Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » Saksi Mata

Saksi Mata


Liku-liku Sebuah Tragedi Kemanusiaan
Resensi di Kompas tanggal 28 April 2002


Judul Buku: Saksi Mata,
Penulis : Suparto Brata,
Cetakan Pertama, Januari 2002,
Penerbit : Kompas, Jakarta,
Tebal :(x + 434) hlm,
Harga :Rp 56.000

BERBEDA dengan zaman penjajahan Belanda yang sangat panjang, kurang lebih mencapai tiga setengah abad, masa pendudukan Jepang di Indonesia memang relatif singkat. Meski hanya seumur jagung atau berkisar tiga atau empat tahun, masa itu adalah yang sangat sulit bagi rakyat. Penjajahan Jepang meninggalkan trauma, luka, penderitaan, dan kesedihan yang sangat panjang dan mendalam, yang sulit dihapus dari ingatan bangsa ini. Negeri Sakura itu juga menggoreskan luka lahir batin yang sangat pedih dan menyakitkan.

Jepang yang mengaku sebagai saudara tua, datang katanya untuk membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda. Namun, pada kenyataannya, justru bertindak lebih buas dan kejam dibandingkan kaum penjajah lainnya. Ia hadir sebagai monster baru yang lebih ganas, tak mengenal perikemanusiaan.

Penderitaan mewabah di mana-mana, semakin merajalela. Makanan sangat sulit didapat. Untuk berpakaian, karung goni pun terpaksa digunakan karena tidak ada yang lain.

Jutaan manusia mati akibat kelaparan dan kerja paksa, romusha. Sementara, para perempuan dipaksa menjadi budak pemuas nafsu para tentara Dai Nippon, sebagai jugun ianfu.

Kondisi bangsa pada masa penjajahan Jepang itulah yang dijadikan tema besar dalam roman karya Suparto Brata. Sebagai setting-nya adalah Kota Surabaya yang juga kota kelahiran penulisnya. Roman ini mengajak kita untuk mengingat, menelusuri kembali kejadian-kejadian masa lampau, menyaksikan liku-liku tragedi kemanusiaan yang tidak tercatat dalam pikiran kita.

Saksi Mata berkisah melalui kesaksian Kuntara, bocah cilik pelajar sekolah rakyat Mohan-gakko yang tanpa sengaja memergoki buliknya, Raden Ajeng Rumsari, keluarga ningrat asal Solo, yang sangat dicintai dan dihormatinya, sedang melakukan perbuatan mesum dengan seorang laki-laki di sebuah bungker perlindungan. Peristiwa tersebut membuat Kuntara terpukul dan sangat sedih sekaligus marah karena orang yang dihormatinya selama ini melakukan perbuatan maksiat.

Dari sinilah petualangan yang mendebarkan dimulai. Bulik Rum, gadis cantik yang sehari-hari berpenampilan ceria, penuh tawa, canda, selalu riang gembira ternyata menyembunyikan segudang rahasia yang tak terduga.

Di balik keceriaannya itu ternyata ia juga menyimpan segunung penderitaan yang sangat menyakitkan. Putri Solo yang sehari-hari bekerja di pabrik karung Asko tak lain adalah gundik tuan Ichiro Nishizumi, seorang perwira tinggi Dai Nippon.

Nasib Bulik Rum tidak jauh berbeda dengan jugun ianfu lainnya. Ia menjadi pemuas nafsu bejat tentara dari Negeri Sakura yang memang memiliki tabiat seks yang sangat "bukan main".

Kapan pun tuan Ichiro suka dan mau melakukannya, maka Bulik Rum harus menurutinya. Bahkan, pernah terjadi dalam suatu hari, gadis cantik itu dikencingi dan dipaksa memuaskan nafsu tuan Ichiro berjam-jam lamanya. Sungguh penderitaan yang teramat dahsyat.

Okada, guru sekolah Kuntara yang sangat dihormati dan dikagumi, ternyata perilakunya tidak jauh berbeda dengan Ichiro. Di balik penampilan Okada yang sederhana dan tutur katanya yang santun, ia memiliki nafsu seks yang sangat buas. Hobinya, mencari perempuan kampung untuk ditiduri. Bahkan, Okada juga yang membunuh bulik Rum karena menolak tidak mau melayani nafsu iblisnya.

uuu

Sementara, laki-laki yang bercinta dengan Bulik Rum di bungker perlindungan ternyata adalah Mas Wiradad, suami sah Bulik Rum. Sebelum Bulik Rum diboyong tuan Ichiro ke Surabaya, bulik Rum telah menikah. Mas Wiradad tidak dapat berbuat banyak melawan kekuasaan Dai Nippon yang terkenal kejam dan sadis.

Kesabaran pun akhirnya ada batasnya juga. Tidak tahan melihat negerinya diinjak-injak penjajah, ditambah lagi dengan penderitaan yang dialaminya, Mas Wiradad bertekad menyusul ke Surabaya. Kecintaannya kepada negeri dan naluri kelelakiannya tak dapat dibendung. Niatnya sudah bulat untuk merebut kembali istri tercinta dari tangan Ichiro, meski nyawa taruhannya.

Membaca buku ini, kita akan mengikuti petualangan yang mendebarkan, menegangkan sekaligus mengharukan. Alur cerita roman ini juga tidak mudah ditebak. Tidak hanya itu, novel ini juga menyajikan adegan lucu, konyol dan kocak.

Misalnya, ketika sedang mandi, Kuntara kebelet pipis. Karena tidak kuat menahan, ia pun kencing. Baru separoh jalan, Bulik Rum tiba-tiba nongol di depannya untuk memastikan Kuntara mandi secepatnya. Bulik Rum mengumpat, Iih, jabang bayik! Kencing, ya?! Ediaaan! Mengenai kakiku! Kurangasem. (hlm 58)

Kepiawaian penulisnya, Suparto Brata, tak diragukan lagi. Dengan gaya deskripsinya yang gamblang, sangat mudah dan mengasyikkan membaca buku ini. Sangat banyak manfaat yang diperoleh dari membaca buku ini. Semua niscaya akan memperkaya khazanah pengetahuan pembaca perihal manusia dan kemanusiaan.

Dari segi sejarah sastra, kehadirannya mengembalikan mata rantai yang hilang dari sejarah sastra Indonesia. Selama ini, tidak banyak sastrawan yang menggeluti suasana pendudukan Jepang dalam karya-karyanya.

Tak usah diperdebatkan lagi, sayang melewatkan buku ini.

Rugi kalau tidak membacanya.


Imam Cahyono

Mantan Pemimpin Redaksi LPM Sketsa, Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto,
mahasiswa jurusan Sosiologi
FISIP Unsoed.

Tags:

0 comments to "Saksi Mata"

Leave a comment