Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » Kick’s Andy dan Andrea Hirata

Kick’s Andy dan Andrea Hirata

Sabtu 23 Agustus kemarin saya mengikuti bedah buku “Merdekakan Negeri dengan Hati” di Toko Buku Gramedia Jl. Basuki Rakhmat Surabaya. Acaranya dimulai jam 16.00, tapi saya terlambat sampai karena bemo (angkutan kota) yang saya tunggu tidak juga lewat. Setelah naik bemo, turun di depan Gramedia, saya bingung. Memang sangat jarang keluar dari rumah, jadi perubahan dan kegiatan di kota saya tidak tahu. Toko buku Gramedia telah disulap jadi bangunan “yang aneh”. Untuk masuk ke dalamnya saya harus tanya-tanya dulu mana jalannya memasuki gedung. Ternyata masuknya dari (dulunya) pintu samping. Dan toko bukunya di lantai dua. Jalan ke sananya juga “tidak biasa”, berliku tersembunyi.



Bedah buku ini yang menjadi pembicara Andy Noya yang populer dengan acara Kick’s Andy di Metro TV. Dan didampingi oleh Andrea Hirata, pengarang populer buku Laskar Pelangi. Ketika saya datang, pentas sudah dikerumuni banyak orang. Saya tidak melihat panggungnya, tapi suaranya terdengar jelas. Andy sedang membicarakan kehadirannya di Metro TV, tapi tidak ada respon dari pengerumunnya. “Mungkin orang Surabaya tidak gemar menonton TV”. “Atau malah tidak punya TV”, sahut Andrea. Dalam batin saya menyahut, ”Aku pun nonton TV sangat terbatas, yaitu jam 17.00-21.00. Itupun chanelnya tetap, nonton OB lalu pindah ke Suami-suami Takut Istri. Setelah itu, meskipun TV masih terpasang, saya sudah ngantuk sekali, TV kumatikan, langsung tidur.Bulan puasa acara OB pindah waktu, ya saya absen tidak menonton, karena waktu saya nonton TV hanya jam 17.00-21.00. Karena itu kepopuleran Kick’s Andy di Metro TV pun tidak pernah aku tonton, karena disiarkan malam.

Andrea juga menceritakan kepopulerannya menjual buku. Eloknya, kalau di kota-kota lain (Jember dan Malang dijadikan contoh) bukunya sudah habis terjual, maka dimintakan kiriman dari Surabaya. Di Surabaya tidak begitu laku. Mungkin orang Surabaya memang tidak gemar membaca buku. Kalau baca buku, saya memang “tiada hari tanpa baca buku”. Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi sudah saya beli dan baca setahun yang lalu, ketika Andrea bedah buku di toko buku Toga Mas Jl. Diponegoro. Sangat luar biasa. Yang mengherankan bagi saya, kejadian di kota kelahiran Andrea zaman Orba, orangnya kok hafal benar dengan lagu-lagu Amerika zaman Orla yang dulu juga saya gemari waktu saya masih jejaka dan suka dansah-dansah. Tetapi anak-anak saya sudah tidak menangi dan menggemari lagu-lagu itu, sebab sudah tidak diperdengarkan lagi di radio maupun TV.

Andrea berkisah, bahwa dia pegawai Pos, dulu pernah bertugas di Ketintang Surabaya selama 3 tahun. Saya dulu juga pegawai Pos Telepon Telegrap (1952-1960), sedikit-sedikit bisa merasakan bagaimana menjadi pegawai Pos yang pusat-pendidikan pegawainya di Bandung.

Andy juga pernah berumah di Surabaya. Tahun 1971 di Jalan Prapanca, ia masih sekolah dasar. Pernah tidak dengan sengaja merusakkan kaca spion mobil tetangganya. Oleh empunya mobil, disuruh mengganti harga spion tadi. Harganya Rp 2000,00. Sedangkan pekerjaan ibunya menjahit, penghasilannya tidak seberapa. Untuk membayar harga spion harus mencicil beberapa bulan.

Kalau Andy sekarang populer, kaya, sukses, para pengagumnya yang ingin seperti dia jangan melihat dia sekarang. Tapi pelajarilah prosesnya. Dia dulu anak yang tidak mampu. Begitu pula Andrea, tempat kelahirannya dusun kecil yang jorok “bahkan setan pun tidak mau membuang anaknya di sana”. Pesan moral mereka berdua: Jangan remehkan kemampuan anak-anak pinggiran yang tidak kaya. Mereka itu mungkin saja bibit unggul kekuatan bangsa, seperti halnya Andy Noya dan Andrea Hirata.

Pada galipnya, orang Indonesia ini ingin potong kompas menjadikan hidup yang berhasil. Langsung ingin berhasil, tidak perlu proses. Berhasil yang bisa dicapai langsung adalah menguasai masyarakat. Politik. Ingin kaya? Ingin sukses? Terjunlah ke politik praktis. Daftarlah jadi caleg, cabup, cagub, capres. Untuk mencapai itu banyak sekali timbul rebutan, ingin menangnya sendiri (yang lain salah atau tidak benar), konflik, kekerasan, korban. Ini yang tidak disukai kedua orang sukses (Andy dan Andrea) itu. Maka membuka mimbar diskusi: Merdekakan Negeri dengan Hati.

Andy yang punya banyak penggemar kini mendirikan yayasan, mengumpulkan dana untuk memberi beasiswa, kalau bisa dari sejak masih sekolah dasar hingga sampai lulus perguruan tinggi. Mottonya: Satukan hati mencerdaskan bangsa.

Sedangkan Andrea punya cita-cita membangun sekolah sebanyak-banyaknya. Mottonya: Tebalkan kemauan, jangan gampang menyerah. Hal itu mengingatkan saya pada awal kegiatan saya di bidang tulis-menulis. Tahun 1950 menjelang lulus SMP, kakak yang membiayai hidup saya dikirim study ke Negeri Belanda, tidak ada lagi yang membiayai hidup saya. Maka saya bertekad mencari penghasilan dengan menulis karangan dikirimkan ke media masa tulis. Namun, tiap kali saya kirimkan naskah karangan saya, selalu ditolak oleh redaksi. Tapi saya harus hidup, setidaknya harus bisa lulus dari sekolah SMP. Jadi saya juga menulis lagi, menulis lagi, menulis lagi, meskipun selalu ditolak. Tulisan saya baru dimuat dan mendapat honorarium setelah saya lulus SMP dan dengan ijazah SMP itu saya bisa bekerja di Kantor Pos, Telepon, Telegrap tahun 1952. Kebiasaan menulis tetap saya lakukan, terutama mengarang cerita panjang (novel). Tetapi novel sudah saya bikin, tetap ditolak oleh penerbit buku. Saya tidak mau kalah. Jadi tetap menulis roman. Waktu itu suratkabar belum ada yang meneerbitkan cerita bersambung. Yang mau memuat cerita bersambung barulah majalah Penjebar Semangat, berbahasa Jawa. Maka, karena kemauan saya menulis cerita panjang (novel) tidak terbendung lagi, saya limpahkan dalam bahasa Jawa., mulai tahun 1959. Akhirnya saya menjadi pengarang sastra Jawa. Mengarang cerita panjang bahasa Indonesia baru saya mulai lagi pada tahun 1967 ketika saya diperhentikan dari pekerjaan (tahun 1960 saya pindah pekerjaan di Perusahaan Dagang Negara Jaya Bhakti) karena tidak mau menjadi anggota SOKSI (embrio Golkar). Saya bertekad mau hidup dengan mengarang cerita. Yang sudah jelas berbahasa Jawa. Saya kirimkan novel saya bahasa Jawa kepada Kho Ping Hoo, pemilik penerbit buku CV Gema di Solo, yang waktu itu menerbitkan buku-buku cerita silat. Kho Ping Hoo menerima baik karanganku (novel bahasa Jawa Lintang Panjer Sore dan Patriot-patriot Kasmaran diterbitkan jadi buku), dan menganjurkan saya menulis bahasa Indonesia cerita silat. Saya penuhi keinginan Kho Ping Hoo, dan cerita silat bahasa Indonesia saya terbit jadi buku. Namun, cerita silat bukan keinginanku, tetapi saya lakukan karena saya harus hidup dengan mengarang cerita. Pengiriman naskah cerita silat tetap saya lakukan kepada Kho Ping Hoo, dan tiap kali naskah terkirim honornya diberi, tetapi tidak (belum) diterbitkan jadi buku. Saya jadi sungkan. Maka saya hentikan pengiriman naskah cerita silat itu, dan honorpun berhenti. Saya tidak bisa hidup hanya dengan mengarang cerita. Saya hidup dengan pekerjaan lain (jadi pns Kota Surabaya). Sampai sekarang saya masih mengarang cerita, tetapi tidak bisa meraup kakayaan seperti Andrea Hirata. Pernah Pak Budi Darmo memberi ulasan mengenai diri saya, bakat kepengarangan saya mungkin hanya kurang dari 20%, tetapi etos kerja keras saya yang tidak mau kalah itulah yang membuat saya menjadi seperti saya sekarang. Betul motto Andrea, jangan gampang menyerah.

Pagelaran bedah buku yang dipandu langsung oleh Radio Sonora ini banyak direspon aktif oleh hadirin pagelaran maupun pendengar radio. Berakhir pada jam 18.00. Begitu selesai, buku Andy maupun Andrea diserbu hadirin, dan mereka minta tanda tangan kedua selebriti itu. Saya tidak bisa menghampiri bukunya karena dikerumuni orang tadi. Padahal saya harus mencari bemo pulang, sebelum sinar matahari tak berdaya menerangi alam. Kalau hari sudah gelap, akan susah saya di jalan dengan lampu kendaraan bersinar-sinar menyilau mata saya. Maka, apa boleh buat, saya tidak beli bukunya, dan meninggalkan gedung untuk mencari bemo lijn V yang menuju terminal Joyoboyo (sangat berhati-hati menyeberangi jalan Panglima Sudirman) pulang.

Tags:

2 comments to "Kick’s Andy dan Andrea Hirata"

  1. ittaufani says:

    Wah, saya jg suka bgt sama kedua orang ini. Mereka sama2 bekerja dgn hati. Merintis jalan hidup dari bawah memang bagus krn tidak akan gmpang menyerah dan putus asa saat impian mulai diwujudkan. Saat ini sy jg mulai merentas jalan mnjadi penulis sperti Andrea, Andy Noya(bliau mantan wartawan)dan tentu sja seprti sinuhun sastra jawa sperti ANDA. Doakan Saya!

  2. Anonymous says:
    This comment has been removed by a blog administrator.

Leave a comment