Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » Budaya Arek

Budaya Arek

Saya terima Email dari Ribka Wardhani sebagai berikut :


From: RIBKA WARDHANI
Subject: Budaya Arek
To: sbrata@yahoo.com
Date: Saturday, July 11, 2009, 1:40 PM


Pak Brata yang terhormat,

Saya Ribka Wardhani, beberapa hari yang lalu saya membaca mengenai budaya arek di suatu blog tulisan Endang Sholihatin, blog itu sangat menarik dan cukup mengejutkan saya. Blog itu mengenai kata-kata pisuhan sebagai bagian dari budaya arek di Surabaya.

Tulisan di blog itu merupakan intisari dari penelitian ilmiah yang telah dilakukan Endang Sholihatin dan lewat penelitian itu, Endang berhasil memenangi lomba penelitian mahasiswa di UNESA. Ini menarik dan mengejutkan buat saya karena kata-kata pisuhan yang sebelumnya saya anggap hanya sebatas kata-kata kotor ternyata bagian dari budaya arek. Disamping itu saya baru tahu kalau kebudayaan di Jawa Timur di bagi dari beberapa sub kebudayaan, beberapa diantaranya yaitu kebudayaan Matraman, kebudayaan Osing, dan termasuk kebudayaan arek.

Sejujurnya, saya masih bingung dengan apa esensi kebudayaan arek itu, bagaimana kata-kata pisuhan dimasukkan ke dalam suatu kebudayan (kebudyaan arek)? Jika kata-kata pisuhan termasuk dalam kebudayaan arek artinya budaya pisuhan itu harus terus dipertahankan keberadaannya karena merupakan identitas dari masyarakat budaya arek, namun seperti banyak anggapan orang, kata-kata pisuham tersebut sangat kasar dan tidak sopan untuk diucapkan.

Mohon penjelasan dari Bapak. Terimakasih.

Jawaban saya :

Mbak Ribka yang baik,

Ini saya reply langsung, mudah-mudahan tidak terlalu melebar ke mana-mana.
Sangat jelas, bahwa bahasa tutur adalah ibu kandung dari budaya etnis maupun bangsa. Adanya bahasa tutur menjilmakan budaya bangsa menjadi lain daripada budaya bangsa yang lain bahasanya.(antara lain lihat makalah Esmiet yang saya tayangkan di blog saya: Jangan lagi ada tangisan Sastra Jawa).


Jadi kalau bahasa pisuhan diucapkan oleh suatu subetnik, tentu saja itu jadi budaya etnis tersebut. Misalnya ketika saya masih kecil ikut eyang saya di istana bangsawan Solo, para bangsawan berbicara kasar (ngoko) kepada para hambanya meskipun si hamba lebih tua, kata kasarnya tadi seringkali disertai pisuhan (umpatan), yaitu menjadi budaya orang Solo waktu itu yang masyarakatnya feodalistik. Jadi tidak usah heran apabila bahasa tutur apapun filosofinya itu menjadi budaya bangsa yang menuturkan bahasa itu. Termasuk bahasa pisuhan etnis arek di Jawa Timur.

Berteriak "jancuk" orang Surabaya, belum tentu itu misuh yang jelek, meskipun artikata "jancuk" itu sangat vulgar.

Saya ingat pernah baca artikel (baca tahun 1959-1960-an), bahwa di Skotlandia (Inggris) seringkali diadakan lomba adu pisuh-pisuhan, lomba hebat-hebatan secara spontan misuh-misuh, bahasa mereka, ada jurinya dan dapat hadiah mana yang melakukan pisuhan terbaik.

Apakah bahasa pisuhan harus diabadikan atau tidak, saya kira sosial budaya manusia ini selalu bergeser berhubung dengan bertambahnya teknik kehidupan dan komunikasi antar bangsa, maka pemilihan budaya termasuk bahasa tuturnya juga bergeser dan berubah menurut keperluan zamannya. Misalnya pendapat Anton Mulyana, bahwa hilangnya bahasa etnis Jawa, Sunda, tidak perlu ditangisi atau dikecewakan (pendapatnya diperjuangkan sejak 1975) tapi menurut Ayip Rosidi, (dan Unesco) bahasa ibu harus dipertahankan bahkan dikembangkan.


Jadi Mbak ikut yang mana, dipertahankan atau dihapuskan saja? Begitu Mbak, jawaban saya. Semoga memuaskan. Saya senang Mbak tanya-tanya begitu,sebab juga mengasah ingatan dan pendapat saya.


Terimakasih.

Suparto Brata.




Tags:

0 comments to "Budaya Arek"

Leave a comment