FORUM
Eksperimen Suparto Brata
Oleh BENI SETIA
Ada seniman yang kukuh bahwa dunia ini (baca: Bumi) datar dan tidak bulat seperti yang dinyatakan ilmu pengetahuan. “Jare sapa?” katanya, “Saat berdiri dan berjalan, kita tidak terpeleset seperti berdiri di atas bola.” Saya tidak tahu harus omong apa. Kebenaran ilmu selalu dinyatakan agar tap orang menguji dan menemukan hal sama saat melakukan tindakan sama dengan tertib urutan sama.
Kebenaran subyektif tidak bisa membantah kebenaran fakta obyektif. Cukup dengan mengambil jarak dan mengambang, kita sudah menemukan bukti bahwa Bumi bulat. Dalam termin psikologi fenomenologik yang sering dikutip MAW Brouwer, “ikan bisa melihat, menyadari dan mengapresiasi segala hal selain fakta air yang menyebabkannya ada dan hidup.” Dan, fenomena pengamat yang terlalu lekat dengan media hidup sehingga tidak bisa mengambil jarak juga terlihat dalam kreasi inovatif Suparto Brata, yang ingin menunjukkan kemodernan wong Jawa pada kumpulan tiga novelet berbahasa Jawa (lihat Ser! Randha Cocak, Narasi, Yogyakarta, 2009).
Sebuah buku yang menampung tiga novelet—pengarang menyebutnya roman—panglipur wuyung yang ditulis untuk menunjukkan wong Jawa bisa menjadi manusia modern di bidnag formal diplomasi dan direktur serta koreografer (novelet Ser! Ser! Plong!) lantar terbiasa naik pesawat terbang, dansa, dan pergaulan metropolis rangkul-cium. Atau eksekutif perusahaan EMKL yang berhubungan dengan klien asing, yang membuat si bersangkutan pandai bicara bahasa Inggris atau Jepang (novelet Mbok Randha saka Yogya) dan hafal tata cara makan internasional. Atau si pengusaha real estat, yang naik pesawat dan memakai jasa bank serta ATM (novelet Cocak Nguntal Elo) sehingga terlatih debat saham dan legalitas tindakan perdata.
Pilihan latar (setting)—dikatakan sendiri oleh Suparto Brata—yang diambil sebagai upaya terobosan di jagat kreatif penulisan sastra prosa Jawa, yang selama ini selalu berkutat di sekitar pribadi dan lingkup latar intim pengarang. Ini dengan menghadirkan dunia metropolis dansa dan pergaulan kosmopolitan dengan orang asing lewat komunikasi dalam bahasa asli klien, dengan kritik yang mendorong inisiatif untuk melakukan investigasi pribadi demi kebenaran sejati ala detektif tidak sengaja film Barat. Semua tokoh yang dipilih merupakan manusia ideal Jawa modern yang bisa mengakomodasi dan mengadaptasi tuntutan zaman.
Ihwal dalam satu percakapan peribadi yang bermakna membebaskan karakter, latar, dan lokasi cerita baru dari pengulangan melulu tentang para guru atau priyayi rendahan yang bergaul dengan orang yang berprofesi ndesa dan terjadi di desa. Bagi si pengarang, riset dansa dan macam dansa, hadirnya orang Jawa yang menunjukkan kepahaman akah hal itu di satu sisi, serta lokasi cerita yang merujuk ke perkantoran modern, rumah makan kelas atas, dan mobil mewah di Jakarta (Ser! Ser! Plong! Dan Mbok Randha saka Yogya atau di Surabaya (Cocak Nguntal Elo) di sisi lain akan menunjukkan wong Jawa bisa modern. Dengan penghadiran itu, citra wong Jawa tinggal di desa dan ndhesit punah. Namun, apa sesederhana itu?
Keutamaan Suparto Brata adalah teknik bercerita yang lancar, mengalir, dan ringan renyah seperti keripik kentang. Hal yang sangat mendukung upaya penceritaan, yang diandaikan dilakukan penuturu di beranda, sambil menunggu kopi dan pisang goreng mendingin pada senja hari. Sebelum TV menghadirkan berita petang atau sesaat setelah percintaan sebelum kantuk tiba—modal bagus buat cerita panglipur wuyung.
Dalam beberapa hal, itu mirip teknik adegan sinetron Indonesia: selalu menghadirkan rumah mutakhir, pakaian bagus, mobil mewah, dan rias lengkap meski untuk mengantar suami ke toilet. Semuanya membuat resep dilihat, ditonton, dan dibayangkan. Semua diadaptasi dan diakomodasi untuk menunjukkan bahwa wong Jawa juga modern.
Suparto Brata lihati memotret semua itu karena bisa melihat semua itu. Semua, kecuali pembiasaan dan keterbiasaan membangun karakter serta menciptakan konflik dari cerita cq tokoh-tokoh cerita, yang ternyata masih ada di kawasan 1950. Ser! Ser! Plong! Bercerita tentang diplomat muda yang harus segera menikah sesuai dengan keinginan ibu, sementara Mbok Randha saka Yogya bercerita tentang ibu yang ingin punya cucu, upaya untuk menjodohkan anaknya yang eksekutif muda, dan bagaimana intrik untuk memenangi suami dengan menaklukkan calon mertua. Cocak Nguntal Elo bercerita tentang mengawini anak direktur agar menguasai harta direktur seperti ilusi dikawini direktur muda agar jadi bagian dari kelas menengah atas.
Kekuatan Suparto Brata selalu merujuk pada manusia, latar, dan lokasi dekade 1940, 1950, serta 1960-an, seperti yang diperlihatkan Saksi Mata, Gadis Tangsi, atau Donya Wong Culika. Dengan senantiasa intens kreatif mengeksploitasi periode itu akan melahirkan teks sastra yang penuh dengan detail faktual sejarah dan sosial yang teramat berguna bagi ilmu sosial. Bagi saya, Suparto Brata yang senantiasa intenseif mengungkapkan apa yang dia ketahui tentang masa itu jauh lebih penting dari sekedar menghadirkan latar sinetron sok kota masa kini. Milo!
BENI SETIA
Pengarang, Tinggal di CarubanKebenaran subyektif tidak bisa membantah kebenaran fakta obyektif. Cukup dengan mengambil jarak dan mengambang, kita sudah menemukan bukti bahwa Bumi bulat. Dalam termin psikologi fenomenologik yang sering dikutip MAW Brouwer, “ikan bisa melihat, menyadari dan mengapresiasi segala hal selain fakta air yang menyebabkannya ada dan hidup.” Dan, fenomena pengamat yang terlalu lekat dengan media hidup sehingga tidak bisa mengambil jarak juga terlihat dalam kreasi inovatif Suparto Brata, yang ingin menunjukkan kemodernan wong Jawa pada kumpulan tiga novelet berbahasa Jawa (lihat Ser! Randha Cocak, Narasi, Yogyakarta, 2009).
Sebuah buku yang menampung tiga novelet—pengarang menyebutnya roman—panglipur wuyung yang ditulis untuk menunjukkan wong Jawa bisa menjadi manusia modern di bidnag formal diplomasi dan direktur serta koreografer (novelet Ser! Ser! Plong!) lantar terbiasa naik pesawat terbang, dansa, dan pergaulan metropolis rangkul-cium. Atau eksekutif perusahaan EMKL yang berhubungan dengan klien asing, yang membuat si bersangkutan pandai bicara bahasa Inggris atau Jepang (novelet Mbok Randha saka Yogya) dan hafal tata cara makan internasional. Atau si pengusaha real estat, yang naik pesawat dan memakai jasa bank serta ATM (novelet Cocak Nguntal Elo) sehingga terlatih debat saham dan legalitas tindakan perdata.
Pilihan latar (setting)—dikatakan sendiri oleh Suparto Brata—yang diambil sebagai upaya terobosan di jagat kreatif penulisan sastra prosa Jawa, yang selama ini selalu berkutat di sekitar pribadi dan lingkup latar intim pengarang. Ini dengan menghadirkan dunia metropolis dansa dan pergaulan kosmopolitan dengan orang asing lewat komunikasi dalam bahasa asli klien, dengan kritik yang mendorong inisiatif untuk melakukan investigasi pribadi demi kebenaran sejati ala detektif tidak sengaja film Barat. Semua tokoh yang dipilih merupakan manusia ideal Jawa modern yang bisa mengakomodasi dan mengadaptasi tuntutan zaman.
Ihwal dalam satu percakapan peribadi yang bermakna membebaskan karakter, latar, dan lokasi cerita baru dari pengulangan melulu tentang para guru atau priyayi rendahan yang bergaul dengan orang yang berprofesi ndesa dan terjadi di desa. Bagi si pengarang, riset dansa dan macam dansa, hadirnya orang Jawa yang menunjukkan kepahaman akah hal itu di satu sisi, serta lokasi cerita yang merujuk ke perkantoran modern, rumah makan kelas atas, dan mobil mewah di Jakarta (Ser! Ser! Plong! Dan Mbok Randha saka Yogya atau di Surabaya (Cocak Nguntal Elo) di sisi lain akan menunjukkan wong Jawa bisa modern. Dengan penghadiran itu, citra wong Jawa tinggal di desa dan ndhesit punah. Namun, apa sesederhana itu?
Keutamaan Suparto Brata adalah teknik bercerita yang lancar, mengalir, dan ringan renyah seperti keripik kentang. Hal yang sangat mendukung upaya penceritaan, yang diandaikan dilakukan penuturu di beranda, sambil menunggu kopi dan pisang goreng mendingin pada senja hari. Sebelum TV menghadirkan berita petang atau sesaat setelah percintaan sebelum kantuk tiba—modal bagus buat cerita panglipur wuyung.
Dalam beberapa hal, itu mirip teknik adegan sinetron Indonesia: selalu menghadirkan rumah mutakhir, pakaian bagus, mobil mewah, dan rias lengkap meski untuk mengantar suami ke toilet. Semuanya membuat resep dilihat, ditonton, dan dibayangkan. Semua diadaptasi dan diakomodasi untuk menunjukkan bahwa wong Jawa juga modern.
Suparto Brata lihati memotret semua itu karena bisa melihat semua itu. Semua, kecuali pembiasaan dan keterbiasaan membangun karakter serta menciptakan konflik dari cerita cq tokoh-tokoh cerita, yang ternyata masih ada di kawasan 1950. Ser! Ser! Plong! Bercerita tentang diplomat muda yang harus segera menikah sesuai dengan keinginan ibu, sementara Mbok Randha saka Yogya bercerita tentang ibu yang ingin punya cucu, upaya untuk menjodohkan anaknya yang eksekutif muda, dan bagaimana intrik untuk memenangi suami dengan menaklukkan calon mertua. Cocak Nguntal Elo bercerita tentang mengawini anak direktur agar menguasai harta direktur seperti ilusi dikawini direktur muda agar jadi bagian dari kelas menengah atas.
Kekuatan Suparto Brata selalu merujuk pada manusia, latar, dan lokasi dekade 1940, 1950, serta 1960-an, seperti yang diperlihatkan Saksi Mata, Gadis Tangsi, atau Donya Wong Culika. Dengan senantiasa intens kreatif mengeksploitasi periode itu akan melahirkan teks sastra yang penuh dengan detail faktual sejarah dan sosial yang teramat berguna bagi ilmu sosial. Bagi saya, Suparto Brata yang senantiasa intenseif mengungkapkan apa yang dia ketahui tentang masa itu jauh lebih penting dari sekedar menghadirkan latar sinetron sok kota masa kini. Milo!
BENI SETIA
Sumber:
Kompas Jawa Timur, Rabu, 27 Agustus 2009, hal. D.
nice infonya nih, smoga bermanfaat bagi banyak orang