Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » PERISTIWA SURABAYA 11 AGUSTUS 1949

PERISTIWA SURABAYA 11 AGUSTUS 1949

Pada tanggal 10 Agustus 1949 malam komandan Batalyon 503 Mayangkara Mayor Djarot dengan beberapa perwira staf menemui perwira UNCI (komisi PBB untuk urusan pertikaian Indonesia – Belanda) Kapten Knight di tempatnya di Oranje Hotel, disambut pula oleh perwira UNCI Braseur Kermadec

Pada pagi harinya, tanggal 11 Agustus 1949, ketika diumumkan cease fire, Mayor Djarot secara resmi lapor kepada perwira UNCI bahwa TNI dengan senjata lengkap dan seragam lengkap (pakai lencana Mayangkara yang baru diresmikan empat hari sebelumnya) telah berada di Kota Surabaya. Sore hari pukul 16.00 datang Chef Staf A Divisie (kepala staf Divisi A tentera Kerajaan Belanda) Kolonel Rietveld mengadakan perundingan dengan pihak TNI, disaksikan oleh pihak UNCI. Tetapi selesai perundingan semua pasukan TNI, termasuk Mayor Djarot dan perwira pengikutnya, ditangkapi oleh tentara Belanda dan dilokasikan pada suatu tempat.

Di Kota Surabaya sejak tahun 1946 praktis tidak pernah terjadi pertempuran lagi. Kota ini merupakan kota pendudukan Belanda. Tapi berhubung peristiwa 11 Agustus itu diperlakukan jam malam sejak jam enam sore.

Mayor Djarot waktu itu adalah komandan Batalyon 503 Mayangkara, termasuk Resimen III Divisi I Narotama, berkedudukan di Surabaya Barat (Cerme, Lamongan, Perning). Peristiwa penangkapannya oleh Belanda itu menjadi pemberitaan pers luar negeri dan menjadi pembicaraan dalam Konferensi Meja Bundar. Dan akibatnya komandan A Divisie Territoriaal van Oost Java, Jendral Mayor Baay, dimutasi ke daerah lain.

Perembesan masuk ke Kota Surabaya sebenarnya diperintahkan kepada seluruh pasukan aktif dalam jajaran Divisi I Narotama. Tetapi batalyon lain mengalami banyak hambatan sehingga yang dapat mencapai sasaran hanya Batalyon 503 Mayangkara. Perintah masuk menyusup ke jantung Kota Surabaya itu datang dari Panglima Divisi I Kolonel Soengkono, dan dilangsungkan oleh Komandan KMD Surabaya, Letnan Kolonel Kretarta dengan Perintah Siasat no. 7/O/S’49 KMD Surabaya, agar pasukan aktif bergerak menuju Kota Surabaya mulai tanggal 12 Juli 1949 berturut-turut hingga tanggal 9 Agustus 1949. Tujuan gerakan tentara ini adalah untuk mengimbangi kegiatan perjuangan menegakkan Republik Indonesia di bidang politik.

Seperti diketahui pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda mengadakan Aksi Militer ke dua dengan menyerbu ibu kota Republik Indonesia Yogyakarta. Istana Negara diduduki, Presiden Soekarno, Sutan Syahrir dan Haji Agus Salim berikut beberapa pimpinan RI lainnya diasingkan oleh tentara Belanda ke Brastagi, sedangkan Wakil Presiden Mohammad Hatta, Mr. Mohammad Roem, Mr. Assaat, Mr. Ali Sastroamidjojo, dan lain-lain diangkut ke Bangka. Dengan aksi demikian Belanda memperkirakan lenyaplah sudah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia sehingga Belanda dapat kembali menjajah Indonesia.

Perhitungan Belanda ini ternyata meleset. Karena ketika Yogya mulai diserbu pada pukul 06.00 hari itu, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengirim kawat kepada Mr. Sjafrudin Prawiranegara, waktu itu Mentri Kemakmuran. Republik Indonesia di Yogya tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, maka Mr. Safrudin.Prawiranegara dikuasakan membentuk Pemerintah Republik Indonesia Darurat di Sumatra. Dengan demikian runtuhnya Yogya dan ditawannya pemimpin-pemimpin RI di sana bukanlah berarti runmtuhnya Pemerintah Republik Indonesia.

Tidak saja di bidang politik, lebih-lebih di bidang militer, bangsa Indonesia tidak runtuh perjuangannya. Perlawanan militer dengan pimpinan Panglima Besar Soedirman masih gigih dilakukan di daerah-daerah, dan berbagai contoh dapat dikemukakan yang terjadi di Jawa Timur, terutama yang berada di wilayah penguasaan Batalyon 503 Mayangkara.

Pada tanggal 20 Desember 1948 satu pasukan dari Batalyon 503 Mayangkara berhasil menghancurkan dua truk penuh muatan pasukan Belanda di Ngimbang. Truk tadi menabrak ranjau yang dipasang di tengah jalan. Pada tanggal 4 Mei 1949, lima seksi Batalyon 503 Mayangkara bertempur selama tujuh jam melawan tiga kompi Corps Mariniers Belanda. Ini terhitung pertempuran yang paling sengit dan melibatkan banyak pasukan. Menurut PMI kurban pihak musuh 45 orang tewas di antaranya 2 opsir, dan 20 orang luka-luka. Sedang pihak Batalyon Mayangkara 6 orang gugur, di antaranya seorang perwira dan seorang bintara.

Setelah tujuh bulan pendudukan pasukan Belanda di Yogya berlangsung, ternyata pertempuran tidak juga berhenti. Perjuangan kemerdekaan malah tersebar di semua daerah. Karena itu Belanda terpaksa menurut anjuran UNCI agar diadakan cease fire, penghentian tembak-menembak di antara kedua belah pihak.

Perintah cease fire tentunya harus datang dari kepala pemerintahan masing-masing pihak, barulah dapat dilaksanakan. Sedang kepala pemerintahan Republik Indonesia adalah Presiden Soekarno, yang waktu itu diasingkan di Brastagi. Maka kepada beliau Belanda meminta agar diturunkan perintah cease fire. Presiden Soekarno menolak. Beliau menyatakan, “Eerst naar Yogya, daarna cease fire.” (Ke Yogya dulu, baru perintah cease fire).

Dengan perintah cease fire itu akan ketahuan mana-mana garis perjuangan kedua belah pihak yang bertempur, mana yang dikuasai Republik Indonesia dan mana daerah yang diduduki Belanda. Apa yang terjadi di bidang politik itu diketahui juga oleh pihak TNI yang tetap berjuang di daerah-daerah. Oleh karena adanya berita-berita bakal adanya gencatan senjata yang sekaligus menentukan batas-batas daerah kekuasaan itu, maka turunlah perintah Panglima Divisi I Kolonel Soengkono kepada segala pasukan aktif dalam jajaran Divisi I Narotama untuk menyusup sejauh mungkin ke daerah lawan, terutama merembes masuk ke Kota Surabaya.

Batalyon 503 Mayangkara dibawah komando langsung Mayor Djarot Soebyantoro mengerahkan dua kompi (400 orang) bersenjata dan seragam lengkap masuk Kota Surabaya. Mereka masuk dari Menganti Karangpilang, dengan menggunakan kendaraan truk milik BPM (perusahaan minyak Belanda) Wonokromo, truk antar-jemput untuk pegawai dan buruh BPM. Dengan siasat yang cerdik truk itu secara berlanjutan diampirkan ke Menganti, dan di sini kendaraan itu disusupi pasukan Batalyon Mayangkara.

Penyusupan dilaksanakan berangsur-angsur sejak bulan April 1949 (sebelum turunnya perintah panglima divisi) secara tersamar. Setelah ada perintah 12 Juli 1949, maka penyusupan dilakukan lebih mengarah ke sasaran, antara lain pasukan itu dilengkapi pakaian seragam kesatuan, dan bersenjata. Ini untuk memenuhi persyaratan daerah kekuasaan militer apabila terjadi cease fire.

Hal ini tentu saja tidak mungkin dilaksanakan apabila pasukan itu tidak disertai jiwa pemberani yang luar biasa. Mereka bergerak di daerah perkotaan yang menjadi basis kekuatan musuh.

Batalyon 503 Mayangkara dibawah komandan Mayor Djarot Soebyantoro yang melakukan penyusupan ke jantung Kota Surabaya itu semula berkedudukan di daerah Perning (Mojokerto), di bawah Komando Markas Pertahanan Surabaya, sebagai Batalyon III Resimen I Divisi VIII. Pada tanggal 1 Maret 1946 Batalyon ini dipindahkan menjadi Batalyon III Resimen III Divisi VI (waktu itu Jendral Mayor Jonosewojo digantikan oleh Kolonel Soengkono) dan susunan batalyon menjadi Komandan Batalyon Mayor Djarot Soebyantoro, Kepala Staf Letnan S. Harmadji, Komandan Kompi I Kapten Moch. Hassan, Komandan Kompi II Kapten A. Latif, Komandan Kompi III Lts. Harjono, Komandan Kompi IV Kapten J. Rambe, Komandan Kompi V Lts. Wirjohoediono.

Pada tanggal 5 Mei 1946 pusat kedudukan batalyon dipindahkan ke sektor utara, yaitu di Mantup (Kabupaten Lamongan) dan menguasai garis pertahanan mulai daerah Mojokerto ke utara hingga Cerme (Surabaya Barat). Di Mantup pada bulan Juli 1946 Mayor Djarot mendapat hadiah dari kepala daerah setempat seekor kuda putih bernama Mayangkara. Kuda itu cerdik dan menjadi kesayangan komandan batalyon sehingga namanya diabadikan menjadi nama batalyon dan kuda putih menjadi lambangnya.

Ketetapan menjadi Batalyon Mayangkara itu segera diikuti dengan menciptakan lencana yang dipakai oleh semua anggota pada lengan baju seragamnya. Lencana tersebut berbentuk perisai sebagai simbul tentara yang mempunyai arti Tentara Perisai Negara, warna dasar merah berarti berani, bertulisan Mayangkara, serta dicantumkan gambar kuda putih yang mengandung arti suci,benar, adil, dan jujur. Di atas lukisan kuda ada gambar bintang sudut lima berwarna putih dengan maksud gambaran Pancasila.

Gambar lencana ini dibuat dan selanjutnya dipakai sejak tanggal 7 Agustus 1949, dan dengan seragam dan lencana baru tadi pasukan Batalyon 503 Mayangkara melakukan penyusupan ke jantung Kota Surabaya.

Karena peristiwa keberaniannya ini maka nama batalyon diabadikan menjadi nama jalan di Surabaya (di antara nama-nama sungai), di mana terdapat juga taman di sekitarnya sehingga namanya lebih terkenal Taman Mayangkara. Semula di taman itu akan dibangun monumen Mayor Djarot Soebyantoro menaiki kuda putih Mayangkara, tetapi kalah dulu dengan pendirian monumen dari Angkatan Laut. Maka monumen kuda putih Mayangkara dibangun di depan RSI Wonokromo. Namanya tetap Monumen Mayangkara.

Suparto Brata, pengarang roman Jawa.

Tags:

0 comments to "PERISTIWA SURABAYA 11 AGUSTUS 1949"

Leave a comment