“…..Trukbyangane……apik tenan critane….”! Gadis Tangsi adalah Novel seri ke-1 dari trilogi yang ditulis oleh Suparto Brata. Cerita dalam buku ini memang ada dalam keseharian kita. Penulis menuangkan cerita ini dalam novel dengan bahasa yang sangat lugas – kromo inggil, makian dalam bahasa jawa ‘ngoko’, bahkan dalam bahasa Belanda – yang dengan mudah kita mengerti. Dengan setting cerita jama pendudukan Belanda di Indonesia dengan mengambil lokasi di daerah Sumatera (Medan), pikiran saya ikut terbawa ketika membaca novel ini.
Teyi, si gadis tangsi, hidup dalam kekerasan disiplin si-mbok, bukan dalam kekerasan hidup di tangsi itu sendiri. Hidup dalam keluarga yang sangat sederhana dalam rumah kecil dilingkungan tangsi; dengan seorang bapak dengan pangkat sersan yang ikut kumpeni dan si-mbok yang punya obsesi jadi orang kaya raya hanya karena ingin menunjukkan pada ipar-nya yang telah melecehkan. Setiap pagi terbangun karena “kebocoran” ompol adiknya yang tidur di ambin.Teyi kecil sudah harus bangun pagi disaat teman-teman sebayanya masih terlelap; dia harus membantu si mbok berjualan pisang goreng keliling tangsi disaat teman-teman sebayanya bermain; dan dia akan merasa terbebas jika bisa ikut dalam grup mencari kutu sambil bergosip.
Teyi dibesarkan dalam ke-nyinyiran si mbok; dengan batasan-batasan yang dia sendiri sesungguhnya tidak mengerti. Dididik dalam aturan sopan-santun yang menurut si mbok benar. Disaat teman-temannya sudah mengerti apa itu “menyukai” dan “disukai” lawan jenis, dia bahkan mengira bahwa dia kena tulah karena memanjat pohon tanpa pakaian ketika dia menemukan temannya pacaran dikamar mandi umum – haid – itulah tulah yang harus diterima; si mbok jadi bertambah sayang karena mengetahui si gadis sudah haid – ini membuat Teyi bingung. Ada saat dimana membuat Teyi jenuh, lelah, bosan dan ingin lari dari kesehariannya – jualan pisang goreng dan mendengarkan ocehan si mbok yang tidak habis-habisnya – akhirnya jalan kaki sampai Medan. Dia harus digelandang keluar toko karena mengagumi pita dan ngotot ingin membeli pita dengan uang jualan pisangnya; akhirnya diantar pulang oleh Ndara Tuan Kapten Sarjubehi.
Teyi menemukan dirinya ketika dia berkenalan dengan Gusti Putri Parasi di rumah Loji – yang adalah istri dari Sarjubehi – yang jatuh hati pada kesopanannya. Dengan sabar Putri Parasi mengajar sopan santun dan tata krama. Putri Parasi merasa sembuh ketika berdekatan dengan Teyi; Teyi adalah semangat hidupnya. Putri Parasi bercita-cita menjadikan Teyi orang yang pantas untuk mendapatkan jodoh dari kraton; Teyi dipersiapkan untuk itu, dipersiapkan untuk dibawa ke keraton ketika Putri Parasi cuti. Cinta kasih Putri Parasi bertambah ketika Teyi berhasil menyelamatkan nyawanya pada waktu Putri Parasi terkapar tidak sadarkan diri karena penyakitnya tiba-2 kambuh. Teyi bahkan dibekali dengan keahlian berbahasa Belanda, sehingga dia tidak canggung menghadapi rekan-rekan Ndara Tuan Kapten Sarjubehi yang kebanyakan dari kalangan atas dan bahkan berkomunikasi dengan bahasa Belanda terhadap Putri Parasi dan suaminya. Teyi bersungguh-sungguh dalam persiapan dirinya untuk keluar dari tangsi menuju dunia yang lebih beradab baginya. Dia sudah menguasai ngadi busana dan ngadi salira juga pandai berbahasa Belanda – baca, tulis dan berbicara; sudah menutup hati buat laki-laki tangsi yang menyukai kecantikannya.
Kedekatannya dengan keluarga keluarga Putri Parasi itu menebarkan gosip bahwa dia akan di”munci” oleh Sarjubehi. Akan tetapi Teyi harus mengubur semua cita-cita untuk pergi ikut Putri Parasi ke tanah Jawa, ke keraton, mendapatkan jodoh orang keraton ketika tiba-tiba sang junjungannya pergi untuk selamanya. Sejak saat itu sudah tidak ada yang harus disembunyikan dari si mbok yang selalu melarang dia untuk bermain ke rumah loji. Hasi didikan sang guru membuat Teyi menjadi pribadi yang kuat tapi rapuh; kuat dalam meyakinkan si mbok bahwa dia akan baik-baik saja membantu tuan Sarjubehi dan tidak akan menjadi munci sang Ndara Tuan; tapi juga lemah karena sebetulnya dia sudah mulai terbiasa dengan keseharian sang tuan, dia juga tertarik dan suka dengan si tuan ini. Tapi Teyi sangat ingat pesan Gusti, “…pas op Teyi, meneer is niet de man voor jou! Absoluut niets! (Hati-hati Teyi, Tuan Sarjubehi bukan laki-laki untukmu, sama sekali bukan…”). Dia menghormati pesan itu, sehingga pada waktu Teyi diminta untuk mencarikan pembantu dan si tuan memilih Dumilah yang selain menjadi pembantu juga menjadi munci, Teyi tidak dapat berkata “tidak”. Dia hanya menangis kesal dan sesal; akhirnya dia memutuskan untuk bersedia nikah dengan Sapardal, orang yang tidak pernah dicintainya. Satu hari menikah langsung minta cerai ketika dia bertemu dengan Ndara Mas Kus Bandarkum, yang adalah keponakan Putri Teyi yang memang seyogyanya akan dijodohkan dengan Teyi. Dia merasa sudah mengenal Ndara Mas Kus lama hanya karena cerita-cerita dari Putri Parasi. Teyi, si gadis lugu tapi keras hati, yang sudah berusaha menuruti semua kehendak si mbok, yang selalu kalah karena mempertahankan sesuatu yang baik, akhirnya “menyerahkan” dirinya pada sang Ndara Mas Kus; akhirnya Teyi berpikir bahwa dia tidak berbeda dengan Keminik, yang sudah mengenal seks dari masih belia, bahkan tidak peduli berbuat kesetanan seperti si Mopi, anjing tuan Davenpoort. Teyi merasa bahwa apa yang dia perbuat ini adalah merupakan sifat dasar; kenikmatan sekaligus pemberontakan untuk memenangkan masa depan ……!”
“ trukbyangane……”! Rasanya ingin segera baca seri ke-2 dari trilogi Pak Suparto Brata ini.
(Resensi ditulis oleh Esthy Jonathan)
Respon pembaca :
Suparto Brata sebelumnya lebih dikenal sebagai penulis cerita – cerita jawa.Dari sisi ini tentunya sesuatu yg mnarik untuk melihat bagaimana penulis jawa menulis roman dalam bahasa Indonesia.
………..“…pas op Teyi, meneer is niet de man voor jou! Absoluut niets! (Hati-hati Teyi, Tuan Sarjubehi bukan laki-laki untukmu, sama sekali bukan…”)……
cepetan aja baca Kerajaan Raminem dan Mahligai Di Ufuk Timur Bu,… ntar pasti makna kalimat Putri Parasi di atas bukan seperti yang anda bayangkan setelah membaca roman ini…
Melihat cover roman ini, mengingatkan orang pada novel tetralogi Bumi Manusia karya Pram. Suparto Brata bisa mulai tancap gas, menghasilkan berderet seri trilogi atau tetralogi, untuk menggantikan posisi Pram yang kini tak bisa lagi melahirkan karya-karya masterpiece-nya.
Maju terus Pak Brata!
Diambil dari : "Rumah Baca"
sayang tulisannya terlalu kecil
http://home-febri.blogspot.com/
amanat dong!!!
gaya penulisannya apa nih?
Mohon ijin. Saya mengutip sebagian profil Bapak sebagai bahan motivator blogger
artikel di: http://lenterakecil.com/archives/wajah-blogger-indonesia/
Kalau Bapak tidak berkenan akan saya hapus. Matur Nuwun.