Traju Papat Lan Babare Lomba Esai PS 2006, 2007, Panjebar Semangat Surabaya. (20) Suparto Brata’s Omnibus, 2007, Narasi Yogyakarta.

*5) Hal ini terjadi karena pembaca Jawa semakin berkurang bersamaan dengan semakin menurunnya kemampuan berbahasa Jawa. Di samping itu, muncul asumsi di kalangan pembaca Jawa bahwa buku-buku sastra Jawa mengalami kemerosotan mutu.

*6) J.F.X.Hoery pada tahun 2003 menerbitkan sebuah karyanya yang berbentuk antologi geguritan berjudul Pagelaran, (mendapat hadiah Rancagé 2003). Dengan merogoh uang kantongnya sendiri, ia berhasil membuat sebuah buku perjalanan hidupnya dalam mencipta puisi selama 30 tahun.

*7) Parikesit adalah sebuah majalah berbahasa Jawa yang baru saja terbit (tahun 2003) di Jakarta. Majalah ini formatnya mirip dengan majalah Intisari. Diterbitkan dan dibiayai oleh Bambang Sadono. Namun, majalah ini pemasarannya sangat tidak diperhatikan sehingga tidak dapat tersebar luas ke tengah masyarakat. Dilihat dari bahasanya, majalah ini jauh lebih baik dibandingkan majalah-majalah lain yang saat ini masih terbit. Isinya pun lumayan bagus.

*8) Sesudah pujangga R. Ng. Ranggawarsita yang adalah pengarang, seorang pengarang, menurut pandangan Jawa, keahliannya hanya menciptakan karya sastra saja. Istilah ini umumnya dikenakan jauh sebelum itu, dikenakan pada murid R. Ng. Ranggawarsita yang bernama Ki Padmosusastro (Hutomo, 1990;8). Kenyataan ini dipertegas oleh pernyataan Sri Sultan Hamengkubuwana X (1998) yang menyatakan bahwa dari pemahaman perkembangan sastra Jawa masa kini bukan lagi bersumber dari sastra kraton sebagai sastra adiluhung atau susastra. Oleh karena perkembangan kemasyarakatan, keberadaan pujangga keraton menjadi semakin lemah sehingga peranannya digantikan oleh penulis di masyarakat. Akibatnya, terjadilah keterputusan interaksi antara sastra yang disebut sebagai sastra adiliuhung dengan sastra rakyat. Ironisnya, sastra Jawa yang ditulis oleh rakyat tidak atau kurang mendapat sambutan dari rakyat Jawa saat ini. Suryadi Ag (1995;7) menyatakan bahwa pengarang sastra Jawa modern tidak berasal dari lingkungan keraton, juga bukan pula berdarah pujangga keraton. Akan tetapi, mereka berasal dari wilayah pedesaan. Sesuai dengan trend zaman, mereka pun bergulat dalam kehidupan dan tantangan konkret sehingga predikat yang tersemat dibahunya lebih tepat bila dikatakan sebagai pengarang urban. Mereka tidak memakai bahasa Sanskerta, tidak pula memakai bahasa Jawa Kuna atau Kawi. Bahkan, huruf yang dipakai untuk menulis pun bukan huruf Jawa melainkan huruf Latin. Bahasa ekspresinya adalah bahasa Jawa modern, atau Jawa ngoko atau Jawa Krama, yang dengan deras pula menerima masukan kosakata dari bahasa Indonesia dan Inggris. Orientasi budaya yang ditatap bukan lagi keraton tradisional Jawa (karena sudah tidak menjanjikan apa-apa), egaliter, yang sekuler dan belum tertata dengan baik dan mapan. Para pengarang sastra Jawa sebagian besar hidup di kota kecil dan pedesaan. Oleh karena itu, letak geografis tempat tinggal para pengarang sastra Jawa sebagian besar tercermin dalam karya-karyanya. Akibat dari sebagian besar karya-karya mereka menggambarkan masyarakat pedesaan atau kota kecil, karya-karya tersebut lebih cenderung dinilai sebagai sastra ndesa (sastra desa). Namun, Suparto Brata lain. Walaupun ia bukan berasal dari desa, tetapi kemampuannya menyelami kehidupan desa benar-benar menjadikan novel Donyane Wong Culika menjadi kuat warna kedesaannya.

Tags:

0 comments to "KONTELASI DONYANE WONG CULIKA DALAM DUNIA PENERBITAN SASTRA JAWA"

Leave a comment