Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » JAGONGAN BUDAYA TVRI JATIM

JAGONGAN BUDAYA TVRI JATIM

Jagongan Budaya adalah Program Dewan Kesenian Jawa Timur bekerjasama dengan TVRI Jawa Timur bertujuan untuk mengkaji dan mensosialisasikan potensi ekonomi dan budaya yang dimiliki Propinsi Jawa Timur kepada masyarakat melalui media Televisi. Program ini ditayangkan setiap hari Minggu mulai pukul 18.00 hingga 19.00 WIB setiap 2 (dua) minggu sekali. Berkaitan dengan hal tersebut, untuk mengisi program tadi pada Hari Minggu tanggal 15 November 2009 di Studio I TVRI Jawa Timur membahas “Spirit Kerpahlawanan Dalam Seni Budaya di Jawa Timur” dengan narasumber Bapak Kadaruslan, Suparto Brata, Taufik Monyong, Sherly Yuliana Molle, dan Meimura. Pemandu acara Mas Tris dari TVRI.

Acara dibuka dengan permainan monoply orkes bambu wukir, oleh pencipta alat musik bambu wukir itu sendiri, bernama Wukir. Alat musik yang sedang dipatentkan hak ciptanya itu terdiri dari sepotong buluh bambu sepanjang 1,5 meter, dipenuhi dengan senar-senar begitu rupa, cara membunyikannya ya memetik senar-senar tadi seperti halnya memetik senar gitar, dilakukan oleh seorang juga. Dengan alat musik yang bentuknya lain daripada yang sudah ada, dan bunyinya pun beda pula (punya ciri sendiri), maka sepantasnya alat musik bambu wukir diusahakan hak patent ciptanya.

Pentas merupakan tempat cangkrukan. Di tengah ada meja, di atasnya terhidang makanan ringan pada beberapa piring, serta beberapa cangkir berisi teh. Para narasumber duduk di bangku di kiri dan kanan meja tadi.

Dengan santai Mas Tris membuka acara dengan melemparkan pertanyaan kepada narasumber dicoba urut tua, yaitu dari Bapak Kadaruslan. Pertanyaannya mengenai semangat kepahlawanan Surabaya, dari zaman pengalaman orang tua seperti Kadaruslan (Cak Kadar) sampai saat ini.

Saripati (tidak kronologis dan terperinci lengkap) obrolan mereka seperti berikut:
Kadaruslan (seorang patriot Surabaya, pernah menjadi ketua Pusura beberapa periode, sangat populer sebagai pemacu menyemangati gerakan Arek-arek Surabaya sejak zaman dahulu sampai sekarang terutama di kalangan seniman/budayawan Surabaya): “Waktu 10 November 1945 saya baru beranjak remaja, umur 14 tahun, bukan pelaku. Tapi peristiwa 10 November 1945 di Surabaya adalah gerakan perang rakyat. Siapa pun orang Surabaya kalau mendengar “Siaaap! Siaap!” saat itu pasti bergerak menyerbu musuh. Orang Surabaya berperang tanpa komando, tanpa surat pengangkatan resmi ini-itu. Begitu rupa bisa melumpuhkan kekuatan pasukan Inggris yang dipimpin oleh Brigadir Mallaby. Karena tergencet Mallaby minta dengan sangat agar Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia didatangkan ke Surabaya untuk menghentikan tembak-menembak. Sedetik saja kedatangan rombongan Presiden Soekarno terlambat, pasukan Inggris di Surabaya pasti hancur. Bung Tomo yang pidatonya menggelorakan semangat Arek-arek Surabaya supaya maju bertempur, awal pidatonya pasti, ‘Saudara-saudaraku tukang becak! Rakyat jelata!’ Yang diajak berjuang itu rakyat biasa! Karena itu, pertempuran 10 Novembeer 1945 di Surabaya itu adalah perang perlawanan rakyat.”

Mas Tris: “Bagaimana Pak Parto? Ini giliran yang tua-tua. Setelah itu giliran para angkatan muda. Yaitu narasumber yang paling cantik malam ini, Sherly Yuliana Molle, yang duduk di samping Pak Parto, kelihatannya sebaya saja sebagai cucu Pak Parto.”

Suparto Brata (satu alumni SMPN 2 Surabaya 1950 dengan Kadaruslan): “Saya diakui sebagai seniman/budayawan Surabaya karena menulis buku. Seniman sastra. Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya adalah yang pertama kalinya di dunia bangsa yang dijajah bertempur bersenjata melawan bangsa yang telah menjajahnya selama ratusan tahun, dan berakhir menang, Indonesia merdeka. Dan setelah perlawanan bersenjata 10 Noveember 1945 di Surabaya tadi bangsa Indonesia berhasil merdeka, maka bangsa-bangsa terjajah lainnya di Asia dan Afrika meniru seperti Arek-arek Surabaya, dan berhasil juga jadi bangsa yang merdeka. Andaikata tidak terjadi pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, mungkin bangsa Indonesia ini tidak merdeka. Sebab persenjataan rakyat waktu itu bambu runcing, sangat sederhana dibandingkan dengan meriam, tank, pesawat terbang. Akan tumpas dalam sekejab. Tapi karena perlawanan itu bergerak dari hati nurani rakyat Indonesia, seperti yang dikatakan Cak Kadar tadi, maka Indonesia akhirnya merdeka. Tanpa pertempuran 10 November 1945, mungkin juga Indonesia merdeka, tetapi tidak dengan perlawanan terhadap penjajah, melainkan merdekanya karena mendapat hadiah dari Ratu Belanda yang namanya sama dengan cucu saya di samping saya ini (menunjuk Sherly Yuliana Molle yang duduk di sebelahnya).”

Mas Tris: “Apa yang Pak Parto tulis pada buku-buku Pak Parto?”

Suparto Brata: “Antara lain, saya menulis buku Pertempuran 10 November 1945, bersama Dr. Aminuddin Kasdi. Buku itu saya tulis atas perintah yang tidak boleh saya tolak dari Bapak Blegoh Soemarto, Ketua DPRD Jawa Timur 1986, atas prakarsanya membentuk Panitia Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan 10 November 1945 di Surabaya. Cara penulisannya menghimpun tulisan-tulisan (perpustakaan) yang masuk kepada kami, serta mewawancarai para pelaku peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Ketika itu Panitia sempat mengadakan seminar dengan mengundang para pelaku peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, antara lain: Roeslan Abdulgani, Lukitaningsih, M.Yasin, Abdulsyukur, M. Radjab, Wiwiek Hidayat, Gatot Kusumo, Barlan Setiadijaya dan lain-lain. Dalam wawancara khusus dengan Pak Roeslan Abdulgani, beliau menjawab, ‘Kalau wawancara dengan orang tua seperti saya, jangan lalu percaya begitu saja. Sebab orang tua seperti saya ketika diwawancarai, menjawabnya mungkin: (1). Ingin dirinya menjadi pahlawan, karena itu jawabannya rekayasa yang menguntungkan dirinya; (2). Tidak melakoni peristiwa itu sendiri, tetapi mendengar dari orang lain, lalu memasukkan dirinya menjadi pelaku; (3) Jawabannya bukan pengalamannya, melainkan pemikirannya, sehingga mengubah peristiwa sejarah yang sejati; (4) Untuk komersialisasi dirinya’.”

Mas Tris: “Apa tanggapan Pak Parto tentang penyobekan bendera di Oranje Hotel?”

Suparto Brata: “Sulit saya memaparkan kejadian yang sesungguhnya. Saya bukan pelaku dan bukan saksi dalam peristiwa itu. Namun saya mendengar hebohnya peristiwa itu karena waktu itu saya juga di Surabaya. Ketika saya bertugas menulis sejarah (1986) saya sudah menemukan orang maupun tulisannya yang mengaku dirinya ikut peristiwa penyobekan warna biru bendera itu. Mengingat nasihat Pak Ruslan, nama-nama mereka yang mengaku tadi tidak semuanya saya masukkan dalam buku yang saya tulis itu. Meskipun pengakuannya begitu meyakinkan dengan membawa saksi-saksi. Saya pilihi, misalnya Bung Tomo pidato di atap kantornya Jalan Tunjungan 100, saya tulis.”

Kadaruslan (menyela): “Mungkin Bung Parto bisa menyebutkan nama orangnya karena kesaksiannya begitu meyakinkan, namun tidak ditulis dalam buku sejarahnya, tapi itu justru menunjukkan pada tulisannya bahwa apa yang terjadi sangat heboh peristiwa penyobekan bendera di Oranje Hotel itu adalah perlawanan Arek-arek Surabaya, rakyat banyak, yang bergerak untuk membela Indonesia Merdeka ini. Rakyat, bukan pejabat, atau atas komandonya, atau atas nama perorangan. Itulah perang rakyat yang saya maksudkan tadi. Penyobekan bendera 19 Oktober 1945 di Surabaya itu dilaksanakan oleh keroyokan rakyat banyak!”

Suparto Brata: “Itulah sebabnya saya tidak heran kalau baru-baru ini di suratkabar di Surabaya heboh karena ada pengakuan orang-perorang yang mengomando penyobekan bendera di Oranje Hotel, seolah-olah pembaca suratkabar itu menemukan sosok pahlawan. Juga ada yang mengaku-ngaku sebagai orang yang menolong berenang seorang pejabat yang terjun ke Kalimas di Jembatan Merah dalam peristiwa terbunuhnya Brigadir AWS Mallaby. Sebagai penulis buku sejarah, dari bahan pustaka yang resmi, saya tahu nama-nama lengkap anggota Kontak Biro baik dari Indonesia maupun Inggris yang kemudian berombongan menganjurkan pengehentian tembak-menembak di Gedung Internatio, yang berakhir dengan tewasnya Mallaby. Nama penolong pejabat yang tidak bisa berenang di Kalimas itu tidak ada. Tidak terdaftar pada dokumen-dokumen/pustaka yang harus saya tulis dalam buku sejarah itu. Seperti halnya tentang peristiwa penyobekan bendera, waktu saya menulis buku sejarah tadi juga banyak orang-perorang yang mengaku sebagai pembunuh Brigadir Mallaby. Ada yang dari Ampel berkisah langsung di depan saya. Ada mengirimkan sobekan koran yang mengisahkan dialah pembunuhnya seperti yang dimuat di sobekan koran itu (saya ingat, nama pengirim sobekan koran itu Ooq Hendronoto, seorang pelukis kartoon yang terkenal saat saya masih pelajar). Dan banyak lagi. Ragu dengan pengakuan-pengakuan tadi, saya tanya langsung kepada Pak Roeslan, apa, bagaimana dan siapakah sebenarnya pembunuh Mallaby. Jawab Pak Roeslan, sudah diarsipkan dengan baik, baru nanti 50 tahun kemudian setelah peristiwanya bisa diumumkan secara resmi. Jadi, 9 tahun lagi dari penulisan buku sejarah saya, baru tahu dan diakui secara resmi.

“Namun, sekali lagi kembali tentang penyobekan bendera di Oranje Hotel, selama ini beredar foto peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, terhitung foto penyobekan bendera di Oranje Hotel. Saya ingatkan nasihat Pak Roeslan. Jangan langsung percaya dengan foto-foto itu, bahwa itu dijepret pada tahun 1945. Harap diingat bahwa ketika merdeka 17 Agustus 1945 – 10 November 1945 keadaan rakyat Indonesia miskin benar karena dijajah oleh Jepang. Pakaian saja kita tidak punya rangkap. Senjata saja kita hanya punya bambu runcing. Apa kita punya alat-alat fotografi, dan sempat-sempatnya pejuang kita memotret dengan baik pertempuran di Jembatan Merah? Foto mobil Mallaby dengan papan nama tulisan begitu bagus? Tidak mungkin. Corat-coret memang ada, tetapi ya dengan tulisan asal-asalan, asal coret seperti tangan jahil, yang menulisnya harus cepat dan ditempatkan pada tempat yang strategis seperti dinding-dinding gerbong keretaapi. Tidak dengan cara pasang baliho dengan tulisan rapi seperti iklan kampanye pilkada begitu. Sekali lagi, baik foto maupun film, atau cerita orang tua yang mengaku-ngaku dirinya pelaku 10 November 1945 di Surabaya, jangan begitu saja dipercayai. Foto-foto itu tidak dijepret tahun 1945, melainkan tahun-tahun 1952-1953. Sebab ketika merayakan peristiwa 10 November 1945 di Surabaya tahun 1952 (atau 1953) seluruh orang di Surabaya disuruh berpakaian seperti zaman tahun 1945. Tembok-tembok yang sudah bersih, dicorat-coret lagi seperti zaman 1945. Tram listrik (kendaraan umum paling murah yang melintas tengah kota) yang sudah berjalan dan dicat bersih, dicorat-coret lagi. Dan semua itu oleh Panitia Peringatan 10 November, dibuat film, dipotreti. Jadi, hati-hatilah, meskipun berujud foto, jangan begitu saja percaya bahwa itu peristiwa yang sejatinya tahun 1945. Sangat mungkin itu foto rekayasa.”

Mas Tris: “Bagaimana agar kita yang muda-muda ini percaya?”

Suparto Brata: “Baca buku. Sayangnya bangsa Indonesia ini 90% kiat hidupnya mengandalkan bahasa lisan melulu seperti halnya orang primitip zaman sebelum diperkenalkan buku. Tidak berbudaya membaca buku. Jadi ya tidak bisa melihat sejarah masa lalu yang sejatinya, yang (membaca buku) juga meliputi sosialisasi potensi ekonomi, politik, budaya, pembangunan kota, kesejahteraan masyarakat dan kehidupan modern (tidak primitip) yang lain. Generasi muda Indonesia ini membangun kehidupan masa depan hanya dengan cara bertutur verbal, (karena tidak dilandasi budaya membaca buku) dengan cara primitip. Keagungan nilai-nilai kepahlawanan 10 November 1945 di Surabaya ya percaya saja sama bahasa tutur orang (mendengar dan melihat), padahal (ingat nasihat Pak Roeslan) boleh jadi sangat menyesatkan.”

Kadaruslan (menanggapi): “Saya setuju dengan Bung Parto. Di perpustakaan Pusura banyak buku karangan Bung Parto. Tetapi sekian lama di situ, buku itu juga rapi bagus-bagus saja. Tidak ada yang membacanya. Berbudaya membaca buku ini sudah saya lihat pada para seniman yang sering berada di Balai Pemuda. Dulu, para seniman di DKS itu terlihat banyak yang tekun membaca buku. Sekarang tidak. Dulu, waktu masih sekolah di zaman Belanda maupun Jepang, di sekolah diajari membaca cepat, membaca batin, bersama-sama di kelas. Dulu, anak bangsa (yang terjajah) ini dibudayakan membaca buku di sekolah, sehingga setelah besar seperti saya, suka membaca buku. Tapi sekarang di sekolah rasanya putera bangsa tidak dibudayakan membaca buku. Jadi meskipun sekarang ini ditargetkan harga buku di sekolah murah, tapi yang membaca tetap tidak ada. Murid tidak punya budaya membaca buku. Jadi banyaknya buku yang beredar di toko buku, di perpustakaan, di sekolah, mubajir. Tidak dibaca oleh generasi muda Indonesia, alasannya harga buku itu mahal. Padahal, yang sesungguhnya karena tidak punya budaya membaca buku. Harga rokok itu juga mahal, tapi toh bangsa Indonesia tidak mengeluh membeli rokok untuk dikonsumsi. Karena punya budaya merokok. Ke mana mau memberantas kebodohan, kemiskinan, kecarutmarutan politik, kalau rakyat kita tidak berbudaya membaca buku? Rakyat masih hidup dengan berbudaya seperti orang primitif? Ajarkanlah putera bangsa berbudaya membaca buku itu di sekolah dan selama bersekolah sejak awal, biar kiat hidupnya tidak primitip lagi.”

Mas Tris: “Bagaimana tanggapan Mbak Sherly, anak muda zaman sekarang?”

Sherly Yuliana Molle (mahasiswi Fakultas Hukum Ubaya, Miss Campus Jawa Pos 2008, Puteri Persahabatan Puteri Indonesia 2007 Seleksi Jatim, Mootcourt and English Debater): “Saya setuju dengan penulisan buku sejarah. Karena itu merupakan dokumen. Bangsa Indonesia sangat abai menyimpan dokumen. Untunglah saya juga banyak membaca buku, dokumen sejarah, sehingga tidak luntur pengetahuan saya tentang sejarah. Misalnya saya hayati pidato Bung Karno. Rakyat Indonesia di mana saja, dan kapan pun juga, harus berjuang untuk menegakkan Republik Indonesia Kesatuan. Ini saya maknai bahwa untuk menjadi pahlawan bangsa, putera bangsa tidak harus perang menggunakan senjata melawan musuh. Dan tidak harus pada waktu perang dulu itu, seetelah tewas dimakamkan lalu dijuluki pahlawan. Pahlawan bangsa terjadi di mana saja dan terjadi tiap saat. Di zaman “aman” tanpa prajurit bersenjata seperti zaman sekarang, anak muda sekarang pun bisa jadi pahlawan bangsa. Apa yang kita (generasi muda) diperbuat? Berilah sesuatu jasa kepada negara dan bangsa sesuai dengan kemampuan positif kekaryaanmu. Misalnya seperti Mas Tris, melakukan sebaik mungkin profesinya sebagai presenter. Itu suatu jasa positif mempersatukan bangsa dan negara. Jangan justru menjadi presenter digunakan kesempatan untuk mengoncor-oncori konflik bangsa, mengadudomba masyarakat. Begitu juga guru, puteri Indonesia, seniman drama. Kalau mereka melakukan profesinya dengan baik, memberi karya dan jasa positif kepada negara dan bangsa, pastilah mereka menjadi pahlawan bangsa. Berbuatlah sekarang, jangan menunggu kesempatan lain yang mungkin tidak akan datang (misalnya menunggu kesempatan datangnya perang atau konflik).”

Taufik Monyong: “Bung Tomo dulunya juga penyiar radio. Akhirnya juga jadi pahlawan karena pidatonya di radio. Mungkin Mas Tris juga akan dicatat jadi pahlawan penyiar radio zaman sekarang!”

Mas Tris: “Lalu, bagaimana tanggapan dan apa yang bisa diberikan kepada negara dan bangsa oleh generasi muda seperti seorang Taufik Monyong? Saya lihat pada skuter yang dinaiki (dipasang di pentas jagongan TVRI) ditulisi: Surabaya Berjuang. Mestinya ada kegiatan secara kasat mata yang berhubungan dengan Hari Pahlawan di Surabaya 2009.”

Taufik Monyong (seorang dramawan terkenal di Surabaya, aktif bergolak sejak di kampusnya sehingga pernah mendekam di penjara 1966): “Sebagai dramawan saya juga hafal untuk menirukan pidato Bung Karno seperti yang dikatakan Sherly. Saya mengagumi betul pahlawan-pahlawan pendiri negeri ini, dan agar tidak luntur, kisah-kisah pahlawan itu saya pentaskan (kembali) dalam seni pertunjukan. Misalnya saya jadi panitia aktip dalam peringatan hari Pahlawan kemarin, dengan menggerakkan pawai budaya. Tiap peserta berpakaian seperti zaman perang 10 November 1945. Saya ingat (saya masih aktifis kampus) hal seperti itu juga pernah diselenggarakan panitia yang dipimpin oleh Sam Abede Pareno dengan sukses. Hal itu memotivasi saya untuk terus mengumandangkan gerak kepahlawanan di Surabaya, dengan berkarya nyata. Berkarya, berkarya dan berkarya. Saya harap sepanjang tahun-tahun mendatang kegiatan menggelorakan jiwa kepahlawanan 10 November 1945 ini akan terus dikumandangkan, baik di ranah kesenian, kebudayaan, politik, ekonomi, pembangunan kota di Surabaya di segala bidang. Jiwa-jiwa kepahlawanan 10 November 1945 di Surabaya tidak akan luntur pada jiwa pemuda, terus berdenyut dari generasi ke generasi. Semoga. Merdeka!”

Jagongan Budaya malam itu juga banyak disambut oleh para pemirsa TVRI Jawa Timur, melalui hubungan telepon langsung. Banyak saran yang harus diapresiasi oleh generasi muda dan para pejabat yang sedang berkuasa di Surabaya maupun pejabat negara. Jagongan Budaya juga disela dengan pembacaan puisi “Kabut Rakyat” karya sastrawan Hartojo Andangjaya oleh Meimura (wakil dari Dewan Kesenian Jawa Timur, yang jadi tuan rumah dalam acara itu). Dan ditutup dengan permainan orkes tunggal bambu wukir.

Tags:

1 comments to "JAGONGAN BUDAYA TVRI JATIM"

  1. Kalau harus hati-hati dengan dokumentasi sejarah foto, yang notabenenya produk pesanan sehingga dapat terlihat asli, lalu, muncul pahlawan kesiangan, maka bukankah begitu juga dengan buku. Bukankah produk tulisan juga berbagu sejarah kerap berupa pesanan juga. Bukankah ada idiom bahwa sejarah milik orang-orang yang menang. Milik orang-orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Lalu, bagaimana seharusnya menyikapi sejarah?

Leave a comment