Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » Surat Tanpa amplop buat Pak Suparto Brata

Surat Tanpa amplop buat Pak Suparto Brata

Waktu M. Shoim Anwar bilang bahwa Pak Suparto Brata mendapat penghargaan SEA Write Award dr kerajaan Thailand, sy termasuk orang yang paling senang.
Kenapa?
Yah, ada beberapa. 1) Karena Pak Brata adalah penulis yg setia dengan cita2nya mengangkat sastra berbahasa Jawa sampai2 beliau membiayai sendiri penerbitan buku2nya. Jadi, bs dibilang kalau kemenangan pak Brata adalah kemenangan kaum sastrawan idealis. 2 & 3) Karena pak Brata adalah teman Pakde saya yg kerja di majalah Panjebar Semangat & sy pernah ketemu pak Brata ini di rumahnya mbak Ratna (semoga kedua sebab terakhir bs diterima sebagai penguat argumentasi. Hehehe...).


Nah, dlm artikel Jawa Pos tersebut, pak Shoim bilang bahwa Pak Brata mengatakan bahwa beliau ingin bs sampai ke hadiah Nobel. Dan pak Shoim sepertinya menyetujuinya. Well, sy sendiri agak kurang sreg lho sama pak Shoim dan pak Brata yg seolah menganggap hadiah Nobel sbg puncak capaian literasi. Bagaimanapun tetap saja saya mengagumi semua peraih Nobel.

Gimana ya... Saya merasa komite Nobel itu lebih memilih karya2 sastra yang bermuatan politis, yang menentang rezim di sebuah tempat, pokoknya yang gitu2 lah. Sebentar ya, tolong anda jgn terburu beranggapan sy tdk setuju sama sastra yg bermuatan sosial. Bukan. Hanya saja, hadiah Nobel itu HANYA MENYASAR SEBAGIAN KECIL SAJA KARYA SASTRA, HANYA MENYASAR KARYA SASTRA YG BERJUANG MELAWAN TIRANI DAN BERPIHAK KEPADA KEMANUSIAAN.
Nah, sudah bs ditangkap kan maksud saya? Menurut saya karya sastra itu sangat banyak jenisnya, dan kedudukannya di mata pembaca adalah sama (yg membedakan hanyalah amalnya, halah!). Jadi, tidaklah bijak menganggap hadiah Nobel sbg puncak penghargaan sastra.
Penghargaan2 lain seperti misalnya Man Booker Prize yg lbh menghargai capaian keindahan tema dan bahasa, Pulitzer yg cenderung menyukai karya2 dg kedalaman psikologis, SEA Write Award yg sy tdk tahu apa penilaiannya, atau KLA yg banyak menggantungkan pd banyak juri yg seleranya berbeda2, atau penghargaan Australia buat Seno Gumira Ajidarma yg tujuannya lbh bersifat politis itu, mereka semua tdk kalah buruknya, dan patut dihargai.

Nah, sayangnya kemarin di artikelnya itu pak Shoim Anwar bilang agar pak Brata membelokkan sastranya hingga berbau2 filsafat, atau politis, agar bisa menang Nobel. Nah, ini dia yg kurang tepat (maaf lho pak Shoim, saya bukannya ngelamak, lha wong sy ini kan 'pernah' murid sm Njenengan? Hehehe... Sy cuman harus menyampaikan kebenaran meski itu pahit :D). Pak Brata menemukan orisinalitas ungkap dan temanya krn ya memang segalanya serba kondusif (pak Budi Darma mungkin lebih suka bilang, ‘karena takdirnya begitu’. Mustahillah adanya jika pak Brata pindah ke tema yg berbau filsafat atau politis, padahal 1) setting Suroboyoan bs dibilang tdk kondusif sbg tempat berkembangnya tema2 demikian, 2) dunia yg dikenal dan sgt digemari (dus, juga diresapi bin diinternalisasi) oleh pak Brata adalah dunia Suroboyoan dengan tema-tema orang pinggiran, 3) akan lebih lucu dan tdk natural jika pak Brata pindah setting atau bahkan ‘gelap mata’ hingga menulis dg latar absurd hanya utk mendapatkan tema seperti yg dianjurkan pak Shoim.

Jadi, sy lebih setuju jika pak Brata tetap serius dg langkahnya, karena memang itulah yg paling pas buat beliau dan karena itulah yang "pak Brata banget". Dan untuk meyakinkan semua org bahwa anugerah lain jg tak kalah hebatnya sama Nobel, marilah kita mulai menyebut pak Brata, pak Budi, pak Seno dan pak Chart Korbjitti sebagai SEA Writis atau SEA Write Laureatte (bukannya Nobelis atau Nobel Laureatte), pak Jokpin kita sebut KLAis, cak Mashurri kita sebut Roman DKJis, dst.

Sekali lagi, sbg penutup mimpi, sy ingin katakan bahwa NOBEL TAK LEBIH BERHARGA KETIMBANG ANUGERAH2 LAIN (kecuali nominal uangnya... Hahaha... Dan kita hanya boleh mengejar Nobel kalau yg kita tuju cm uangnya. Tapi betapa nista sastra kita nantinya jika itu yg terjadi!!!). Selain itu, keunikan tema dan gaya ungkap adalah yg semestinya kita hargai. Lagipula, sy sudah menghargai pak Brata lebih dr Dorris Lessing atau siapalah itu (lha wong dengar namanya sj baru pd hari H penganugerahan Nobel, hehe...).

Anyway, sy sebenarnya blm punya bukunya pak Brata. Tp sy sudah pesen 'Dom Sumurup ing Banyu' dr toko bukunya teman kok. Insya allah sy beli, Pak.

P.S. Sori ya tulisannya sangat nggak EYD, :D, maklum ini mimpinya dari Warung Nasi Goreng dan Warung Lalapan. Hehehe... dan sori juga ya nggak ada fotonya, kayaknya pak Suparto Brata belum punya Multiply, :D

Dari : berbagi-mimpi.blogspot.com

Tags:

0 comments to "Surat Tanpa amplop buat Pak Suparto Brata"

Leave a comment