Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » Emprit Abuntut Bedhug :

Emprit Abuntut Bedhug :

SEBUAH ROMAN
DETEKTIF KARYA SUPARTO BRATA
Retno Asih Wulandari

Dimuat di
Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik (majalah Unair)
Nomor 02, Vol. VII, Maret 1993


Dalam khasanah Kesusastraan Jawa banyak diciptakan karya sastra, baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Sampai saat ini masih banyak ditemukan pengarang-pengarang Sastra Jawa yang tetap produktif menghasilkan karyanya. Salah satu pengarang Sastra Jawa yang cukup dikenal dan produktif, baik dalam dunia Sastra Indonesia maupun dunia Sastra Jawa adalah Suparto Brata.


Tema-tema novelnya dapat digolongkan ke dalam tiga golongan. Golongan pertama adalah novel-novel yang bertendens cinta, seperti Katresnan Kang Angker, Asmarani, Sanja Sangu Trebela, dan lain-lain. Golongan kedua adalah novel-novel yang bertemakan perjuangan, seperti Lara Lapane Kaum Republik, Kadurakan Ing Kidul Dringu, Kaduk Wani, dan lain-lain. Golongan ketiga adalah novel-novel yang bertemakan perjuangan atas kebenaran dan keadilan, dan tema ini dijalin oleh pengarang dalam bentuk cerita detektif, seperti Tanpa Tlacak, Tretes Tintrim, Emprit Abuntut Bedhug, dan lain-lain (Hutomo, 1975:63-4).
Suparto Brata merupakan pengarang yang paling banyak menghasilkan karya sastra yang bertema cerita detektif. Dapat dikatakan demikian, karena di dalam buku Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir, yang disunting oleh J.J.Ras, hanya ditemukan dua pengarang yang menghasilkan cerita detektif, yaitu Suparto Brata dan Any Asmara. Suparto Brata menghasilkan enam buah karya sastra (Ras, 1985:25), dan Any Asmara hanya menghasilkan dua buah karya sastra saja (Ras. 1985:23).
Selain dari pada itu, kelebihan pengarang Suparto Brata tampak dari caranya mengolah bahasa, dialog-dialog dan gaya penuturannya yang hidup, imajinasi dan kemampuannya membangun plot yang bagus membuatnya menjadi penulis novel Jawa terbaik pada zamannya. (Ras, 1985:25).
Tulisan ini membahas novel detektif Suparto Brata berjudul Emprit Abuntut Bedhug. Gaya cerita novel ini runtut, dan penuh ketegangan. Pembaca dibawa untuk mengetahui kejadian-kejadian yang akan terjadi selanjutnya.

Konvensi Roman Detektif.
Teeuw dalam bukunya Sastra Dan Ilmu Sastra menjelaskan kriteria roman detektif. Sebenarnya pendapat Teeuw ini lebih tepat disebut konvensi roman detektif, yang harus diketahui pembaca sebelum membaca roman detektif. Konvensi adalah cara penyajian yang menjadi alat pengungkapan yang mapan, yang akhirnya menjadi tehnik yang diterima umum (Sudjiman, 1984:43). Harapan pembaca akan sebuah cerita detektif yang sedang dihadapinya dapat dikatakan terpenuhi apabila: ada mayat atau orang yang terbunuh; ada keraguan yang disengaja tentang watak tokoh, penjahat atau manusia yang tak bersalah, tentang urutan dan ditel-ditel waktu, peristiwa dan hal-hal lain (pentingnya alibi); ada detektif yang lebih pintar dari semua pelaku: ada ketegangan yang terus menerus, dan puncaknya terpecahkannya teka-teki atau misteri yang ditunggu-tunggu pembaca (Teeuw, 1984:101-2).
Di sini tidak dibedakan pengertian novel dan roman, karena menurut Panuti Sudjiman, roman adalah istilah lain daripada novel, yang kedua-duanya mempunyai pengertian prosa rekaan yang panjang, yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun (Sudjiman, 1984:53).
Untuk membahas novel ini digunakan metode intrinsik. Pembahasan secara intrinsik adalah pendekatan terhadap karya sastra dengan menerapkan teori dan kaidah sastra: penelaahan bertolak dari karya sastra itu sendiri (Sudjiman, 1984:6). Yang menjadi central atau pusat pembahasan hanya novel Emprit Abuntut Bedhug saja.

Emprit Abuntut Bedhug: Sebuah Roman Detektif.
Di muka telah diterangkan mengenai lima point konvensi roman detektif. Di bawah ini dibahas kelima point tersebut dalam novel Emprit Abuntut Bedhug.

1. Keberadaan mayat atau orang yang terbunuh.
Dalam novel ini tidak ditemukan adanya mayat atau pun orang yang terbunuh. Akan tetapi harapan pembaca agak terpenuhi dengan ditemukannya telapak tangan bercincin berlian, yang berlumuran darah. Ditemukannya telapak tangan yang sangat misterius itu merupakan awal teka-teki, yang membuat pembaca bertanya-tanya apa yang telah terjadi? Dan hal itu membuat pembaca ingin mengetahui kelanjutan cerita.
Telapak tangan yang ditemukan Jarot terbungkus rapi di dalam sebuah kantong plastik yang terjatuh dari sepeda seorang gadis berbaju kuning yang bersrempetan dengan Jarot. Akan tetapi gadis itu tidak mengaku ketika Jarot menyodorkan kantong plastik tersebut. Hal ini terungkap pada halaman 7-8:

“Dik, eh, dik! Kanthonge!” aloke Djarot. Swarane ketara jen ora sida muring.
Ing Surabaja lumrah wong nom-noman tepung sepisanan ora basan. Alok mengkono iku Djarot karo merlokake ndjupuk kanthong kang gumlethak mau lan diatjungake marang sing duwe.
Krungu aloke Djarot, wong wadon iku mung mbuwang rembug atos:
“Kuwi dudu duwekku!”

Secara logika memang terdapat kejanggalan, karena jelas-jelas kantong plastik itu berada di stang sepeda si gadis, akan tetapi ia tak mengakuinya. Akan tetapi hal ini malah membuat pembaca tergelitik ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Suparto Brata memang sebenarnya tidak murni memenuhi konvensi roman detektif yang baik, akan tetapi beliau cukup lihai dengan membuka sebuah misteri dengan ditemukannya telapak tangan berlumur darah. Dari judulnya pun pembaca dibuat bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan judul Emprit Abuntut Bedhug, dan apa kaitannya judul tersebut dengan isi cerita. Ternyata hal ini terjawab di halaman 26:

“Sara, Pip! Gak ngira aku. Permulaane tjuma srempetan le, ndadakna, berlarut-larut ngene! Mbok!” Djarot gedeg-gedeg karo mlaku metu menyang pekarangan omah.
“Jaiku beke sing djare wong tuwa-tuwa paribasane emprit abuntut bedug. Prekara sing disike sepele, gak ngretiya mburi-mburine dadi prekara kadurdjanan kang ruwet! Slameta ae, awakmu, Rot!” udjare Apip karo nguntabake tamu-tamune.

Jadi usaha Suparto Brata dalam membuat persoalan atau permasalahan tadi cukup baik. Walaupun di dalam novel ini hingga akhir cerita tak ditemukan mayat atau orang yang terbunuh. Secara tidak langsung Suparto Brata dalam novel ini dapat dikatakan membuat suatu terobosan atau inovasi, yang agak menyimpang dari konvensi roman detektif yang ada. Akan tetapi walaupun demikian, usaha Suparto Brata ini tak mengurangi kenikmatan membaca dari si pembaca, malah merupakan suatu misteri yang mengasyikkan, sehingga membuat pembaca ingin mengetahui kelanjutan ceritanya.

2. Adanya keraguan yang disengaja.
Di dalam novel ini banyak dijumpai keraguan-keraguan yang tampaknya memang disengaja oleh si pengarang. Mungkin dengan tujuan untuk mengecoh pembaca dan mengakibatkan pembaca penasaran akan kesudahan cerita. Hal ini tampak pada kedua tokoh Erawati dan Nusyirwan. Mereka berdua dilukiskan sangat meyakinkan sekali. Erawati tetap bersikeras bahwa ia tak mengenal Nusyirwan. Sebaliknya Nusyirwan merasa benar-benar pernah bertemu bahkan mengenal dengan baik Erawati. Konflik demikian ini mengundang keingintahuan pembaca. Sebenarnya siapa yang benar, di antara kedua tokoh tersebut. Siapakah di antara kedua tokoh itu yang berpura-pura, dan mempunyai niat yang buruk. Pembaca dibuat ragu, apa yang sebenernya terjadi. Erawati yang berpura-pura tak mengenal Nusyirwan, atau sebaliknya Nusyirwan yang berpura-pura mengenal Erawati. Hal inilah yang membuat pembaca tetap betah untuk melanjutkan bacaannya, untuk mengetahui apa sebenarnya yang ingin diceritakan oleh si pengarang.

“Aku ora rumangsa tepung kowe!” modjare Erawati kaja Srikandi nantang Bisma. “Saestu Mas Handaka. Kula mboten tepang kalijan pijambakipun!”
“Kowe ki piye, ta, Er?! Kok mentala muni mengkono?” panyarune wong bagus iku.
“Kowe kuwi sing kurang adjar, wong betjik-betjik arep kok sembranani! Mbok njawang predjengan sithik apaa, Rek!” Suwarane bantas, sikepe tjanthas!
“Anu, Mas. Leres kok, kula tepang lare punika. Jen mboten pitados kula aturi tindak grija kula. Ibu saha rentjang kula saged kangge seksi jen Dik Erawati punika njipeng ngantos kalih minggu wonten grija kula,” udjare wong bagus iku rada anjel marang sikepe Erawati (hal. 38-39).

Suparto Brata cukup cermat membuat keragu-raguan pembaca pada kedua tokoh ini. Seolah-oleh di satu pihak Erawati yang benar, namun Nusyirwan pun cukup meyakinkan dengan melibatkan Ibunya dan pembantunya sebagai saksi.
Demikian pula dengan peristiwa-peristiwa yang dilukiskan dalam novel ini banyak membuat pembaca ragu. Peristiwa-peristiwa yang diceritakan Nusyirwan, tentang pertemuannya dengan Erawati, dapat meragukan pembaca. Apakah itu merupakan cerita yang benar-benar telah dialami kedua tokoh tersebut, atau hanya dikarang-karang oleh Nusyirwan. Keraguan-raguan akan tokoh Nusyirwan agak berkurang dengan munculnya kutipan di bawah ini:

“Erawati! Sadjrone rong minggu tanggal enem nganti tanggal rongpuluh, bareng karo anane Erawati ing omah kene, kowe ana ngendi? Djadjal wangsulana!”
Mripate Erawati megar meleke, saja suwe saja amba menthelengi Handaka. Handaka ngrogoh sak klambine, bandjur ngetokake amplop isi lajang kertas djambon, diatjungake ing ngarepe Erawati.
“Mangsuli panjuwunku palilah mamitake kowe, direktris SGKP ndongakake muga-muga kowe ora kesuwen ninggal pamulangan maneh. Ing kene diterangake jen wis rong minggu murid-muridmu kapiran ora kok wulang. Bapak ing lurung Raden Saleh uga nerangake marang pulisi kang numpak sepedhah montor iki mau, jen kowe lunga rong minggu tanpa nerangake paranmu. Digoleki dajohmu pirang-pirang, ora ana? Tjoba wangsulana pitakonku, kowe menjang endi sadjrone rong minggu kuwi?!” (hal.55).

Keadaan ini cukup memberatkan Erawati, kemungkinan ia yang bersalah, besar sekali. Akan tetapi ternyata Erawati pun tidak dapat pula dicurigai, alibinya cukup kuat, ia berada di Semarang pada saat itu.

“Aku lunga menjang Semarang! Semaraaang!! Kandakna kantjamu jen arep kanda! Kandakna marang sekongkelanmu!! Aku lunga menjang Semaraaang!!” udjare Erawati djerit-djerit.
“Semarang, kampunge?! Kampunge ngendi? Alamat sing bener! Gage!”
“Sompok! Lurung Sompok! Tjulna akkuuu! Athooo, iki lara! Maattiikk aku! Atthooo!!”
“Nomer?! Alamat sing bener!”
“O, kok ja kebangeten timen, ta, ki! Athooo!! Embuh! Embuh aku ora ngreti. Aku lali!! Huh, huh, anu, ana Bratatenajan! Bratatenajan Sompok!!”
Panggudjere Handaka kawusanan. Erawati lemes, mlaku trantanan golek lungguhan. (hal. 57).

Suparto Brata cukup lihai dalam menimbulkan keraguan pada pembaca akan kedua tokoh ini. Suatu saat sepertinya Erawati yang jahat, dan Nusyirwan yang baik, atau sebaliknya.

3. Adanya detektif yang lebih pintar dari semua pelaku.
Dalam novel ini, detektif Handaka yang diserahi tugas oleh Inspektur Indra, untuk mengungkap masalah potongan tangan yang misterius itu jelas-jelas dilukiskan sebagai seorang detektif yang amat cerdik. Detektif Handaka dalam usahanya mengungkap misteri potongan tangan tersebut cukup runtut dalam melakukan penyelidikan-penyelidikan. Pertama-tama ia berusaha mendapatkan saksi yang melihat Jarot bersrempetan dengan si gadis berbaju kuning yang tak lain adalah Erawati. Karena dari saksi itulah penyelidikan bermula dan perlahan-lahan dapat mengungkap misteri itu. Kecerdikan detektif Handaka dapat terlihat pada halaman 32:

“Ora, dik. Aku kudu weruh reaksi sing wadjar. Nganggo ali-ali mau aku isih durung tjetha, djeng Era iki mung ethok-ethok ora ngreti, apa temenan ora ngreti bab kanthong saisine iku. Reaksi iku perlu kanggo panjelidikan,” udjare Handaka adreng. Lan gage mbungkus tangan tugel iku kanthi primpen terus dilebokake ing kanthong temon. (hal. 32)

Karena kecerdikan detektif Handaka, akhirnya dapat diketahui bahwa Erawati memang tidak mengetahui isi kantong yang berada di stang sepedanya. Masih ada lagi disebutkan kecerdikan-kecerdikan detektif Handaka dalam usahanya menyingkap tabir misteri potongan tangan itu. Dapat dicontohkan di sini seperti yang terdapat pada halaman 88 dan 91:

“Wiwit dik Nunus kanda jen Erawati sing nginep kene ngaku djeneng Erawati iku adedasar kebeneran, jaiku marga ngrembug bab SGKP. Mula dek djeng Era dak peksa ngaku deweke ana ngendi sadjrone rong minggu lan ngaku jen ngungsi menjang Semarang, enggal-enggal sopir pick-up dak kon ngurus ngubungi telex karo pulisi Semarang. Kelingan ora aku metu nalika kono lagi dong dansah? Ha iku aku aweh instruksi. Pulisi Semarang mbenerake keterangane djeng Era jen deweke sadjrone rong minggu ana Bratatenajan Sompok. Dadi nalika ing omah kene ana Erawati ing Sompok Semarang kana uga ana Erawati. Ana Erawati loro. Keterangane dik Nunus jen Erawati sing bijen dansahe ora pati wasis, dene sing saiki mate tjotjog, nandakake Erawati sing iki dudu sing bijen!” (hal. 88).

“Tjoba bajangna jen kowe Sutahal. Deweke kelangan djimating atine ana Mardi Busana, bandjur ketemu maneh sawise rong minggu ilang, ja ana kono. Terus kelakon mbuwang tugelan tangan sesukering atine uga ana toko rame iku. Apa mokal jen deweke tansah ngarep-arep bakal nemoni lelakon aneh maneh ing kono iku? Saora-orane krungu kabare bab tangan kang dibuwang iku? Mula aku ngira, deweke mesthi tansah glibat-glibet ana toko kono. Pangira iki kang dak dadekake tjobaning ichtijarku nangkep durdjana. (hal. 91).

Kecerdikan detektif Handaka ini pun telah diakui oleh Inspektur Indra.

“Bagus! Hèh, mas, niki ditepungke. Prekara sampejan kula pasrahke teng pembantu kula niki. Namine detektif Handaka. Sampejan saged ugi pun nate denger. Jen dereng denger kula elingake, ampun njobi slinthutan kalih tijang kuru niki, sanadjan awak sampejan sentosa. Deweke njambut damel mboten kalih niki (nuding spir lengen), nanging mawi niki (nuding bathuk). Pun kathah benggol djulig sing kawedar kadjuligane margi karjane detektif Handaka niki!” udjare Inspektur Indra marang Djarot. (hal 21).

Malahan Inspektur Indra, sebagai seorang polisi, digambarkan begitu dungunya, dibandingkan dengan detektif Handaka, hal ini tampak pada halaman 18 dan 20.

“Hèh! Apa iki?! Hèh, sampejan nemu teng pundi barang niku? Rak tangan jektos, ta, niku?! Eh, dik Handaka. Seksenana iki! Ewangana ngurus iki disik!” Inspektur Indra iku bengok-bengok kaya lagi duka lan gupuh. Ora sumbut karo umuke mau. Lan swarane pantjen bantas.

“Bingung aku. Bingung! Prekara sing sidji durung rampung, sidjine wis nusul!” Inspektur Indra gedeg-gedeg sadjak arep ngilangi sumpeging pikir. “”Hèh, dik! Dik Handaka ora kesusu kondur menjang Sala, ta? Dak sambati ngurus prekara iki, pije?”

4. Adanya ketegangan yang terus menerus.
Menurut Teeuw ketegangan itu merupakan hal yang penting dalam sebuah roman detektif. (Teeuw, 1984:102). Rasa tegang itu selalu diharapkan oleh pembaca roman detektif. Pembaca selalu dibuat ragu-ragu oleh sesuatu hal, apakah hal itu penting ataukah tidak dalam perkembangan alurnya. Panuti Sudjiman merumuskan istilah tegangan sebagai ketidak-pastian yang berkelanjutan atas suasana yang makin mendebarkan yang diakibatkan jalinan alur dalam cerita rekaan atau lakon. Tegangan ini menopang keingintahuan pembaca akan kelanjutan cerita (Sudjiman, 1984:74).
Tegangan merupakan salah satu bagian yang penting dalam sebuah alur (Saad, 1967:122). Selain dari pada itu menurutnya, alur yang tidak mempunyai tegangan atau alur yang kurang tegangannya, ataupun alur yang tidak terjaga ketegangannya, akan hambar sekali.
Alur sebagai salah satu unsur karya sastra yang cukup penting, mengungkap kejadian-kejadian pada kita, tidak hanya dalam susunan waktu, akan tetapi juga dalam hubungan sebab akibat. Alur membuat kita menyadari akan kejadian-kejadian yang tidak hanya sebagai unsur dalam urutan waktu, akan tetapi juga cara penulis menyusun kejadian-kejadian menurut hubungan sebab akibat. (Kenney, 1966: 13-14)
Menurut Tasrif, rangkaian pada alur suatu cerita menampilkan susunan pola yang terdiri dari lima bagian (Tasrif, 1960:17) yaitu:
a. Situation: pengarang mulai melukiskan suatu keadaan.
b. Generating circumstaces: peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak.
c. Rising action: keadaan mulai memuncak.
d. Climax: peristiwa-peristiwa mencapai klimaks.
e. Denouement: pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa.

Akan digunakan kelima bagian pola alur di atas untuk melihat, apakah ketegangan yang terdapat dalam novel ini terjalin terus-menerus dalam alurnya.

4.1. Situation.
Di awal cerita terutama pada Bab 1, ditampilkan tokoh Jarot, yang menemukan potongan tangan berlumur darah. Penemuan Jarot ini sudah merupakan awal dari sebuah misteri, yang membuat pembaca merasa tegang. Suparto Brata telah membuka cerita dengan cukup mengundang pertanyaan di benak pembaca, dengan menampilkan suatu keadaan yang cukup menegangkan. Apalagi suasana yang digambarkan oleh pengarang cukup membuat bulu kuduk berdiri:

Barang ing kanthong digrajang, ditjekel tjek-gemek, terus ditarik metu. Rasane sadjak buntelan katju teles. Tekan ndjaba, barang wudar saka buntelan. Sanalika kemata. Pada sanalika kono Djarot ndjerit. Barang dikipatake ing nduwur medja. Djarot girap-girap, gigu, kirig-kirig.
Barang kang dietokake saka ndjero kanthong peni iku wudjut tangan. Tangan epek-epek tugel saugel-ugel, gubras getih kenthel! Tangan daging, daginge manungsa!
Ambune menjan kang durung ilang. Bengi iku malem Djumuah. (hal. 13).

4.2. Generating circumstances.
Peristiwa-peristiwa yang selanjutnya diceritakan oleh pengarang juga cukup menegangkan. Penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan detektif Handaka mulai mengalami kemajuan. Apalagi dengan mulai dimunculkannya tokoh Erawati dan Nusyirwan, terutama Nusyirwan yang tingkah lakunya sangat mencurigakan:

“Wiwit kala wingi, kok, rumaos kula menawi mlebet toko punika dipun ndugali dening tijang punika. Kala wau edan sanget, pijambakipun ngrantos wonten tjelak penitipan sepedah! Kula gigu sanget. Mila ladjeng ndjranthal kemawon, mboten mikiraken kedadosan saladjengipun. Waton enggal ontjat saking tijang ugal-ugalan punika, ngaten kemawon.”
“Kok eram emen. Sampejan dinapakake?” pitakone Handaka.
“”Nggih diruh-ruhi, didjawil-djawil padake tijang pelanjahan mawon!” udjare Erawati gigu sumengit.
“Ning sanes dik Djarot punika?”
“Oh, sanes. Larenipun gumagus kok. Mlinthi, pethitha pethithi!”
“Bagus? Rasukanipun abrit lorek-lorek?” pitakone Djarot ketrutjut.
“Inggih. Leres. Inggih, kemutan kula. Sonten wau pijambakipun mawi rasukan abrit lorek-lorek. Ndugal, ta, sampun!”
“Oh, wong sing ngetutake aku mau, mesthi!” potjapane Djarot kewetu. (hal. 30).

4.3. Rising action.
Peristiwa terus berlanjut dan memuncak pada saat Erawati dan Nusyirwan bersitegang, seakan-akan keduanya merasa benar, dan merasa dibohongi satu sama lainnya. Di satu saat Erawati seakan-akan yang benar dan Nusyirwan yang salah, akan tetapi di saat yang lain sebaliknya. Sehingga keadaan menjadi tegang, karena keterangan-keterangan yang diberikan kedua tokoh ini kepada detektif Handaka, tampaknya sama-sama meyakinkan. Hal ini terdapat pada Bab II dan Bab III.

4.4. Climax.
Klimaks dari jalinan cerita dalam novel ini terlihat pada Bab V, halaman 72. Pada saat itu muncul tokoh Sutahal. Kemunculan tokoh Sutahal itu makin membuat permasalahan semakin kompleks. Pembaca dibuat ingin tahu lebih lanjut, apa sebenarnya yang telah terjadi.

4.5. Denouement.
Akhirnya keingintahuan pembaca dapat terjawab pada Bab VI, di mana semuanya dijabarkan lewat tokoh Siti Respati dan detektif Handaka, tentang apa yang sebenarnya telah terjadi. Menurut penulis Bab VI ini dapat dinamakan sebagai kunci yang dapat membuka tabir misteri yang terdapat pada Bab I hingga Bab V.
Jadi jelaslah sudah dari keterangan di atas dapat terlihat bahwa Suparto Brata dapat menjaga ketegangan dalam bercerita. Dari awal cerita sampai akhir cerita, ketegangan yang cukup terjaga dan muncul terus menerus ini dapat membuat pembaca lebih ingin tahu lagi akan kelanjutan cerita.

Terpecahkannya teka-teki atau misteri.
Sebenarnya jawaban kriteria yang nomor lima ini telah disinggung di atas. Jelasnya misteri potongan tangan itu dapat terkuak, karena kejelian dan kecerdikan detektif Handaka. Hal ini terlihat pada Bab VI, yang seperti telah disebutkan tadi. Bab VI merupakan kunci dari misteri potongan tangan berlumur darah. Ternyata potongan tangan itu milik Siti Respati yang merupakan saudara kembar Erawati. Dan semua menjadi jelas, bahwa baik Erawati maupun Nusyirwan, kedua-duanya tak bersalah. Di antara mereka hanya ada kesalah-fahaman, akan tetapi justru itu merupakan konflik yang diciptakan Suparto Brata untuk mengecoh pembaca. Ternyata penjahatnya kemudian dapat ditemukan yaitu Sutahal.

Kesimpulan.
Novel buah karya Suparto Brata ini bagus. Ternyata setelah dibuktikan dengan kriteria-kriteria roman detektif yang baik menurut Teeuw, kriteria-kreteria itu terkandung di dalam novel Emprit Abuntut Bedhug.
Selain dari pada itu, yang tak kurang pentingnya, ketegangan yang timbul dari jalinan cerita dalam novel ini cukup terjaga dengan baik. Suparto Brata cukup ahli dalam mengatur jalinan cerita yang runtut dan penuh ketegangan, sehingga emosi pembaca dapat terkendali dan ikut larut dalam cerita yang dibacanya, hingga menyelesaikan bacaannya.

Daftar Pustaka.
Brata, Suparto, 1966. Emprit Abuntut Bedhug. Surabaya; Djajabaja.
Hutomo, Suripan Sadi, 1975. Telaah Kesusastraan Jawa Modern, Jakarta; Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kenney, William, 1966. How to Analyze Fiction, New York; Monarch Press.
Ras, J.J, 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. (Seri Terjemahan Javanologi). Jakarta;
Grafitipers.
Saad, M. Saleh, 1967, “Catatan Kecil Sekitar Penelitian Kesusastraan” dalam Lukman Ali (red).
Bahasa dan Kesusastraan Indonesia sebagai cermin Manusia Indonesia Baru, Jakarta; Gunung
Agung.
Sudjiman, Panuti (ed), 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta; Gramedia.
Tasrif, S.S.H, 1960. “Beberapa Hal Tentang Cerita Pendek” dalam Mochtar Lubis (ed), Tehnik
Mengarang. Jakarta; Kurnia Esa.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta; Pustaka Jaya.

P.S. Novel Emprit Abuntut Bedhug diterbitkan lagi 2007 (seri Detektip Handaka) oleh Penerbit
NARASI, Jl. Irian Jaya D-24 Perum Nogotirto Elok II Yogyakarta 55292, Telp. (0274) 7103084,
Faks. (0274) 74863332.

Tags:

0 comments to "Emprit Abuntut Bedhug :"

Leave a comment