Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » »

MENCARI SARANG ANGIN (NOVEL, 726 HALAMAN)
PT GRASINDO JAKARTA 2005

MODERNITAS DAN LOKALITAS DALAM
“MENCARI SARANG ANGIN” KARYA SUPARTO BRATA:
PERSPEKTIF PASCAKOLONIAL
(Modernity and Locality in “Mencari Sarang Angin” by Suparto Brata:
The Postcolonial Perspective)
Oleh: Lina Puryanti
(Dosen Jurusan Ilmu Sastra FISIP UNAIR)

Abstract:
The postcolonial discourse in the novel Mencari Sarang Angin (MSA) by Suparto Brata shows an ambivalence identity of the characters. In one side this novel welcomes the modernity offered by the colonizer ideology while, at the same, it also tries to build a local identity related with the matter of self-authenticity. Bhabha said this situation and the condition as the “location of culture” which shows in-between position of the subject. In this case, mimicry or imitation experienced by the postcolonial subject has put them as the mediator group between the colonizer’s interests in distributing its power towards the colonialized community. In spite of giving a heroic political resistance against the colonizer, the discourse of postcolonial tends to pay attention on the heritage of the realm of colonial in postcolonial period which is signified by the ambivalence and unstable meaning.

Latar Belakang.
Modernisasi bangsa-bangsa di Asia dan Afrika terutama sejak penyebaran peluang mengenyam pendidikan Barat di bawah pemerintahan colonial, pada pertengahan abad ke-19 (atau, di Hindia Belanda pada dekade kedua abad ke-20) membawa, salah satunya, konsekuensi yang amat penting dalam wacana pascakolonial, sebagaimana pertama dikembangkan oleh Homi Bhabha, yaitu “mimikri” atau “peniruan” citra kaum penjajah oleh kaum yang dijajah. Penyebaran pendidikan Barat itu pada mulanya diciptakan untuk memperkukuh kekuasaan kolonial dengan menciptakan sebuah golongan dalam masyarakat jajahan yang mengindentifikasikan dirinya dengan budaya penjajah dan menganggap dirinya sebagai wakil budaya Barat di masyarakat terjajah. Harapan itu diungkapkan dalam Minute to Parliement, pernyataan terkenal Lord Macaulay di hadapan parlemen Inggris pada tahun 1835, yang menegaskan kebutuhan mendidik kelas baru cendekiawan “perantara” di India, tanah jajahan Inggris. Lord Macaulay menganjurkan terciptanya “kelas penerjemah yang menjadi perantara antara kita dan jutaan rakyat yang kita kuasai ~ yaitu satu kelas yang dalam hal warna kulit dan darah adalah orang India, tetapi dalam selera, opini, moralitas, dan intelektualitas, sepenuhnya orang Inggris.” Dalam konteks Indonesia (atau Hindia Belanda) pernyataan yang serupa baru dikemukakan pada tahun 1899 oleh T.Ch. van Deventer, salah satu perintis Politik Etis. Dengan angkuh van Deventer menyatakan “Tapi alangkah agung tujuan yang kita kejar! Pembentukan suatu lapisan sosial di Timur Jauh yang berutang budi pada Belanda karena memberi mereka kemakmuran dan budaya tinggi, dan mereka mau mengakui kenyataan tersebut.) *1)
Namun demikian, bagi penjajah perbedaan antara kaum penjajah dan yang dijajah harus tetap dipertahankan. Suatu golongan “perantara” yang menurut Macaulay masih berada di luar golongan penjajah. Bhabha menyatakan warga terjajah dididik untuk menjadi almost the same, but not quite, atau dengan ungkapan rasialis yang tepat, almost the same but not white (89). Manusia bukan Barat dapat diajar “meniru”, tetapi bagi penjajah, “peniruan” itu akan tetap terhambat oleh sifat-sifat “kodrati” yang selalu membedakan Barat dan bukan barat. Perbedaan yang secara sengaja dipertahankan ini berangkat dari kekhawatiran bahwa peniruan bisa menjadi ancaman bagi stabilitas pemerintah kolonial walaupun, pada saat yang bersamaan, juga menunjukkan betapa rapuhnya wacana sosio-budaya yang mempertahankan konsep perbedaan “kodrati” tersebut. Mimikri, menurut Bhabha, tidak pernah jauh dari “pengejekan”, karena kaum terjajah tidak pernah mereproduksi secara tepat nilai-nilai dan institusi-institusi yang mereka ambil dari Barat. Mimikri selalu menghasilkan salinan yang kabur (blurred copy) dari apa yang ditiru. Wacana ini juga sekaligus mengingatkan akan pentingnya hubungan antara kaum penjajah dan yang terjajah yang bersifat ambivalen dalam wacana pascakolonial. Bila wacana antikolonial mengacu kepada perlawanan kaum terjajah yang menentang situasi politik, ekonomi, dan budaya kolonial maka wacana pascakolonial lebih memperhatikan sifat-sifat dari alam kolonial dan warisannya di alam pascakolonial yang ditandai oleh perebutan, ambivalensi dan ketidakmampuan makna.*2)
Wacana pascakolonial sendiri sering dituduh “kabur”, tidak sanggup menghasilkan analisis atau kesimpulan yang “konkret”, bahkan boleh juga dianggap mengelabui perlawanan yang menjadi kenyataan objektif dalam eksploitasi colonial yang masih berlangsung. Tetapi sebenarnya, di alam bawah sadar pada perlawanan politik yang bersifat anti-kolonial selalu berseliweran hubungan budaya yang saling bertentangan atau pernah ambivalensi antara penjajah dan yang dijajah. Suatu hubungan budaya yang mulai dapat dipahami dengan bantuan beberapa konsep kunci wacana pascakolonial. Salah satu konsep kunci yang dapat dijadikan sebagai suatu strategi pembacaan teks-teks sastra dan non sastra yang dilahirkan di alam kolonial adalah “mimikri” yang digagas oleh Bhabha yang melahirkan banyak ambivalensi.
Dalam prosesnya di negara-negara jajahan peniruan tersebut mendapat tanggapan yang bermacam. Sebagian dengan gegap gembira menerimanya, sebagian yang lainnya menolak mentah-mentah, sementara juga terdapat kelompok yang terombang-ambing antara menerima dan menolak. Dalam konteks Indonesia gejala peniruan, khususnya dalam menanggapi sikap mendua golongan penjajah, juga mendapat tanggapan yang beragam. Sukarno (1963;5), misalnya, menempatkan pilihan akan ketimuran yang tetap berada dalam kerangka yang disebutnya sebagai “pengetahuan atas susunan ekonomi dunia dan riwayat”. Ki Hajar dewantara (1977;131-132) membangun sistem pendidikan nasional Taman Siswa, dengan diilhami oleh sistem pendidikan Montessori dan Tagore, yang merupakan jawaban atas semacam krisis dalam pendidikan modern Barat yang menjadikan manusia hanya sebagai mesin. Sutan Takdir Alisyahbana cenderung menempatkan kebudayaan modern sebagai puncak dari perkembangan sejarah peradaban Barat. Dengan kata lain, segala pilihan tersebut sebenarnya berada dalam hubungan yang tidak terpisahkan dari persoalan kekinian pascakolonial para subjeknya. Pilihan-pilihan tersebut menunjukkan adanya keinginan menjadi bagian dari sejarah dunia yang global serta ikut berpatisipasi di dalamnya, meskipun misalnya pilihan tersebut bisa cenderung menjadi pilihan yang bersifat anti Barat. Satu tanggapan yang secara jelas menempatkan pilihan dalam situasi pascakolonial ditunjukkan oleh Armijn Pane (1933a). Ia menyebut diri dan generasinya sebagai masyarakat yang hidup dalam “zaman kebimbangan”; ada yang bergerak ke masa lalu, ke masa kini, dan ke masa depan.*3)
Berkenaan dengan persoalan mimikri yang bersifat ambivalensi maka novel Mencari Sarang Angin (selanjutnya disebut MSA) karya pengarang asal Surabaya, Suparto Brata, akan dibahas dalam makalah ini. Pilihan ini berangkat dari asumsi bahwa MSA, dengan latar perkembangan jurnalisme di Kota Surabaya, yang disampaikan melalui narator Darwan Prawirakusuma pada masa sebelum kemerdekaan sampai dengan masa revolusi penuh dengan ambiguitas yang bertolak belakang dengan visi anti-kolonial yang amat tegas. Berlainan dengan mitos bahwa “perjuangan melawan penjajah” selalu bersifat heroik maka novel ini justru menunjukkan adanya “kekaburan makna” yang merupakan ciri khas wilayah pascakolonial sebagaimana yang disampaikan oleh Bhabha di atas. Persoalan mendasar yang akan dibahas adalah pergulatan antara modernitas (yang diasumsikan dibangun oleh nilai-nilai yang ditawarkan oleh wacana kolonial Belanda) dengan lokalitas yang dibawa melalui budaya etnis tradisional yang dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang sedang berkembang ke arah dunia modern. Dalam persoalannya dengan adat-istiadat juga ditunjukkan bagaimana lokalitas dua wilayah yang berbeda dalam adat dan kebiasaan (Surabaya dibandingkan dengan keningratan Surakarta), di tangan pengarangnya juga saling berebut memperlihatkan superioritasnya. Novel MSA menunjukkan bagaimana modernitas dan lokalitas yang acapkali diletakkan dalam kategori oposisi biner ternyata masih berbagi irisan, bukan pemisahan yang mutlak, berjalin berkelindan tak terpisahkan. Sebuah wilayah “antara” yang penuh misteri, the liminal space between cultures, di mana garis batasnya tidak pernah tetap dan tidak pernah bisa diketahui batas dan ujungnya.

Modernitas dan lokalitas.
Dalam wacana kolonial penguasa kolonial dengan segala gaya hidup dan sudut pandangnya selalu ditempatkan dalam posisi yang lebih superior dan mempunyai otoritas tertinggi dalam menentukan tinggi atau rendahnya martabat kelompok masyarakat yang dijajahnya. Wacana masyarakat terjajah sangat terikat pada perkembangan wacana yang diproduksi oleh masyarakat dan kebudayaan penguasa. Dan sudut pandang ini berkembanglah gagasan bahwa apabila ingin mendapat pengakuan sebagai bagian dari golongan yang mempunyai martabat tinggi, masyarakat yang terjajah perlu mengikuti arus wacana kolonial Barat yang mengglobal dengan cara melakukan peniruan terhadapnya. Arus wacana Barat ini, antara lain, terepresentasikan dalam ide-ide tentang demokrasi, persamaan hak, nasionalisme, sosialisme, lembaga perkawinan, dan sebagainya. Dalam hal ini Heather Sutherland (1983) berpendapat bahwa peniruan gaya hidup orang Eropa yang berkembang biak sejak pertengahan kedua abad XIX merupakan manifestasi dari hasrat masyarakat terjajah untuk menyesuaikan diri dengan “kehendak zaman”, mencapai kemajuan, dan menempatkan diri sama dengan bangsa penjajah.
Dalam prakteknya, acana kolonial ini bukanlah sebuah wacana yang sepenuhnya langsung disadari oleh masyarakat terjajah. Ia bisa hadir dalam konteks yang sangat simpatik dengan dukungan tokoh-tokoh yang simpatik pula sehingga semua gagasan, tujuan, maupun cita-citanya justru dapat dibenarkan dan, bahkan, diteladani dalam sebuah narasi. Apa yang nampak sangat “kolonialis” bagi pembaca bisa dimaknai sebagai “modernitas” di alam ceritanya. Kategori “kolonialis” tidak ada di benak pengarang dan pembaca yang ditujunya. Yang ada adalah dunia modern yang harus diperjuangkan di atas dunia etnis tradisional yang penuh dengan kekolotan dan suasana yang negatif. Wacana paling mendasar dalam struktur cerita MSA yang merepresentasikan keunggulan budaya Barat yang dikontraskan dengan nilai-nilai adat tradisional dapat mulai dilacak jejaknya dari judul novel ini sendiri, Mencari Sarang Angin. Novel ini dimulai dengan cerita tentang kepergian tokoh utama, Darwan Prawirakusuma, pewaris tahta istana yang mewah, Surakarta Hadiningrat, menuju Surabaya untuk mencari penghidupan sendiri lepas dari segala fasilitas yang menjadi haknya di istana tersebut. Sebuah kepergian yang diejek oleh saudara-saudaranya sebagai kepergian mencari sarang angin alias kepergian yang konyol karena akan menjadi sia-sia sebagaimana tidak mungkinnya mencari sarang angin dalam istilah yang harfiah. Dikisahkan pada awalnya kepergian Darwan ini disebabkan karena ia tidak tahan lagi dengan tuduhan telah jatuh cinta pada salah satu selir ayahnya sendiri, Kundarti, yang kebetulan namanya dijadikan tokoh utama cerita yang ditulis oleh Darwan, Prahara Ing Surakarta dan dimuat di Dagblad Expres, suratkabar harian yang terbit di Surabaya. Panggilan dari Tuan Ayat, redaktur suratkabar tersebut, kepada Darwan untuk menjadi wartawan di suratkabar ini menjadi alasan kepergian Darwan ke Surabaya dan sekaligus untuk membersihkan namanya dari tuduhan perselingkuhan dengan Kundarti. Beatrix, teman dekat Darwan yang orang Belanda, menghalangi kepergian ini dengan alasan bahwa sesungguhnya:

“seseorang tidak harus selalu wani ngalah luhur wekasane (berani ngalah bahagia pada akhirnya) seperti yang menjadi panutan orang Jawa, panutan ajaran hidup yang banyak didendangkan para abdi, para petani, juga para bangsawan, dan dianjurkan oleh para guru kepada murid-muridnya. Berbantah, melawan, bertindak kasar, itu suatu kekuatan jasmani yang perlu dimiliki seseorang dalam mempertahankan atau memperebutkan kedudukannya,” (p.82).

Ini artinya Darwan tidak seharusnya meninggalkan Surakarta karena tuduhan itu. Dia harus bertahan untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah tetapi justru sebaliknya Darwan tidak melakukannya. Ia memilih pergi karena tidak ingin berbantahan. Dalam narasi ini secara sangat sugestif ditunjukkan betapa nilai-nilai filsafat tradisional berupa pesan wani ngalah luhur wekasane yang menjadi panutan bagi hampir semua kalangan di Jawa mulai dipertanyakan, diinterogasi dan dipertentangkan dengan rasionalitas ala Barat (Belanda) tentang nilai-nilai bagaimana seseorang seharusnya mempertahankan haknya dan tidak mengalah begitu saja. Novel memperkuat kesan ini melalui uraian tokoh S. Darsono yang dimuat dalam Dagblad Expres. Tokoh S. Darsono ~ gembong Partai Komunis Indonesia yang terpaksa meninggalkan Indonesia karena tersangkut pemberontakan 1926 ~ membahas makna “wani ngalah luhur wekasane” yang terdapat pada dua susun syair tembang Mijil. Tembang itu berisi:

“Cilik mula, cilaka wak mami,
manggung dadi lakon.
Warna-warna wus nglakoni kabeh,
Amung loro sing durung nglakoni,
Mukti karo mati, paran marganipun.”
(Begini ceritanya.
Berbagai nasib semua telah kulakukan,
Hanya dua yang belum,
Mukti dan mati, bagaimana jalannya).

“Dedalane, guna lawan sekti,
Kudu andhap asor,
Wani ngalah luhur wekasane,
Tumungkula yen dipundukani,
Bapang den simpangi, ana catur mungkur.
(Jalan yang manfaat dan sakti,
haruslah sopan santun,
berani mengalah bahagia pada akhirnya,
menunduklah jika dimarahi,
kekerasan disingkiri, ngerumpi dihindari).

Menurut uraian S. Darsono di Dagblad Expres, dua susun tembang Mijil itu merupakan ajaran yang defaitist, inferieur, ngapesake awak, njalari kadang Jawa ngrasa sengsara terus, apes terus, ora nduweni rasa percaya dhiri (melumpuhkan, rendah diri, mencelakakan diri, membuat orang Jawa merasa sengsara terus, sial terus, tidak punya rasa percaya diri). Dikisahkan bahwa Darwan telah mendengar dan hapal tembang ini sejak dari kecil karena selalu diperdengarkan dan diajarkan di sekolah-sekolah sebagai ajaran hidup yang baik. Begitu populernya hingga Beatrix yang belajar bahasa dan budaya Jawa tidak melalui sekolah pun mengerti makna ajaran itu sampai bait-baitnya. Kalau Darwan baru mempelajari makna kelemahan ajaran itu setelah membaca ulasan S. Darsono, Beatrix sudah lebih dahulu tahu pengaruh ajaran itu terhadap orang Jawa. Oleh noni Belanda itu Darwan dituduh menjadi penganut ajaran itu dalam kasus dituduh dhemen Kundarti. Tidak bertindak keras membantah, tetapi tumungkul dan melarikan diri minggat ke Surabaya. (p. 84).
Kepergian Darwan sesungguhnya menunjukkan bagaimana tokoh ini tidak sepenuhnya bisa keluar dari nilai-nilai tradisi meski pada kutub yang lain Darwan amat memuja nilai-nilai modern yang didapatnya dari pendidikan kolonial yang diterimanya. Nilai-nilai yang terepresentasikan dalam pandangan-pandangannya, misalnya, tentang lembaga perkawinan. Hal tersebut juga mengisyaratkan betapa teks ingin menunjukkan bahwa nilai-nilai tradisi yang terepresentasikan dalam wani ngalah luhur wekasane tidak mampu lagi menjawab tuntutan zaman yang terus bergerak ke depan. Sebagai gantinya, nilai-nilai modern harus diserap karena lebih sesuai dengan perkembangan.
Di sisi yang lain, pada saat yang berbarengan dan dengan cara pembacaan yang berbeda, kepergian Darwan ini sebenarnya bisa dimaknai sebagai kemenangan modernitas melawan nilai-nilai tradisi. Dalam percakapan dengan ayahnya, Kanjeng Rama, ketika meminta ijin untuk pergi ke Surabaya, Sang Rama menganggap bahwa kepergian ini adalah bukti betapa pendidikan Belanda yang diperoleh Darwan telah membentuk dirinya menjadi pribadi yang mandiri. Sebaliknya, tradisi lama seharusnya ditinggalkan apabila dianggap menghambat kemajuan diri seseorang.

“Di Eropa, anak juga harus keluar dari rumah orang tuanya dan mencari kehidupan sendiri kalau sudah berumur 21 tahun. Kamu berbuat begitu mungkin pengaruh pendidikanmu selama di Batavia. Aku bangga,” restu Kanjeng Rama. (p.174).

“Baiklah, Darwan. Kamu memang berpendidikan Belanda sejak semula, beta bisa merasakan bagaimana perasaan dan pikiranmu. Pergilah seperti burung bersayap. Ilmu dan pendidikan adalah sayapmu. Jangan pandang keagungan kebangsawananmu, jangan mengandalkan warisan kekayaanmu sebagai putraku, bahkan jangan kau ingat adat-istiadat kakek moyangmu kalau hal itu menghambat kemajuan hidupmu dan tidak sesuai dengan zaman. Budaya manusia terus mengalami perbaikan, menyesuaikan diri dengan keadaan alam setempat, alat-alat, dan sarana baru terus ditemukan maka hiduplah kamu dengan sarana budaya dan teknik modern. Tak usah mengenang, kecewa, dan menangisi yang agung pada zaman lampau”. (p.174).

Dalam konteks ini pendidikan Barat (Belanda) menjadi kata kunci yang amat penting dalam melihat proses transformasi seorang subjek pascakolonial. Pendidikan menjadi sebuah kendaraan bagi terciptanya sebuah golongan yang lebih ‘beradab’ dari sudut pandang kolonial, sebuah golongan kelas “perantara” yang menghubungkan golongan kolonial dengan masyarakat yang dijajahnya. Pendidikan yang mereka peroleh, termasuk di dalamnya penyerapan budaya “tiruan” ~ mimikri, memberikan mereka kesempatan untuk menjadi manusia baru yang ‘lebih beradab’ dari manusia tradisional. Budaya “tiruan” ini, antara lain, tercermin dalam gaya hidup serta pandangan-pandangan mereka tentang berbagai hal dalam kehidupan. Dalam kehidupan sang tokoh utama, mimikri ini bisa dilihat jejaknya dalam cara Darwan menata penampilan fisiknya yang berbeda dengan masyarakat jajahan secara umum, pandangan-pandangannya tentang lembaga perkawinan, sikapnya yang tidak terlalu heroik dalam menghadapi kaum penjajah karena baginya Belanda bukanlah musuh melainkan sumber inspirasi yang membebaskan. Unsur-unsur kebudayaan asing menjadi ternaturalisasi, menjadi bagian wajar dari kehidupan bermasyarakat di tanah jajahan yang tidak perlu lagi dipertanyakan asal-usul atau fungsi sosialnya.

…..Darwan menganggap bahwa sekolahnya yang bercampur dengan anak-anak Belanda ~ tidak seperti anak bangsawan Surakarta biasanya ~ dari Europese Lagere School di Surakarta sampai HBS di Batavia, merupakan modal hidup yang tak terhingga nilainya. Itu melebihi warisan harta benda dan darah biru kebangsawanannya. Darwan memutuskan untuk mengenyahkan serba kebendaan serta martabat keturunan yang ada pada Kanjeng Rama dan menggunakan segala yang telah diperoleh selama di sekolah untuk meniti jenjang kehidupannya. (p.27).

…..Dipilihnya pakaian cara Eropa. Hem dan pantaloon. Bukan kain, destar, dan baju surjan yang biasa dipakai di kalangan istana Surakarta Hadiningrat. Pakai sepatu, dan bukan selop. Karena, Darwan sadar ia pergi ke Surabaya ~ daerah gopermen ~ bukan mengembara mencari kehidupan di Kerajaan Surakarta Hadiningrat. (p.29).

.....Di sekolah Belanda, ia tidak boleh kaki telanjang dan tidak boleh mengenakan kain. Masuk di halaman sekolah, ia tidak boleh bicara bahasa Jawa, harus Belanda. Dan, memang tidak ada temannya yang orang Jawa ~ semua Belanda ~ hingga mengenakan sepatu serta berpakaian cara sinyo terus menjadi kebiasaannya sampai sekarang. Keluar dari rumah bepergian ke tempat umum, tidak enak rasanya apabila tidak “berpakaian lengkap”. (p.87).

.....Beda Darwan dengan para jejaka bangsawan lainnya mungkin karena pendidikan Darwan dari sejak semula adalah sekolah Belanda. Dan saat sekolah lanjutan atau pada pertumbuhan remajanya, ia hidup di luar Surakarta. Selama di HBS, Darwan masuk internaat di Kwitang, Batavia. Dan itu, Darwan yakin bisa membuat segalanya berbeda dengan saudara-saudaranya yang tinggal dan menetap di Prawirakusuman. (p.75-76).

Pandangan Darwan tentang makna lembaga perkawinan amat kentara juga dipengaruhi oleh pandangan kolonial yang berkelindan dengan ide tentang modernitas yang dianggap lebih baik daripada nilai tradisi. Pengarang memberikan ilustrasi bagaimana pandangan Barat demikian baiknya dalam memaknai lembaga perkawinan dibandingkan dengan kebobrokan kehidupan seksualitas di istana raja-raja Jawa. Nilai-nilai lama itu harus ditinggalkan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai perikemanusiaan manusia modern. Secara simpatik narasi mengantarkan pembaca untuk berpihak pada pandangan baru ini.

Seperti bangsawan lain yang setingkat dengannya, tidak ada salahnya seumur dia mengambil selir perempuan cantik atau yang pintar menggoda, berapa orang pun jumlahnya. Nafsu keturunan ada, dan budaya serta adat istiadat memperkenankan. Hanya karena pendidikanlah maka ketika berkumpul kembali bersama kerabatnya di Surakarta, Darwan justru terkekang nafsu birahinya. (p.77).

Dalam tekadnya mencari kehidupan di luar Surakarta, usaha merombak budaya selir itu termasuk. Lembaga perkawinan itu harus suci dan bersih. Ini mungkin hasil persepsi Darwan berkumpul dengan orang-orang Belanda Katolik di Internaat. Tapi terutama Beatrix! Perkawinan bukan dinilai dari kaya-miskin, bangsawan-awam, pilihan orangtua, atau terpaksa bertanggung jawab. Perkawinan harus karena menurutkan kata hati nurani, suka sama suka, saling setia dalam sakit dan ceria. Tidak usah memilih karena pertimbangan bobot-bibit-bebet, tapi berdasarkan keterpikatan hatinya. (p.77).

Gundik atau selir adalah suatu budaya yang Darwan ingin hapuskan justru karena pelajaran yang diterima oleh Darwan selama bergaul dengan masyarakat Katolik Belanda di Batavia. Juga, pengaruh Kanjeng Rama sepulang dari Nederland, yaitu menghapus perseliran dengan menikahi para selirnya secara resmi, menurut agama. Tidak ada selir untuk dirinya. Yang ada perkawinan sejati. Darwan mengharap suatu perkawinan adalah hal yang sakral! Suci!

Darwan tidak berpekerti seperti kakak-kakaknya karena pendidikannya yang serba Belanda. Kebiasaan bergaul bebas, terbuka, lebih-lebih keakrabannya dengan Beatrix, mengendalikan jiwa Darwan untuk tidak liar, ngawur, berselera lain, berkemauan lain, dan bercita-cita lain dari kebanyakan bangsawan Jawa. Kebebasan Beatrix Vollentijn terhadapnya membuka pikiran Darwan untuk lebih mengenal lawan jenis dengan baik-baik, tidak keburu nafsu. (p.245).

Dalam tataran yang barangkali agak ekstrim keinginan menyerap budaya Belanda bahkan sampai pada tataran ingin sama sekali melupakan dan meninggalkan hal kodrati sebagai manusia Jawa. Hal tersebut bisa terlihat pada keputusan keluarga Darisman yang memutuskan untuk berpindah ke Negeri Belanda menyusul anak cucunya yang sebelumnya telah bermukim di sana. Dalam konteks ini teks MSA juga tidak menunjukkan sikap antikolonialnya, bahkan cenderung bersuara positif terhadap keputusan ini yang ditunjukkan melalui Darwan yang bersikap “biasa-biasa” saja alias memandangnya secara wajar bahkan cenderung memberikan apresiasi.

Mereka memang pasangan Jawa terakhir pada keluarganya, berniat benar mengikuti anak-anak keturunannya, terpaksa menyuruk hilang-hilang, memakan habis-habis, dan menghapuskan sisa-sisa Jawa-nya sedapat mungkin. (p.283).

Kadang-kadang Darwan berpendapat bahwa keberuntungan keluarga Darisman itu berawal dari kesombongan dan keinginan yang tertanam jadi keyakinan. Setelah yakin benar akan cita-cita mereka maka mereka meraih keinginannya tanpa ragu-ragu lagi. Segala pikiran dan tingkah laku tertuju ke sana, yaitu hidup menjadi orang Belanda. Tuan dan Nyonya Darisman selalu bicara Belanda kepada Darwan. Tidak terasa sayang sedikit pun meninggalkan bahasa Jawa. Memanggil Darwan lebih sering Darwantje atau Wantje daripada Nakmas. Maka akhirnya tercapailah mereka menjadi orang Belanda. (p.379-380).

Sebaliknya, berbagai pandangan yang bersuara positif terhadap budaya tiruan ini amat kontras dibandingkan dengan paparan suasana tradisi lokal Surabaya yang identik dengan kekasaran, main judi, minum-minuman keras, hidup yang tanpa cita-cita. Dalam MSA lokalitas yang ‘kurang beradab’ ini terepresentasikan pada tokoh antagonis Rokhim. Kebiasaan-kebiasaan Rokhim seperti judi dengan cara pertandingan burung dara, minum-minum, sikap kasar (juga dilakukan oleh banyak laki-laki di kampungnya), merendahkan perempuan dan oportunis. Gambaran ini mempengaruhi pembaca untuk memaknai budaya lokal ini dengan cara yang sama dengan naratornya yaitu betapa ‘kurang beradabnya’ budaya lokal Surabaya tersebut. Berikut ini ditunjukkan bagaimana teks merepresentasikan Rokhim yang amat kasar bersikap kepada adiknya, Rokhayah:

Celakanya, peristiwa Rokhayah memakai sabun milik Darwan itu oleh Ning Rokh diberitakan kepada suaminya dan Rokhim. Kedua laki-laki keluarga itu langsung marah-marah kepada Rokhayah. Rokhim bukan saja melontarkan kata-kata kotor, juga tangannya ikut menjambak rambut Rokhayah. Kepalanya didorong-dorong! Rokhayah tidak malu-malu berteriak sesambat kesakitan. Tetapi, tidak menangis:
“Kapok! Kapok, Cak! Aduh... aduh...aduuuuh! Lara iki (sakit ini), lo, Cak! Caaak!!”
“Kon takgibeng, sampek bathukmu mubeng, mene-mene maneh yek pokal-pokal gae sabune Darwan! Ngreti kon, ngono iku nggarahi awakmu matek dadi mbambungan! Mbok-nancuuuk!” (Kamu kutampar sehingga dahimu berputar, kapan-kapan lagi kalau akal-akal pakai sabun Darwan! Mengerti kamu, begitu itu membuat dirimu mati jadi gelandangan! Jahanam!) (p.133).

“Jamput. Perempuan kok gobloke gak mari-mari! (p.66).

“Arek kok gobloke setengah matek. (p.67).

“…..kamu, jancuuuk!” (p.69).

Sungguh hidup ini ringan saja bagi Rokhim. Tidak ada cita-cita, tidak ada beban tanggung jawab, dan tidak ada ujung pangkalnya. Yang dianutnya ilmu unggas, besok pagi ada hari, besok pagi mencotok makanan. Tidak perlu makanan itu ditabung-tabung untuk masa depan. Ingin punya uang banyak, ingin berpenghasilan besar, ia pun berhemat, menabung. Ingin cepat uangnya banyak, ya taruhan. Menang taruhan merupakan jalan pintas cepat memperbanyak lagi uang tabungannya. Main andhokan menjadi mata rantai siklus kehidupan bahagianya sehari-hari. Kalah atau menang, taruhan andhokan merpati itu tidak bisa lepas dari kehidupannya dan merupakan seni kenikmatan hidup….. Itulah seni hidup yang dijalani oleh Rokhim. Dilakoni sebagaimana teman-teman orang kampung lainnya juga melakukannya. Berputar terus sambung-menyambung tanpa ujung pangkal, tanpa berhenti, tanpa hari prei andhokan. (p.115).

Dalam sekilas Darwan cepat ambil kesimpulan bahwa Rokhim bukan orang yang sepaham atau cocok untuk dijadikan sahabat. Banyak perangainya tidak sesuai dengan kata hati Darwan. Tingkahnya kasar, mulutnya kotor, suka melontarkan sumpah-serapah, serakah, gemar menyiksa makhluk lain. Mau berbuat jasa dengan pamrih mendapat imbalan, memuji diri sendiri dan mencela orang lain. (p.82).

“Peniruan” tidak berarti “menjiplak” segala sesuatu yang terdapat dalam budaya kolonial. Darwan bukanlah gambaran “manusia terasing” yang kehilangan bumi berpijak di tanah leluhurnya sendiri. Darwan menyerap budaya kolonial bilamana perlu untuk memenuhi kemanusiaannya. Tetapi, di lain pihak, ia tetap digambarkan sebagai manusia Jawa, walaupun kategori ini sendiri juga cukup rumit untuk dijelaskan. MSA memberikan kesempatan kepada pembacanya untuk melihat, barangkali juga membandingkan kekontrasan, kebudayaan Surakarta dan Surabaya. Dalam hubungan dengan Rokhayah, adik Rokhim yang kemudian menjadi istri Darwan, digambarkan bagaimana Darwan amat menyukai kepolosan dan keterbukaan Rokhayah yang sangat khas Surabaya. Darwan juga amat mengagumi kemampuan Rokhayah yang secara amat spontan bisa membuat dan berdendang parikan, semacam gurindam, untuk mengungkapkan perasaannya. Darwan kemudian mengetahui bahwa perempuan Surabaya mudah sekali berdendang melontarkan parikan begitu, baik dinyanyikan maupun gancaran (tidak dilagukan). Rokhim mengatakan bahwa parikan seperti itu sangat lumrah didendangkan di pentas ludruk. Dari situlah mungkin perempuan-perempuan itu belajar. (p.136).
Di sisi yang lain, lokalitas Surabaya ini ternyata juga mendapat makna yang beragam, terutama bila diposisikan secara berhadapan dengan tradisi Istana Surakarta. Terdapat kecenderungan yang menempatkan Surakarta dalam posisi di tengah sementara Surabaya adalah pinggiran tak berbudaya yang harus tunduk pada kekuasaan tersebut. Dalam hubungannya dengan Rokhayah, misalnya, pengarang memilih kata-kata yang sangat sugestif menyuarakan hal tersebut. Kata-kata seperti “mengajarkan, membimbing, membina, sopan, patuh, bangsa Jawa yang luhur, dan sebagainya” menjadi pilihan kata-kata yang sangat patriarkhis, menempatkan Rokhayah (dengan budaya Surabayanya) sebagai bagian dan kelompok sosial yang tidak berdaya yang harus dibela dan bahkan dididik. Dengan kata lain hal tersebut sebenarnya juga mengisyaratkan adanya reproduksi yang terus-menerus dari gagasan mengenai arogansi dan superioritas. Suatu reproduksi yang pada mulanya diintrodusir oleh golongan penjajah dalam melihat atau menakar keberadaan masyarakat yang dijajahnya namun kemudian juga diteruskan oleh “golongan perantara” dalam memaknai kelompok sosial ini. Kepatuhan yang diperlihatkan oleh Rokhayah dan keluarganya, kecuali Rokhim, juga menunjukkan bagaimana kelas perantara ini, yang sebagian besar secara tradisional berasal dari strata masyarakat yang tinggi seperti keluarga bangsawan, juga mendapatkan pengistiwaan dari kelompok masyarakat biasa.

Bukan. Kampung bukan sarang kejahatan, bukan sarang kebodohan. Kalaupun benar begitu, setidaknya Darwan tidak akan ketularan. Ia berhasrat menulari perbuatannya yang baik. Darwan mau menuntun mereka ke dunia yang bersih, yang sehat……(p.74).

…..senyampang bergaul berdekatan ia hendak mengajarkan Rokhayah menjadi perempuan yang sederajat dengan tingkat pergaulan Darwan. “Sebaiknya dilatih berbahasa keraton,” saran Nyonya Darisman ini hendak dilaksanakan. (p.314).

Pelaksanaan niat Darwan membimbing dan membina Rokhayah ke tempat yang setingkat dengan dunia Darwan agaknya berjalan lancar. Tiap hari Rokhayah mengantar baju setrikaan, bertemu dengan Darwan, bergaul, dan di situlah Darwan mengajar Rokhayah berbuat, bertingkah, berbicara yang sopan dan benar menurut perasaan Darwan. Dan, Rokhayah dengan tekun dan patuh melaksanakan ajaran Darwan. (p.315-316).

Keberanian, kebiasaan, dan kebudayaan Rokhayah kian melaju mendekati keinginan Darwan. Juga, berbahasa keraton, secara aktif diajarkan oleh Darwan. Bahasa Jawa Surabayanya berangsur-angsur samar tiap kali masuk ke rumah Ketandan, berganti bahasa yang dikehendaki oleh Darwan. (p.316).

Setelah menikah dengan Rokhayah: “Mas. Panggillah aku ‘kangmas’. Aku panggil kau ‘diajeng’. Kita harus meningkatkan derajat keluarga kita, dimulai dari berbahasa. Bahasa menunjukkan bangsa. Bahasamu sudah bagus, bukan Surabayan lagi. Kamu harus menyesuaikan diri mengimbangi kualitasku, kualitas bangsa Jawa yang luhur.” (p.584).

Pada bagian akhir cerita berupa bab dengan judul ‘Revolusi’ ambivalensi dari mimikri mendapatkan unsur cerita dengan bobot politik antikolonial yang lebih tegas. Dipengaruhi oleh semangat zaman yaitu perang kemerdekaan yang mamanggil setiap anak negeri untuk sama-sama berjuang, maka Darwan yang telah bertahun-tahun bergelut dalam dunia pers Jawa melihat hal tersebut sebagai kesempatan baik untuk mengembangkan pers berbahasa Jawa yang mulai dirintisnya sejak menjadi wartawan di Dagblad Expres sekaligus berkontribusi dalam memberitakan berbagai peristiwa penting di seputar perang kemerdekaan khususnya di Surabaya kepada khalayak ramai. Bagian ini amat menarik bagi pembaca yang ingin mengetahui saat-saat bersejarah sekitar perang 10 November 1945 di Surabaya. Tokoh-tokoh dengan peranannya, peristiwa, dan tempat-tempat penting yang tertulis maupun tidak dalam ‘sejarah formal’ dihidupkan dan diberi nyawa lagi secara amat deskriptif. Tetapi bila dibandingkan dengan pilihan Rokhim yang memilih untuk berdiri di garis keras berupa perjuangan mengangkat senjata, maka pilihan Darwan untuk tetap memilih menjadi wartawan bisa dibaca sebagai bentuk perjuangan yang kurang heroik. Di sisi yang lain, pilihan Darwan juga bisa dibaca sebagai pilihan yang amat strategis. Perjuangan kemerdekaan tidak hanya membutuhkan senjata tetapi juga berita. Pilihan ini menunjukkan bagaimana modernitas yang diwariskan dari alam kolonial yang ditandai dengan keberadaan dunia pers modern juga bisa menjadi senjata dalam usaha melawan penjajah.

Simpulan.
Berbeda dengan wacana antikolonial yang secara amat tegas menunjukkan garis pemisah antara kaum penjajah dengan golongan yang dijajahnya, wacana pascakolonial mengarahkan perhatiannya kepada interaksi yang penuh kontradiksi di antara keduanya. Wacana pascakolonial tidak meniadakan perjuangan antikolonial sebagaimana dicatat oleh sejarah, tetapi ia meragukan kemungkinan bahwa hubungan budaya yang tumbuh di alam kolonial dapat dihapuskan dari proses sejarah. Penjajah maupun yang dijajah tidak pernah luput dari hubungan yang penuh dengan ambivalensi. Modernitas yang merupakan nilai-nilai tradisional saling berkompetisi, bertanding memperebutkan makna. Dalam konteks novel MSA jati diri sang tokoh utama adalah jati diri seorang manusia modern yang bukan Jawa dan bukan Barat kolonial (Belanda) tetapi perpaduan antara keduanya. Sesungguhnya proses ini bukanlah sebuah proses yang mudah dilakukan. Subjek pascakolonial sering berada dalam kondisi “antara”, kondisi yang tidak bisa sepenuhnya meninggalkan nilai-nilai lama tapi juga tak bisa bersegera menerima wacana baru yang bernama modernitas. Ambivalensi identitas menjadi sebuah keniscayaan yang tidak terelakkan. Darwan adalah manusia pascakolonial.

*

Daftar Pustaka.
Ashcroft, Bill, Gareth Griffiths and Helen Tiffen: Key Concepts in Post-Colonial Studies. London and New York; Routledge.
Faruk. 1999. Mimikri Dalam Sastra Indonesia, Jurnal Kalam 14: Pascakolonialisme dan Sastra.
Foulcher, Keith. 1999. Mimikri “Siti Nurbaya”; Catatan untuk Faruk, Jurnal Kalam 14: Pascakolonialisme dan Sastra.
Bhabha, Homi K. 1994, The Location of Culture, London and New York: Routledge.
Sutherland, Heather. 1983. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, diterjemahkan oleh Sunarto. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Catatan kaki:
*1). Lihat tulisan Foulcher dalam Mimikri “Siti Nurbaya”: Catatan untuk Faruk dalam Jurnal Kalam 14, Pascakolonialisme dan Sastra, hal. 15-16.
*2) Lihat tulisan Foulcher dalam Mimikri “Siti Nurbaya”: Catatan untuk Farouk dalam Jurnal Kalam 14: Pascakolonialisme dan Sastra hal: 15-16.
*3). Lihat tulisan Faruk, 1999. Mimikri Dalam Sastra Indonesia, Jurnal Kalam 14: Pascakolonialisme dan Sastra, hal. 4-6.

Tags:

0 comments to " "

Leave a comment