Selesai sudah proyek 2 buku Trilogi Gadis Tangsi sekaligus selesai sudah peran seorang Teyi dalam novel budaya Jawa ini. Diluar pakem yang kuperkirakan, tak seperti Kuartet Pulau Buru-nya Pramoedya Ananta Tour, Trilogi Gadis Tangsi ini ditutup dengan happy ending. Satu orang tokoh pejuang nasional atau pejuang kemerdekaan lebih tepatnya kukira masuk pula dalam novel terakhir ini, memang Suparto Brata menyebut tokoh tersebut dengan nama berbeda namun kukira maksudnya tidak salah adalah Jenderal Ahmad Yani, mengingat settingnya di Purworejo; kalau tidak salah adalah tempat kelahiran sang jenderal pahlawan revolusi itu dan dalam novel ini tercatat berlatar masa pra kemerdekaan ketika beliau masih aktif di PETA.
"Mahligai di Ufuk Timur" judul ini begitu pas menggambarkan isi dari akhir buku trilogi ini. Cita-cita seorang Teyi yang telah berhasil menjadi Den Rara Teyi membangun kokohnya Kerajaan Raminem untuk mencari jodohnya, menemukan cintanya, melanjutkan pemikiran besarnya serta menepati janjinya bertemu Ndara Mas Kus Bandarkum di Istana Jayaningratan Surakarta. Kisah percintaan dalamhingar bingar rindu suasana pertemuan dan diskusi panjang mengungkap tuntas kebudayaan bangsa Jawa secara gamblang. Cerita ini berlatar tahun 1940-an ketika pendudukan bangsa Jepang dimana rakyat Jawa hidup dalam masa kekurangan sandang dan kemunduran budaya, diperparah lagi warisan Belanda yang tidak membekaskan gores pendidikan baca tulis sama sekali bagi rakyat kebanyakan. Budaya unggah-ungguh Keraton Surakarta yang begitu adiluhung pun mulai tersapu, oleh karena itu persatuan kedua insan ini dinyatakan sebagai perkawinan di awal zaman laksana terbitnya matahari di ufuk timur. Budaya Jawa yang harus diselamatkan kelestariannya dengan munculnya zaman modern, sehingga mau tidak mau harus segera bertindak memberikan pendidikan baca tulis pada generasi itu sebanyak-banyaknya demi lestarinya budaya adiluhung bangsa Jawa dan mempersiapkan diri menjadi bangsa Indonesia yang merdeka.
Roman "bumbu" cerita yang menceritakan pergaulan dan keadaan umum masyarakat desa jawa saat itu tetap begitu mengalir enak diikuti dalam buku terakhir ini. Menyenangkan juga ada novel yang akhirnya menghukum yang jahat dan mengangkat derajad yang benar seperti karya Suparto Brata ini. Tanpa mengurangi sisi intelektualitasnya, buku ini memang buku cerita murni yang begitu lugas apa adanya, tebal tapi ringan, ceritanya ringan tapi muatan moralnya begitu dalam. Pesan moral yang dilesakkan Suparto Brata dalam karya ini begitu sederhana, mudah dimengerti dan sangat luar biasa terutama bagi orang Jawa asli seperti saya.
Pesan moral yang saya tangkap "sopo nandur kebecikan, bakal ngunduh wohing pekerti." Teruslah berjuang, bekerja keraslah, ringan tanganlah terhadap sesama, hapuslah kata dendam dalam hati, belajarlah terus menuju tiap tingkatan kepintaran baru dalam hidup dan jangan lupa luaskan jejaring kebaikan....
Diambil dari "Evolusi dan Revolusi Manusia"
mantab i like it