Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » Novel Mencari Sarang Angin

Novel Mencari Sarang Angin

NOVEL “MENCARI SARANG ANGIN”
SEJARAH SURABAYA VERSI SUPARTO BRATA
Oleh: Dahlan Iskan
CEO Jawa Pos
(Jawa Pos Minggu, 5 Juni 2005

Dua bulan terakhir ini banyak rapat yang harus saya batalkan. Juga banyak undangan makan siang atau makan malam yang saya tolak. Saya begitu kecanduan membaca novel. Tiga buah novel, yang semuanya tebal-tebal, saya habiskan dalam dua bulan ini. Yang dua novel asing. Yakni Da Vinci Code dn Angle & Demons (dua-duanya karya Dan Brown yang kontroversial itu). Satu lagi karya bangsa sendiri, Mencari Sarang Angin karya novelis Surabaya Suparto Brata.
Tiga-tiganya adalah novel yang bahan bakunya fakta-fakta: nama-nama tempat, orang dan sebagian pelakunya adalah sebuah kenyataan. Bedanya, yang karya Dan Brown berkisar pada gereja Katholik, sedangkan karya Suparto bercerita mengenai keadaan Surabaya di antara tahun 1935 sampai 1949.
Meski tiga-tiganya memberikan sumbangan pandangan yang luas pada saya, namun saya tidak ingin memasuki kontroversi karya-karya Dan Brown. Mencari Sarang Angin yang diterbitkan Grasindo, juga sangat menarik. Novel ini pernah dimuat secara bersambung di Jawa Pos 23 Oktober 1991 – 3 Februari 1992.
Inilah novel dengan setting Surabaya yang amat kuat. Suparto Brata telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi Surabaya lewat novelnya ini. Seperti juga lagu Gebyar-Gebyar-nya Gombloh yang posisi rielnya nyaris menggantikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, Mencari Sarang Angin bisa jadi akan jadi buku “sejarah” Surabaya, yang tentu, karena disusun dalam bentuk novel, akan lebih menarik, lebih merangsang dibaca, dan lebih melekat di persepsi.
Apalagi Suparto Brata mengemas “sejarah” Surabaya itu dengan roman yang menarik dan penuh dengan konflik: konflik antara feodalisme dan kerakyatan, dengan cinta segi-tiga, dengan kolonialis dan kampung, dengan politik dan perampokan, serta dengan spionase.
Lewat novelnya ini saya juga lebih tahu tentang “watak” orang Surabaya seasli-aslinya. Budaya adu doro, minum tuak, dan pengantin Surabaya digambarkannya dengan sangat menarik. Misalnya saja bagaimana pengantin lelaki harus diantar naik dokar ke rumah pengantin wanita justru pada malam pernikahan dan ditinggalkan di rumah calon peengantin wanita sendirian. Juga bagaimana pengantin laki-laki itu digiring sambil terus-menerus diminumi tuak agar ketika tiba di rumah calon pengantin wanita sudah dalam keadaan mabuk. Kalau rombongan pengantin pria sudah hampir tiba tapi sang mempelai belum juga mabuk, maka iring-iringan pun harus diputar-putarkan dulu di jalan-jalan kecil sekitar rumah pengantin wanita. Sambil dimabukkan wajah calon pengantin dicorengi hingga tidak berwujud. Bajunya, kopiahnya, dan badannya dibuat sampai lungset karena selama dalam iring-iringan terus diuyel-uyel.
Mula-mula saya merasa aneh, mengapa orang Surabaya yang religius ketika jadi pengantin harus diperlakukan seperti itu. Ternyata ada filsafat yang menarik di balik itu: agar pengantin wanita dan keluarganya menerima calon pengantin pria dalam keadaannya yang paling jelek. Ini untuk mempersiapkan mental calon istri bahwa mungkin saja dalam kehidupannya nanti memang akan sejelek itu.
Filsafat itu tentu bertolak belakang dengan, kalau saja, misalnya, di saat bersanding cantiknya (atau gantengnya) bukan main, tapi dalam kehidupannya nanti ternyata sangat buruk. Semacam terkandung filsafat blak-blakan, apa adanya, jangan ditutup-tutupi, sebagaimana yang selama ini memang kita kenal sangat hidup di masyarakat Surabaya.
Suparto Brata yang sehari-hari saya kenal sangat pendiam, sungguh menyadari benar syarat menulis novel agar menarik: dengan kesadaran penuh menyelipkan humor-humor yang dalam. Humor yang dihasilkan dari kelincahan menyusun kalimat.
Bagi saya peribadi, daya tarik itu lebih besar lagi karena pemeran utama dalam novel ini seorang penulis yang secara teguh dan konsisten menetapkan dirinya jadi wartawan. Saya jadi tahu bahwa koran harian pertama di Surabaya adalah Dagblad Express dengan alamat di Jalan Embong Malang 55 Surabaya. Juga bagaimana koran bahasa Belanda Het Soerabaiasch Nieuws-Handelsblad, koran bahasa Indonesia zaman Jepang Soeara Asia, koran zaman Revolusi Surabaya Soeara Rakjat, menjalani kehidupannya di Surabaya. Ini bukan hanya buku novel “sejarah Surabaya” tetapi juga “sejarah pers di Surabaya dan kehidupan wartawan” tahun 1935-1949.
Bahwa bagaimana saya tidak mau berhenti membaca novel setebal lebih dari 600 halaman ini karena memang saya sungguh terpikat dengan karya Suparto Brata ini secara keseluruhan: ya cara penulisannya, ya penting isinya.

Tags:

0 comments to "Novel Mencari Sarang Angin"

Leave a comment