Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » Jangan Lagi Ada Tangisan Sastra Jawa

Jangan Lagi Ada Tangisan Sastra Jawa

Oleh Esmiet†

Pembukaan.

Saya dipanggil untuk sidang yang terhormat ini, untuk berbicara tentang sastra Jawa. Panitia berpesan agar pembicaraan itu ditekankan pada: Jangan lagi ada tangisan sastra Jawa.

Sebenarnya, menurut pengalaman saya, sejak adanya sastra, utamanya sastra Jawa, tangisan itu tidak ada. “Tangisan” itu “ada” karena kita tidak menyadari eksistensi sastra Jawa. Memang pada tahun 1967 seorang pakar sastra Jawa, Sudharmo KD (alm), pernah bicara bahwa sastra Jawa saat ini (pada zamannya Sudharmo KD) sedang lesu darah. Arswendo Atmowiloto juga pernah mengatakan dalam sebuah pertemuan di Sasonomulyo (Solo) pada tahun 1980, bahwa sastra Jawa telah mati. Oleh karena itu, menurut Arswendo, menghadiri sarasehan sastra Jawa ibarat ziarah.

Apakah salah kalau saya meramalkan bahwa tahun 2009 adalah tahun berbunyinya lonceng kematian sastra Jawa? Semua itu akan saya soroti dalam kesempatan dalam mimbar ini. Pembicaraan yang akan saya sampaikan cukup kompleks. Saya akan membagi pembicaraan ini ke dalam 5 permasalahan. Permasalahan yang terakhir nanti sengaja akan saya pisahkan dengan yang lain. Untuk mengantisipasi saya dinilai kebablasen, agar mudah bagi saya item itu, dan saya sembunyikan.

Yang akan saya bahas: (1) kenapa menangis? (2) ana tangis layung-layung, (3) mana yang lebih dulu, sastra Jawa atau budaya Jawa, (4) kenapa sastra Jawa disebut adiluhung, dan (5) hubungan sastra Jawa dengan Pancasila.

Kenapa Menangis?

Sejak Raden Ngabehi Ronggowarsito dihukum mati oleh pihak Kerajaan, (tentu saja hukuman mati itu karena himbauan penjajah Belanda), sastra Jawa merasa kehilangan akal, tidak berani menghasilkan apa-apa. Sastra Jawa karya Ki Padmosusastro yang dinilai ceplas-ceplos lantaran menggambarkan rakyat kecil, dan Tondo Negoro yang legendaris, serta karya-karya R. Tanoyo yang sederhana, sudah merasa lesu darah.

Hanya Bagus Sulardi yang belakangan berani memunculkan novel Serat Riyanto yang isinya soal-soal kebangsawanan. Mungkin saat itulah berdengungnya tangisan-tangisan sastra Jawa. Tetapi ironisnya mereka tidak tahu dan tidak mengerti secara pasti apa yang harus ditangisi dan mengapa mereka harus menangis. (Pada alinea selanjutanya masalah ini akan saya soroti lebih tajam).

Ana Tangis Layung-layung.

Saudara-saudara yang saya hormati, dalam sastra Jawa klasik terdapat sebuah gambaran mengenai tangisan yang di-rumpaka secara apik penuh nada sentimentil.

Ana tangis layung-layung
Tangise wong wedi mati
Gedhongana kuncenana
Wong mati mangsa wurunga

Ripaka-paka tanjung
Mboking rara
Ripadha-padha sanjung
Mboking rara
Rara tanjung dening gambang
Rinincika mboking rara

Ana tangis layung-layung artinya: tangisan yang sangat sedih sekali. Sudah sangat, ditambah kata-kata sekali. Jadi, sangat luar biasa menyedihkan.

Pada larik berikutnya berbunyi: tangise wong wedi mati. Hal ini merupakan gambaran sastra Jawa pada saat itu ingin sekali mempertahankan hidupnya. Tapi sayang, tetap tiada cara yang bisa dilakukan, sebab terus ada peringatan dari kesadaran mereka sendiri bahwa gedhongana kuncenana wong mati mangsa wurunga.

Kemudian ada gambaran cahaya yang menyambut ripaka-paka tanjung. Tanjung artinya adalah peningkatan. Seandainya diterjemahkan ke dalam bahasa lumrah: bagaimana kalau kematian itu bisa ditanggulangi dengan memperbanyak hasil karya sastra.

Pertanyaan itu dipertanyakan kepada Mboking Rara. Mboking Rara artinya pemikiran yang masih murni. Jawaban Mboking Rara berupa: ripadha-padha sanjung mboking rara. Ripadha-padha sanjung, artinya: Kita ini sama-sama bergengsi, karena tidak mencobanya.

Mboking rara dening gambang, artinya: Pikiran-pikiran yang bening itu, terpengaruh oleh pikiran tradisional sehingga tampak ragu-ragu. Gambang artinya logam dibuang. Oleh karena itu ada kata rinicika mboking rara. Mereka itu sudah pasrah apa adanya.

Itulah gambaran sastra Jawa pada saat itu.

Mana yang lebih Dulu: Sastra Jawa atau Budaya Jawa.

Membicarakan soal ini memang merupakan kesulitan tersendiri. Sama dengan menjawab pertanyaan: lebih dulu mana, telur atau ayam. Kalau kita jawab ayam itu lebih dulu, ayam itu asalnya dari mana? Kalau kita jawab telur dulu, dari mana kita menerima telur itu?

Itu bagi mereka yang tidak mengerti sama sekali tentang sastra Jawa. Jika mereka tahu dan mengerti sejak semula, tidak akan ada tangis bagi sastra Jawa. Sebab menurut pemikiran saya yang awam, justru sastra Jawalah yang merupakan ibu kandung kebudayaan Jawa. Jadi, kebudayaan Jawa adalah produk dari sastra Jawa.

Lho, mengapa bisa berbalik demikian?

Mari kita perhatikan bersama di seluruh dunia. Di Yunani, Roma, Arab, India, Jepang dan di mana saja di seluruh dunia ini yang disebut abjad merupakan susunan huruf-huruf tertentu yang mati dan tidak ada artinya sama sekali. Tetapi tidak untuk abjad Jawa.

Abjad Jawa yang disebut carakan, sudah mempunyai arti yang sangat dalam, berisi petunjuk-petunjuk kehidupan dan falsafah-falsafah sosial.

Katakanlah, ha-na-ca-ra-ka da-ta,

Ha-na artinya Hurip. Hurip itu Sang Pencipta. Sang Pencipta mengutus caraka, berarti mengutus makhluknya. Makhluk yang mempunyai caraka. Da-ta berarti mempunyai cipta, rasa, karsa, dan rumangsa, itu adalah manusia. Jadi, yang diutus Sang Pencipta itu adalah manusia. Bukan malaikat, karena malaikat itu hanya memiliki cipta. Juga bukan binatang, sebab binatang itu hanya memiliki rasa dan karsa. Dengan mengkaji karya sastra leluhur kita ini, terbangunlah kebudayaan Jawa.

Kenapa Kebudayaan Jawa Disebut Adiluhung.

Dimulai dari carakan Jawa itulah kebudayaan Jawa terbentuk. Makin lama semakin maju pesat. Lalu timbul pertanyaan: terjadinya carakan Jawa itu di mana? Ada yang mengasumsikan bahwa terjadinya carakan Jawa dari lakon legenda Dora Sembada.

Dora artinya bohong, sembada artinya pantes. Pantes tapi dora. Kenapa kita harus mempelajari cerita itu, padahal cerita itu bohong? Kita sudah tahu kelanjutan cerita itu, setelah da-ta adalah sa-wa-la, artinya tertutup. Sawal bantal berarti tutup bantal. Arti yang sederhana.

Pa-dha-ja-ya-nya, dalam pemikiran itu para leluhur kita sama-sama sakti (padha sektine). Tetapi menurut pemikiran saya, kalimat itu bukan padha jayanya yang berarti kekuasaannya berakhir. Itu menggambarkan di saat raja Empu Sendhok dikalahkan oleh saudaranya yang bernama Sanaha sampai dia melarikan diri ke wilayah timur sungai Brantas.

Mengingat demikian jauh hasil karya sastra nenek moyang kita dan begitu perkasa hasil karya sastranya, sudah tidak ada alasan lagi bagi karya sastra Jawa untuk menangis.

Keadiluhungan budaya Jawa adalah karena budaya Jawa itu memiliki pedaringan yaitu bahasa Jawa. Budaya Jawa memiliki sinar kehidupan yaitu karya sastra Jawa. Budaya Jawa juga memiliki semangat kehidupan, yaitu keteladanan lakon Pandhawa Lima.

Budaya Jawa juga memiliki tempat berserah diri yaitu hurip (dzat yang menentukan hidup atau matinya mahluk di dunia ini)

Itulah sebabnya budaya Jawa disebut adiluhung.*

(Naskah aseli ceramah Esmiet di PPIA Jl. Dr.Sutomo Surabaya, November 1989. Dikutip lengkap tanpa satu kata pun diubah).

Tags:

0 comments to "Jangan Lagi Ada Tangisan Sastra Jawa"

Leave a comment