Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » SUPARTO BRATA : Seorang Sejarawan

SUPARTO BRATA : Seorang Sejarawan

Oleh: R. Nugroho Bayu Aji (Alumnus Depatremen Ilmu Sejarah Unair, Kontributor buku Tempo Doeloe Selaloe Aktoeal, Pemerhati sejarah dan sastra)

Pada tanggal 12 Oktober sastrawan dari Surabaya, Suparto Brata mendapatkan penghargaan SEA (South East Asia) dari Kerajaan Thailand karena dedikasi dan integritasnya sebagai seorang sastrawan yang pruduktif berkarya. Suatu prestasi yang patut dibanggakan bagi sastrawan, mengingat penghargaan tulis-menulis ini bertaraf internasional. Kehadiran Suparto Brata dengan karya sastranya sangatlah fenomenal. Bukan hanya karya sastra murni yang dia hasilkan.

Ada beberapa informasi penuh makna sejarah bahkan rekonstruksi kehidupan sosial di Surabaya dalam karyanya. Artinya, karya sastra yang ditulis oleh Suparto Brata bisa dijadikan acuan untuk menjelaskan seperti apa sejarah kota Surabaya dari jaman kolonial Hindia-Belanda, masa-masa pendudukan Jepang serta awal kemerdekaan Indonesia.

Karya-karya tersebut antara lain Kremil, Saksi Mata, Mencari Sarang Angin. Dalam karyanya yang berjudul Kremil, dikisahkan bagaimana belitan permasalahan ekonomi kota Surabaya sehingga mengakibatkan penjualan gadis oleh tetangganya dalam dunia prostitusi. Dari Kremil inilah narasi terajut yang kemudian membekali keberadaan Dolly sebagai tempat prostitusi terbesar yang dimiliki oleh Surabaya.

Dalam novel Saksi Mata terlihat bagaimana situasi Surabaya ketika diduduki oleh Jepang (1944). Tokoh Kuntara (12 tahun) mengalami sebuah pergulatan batin-jiwa ketika mengetahui kebiasaan tentara Jepang untuk memiliki gadis pribumi (Bulik Rum) sebagai simpanan dan pemuas nafsu. Keluarga Bulik Rum, Wiradad (suami) dan ayahnya tidak kuasa mencegah keinginan Ichiro Nishizawa serta Okada untuk menikmati tubuh Bulik Rum.

Selain itu digambarkan pula setting kota Surabaya tahun 1944, yakni daerah Pacarkeling dengan suasana Hindia-Belanda karena banyak jalan-jalan yang masih menggunakan bahasa Belanda. Ada pula bungker-bungker sebagai perlindungan dari serangan udara akibat dampak dari PD II. Tidak lupa dalam karya tersebut disertai juga lagu-lagu propaganda Jepang dan juga lampiran peta.

Berkat karya Saksi Mata ini, Suparto Brata mendapat undangan khusus dalam Semiloka Kota dan Karya Sastra dalam Studi Sejarah atas permintaan Dr. Freek Colombijn dan Els Bogaerts dari NIOD (Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie). Hal ini bukan tanpa alasan karena Saksi Mata termasuk karya sastra yang mencatat sejarah. Selain itu, Saksi Mata juga mengantarkan Suparto mendapat SEA Write Award dari Kerajaan Thailand (Jawa Pos, 15 Oktober 2007).

Tulisan-tulisan Suparto Brata berawal dari pengalaman yang pernah dia saksikan ataupun didengarnya dari orang lain, serta ditambah dengan pengetahuan dari buku-buku sastra dan sejarah. Pengalaman tersebut dia rasakan karena hidup dalam tiga jaman yakni kolonial Hindia-Belanda, Jepang dan Kemerdekaan. Pengalaman itu, kemudian mengilhaminya untuk menyelesaikan karyanya yang berjudul Mencari Sarang Angin.

Terdapat fakta dan data sejarah dalam karya Mencari Sarang Angin tersebut, yakni mulai dari sejarah pers di Surabaya 1936-1945, sejarah pertempuran 10 November 1945 sampai pemberontakan PKI Madiun 1948. Selain itu dipaparkan pula berbagai macam kebiasaan orang Surabaya antara lain: adu doro, minum tuak dan arak-arakan ketika hendak merayakan pernikahan.

Selain setting kota Surabaya, Suparto Brata juga memiliki karya monumental dalam trilogi novel Gadis Tangsi, Kerajaan Raminem, serta Mentari di Ufuk Timur Indonesia. Trilogi tersebut mengisahkan perjalanan hidup tokoh Tetti dan Raminem yang berlatar pada masa pendudukan Dai Nippon di Nusantara.

Karya Sastra dan Sejarah

Sebagian besar sejarawan mengatakan bahwa karya sastra merupakan “alat bantu” dari ilmu sejarah. Akan tetapi, tidak bisa kita pungkiri bahwa karya sastra mempunyai sumbang sih besar untuk sejarawan dan historiografi. Dari karya sastra bisa diambil pengetahuan dan informasi yang tak dimiliki oleh dokumen tertulis maupun arsip yang berperspektif pemerintah.

Dengan demikian, kita bisa menerobos ruang kosong yang tak dimiliki arsip maupun dokumen. Sehingga sebuah peristiwa sejarah semakin dinamis dengan pendekatan dari arus bawah masyarakat yang terpinggirkan oleh sejarah dan kekuasaan (history from bellow).

Lebih lanjut lagi, karya sastra baik novel dan yang lainnya menjadi lebih dari sekedar “alat bantu” karena bisa menjelaskan lebih detail dinamika yang terjadi dalam peristiwa sejarah. Artinya, karya sastra merupakan sahabat untuk berdialektika dalam sejarah dengan semangat zaman (zeit gheist) yang terkandung didalamnya.

Sejarawan Kuntowijoyo yang akrab dengan dunia karya sastra mengatakan bahwa sastra dan sejarah pada era sekarang sangat tipis sekali bedanya. Bahkan tidak sedikit pula karya sastra seperti novel memuat fakta-fakta dalam suatu peristiwa sejarah. Hal itu seakan-akan menunjukkan sastra dan sejarah mempunyai hubungan yang erat diantara keduanya.

Karya sastra merupakan simbol verbal dengan beberapa peranan antara lain, sebagai cara pemahaman (mode of comprehension), cara perhubungan (mode of cumunication), serta cara pencipta (mode of creation). Kajian karya sastra tertumpu pada realitas. Ketika realitas itu merupakan peristiwa sejarah, maka paling tidak ada tiga hal yang bisa dibahasakan dan diinformasikan melalui karya sastra.

Pertama, karya sastra dapat mencoba untuk menterjamahkan suatu peristiwa melalui bahasa imaginer yang bermaksud untuk menerangkan serta memahami peristiwa sejarah tersebut. Kedua, karya sastra dapat menjadikan penulisnya untuk mengeluarkan perasaan, fikiran dan tanggapan dalam peristiwa sejarah.

Ketiga, layaknya sebuah historiografi (karya sejarah), karya sastra dapat dijadikan sebagai sarana untuk merekonstruksi (membangun kembali) sebuah peristiwa sesuai dengan pendekatan, pengetahuan serta daya imaginasi dari seorang penulis (Kuntowijoyo, 1999: 127).
Dengan penghargaan SEA Write Award atas dedikasinya dalam tulis-menulis dari Kerajaan Thailand, tidaklah berlebihan apabila kita memberikan apresiasi kepada Suparto Brata untuk dijadikan sebagai sejarawan. Meskipun tidak mengenyam pendidikan formal sejarah ataupun berprofesi sebagai seorang sejarawan, karyanya banyak membantu dalam historiografi kota Surabaya.

Saat ini, Surabaya memang membutuhkan sejarawan-sastrawan (sejarawan-nyastra) yang bisa menyampaikan fakta sejarah kepada masyarakat awam. Kecenderungan gaya bahasa sastra dalam bentuk novel, roman, atau cerita akan lebih mudah untuk dipahami oleh masyarakat awam.

Beda halnya ketika peristiwa sejarah dibahasakan dengan tulisan akademis, bukanlah suatu perkara yang mudah untuk memahaminya. Bahkan seseorang yang sedang mempelajari sejarah (mahasiswa ilmu sejarah) serta sekelas akademisi pun terkadang sulit untuk memahami sejarah.
Akan lebih bijaksana apabila sejarawan lebih bisa membumikan sejarah kepada keseluruhan masyarakat. Sehingga perkataan sejarawan Taufik Abdullah bisa terealisasikan yakni sejarawan tidak boleh berada di menara gading karena sejarah tidak bersifat elitis. Sejarah harus berada di tengah-tengah masyarakatnya.

Bukankah itu yang kita inginkan agar kita tidak sampai amnesia sejarah karena sudah banyak sejarawan masa kini yang mempunyai hubungan intim dengan elit kekuasaan dan lupa dengan masyarakat.

Dikuti dari "Belajarsejarah.com"

Tags:

0 comments to "SUPARTO BRATA : Seorang Sejarawan"

Leave a comment