Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » Suparto Brata

Suparto Brata

Tulisan ini diambil dari Agus Wahyudi Blog

Jari-jemari Suparto Brata masih menari-menari di atas komputernya, pagi itu. Tiba-tiba ia mendapati seorang bule datang ke rumahnya. Setelah dipersilakan masuk, bule itu lalu memperkenalkan diri. Namanya James Siegel. Dia seorang anthropolog dari Anthropology Southeast Asia Program Cornell University, Ithaca, New York, USA.
*Agus Wahyudi


Siegel datang ke rumah Suparto Brata– di Jalan Rungkut Asri II/12 Perum YKP RL-I-C 17 Surabaya– secara kebetulan. Dia memang mencari orang-orang Surabaya yang menikmati masa-masa penjajahan. James ingin mencari data dan sumber-sumber penting yang bisa memberikan keterangan tentang sejarah Kota Surabaya.

Nama Suparto masuk dalam memori data Siegel. Karena dari segi usia, Suparto sudah memasuki 73 tahun. Dan lagi, Suparto lahir dan besar di Surabaya. Mestinya, keterangan bisa dikorek lebih dalam tentang sejarah Surabaya.

Percakapan hangat pun terjadi. Siegel menyimak, mencatat, dan merekam semua cerita Suparto. Mulai dari zaman penjajahan Belanda, Jepang, Inggris sampai peristiwa G 30 S PKI.

Tentang penjajahan Belanda yang sangat membuat rakyat Indonesia sengsara. Kemudian masuknya Jepang yang terjadi pembunuhan besar-besaran. Di zaman pendudukan Jepang itu, tutur Suparto, rakyat Indonesia banyak yang kelaparan. Beli pakaian susah, makan juga begitu.

Sedangkan masa penjajahan Inggris diwarnai terjadinya bom di sana-sini. “Saya mengalami itu semua sebagai pelajaran hidup yang tak mungkin saya lupakan,” begitu ucap Suparto menerawang.

Tak heran Siegel agak penasaran dengan sosok Suparto. Betapa Suparto mampu bercerita panjang lebar. Ingatannya masih jernih. Apa yang diceritakan Suparto sangat kaya dan beragam. Sangat sastrawi. Bahkan, Suparto masih ingat tahun dan tanggal kejadianperistiwa-peristiwa yang dikisahkannya.
Suparto lalu memberikan sejumlah buku sastra karyanya. Buku-buku yang
kebanyakan berbahasa Jawa. “Ini saya titip untuk bisa jadi dokumentasi di Amerika,” tutur Suparto.

Siegel spontan berbunga-bunga. Dia tak menyangka kalau sesosok insan di depannya itu adalah seorang pengarang. “Terima kasih, Pak Parto. Pasti buku ini akan saya serahkan ke Cornell University,” ujar Siegel yang fasih berbahasa Indonesia.

James Siegel bukan orang pertama yang mendapat masukan tentang sejarah Kota Surabaya dari Suparto. Banyak pengarang, peneliti, akademisi– dari kelas lokal, nasional maupun internasional—yang acap meminta bantuan Suparto. Dan Suparto dengan murah hati membantunya.

Sehari setelah kedatangan James Siegel, penulis datang, agak siang, sekitar pukul 10.30. Suparto saat itu juga masih asyik di memainkan jari-jemarinya di atas keyboard komputer. Balakangan, saya baru tahu kalau jam-jam itu adalah ‘jam kerja’ Suparto yang terakhir berstatus sebagai pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) Pemda II Kotamadya Surabaya (KMS), 1971-1998.

Suparto hampir tak pernah melewatkan waktunya untuk menulis. Bahkan dia punya jadwal tetap. Bangun pukul 03.00 dini hari, kemudian langsung menghadap komputernya. Baru pukul 07.00, dia beristirahat. Biasanya waktu istirahat dilakukan dengan jalan-jalan pagi dan sarapan. Satu jam kemudian, dia kembali menulis. Selanjutnya jadwalnya tidak pasti. Kadang kalau tak ada tamu dia bisa melanjutkan menulis sampai siang atau sore. “Tapi jadwal bangun jam tiga pagi itu rutin. Selama masih ada cahaya matahari, saya selalu mengisi dengan membaca,” aku dia. Biasanya, sehari Suparto bisa menulis sepuluh lembar di atas kertas folio, spasi tunggal, dengan fond huruf 12.

Ruang kerja Suparto adalah sebuah kamar berukuran 4 x 3 meter. Ruang itu ada tempat tidurnya. Ada juga lemari dan rak buku, selain komputer berikut printer-nya. Banyak deretan dan dan tumpukan buku karyanya. Antara lain; Saksi mata, Saputangan Gambar Naga, Kremil, Gadis Tangsi, Panji Gandrung Anggreni, Kerajaaan Raminem, Donyane Wong Culika, Geger Jayacaraka, Pethite Nyai Blorong, dan masih banyak lagi.

Buku-buku karya Suparto tersebut mayoritas dicetak oleh penerbit terkemuka di Jogjakarta dan Jakarta. Buku-buku itu ditulis cukup tebal, ada 400 halaman, ada yang 600 halaman lebih.

Di samping yang sudah tercetat dan beredar di pasaran, di ruang itu ada sejumlah draf buku yang telah diselesaikan dan siap dikirim ke penerbit. “Saya jilid seperti ini, sebelum saya kirimkan ke penerbit,” ucap Suparto menunjukkan beberapa jilidan buku tebal yang sudah selesai ditulisnya.

***

Nama lengkapnya Raden Mas Suparto Brata. Menurut ibunya ia lahir di Rumah sakit Umum Pusat Simpang Surabaya (sekarang Plasa Surabaya), pada Sabtu Legi, 19 Syawal tahun Je 1962 (1350 Hijriah). Setelah ditelusuri sama dengan 27 Februari 1932 Masehi.

Ayahnya Raden Suratman, asal Surakarta Hadiningrat. Setelah menikah namanya Raden Suratman Bratatanaya. Meninggal di Probolinggo 1945 (umur 55 tahun).

Ibunya: Bandara Raden Ajeng Jembawati, ndara canggah (keturunan ke-5 dari raja) dari Paku Buwana V, raja di Surakarta Hadiningrat. Meninggal di Surabaya 1966 (umur 70 tahun).

Suparto Brata, umur 6 bulan dibawa ibunya ke Surakarta. Karena ketika itu ayahnya tak punya pekerjaan dan tempat tinggal. Namun ayahnya tetap berusaha mencari pekerjaan di Surabaya dan sekitarnya. Selanjutnya Suparto Brata tak pernah berkumpul dengan ayahnya.

Suparto kemudian tinggal di rumah pamannya, yakni Kanjeng Pangeran Hariya Jayadiningrat di Kampung Gajahan Surakarta, tempat sejak kecil ibunya bertempat tinggal dan bermain dengan putri pamannya, 1932-1935.

Ketika putri pamannya diboyong sang suami, Kanjeng Pangeran Hariya Suryabrata, ke istananya di Gading Kulon, Suparto dan ibunya pun ikut pindah tinggal di istana tersebut, 1935-1937. “Selama hidup bersama di rumah pangeran-pangeran, Ibu saya tidak bekerja apa-apa. Hidup bersama, ya karena ada hubungan keluarga saja,” bebernya.

Ibu Wiryopuspito, kakak perempuan ayah Suparto, ikut anak lelakinya yang bekerja jadi sipir penjara di Sragen. Dia punya rumah sendiri di Kampung Pasar Kebo. Karena hidup sendiri, ia membujuk-bujuk ibu Suparto (iparnya) agar pindah saja ke Sragen, berkumpul dengannya.

Karena ingin menunjukkan masih cinta dengan keluarga suaminya, maka pindahlah ibunya membawa Suparto ke Pasar Kebo, Sragen, 1937.
Tahun 1938, ibunya mendapat warisan rumah di Kedunglumbu Surakarta dari ayahnya (RM Ng Wirosaroyo), dibagi dua dengan saudaranya (Salmah Darmosaroyo). Karena bertempat tinggal di Sragen, maka hak rumah warisan tadi dijual kepada adiknya, dan uangnya dibelikan tanah pekarangan di sebelah rumah yang ditinggali bersama iparnya (Wiryopuspito). Dengan begitu Suparto dan ibunya mendekat kepada keluarga ayahnya.

Suparto pun menjadi anak desa. Bermain di sawah, ladang, sungai dengan anak-anak dan orang-orang desa. Suparto dimasukkan sekolah desa oleh ibunya, Sekolah Angka Loro di Sragen Wetan (sekarang jadi terminal bis Martonegaran), 1938-1942.

Di pekarangan ibunya didirikan rumah-rumah, dipetak-petak, lantas disewakan. Sepetak dua sen sehari. Yang menyewa kebanyakan wanita yang hidup mandiri. Ada penjual sayur, karang kitri, jual panganan, juga ledek. Karena dekat Pasar Kebo, ada juga yang menjual diri.

Suparto kecil, bermain sangat akrab dengan para perempuan penyewa, sering diajak bermain ketoprak-ketoprakan di antara mereka. Karena tingkahnya lucu, para perempuan ayu penyewa rumah sering gemes dan memeluk erat-erat dirinya.

Tahun 1940, budhe Wiryopuspito pindah ke Pati ikut anaknya yang jadi sipir. Jadinya Suparto dan ibunya menempati rumah di Pasar Kebo sendirian. Padahal ibunya tak punya penghasilan apa-apa. Paling dari sewa rumah petaknya, yang sering kali penyewanya sulit ditagih. Penghasilan terbesar menggadaikan atau menjual benda-benda peninggalan harta warisan, mulai tempat sirih sampai almari pakaian. Sampai utang pada Cina mindring, untuk modal jual nasi pecel, lalu pindah ke rumah petak yang disewakan. “Putri bangsawan jual nasi pecel, ya kurang laku,” ujar Suparto setengah berkelakar.

Tahun 1941, terdengar akan terjadi perang. Ibu Suparto takut. Mau kembali ke Surakarta tidak mungkin, karena Suparto sudah sekolah. Maka diputuskan menjadi PRT pada Kanjeng Bupati Sragen, Mr Wongsonegoro. Suparto yang sudah kelas 3, mau naik kelas 4, ikut ibunya ke rumah Bupati Wongsonegoro.

Disitu terjadi perubahan hidup Suparto yang paling hebat. Semula ia anak desa yang sering bergaul dengan anak-anak tani, cari cengkerik di sawah, cari ikan, mandi di sungai, cari tebu, naik lori pengangkut tebu, nonton wayang di desa-desa.

Kini ia masuk ke rumah bupati, mengenal rumah tangga bupati, bergaul dengan putri bupati yang sekolah Belanda. Suparto mulai mengenal kehidupan orang mapan dan kuasa, mengenal buku-buku bahasa Belanda yang beredar bebas di rumah bupati itu. Juga belajar menari Jawa, memukul gamelan, melihat dan mendengarkan vergadering (rapat di kabupaten), mendengarkan siaran radio.

“Saya menyaksikan perubahan zaman, yaitu bagaimana kehidupan bupati di zaman Belanda. Dan bagaimana Jepang masuk menduduki Pulau Jawa,” aku Suparto.

Setelah Jepang masuk, keadaan kabupaten kacau balau. Ibu Suparto tak kerasan lagi. Mereka pun pergi ke Surabaya agar lebih dekat dengan keluarga suaminya. Tapi, ayah Suparto tak bisa menampung. Konon, ayahnya sudah kawin lagi dan bekerja di Probolinggo.

Kebetulan anak perempuan pangeran Suryabrata, Bandara Raden Ajeng Sarwosri, yang dikenal betul oleh Suparto dan ibunya ketika diam serumah di Gading Kulon, telah menikah dengan Raden Suryohartono, asisten bupati di Surabaya. Rumahnya di Van Strippiaan Leusesstraaat 31 (kini Jalan Kalasan). Kebetulan saat itu mereka butuh pembantu untuk mengasuh bayinya. “Kami tinggal di sana. Saat itu saya kelas 4 dari Sragen dipindah ke Surabaya dan dapat sekolah di Jalan Mundu. Sekolah itu baru buka, murid-muridnya anak-anak kampung sekitar Tambaksari, Jagiran, Pacar Keling. Tahun 1943, sekolah itu dipindah ke Tambak Dukuh, berbatasan dengan tembok utara THR sekarang,” jlentrehnya.

***

Suparto tak pernah menyangka bisa jadi penulis. Dia sendiri juga tak tahu apakah menulis adalah bagian dari bakatnya. Tapi yang terang, seluruh keluarga Suparto bukan seorang penulis. “Seluruh keluarga saya semuanya sangat tertarik di bidang ilmu pasti. Otaknya IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), orang bilang begitu,” ungkap Suparto.

Suparto lalu menyebut nama kakaknya, Soewondo. Usianya sepuluh tahun lebih tua darinya. Sewaktu mengungsi di Probolinggo, 1947 saat pendudukan Jepang. Soewondo menjadi kepala keluarga. “Saya dan ibu menjadi anggota keluarga. Kakak saya itu itu bekerja di kantor listrik di Probolinggo,” ungkap Suparto.

Di setiap nasihatnya, Soewondo ini mendesak adik-adiknya harus belajar teknik. “Teknik Dik Parto, teknik yang bagus sekali,” katanya menirukan ucapan Soewondo.
Nasihat itu mau tak mau harus diturut Suparto. Dia pun belajar keras. Hasilnya, Suparto selalu mendapat nilai baik untuk mata pelajaran yang berkaitan dengan berhitung.

Tapi, mendapat nilai bagi untuk pelajaran ilmu eksakta tak membuat Suparto puas. Dia malah gelisah. Batinnya tertekan. Suparto lalu mencari pelarian. Gayung bersambut, dia kemudian akrab dengan Ruba’i Katjasungkana. Ruba’i kemudian dikenal sebagai seorang penulis dan sempat menjadi wartawan Surabaya Post.

Dari Ruba’i itu itulah kenal dengan wacana lain. Apa itu? Memetik pelajaran dari membaca buku-buku sastra. Tiap kali membaca buku santra, Suparto dan Ruba’i mendapatkan kesan lain. Mereka merasa menemukan dunia baru. Yang lebih penting lagi, mereka selalu mendiskusikan buku yang baru dibaca. Istilahnya dulu, kata Suparto, ‘dionceki’.

Salah satu buku yang masih ia kenang dan jadi buku favoritnya Don Quixote de la Mancha, karya Cervantes, yang diterbitkan Balai Poestaka, 1932.

“Padal saat itu baru sekolah dasar. Saya sangat suka sekali membaca buku Don Kisot (sebutan Indonesia untuk Don Quixote). Sampai sekarang pun saya masih menyimpannya,” aku Suparto.

Dunia sastra membuat hati Suparto mekar. Dia seolah mendapat pencerahan baru. Sekaligus melakukan pemberontakan dari dalam lantaran semula ditekan kakaknya harus belajar teknik.

Suparto mencari pelarian. Dan belajar sastra adalah pilihannya. “ Jadi semangat pendidikan memang jangan ditekan. Lek diteken-teken dadi koyo aku iki (kalau ditekan-tekan jadinya seperti saya ini),” katanya diiringi senyum.

Suparto dan Ruba’i Katjasungkana kembali merajut pertemanan sampai mereka masuk SMP Negeri II di Jalan Kepanjen, Surabaya. Dulunya sekolah ini bernama Middelbare Schoool. Suparto dan Ruba’i masih bersahabat. Dan yang lebih penting lagi, keduanya masih tetap keranjingan mambaca buku-buku sastra.

Saat di SMP ini, pemikiran Suparto maupun Ruba’i terus berkembang. Mereka pun mulai menuangkan ide dan imajinasinya lewat tulisan. Suparto dan Rubai bermimpi punya surat kabar. Dan mimpinya itu diwujudkan dengan membuat surat kabar yang ditulis dengan tangan di atas buku tulis yang dilipat menjadi empat halaman. Namanya Api Murid. Sumbernya dari cerita seputar sekolah. Juga cerita-cerita imajinatif mereka.

“Ya, apa pun tetang yang kami lihat di sekolah saat itu. Ada anak yang kencing di toilet pun saya tulis,” urainya lalu terkekeh-kekeh.

Ketika itu, bukan Suparto dan Ruba’i tak berniat serius untuk menggandakan koran mereka. Karena situasi saat itu memang sulit. Jangankan untuk menggandakan, untuk makan saja susah. Jadinya, koran karya Suparto dan Ruba’i dibaca teman-temannya secara bergantian. Tak salah bisa tiap kali membuat koran, kertasnya sampai lecek (lusuh).

Suparto dan Ruba’i sangat menikmati betul masa-masa itu. Meski hanya sebuah kertas tulis, tapi ia bisa menyalurkan bakatnya. Juga meluapkan emosi dan imajinasinya.
Namun, surat kabar kebanggaannya itu bak seumur jagung. Ini setelah guu-guru mereka tahu lantas melarangnya. Akhirnya, Api Murid “dibredel”.
“Karena guru-guru tidak setuju, surat kabar itu akhirnya dilarang beredar,” aku Suparto tertawa lagi.

Tahun 1950, Raden Ajeng Jambrawati, ibu Suparto, meninggal dunia. Soewondo kakaknya pergi ke Belanda. Suparto hidup sendiri. Dia masih bersekolah di SMP Kepanjen. Dia ingat betul teman-teman yang sama-sama lulus SMPN II Surabaya. Selain Ruba’i Katjasungkana, ada Wardiman Djojonegoro (mantan Mendiknas) dan Kadarruslan (budayawan/ketua Yayasan Seni Surabaya).

Menjelang kelulusan SMP, Suparto harus hidup sendiri. Ketika itu, ia harus bekerja sebagai loper kota Djawa Pos, 1950. Djawa Pos akhirnya berubah menjadi Jawa Pos yang menjadi koran terbesar di Jawa Timur setelah dipimpin Dahlan Iskan.

“Bisa dibilang penghasilan pokok saya saat itu ya dari loper koran Djawa Pos,” ucap Suparto.

Hidup penuh dinamika itu amat dinikmati Suparto. Ia juga merasakan kenangan indah selama menjadi loper koran. Bila subuh datang, Suparto yang tinggal di rumah Bu Sri, adik bapaknya di Jalan Gresikan 2/23 Surabaya, bergegas ke Kantor Djawa Pos di Jalan Kembang Jepun. Saban hari ia harus menunggu selsainya koran dicetak untuk dikirim ke pelanggan.

Para pelanggan Djawa Pos sendiri banyak di daerah Ampel dan Surabaya Utara. Nah, semangat Suparto selalu berlipat ketika mengirim koran di Ampel. Sebab, kawasan itu dihuni orang-orang Arab. Tiap kali ia mengantarkan koran, banyak gadis-gadis Arab selalu rasan-rasan. “Eh, anaknya sudah lewat,” begitu bisik-bisik gadis-gadis Ampel mendapati Suparto melintas usai mengantarkan koran, seperti dikenangnya.

Suparto mendengar bisik-bisik gadis-gadis saat itu sudah teramat bahagia. Sebab, mereka memang jarang keluar rumah. Mereka bisanya Cuma rasan-rasan dari balik kere (kelambu dari rotan yang dipasang di depan rumah).

Para gadis Arab itu baru bisa ‘bebas’ kalau pas perayaan Muludan (kelahiran Nabi Muhammad Saw). Tempatnya di sekitar Pabean. Biasanya gadis-gadis Arab baru bisa keluar rumah. Mereka bersuka cita menikmati perayaan tersebut. Yang khas, para gadis Arab itu berebut membeli dolanan (mainan) manten-mantenan. Dolanan ini bentuknya seperti miniatur, ada kursi, tempat tidur, meja dan lain-lain.

“Tapi yang penting mereka bisa keluar rumah. Itu saja jadi kenangan yang paling apik di Surabaya,” ucap Suparto menerawang.

***

Masa sulit masih harus dilalui Suparto. Lulus SMP, Suparto menyusul ibunya ke Solo. Ibunya mondok-mondok di rumah keluarganya yang mampu, bekerja sebagai baby sitter dan buruj batik yang dibawa di rumah. Suparto meneruskan sekolah ke SMA Katholik St. Joseph , 1951-1952.

“Karena tak dapat pekerjaan dan penghasilan ibu saya tak mencukupi, saya terpaksa naik sepeda ke Surabaya untuk mencari pekerjaan,” sambungnya.

Dia lalu mencoba melamar menjadi karyawan di Rumah Sakit Kelamin di Jalan dr Soetomo, 1952. Pekerjaannya memeriksa serum dara para pasien yang dikumpulkan dari rumah-rumah sakit di Surabaya. “Karena belum kuat kos, saya mondok di rumah Pak Kir di jalan Jasem 19 Sidoarjo, gratis,” tukas dia.

Tiap hari pergi bekerja naik sepeda. Namun, Suparto tak kerasan. “Saya memutuskan keluar karena tidak ada pekerjaan tulis-menulis,” ucap dia.

Pada tahun yang sama, ia melamar jadi calon operator teleprinter Jawatan Pos dan Telegrap (negeri) di Jalan Niaga 1 (sekarang Jl. Veteran) Surabaya. Kemampuan mengeteik sepuluh jari diuji. Dia lulus menjadi pegawai tetap tahun 1953. Keadaan menjadi baik. Suparto bisa kos di Jalan Jagiran 35, Surabaya, lalu pindah ke Undaan Kulon 109, Surabaya.

Dan yang menggembirakan lagi, Suparto menyalurkan bakatnya tulis-menulis. Di sela-sela bekerja dia selalu menyempatkan menulis. Pagi benar, sebelum kantor telegrap beraktivitas, Suparto sudah mengetik cerita untuk majalah dan surat kabar. “Untuk surat kabar di Surabaya, tiap kali tulisan saya dimuat tidak diberi honorarium,” akunya lalu tersenyum.

Suparto kali pertama menulis di majalah Siasat. Pemimpin redaksinya saat itu Rosihan Anwar. Honor yang diterima Rp 37. “Di majalah Aneka (Seni dan Olah raga) pimpinan Pak Gayus Siagian, saya pernah diberi honor Rp 70 ribu,” aku Suparto bangga.

Lantaran waktunya lebih banyak longgar, Suparto lalu meneruskan sekolah di SMAK St Louis, 1954. Teman karibnya satu sekolah yang masih ia ingat adalah Johan Silas (kini guru besar ITS Surabaya). Bersama Johan Silas, Suparto menjadi murid yang punya prestasi bagus. Pelajaran seperti Ilmu Alam, Aljabar, dan Ilmu Ukur selalu mendapat nilai bagus.

“Dulu bisa sekolah sambil bekerja. Saya harus bekerja paro waktu. Istilahnya shift. Sebenarnya tak boleh, namun saya melakukannya dengan mengatur jadwal dengan teman. Kebetulan ada teman yang mau menolong. Pagi sampai siang saya sekolah. Saya bekerja mulai jam satu siang sampai jam tujuh malam,” urainya.

Kehidupan Suparto saat itu mulai agak terang. Minimal urusan periuk nasinya agak terpenuhi. Selain mendapat gaji tetap dari pegawai telegrap, dia juga kerap menerima honor dari menulis di berbagai media massa. Di antaranya majalah Aneka, Mimbar Indonesia, Siasat, Kusah Tanah Air. “Tulisan saya general, ada yang menyangkut olahraga, politik, hukum, dan hiburan. Tak terkecuali cerpen,” timpalnya.

Setelah tujuh tahun bekerja sebagai teleprinter, Suparto mendapat tawaran bekerja di Perusahaan Dagang Negara Djaya Bhakti, suatu perusahaan dagang milik pemerintah yang memperdagangkan Semen Gresik dan penyalur kain pampasan perang dari Jepang. Djaya Bhakti adalah perusahaan negera yang karyawannya mendapat gaji dan kemudahan sangat besar.

Saat di Djaya Bhakti itu, Suparto tak hanya dapat gaji gede, tapi juga istri yang sama-sama bekerja di Djaya Bhakti. Ya, Suparto akhirnya mempersunting Rara Aryati, anak seorang petani kaya di Ngombol, Kedu Selatan, 22 Mei 1962.
“Saya dulu nggak ngerti kalau satu kantor nggak boleh kawan. Pokoknya ya kawin saja, ternyata boleh,” katanya tersipu.

Hidupnya beranjak makmur. Tapi Suparto tak penah meninggalkan hobinya mengarang cerita. Kedekatannya dengan orang-orang surat kabar seperti Basuki Rachmat, Farid Dimyati, Purnawan Condronegoro dan Ruba’I Katjasungakana, membuat nama Suparto cepat ngorbit. Itu dijalaninya mulai tahun 1960-1967.

Pendulum politik di Tanah Air berubah cepat di era 1967. Rezim Orde Baru melakukan politisasi kuat terhadap perusahaan-perusahaan negara. Tak terkecuali Perusahaan Dagang Negara Djaya Bhakti.

Entah bagaimana ceritanya, kepemimpinan Djaya Bhakti kemudian dipegang Suhardiman. Dia adalah pentolan SOKSI, oraganisasi yang menjadi embrio Golkar.
Di era Suhardiman ini ada kebijakan mengejutkan. Setiap karyawannya disuruh memilih: tetap bekerja namun harus menjadi anggota SOKSI, atau keluar. Kebijakan itu sungguh di luar dugaan Suparto. Karena pilihan politik adalah hak individu, bukan harus dipaksakan.

Suparto dan istrinya akhirnya memutuskan keluar dari kantor dagang itu, 1967. Dia merasa kemerdekaannya terampas. “Saya nggak senang politik. Makanya aku metu wae (keluar saja),” jelas Suparto.

Dapat pesangon dari kantor dagang itu, Suparto membeli tanah dekat rumah kontrakan, di depan rumah Jl Rangkah 5/25. Suparto mencoba hidup hanya dengan menulis.
Tiap hari ia mengetik cerita. Khususnya cerita silat. Tulisannya dikirim ke CV Gema Solo, pimpinan Kho Ping Hoo. Kho Ping Hoo sendiri adalah pengarang hebat dan banyak cerita-cerita silatnya yang diminati khalayak. Bahkan di Semarang, ada perkumpulan penggemar Kho Ping Hoo.

Tiap mengirim naskah, Suparto diberi honorarium Rp 6 ribu. Tiap bulan bisa bisa dua naskah silat ia selesaikan, panjangnya 40-60 halaman. Sayangnya, penerbitannya tak secepat masuknya naskah. Karena Kho Ping Hoo harus mengatur jadwal buku yang diterbitkan. Dus, di era kala itu, percetakannya masih konvensional. Yakni, tiap tulisan dipotong per baris, kemudian ditata berurutan. Bisa ada yang salah, potongan per baris itu diganti lalu dicetak kembali. Praktis butuh waktu agak lama.
Kenyataan itu itu membuat Suparto rikuh. Dia merasa makan gaji buta. Karangan belum dimuat, honorarium sudah diterima. “Karena terlalu banyak dan terus-terusan, saya jadi nggak enak sama Kho Ping Ho,” sebutnya.

Dia kemudian mencoba berdagang kapuk. Ide ini didapat dari perkenalannya dengan tetangganya yang bekerja di PT Kapok. Dia ambil PT Kapuk di Jembatan Merah Surabaya. Dia tak tahu dari mana kapuk diproduksi. “Yang saya dilakukan biasanya janjian di Tambak Rejo yang saat itu belum ada pasar. Di sana kemudian sudah nangkrong truk yang menganguk kapuk. Saya menjualnya ke Bandung,” bebernya.

Usaha ini sempat berkembang. Dia sempat dapat order 3 truk kapuk yang dikirim ke Bandung. Ia mengawal sendiri pengiriman kapuk itu. Kebetulan bapak mertuanya sakit keras di Ngombol. Istri dan kedua anak Suparto ikut dibawa ke Ngombol.

Hasil menjual kapuk itu selalu dibawa Suparto ke Ngombol. Kemudian ia pulang ke Surabaya sendirian. Uang modal berdagang diinvestasikan ke temannya, yang bekerja menyuplai barang-barang kebutuhan karyawan Semen Gresik. Suparto juga ikut mengurusi. Di sela-sela itu, Suparto tetap menulis cerita, tapi tidak lagi dikirim ke Kho Ping Hoo.

Usaha yang memperoleh untung lumayan ini terhenti, 1968. Bukan lantaran rugi. Melainkan Suparto takut membawa membawa uang. “Dulu bawa uang Rp 10 juta itu sangat banyak. Saya takut sekali keamanan saat itu. Istri saya juga begitu,” ujar dia.
Dan, modal yang dititipkan pada temannya diambil untuk membangun rumah di atas tanah yang dibelinya dari pesangon kantor dagang. Cuma, saat itu, uangnya hanya cukup untuk pondasi.

Suparto masih bersikukuh mengais rezeki hanya dengan jadi pengarang. Hubungannya dengan para wartawan majalah, terutama Basuki Rachmat dan Farid Dimyati. Waktu itu, mereka berdua dapat job membantu Pejabat Wali Kota Surabaya Soekotjo, wali kota zaman baru. Wali Kota menerbitkan majalah Gapura. Oleh Basuki dan Farid, Suparto ditawari pekerjaan sebagai pengelola majalah itu.
Sejak 1968 itu juga, Suparto bekerja sebagai pengelola majalah Gapura, berkantor di Kantor Wali Kota Surabaya.

Seyampang bekerja di sana, Suparto dianjurkan melamar jadi pegawai. Tahun 1969, ia menjadi calon pegawai, dan 1971 diangkat menjadi pegawai tetap, bekerja di bagian humas. Ia melakoninya sampai pensiun, 1988.

Saat bekerja di kantor Humas Pemda KMS, Suparto beberapa kali terlibat penulisan sejarah. Antara lain penelitian Hari Jadi Kota Surabaya (1973), Master Plan Surabaya 2000 (1975), Pertempuran 10 Nopember 1945 (1986), Sejarah Pers Jawa Timur (1987), Sejarah Panglima-Panglima Brawijaya 1945-1990 (1988)

Setelah pensiun dari PNS, Suparto sekali lagi ingin hidup hanya dengan menulis. Hasil penulisannya sangat banyak. Tapi hanya bisa untuk cerita bersambung di koran. Pemuatan di koran tak bisa mengejar hasil karya yang ditulisnya. Jadinya, keuangan rumah tangganya terbengkalai. Apalagi dua anaknya masuk perguruan tinggi, yakni di ITS dan satu lagi masuk SMA. Ketika itu, belum ada yang menyokong penghasilannya. Sehingga mencicil rumah di YKP pun tertunda-tunda sampai dapat peringatan dari pengembang, 1988-1990.

Tahun 1980, Suparto menerima tawaran Arswendo Atmowiloto sebagai redaktur majalah bahasa Jawa Praba di Jogjakarta. Majalah ini bekerja sama dengan Kompas/Gramedia. Gajinya Rp 500 ribu per bulan. Sayang, sejak Januari 1991, Jawa Praba tak dapat izin terbit dari menteri penerangan. Maka, kegiatan penerbitan diakhiri. Suparto kembali lagi ke Surabaya.

Tahun itu pula, Suparto kembali mendapat tawaran pekerjaan mengelola majalah berbahasa Jawa. Kali ini dari N Sakdani Darmopamoedjo. Namanya Jawa Anyar, yang bekerja sama dengan Jawa Pos.

Untuk mengelola Jawa Anyar, Suparto harus bekerja di Solo. Redaksi Jawa Anyar kemudian dipindah ke Karah Agung Surabaya, 1993. Pada tahun ini pula Suparto mengundurkan diri dari Jawa Anyar. Sementara karya-karyanya selalu laku dan dimuat bersambung di koran-koran besar. Suparto tak lagi bekerja kepada siapa-siapa. Dia tetap menulis cerita. Menjadi pengarang merdeka.

***

HINGGA tahun 2005, Suparto Brata telah menghasilkan 122 karya. Salah satu karya fenomenal yang pernah dicatat adalah novel Saksi Mata. Pokok ceritanya, ada seorang perempuan telah dijodohkan dengan seorang pemuda. Keduanya salinhg mencintai.

Tiba-tiba perempuan tersebut direbut orang lain karena punya kekuasaan.
Suparto harus menggagas pokok cerita itu supaya kelihatan baru. Cerita ini setting-nya dibuat pada zaman jepang. Tentu menjadi baru. Sebab cerita yang terjadi di zaman Jepang, sangat jarang ditulis oleh pengarang Indonesia. Mereka tak punya pengalaman. Dengan pengalaman itulah novel Saksi Mata lahir. Untungnya lagi, Saksi Mata bisa menembus jadi cerita bersambung di Kompas.

Banyak kalangan menilai, novel Suparto Brata amat konvensional. Namun, lewat gaya sederhana itulah Suparto berhasil menunjukkan kekhasan dan kedahsyatannya.

“Semua yang alami itu memang menjadi kenangan yang indah. Makanya, paling enak saya tulis. Mumpung dengan sisa umur ini saya masih kuat nulis. Saya akan tulis sebanyak-banyaknya. Entah apa itu sejarah, catatan kesaksian, saya nggak ambil pusing. Seperti halnya orang-orang barat yang selalu menulis pengalamannya. Sehingga bisa dipelajari generasi berikutnya untuk memperbaiki hidupnya,” jelas Suparto.

Pergulatan hidup bertahun-tahun di dunia tulis-menulis telah membawa nama Suparto tercatat dalam buku Five Thousand Personalities of the World, Sixth Edition, 1998, terbitan American Biographical Institute, Inc 5126. Dia juga mendapat penghargaan bergengsi Rancage tahun 2000, 2001 dan 2005 atas jasanya mengembangkan sastra dan bahasa Jawa.

Bagi Suparto kini, menulis adalah tuntutan jiwa. Dia tak pernah pusing memikirkan masalah finasial. Buktinya, beberapa kali Suparto harus membiayai penerbitan bukunya yang berbahasa Jawa. Ini karena banyak penerbit yang enggan menerbitkannya. Bahkan, suatu kali Supato pernah menerbitkan bukunya sendiri yang berbahasa Jawa. Dicetak 500 eksemplar. Dicetatk dan didistribusikan oleh penerbitnya ternama dari Jogjakarta. Suparto hanya mengambil 300 eksemplar dari buku itu. Sisanya yang 200 eksemplar diberikan penerbit untuk dijual. Namun sampai sekarang apakah bukunya laku atau tidak, Suparto tidak pernah diberi tahu. Suparto diam saja.

Pernah juga Suparto mengirimkan empat naskah buku kepada penerbit terkemuka di Jakarta. Pihak penerbit menjanjikan hanya mencetak dua naskah saja. Realisasinya Suparto mendapatkan bayaran dua naskah buku saja. Namun kenyataan di lapangan, keempat bukunya dicetak dan dijual di pasaran. Suparto juga hanya diam saja.

“Itulah tujuan hidup saya sekarang. Meski secara finasial saya rugi, saya senang jika buku saya diterbitkan. Mengapa? Setidaknya yang telah memberi kepada bangsa saya,” tuturnya.

Suparto juga menyarankan kepada penulis muda agar tak patah arang dalam berkarya. Apa pun yang ditulis suatu saat akan bermanfaat, meski tidak berhasil dipublikasikan. Dia juga menyilakan para penulis mengidolakan penulis atau pengarang yang sudah tenar. “Kita bisa mengambil teknik-tekniknya. Nggak masalah itu. Nanti akan membentuk karakter tersendiri. Jangan pernah pergi dari zaman yang Anda alami.”(*)

Tags:

0 comments to "Suparto Brata"

Leave a comment