Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » Alasan menulis “SAKSI MATA”

Alasan menulis “SAKSI MATA”

Saya mengarang novel Saksi Mata tahun 1995, ketika saya sudah memutuskan untuk menjadi pengarang merdeka. Dalam artian merdeka, bukan berkarya seenaknya, termasuk bermalas-malasan karena sebagai kepala keluarga, kewajibannya menyejahterakan keluarga sudah purna. Tidak. Merdeka berarti tidak tergantung lagi dengan kemauan orang lain dan bebas memilih kehidupan yang ditempuhnya. Dalam hal ini saya sebagai pengarang, bebas memilih karangan yang saya garap. Bebas merdeka memilih tema, bahasa, gnre, panjang pendeknya, dikirimkan atau diterbitkan dimana, bebas memilih waktu mengarang, dan juga membebaskan diri dari mengarang yang bertujuan memperkaya financial diri. Yang paling terpelihara dalam bebas merdeka tadi ialah semangat berkarya, tidak boleh padam. Sebagai pengarang yang sudah banyak makan garam, punya bakat, pengagum karangan orang lain dan mau belajar meningkatkan diri dari pengalaman, saya sangat banyak punya pilihan

Salah satu pilihan dalam periode tersebut, saya mengarang novel Saksi Mata, dikirimkan ke Kompas untuk dimuat sebagai cerita bersambung di suratkabar Kompas, Jakarta. Dipilih dikirim ke Kompas, karena, Kompas sejak dulu tersedia rubrik cerita bersambung, dan pemuatannya dengan tawar-menawar yang fair. Kalau tidak dapat dimuat naskah dikembalikan, kalau dimuat, diberitahukan dulu mendapat honor berapa, dan keuntungan publisitas lainnya. Saya sudah beberapa kali punya pengalaman dengan Kompas mengenai pemuatan cerita sambung. Antara lain, saya terpaksa membatalkan pemuatan cerita sambung di Kompas, karena waktu diberitahu novelnya akan dimuat, novel tersebut sudah dikirimkan ke penerbit lain dan sudah dimuat.

Selain mengirimkan Saksi Mata ke Kompas akan segera dapat kepastian (bisa dimuat atau tidak), berdasarkan pengalaman saya tahu selera Kompas. Oleh karena itu dalam menggarap Saksi Mata, saya selalu mempertimbangkan selera tadi.

Selera pembaca cerita bersambung di suratkabar, adalah jalan cerita harus padat, lincah, dan mengandung pertanyaan untuk muatan berikutnya. Maka ketika mengarang Saksi Mata, paling dulu benang merah cerita digagas dahulu. Pokok cerita, seorang perempuan telah dijodohkan dengan seorang pemuda, perjodohan sama suka, tiba-tiba perempuannya direbut oleh orang lain karena punya kekuasaan. Itu poko cerita yang saya gagas. Suatu pokok cerita yang sudah banyak dibuat oleh pengarang lain, tapi di Indonesia tampaknya belum banyak yang menggarap. Namun saya harus menggagas bahwa pokok cerita seperti itu kelihatan baru. Maka cerita tadi ceritanya tidak ditempatkan pada zaman ini (saat cerita digarap), melainkan terjadi pada zaman Jepang. Tentu menjadi baru. Sebab cerita yang terjadi zaman Jepang, sangat jarang ditulis oleh pengarang Indonesia yang sedang giat menulis zaman sekarang. Mereka tidak punya pengalaman, dan tidak mengalami zaman itu. Dengan membayangkan pengalaman zaman Jepang itulah maka nove Saksi Mata bisa berjalan lancar. Dan berhasil menembus jadi cerita bersambung di Kompas, seperti yang saya inginkan.

Itulah alas an utama mengapa saya mengarang novel Saksi Mata. Saya dalam periode sebagai Pengarang Merdeka, bisa dimuat bersambung di Kompas, dan ceritanya zaman Jepang agar tidak sama atau kelihatan baru disbanding dengan karya orang lain.

Tentang kemudian dicetak menjadi buku oleh Penerbit Buku Kompas tahun 2002, sebetulnya itu sudah melebihi target dari alasan semula penulisan novel Saksi Mata. Saya sadar benar, bahwa sastra adalah buku, bukan sastra lisan, sastra majalah, sastra Koran, dan sekarang ada sastra milis atau sastra cyber. Maka kalau seorang pengarang karangannya belum terbit sebagai buku, karangannya tadi seperti muspra. Tetapi karena saya tahu bahwa periode hidup dan kepengarangan saya pada bangsa yang tidak punya budaya membaca buku, menerbitkan buku susah, tidak laku, maka ketika menulis novel Saksi Mata, tidak terpikirkan oleh saya bakal diterbitkan jadi buku secepat itu. Penerbitannya menjadi buku atas prakarsa redaksi Penerbit Buku Kompas, atas dasar pertimbangan untuk menerbitkan buku sastra yang bernuansa kepahlawanan bangsa. Buku tadi dipromosikan dengan iklan oleh Kompas, dan menjadi buku terlaris diantara buku karangan saya. Penerimaan royalty-nya juga paling banyak.

Dra Els Bogaerts, M.A., bekerja pada Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie (NIOD), yang antara lain meneliti perubahan social budaya bangsa akibat perang 1930-1960, ketika bicara pada Semiloka Kota dan Karya Sastra dalam Studi Sejarah di Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra Unair 13 Agustus 2005, saya diundang, karena membicarakan novel Saksi Mata sebagai karya sastra dalam studi sejarah (berita Kompas Jawa Timur, 24 September 2005). Saya ditanya apakah ketika mengarang Saksi Mata ada terpikir juga menulis sejarah ? Saya jawab “tidak”. Waktu menulis Saksi Mata, saya sama sekali tidak berpikir menulis sejarah. Apa yang terpikir dan saya tulis waktu itu adalah saksi dan pengalaman hidup saya. Saya melihat, menyaksikan, mengalami, merasa zaman terjadinya novel itu sekarang amat indah, sangat pribadi, maka saya memaparkan perasaan indah itu sebagai tulisan novel. Saya yakin, pengalaman yang sangat pribadi dan kini dirasa indah itu, tentu sangat menarik untuk latar waktu dan tempat dalam novel yang saya tulis. Untuk Saksi Mata, saya tidak mereferensikan dengan data dan fakta sejarah (terutama yang pernah dicatat dan ditulis orang), tetapi tentang waktu dan tempat saya menulis secara jujur apa yang saya alami, tidak direkayasa. Yang saya karang, saya rekayasa adalah jalannya cerita dan pelakon-pelakonnya. Itupun banyak pula yang tidak direkayasa, merupakan pengalaman pribadi yang benar-benar terjadi saat itu, agar kisahnya mendekati selekat mungkin dengan apa alamnya.

Surabaya, 1 Oktober 2005

Tags:

0 comments to "Alasan menulis “SAKSI MATA”"

Leave a comment