Minggu 16 Maret, ada arisan keluarga Mangundisastra di rumah. Yang datang lumayan banyak. Laki-laki perempuan kira-kira 50 orang lebih.
Ada telepon dari Arief Djati, yang memperkenalkan diri dulu pernah membawa tamu dari Cornell University ke rumah. Sekarang dia ingin lagi ke rumah saya, mengantar seorang tamu lagi juga dari Amerika Serikat. Saya silakan datang. Diapun datang dengan Ms. Judith M. Heimann. Mula-mula saya terima di ruangan depan, tetapi karena tamu arisan bertambah banyak, Arief Djati dan Ms. Judith M.Heimann saya terima di kamar saya.
Judith M. Heimann adalah seorang mantan diplomat Amerika Serikat, yang tugasnya berpindah-pindah, antara lain Indonesia, Malaysia, Philipina. Pada tahun 1961 pernah tinggal di Surabaya selama 8 bulan. Keperluannya sekarang datang kepada saya, ingin mendengarkan cerita-cerita tentang Kota Surabaya tahun-tahun 1950-1961-an. Juga akan bertemu dengan orang lainnya yang sekiranya bisa berkisah tentang Surabaya tahun-tahun itu. Akan ditulis sebagai buku cerita kenang-kenangan.
Saya sempat menceritakan kejadian tahun 1956, ketika Bung Karno menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda (perkebunan, kantor dagang, penerbitan suratkabar, dll.) serta orang Belanda harus pergi dari Indonesia. Dengan perginya orang Belanda, maka juga bahasa Belanda yang ketika itu masih banyak digunakan di kantor-kantor pemerintah, diajarkan di sekolah, diterbitkan sebagai suratkabar, dilarang. Perginya orang Belanda, tentu saja tidak dapat membawa semua barang-barangnya. Maka barang-barang itu dilelang murah-murahan.
Ketika itu saya sudah bekerja di Kantor Telegrap Surabaya, dan sudah mulai menulis dan mengarang disiarkan di berbagai majalah bahasa Indonesia (Kisah, Aneka, Siasat, Garuda, Gembira, Mimbar Indonesia, Indonesia). Karangan itu biasanya saya tulis tangan dulu di rumah, pagi-pagi sekali sebelum kantor digunakan hubungan (telegrap) karangan tulisan tanganku saya bawa ke kantor (hubungan dengan Jakarta 24 jam, jadi kantor pasti buka) saya ketiki menggunakan mesin ketik yang bukan jadwalnya dipakai). Waktu hubungan kerja (dengan kantor kota lain) mulai, saya berhenti mengetik, pulang. Kalau krangan sudah selesai saya ketik, saya kirimkan ke majalah. Saya atur shif kerja saya dengan teman-teman sejawat, saya tetap bekerja pada jam 1300-1900, sedang teman saya tetap pada pagi hari (0700-1300) atau malam hari (1900-0700). Dengan begitu kami masing-masing bekerja pada jadwal yang tetap, waktu luangnya saya gunakan untuk keperluan lain. Jadwal tadi sudah kami lakukan sejak tahun 1952, setelah lulus kursus (operator teleprinter) diterjunkan ke lapangan (bekerja). Waktu luang pagi hari saya saya gunakan untuk sekolah (lagi) di SMA St. Louis, Jl. Dr. Sutomo 7 Surabaya. Tahun 1956 ketika terjadi nasionalisasi perusahaan Belanda tadi, saya sudah selesai sekolah SMA, namun tetap mempertahankan jadwal bekerja seperti itu.
Saya berhasil mendapat mesin ketik Remington standard dari pelelangan barang milik Belanda. Mesin ketik itu saya gunakan sampai tahun 1976, tahun itu saya beli mesin ketik Brother fortable, Remington saya servicekan, hilang tak kembali. Dengan adanya mesin ketik Remington di rumah itu maka kegiatan saya menulis kian bebas. Bangun pagi, tidak sekolah lagi, tidak masuk kantor untuk mengetik karangan, mengetik karangan di rumah saja. Waktu itu saya tinggal seorang diri (Ibu ikut kakak saya, R.M.Soewondo di Bandung) mengontrak rumah di Rangkah 5/23B, sejak tahun 1954 (semula kami tempati bertiga dengan Ibu dan kakak yang kemudian dipindah ke Bandung), juga selama sekolah di SMA tadi saya seorang diri saja. Selain bebas mengetik karangan di rumah pagi hari, waktu pagi saya gunakan untuk membaca buku-buku, pinjam dari USIS (US Information Service) di Surabaya (Jl. Simpang, sekarang jadi Surabaya Plaza). Di situ saya belajar membaca bahasa Inggris, dan mengenal buku-buku karangan orang Amerika. Teman sejawat-sepergaulan saya bukan seniman (sastrawan) dan bukan orang yang berusaha menguasai bahasa lain (dalam hal ini Inggris), sehingga semua yang saya jalani hidup saya waktu itu adalah berjalan seorang diri, baik fisik (di rumah) maupun dalam karir (akhirnya) sebagai pengarang. Selain teman sejawat di kantor, pergaulanku hanya dengan buku bacaan dari USIS, dan lengganan majalah Siasat, Mimbar Indonesia, Aneka, Budaya, Indonesia, Zenith, Kisah, saya bacai di rumah (sendiri).
Sampai saat itu, ~ sejak merdeka ~ penerbitan buku bahasa Indonesia sangat jarang sekali. Saya kehausan membaca buku. Maka saya mula-mula bertekad bisa dengan lancar membaca dan berbahasa Belanda. Tapi dengan nasionalisasi tadi kepandaian saya berbahasa dan membaca bahasa Belanda percuma. Untunglah ada USIS, di mana saya bisa membaca buku, meskipun bahasanya asing (kesukaran memahami).
Dengan perginya orang Belanda, yang sangat menguntungkan saya adalah ditinggalkannya buku-buku milik orang Belanda. Buku bahasa Belanda sih dilarang, dan saya merasa masa depannya kurang menguntungkan. Tetapi buku bahasa Inggris banyak terjual di loakan, di kaki lima Jalan Keputran (Urip Sumoharjo). Tiap pagi saya pergi mencari buku di situ. Bertemu buku terbitan Penguin Books yang sampulnya hijau-putih-hijau, saya gemar sekali. Itu berarti buku mystery and crime. Yang sampulnya oranye, itu fiction. Yang sampulnya ungu, biru, lain pula artinya.
Buku sampul hijau yang paling saya gemari, dan tiap kali kulihat, langsung kubeli, harganya murah, tiap jilid Rp 1,50. (gaji saya Rp 120,- sebulan, untuk membayar uang sekolah Rp 40,- karena pada pendaftaran sekolah yang menanggung kakak saya yang di Bandung, yang insinyir lulusan Negeri Belanda, gajinya besar; pada hal teman-teman sekolah kebanyakan keturunan Cina, uang sekolahnya rata-rata Rp 15,-). Saya gemari karena buku itu adalah buku cerita detektip. Banyak saya dapat karangan Agatha Christie, Erle Stanley Gardner, Georges Simenon, Josephine Tey, Richard Keverne, Sir Arthur Conan Doyle, dan lain-lain. Buku-buku seperti itu tidak saya temukan di USIS. Tapi berkat kebiasaan saya membaca buku di USIS, membaca buku detektip tadi sangat lancar dan faham sekali. Buku-buku itu masih banyak saya simpan di almari saya, ada beberapa yang saya letakkan di tempat yang gampang diraih.
Kisah saya di atas yang sempat saya ceritakan kepada tamu saya bulan Maret ini, Judith M.Heimann. Dan buku yang mudah saya raih sebagai buktinya, yaitu karangan Simenon, Agatha Christie, Erlie Stanley Gardner, (sampul hijau), Robert Graves (sampul oranye).
Judith M. Heimann, kenal benar tulisan Georges Simenon, karena sebagai diplomat dia sering berpindah-pindah negara tempat bekerja, tapi kemudian ~ sampai kini ~ punya rumah di Brussels (Belgia). Sedang Georges Simenon pengarang kelahiran Belgia (di Liège, 1903), umur 16 tahun sudah menulis novel, umur 29 tahun novelnya lebih dari 270 judul, akhirnya pindah ke Amerika Serikat. Judith M. Heimann juga punya kegemaran menulis cerita, tetapi bukan fiksi. Sudah beberapa bukunya terbit. Salah satu bukunya berjudul The Airmen and The Headhunters Harcourt, Inc, New York, 2007. menceritakan para penerbang pesawat pengebom B-24 yang tertembak jatuh oleh pasukan Jepang tahun 1944 di Kalimantan, tetapi penerbangnya pada selamat, ditolong oleh orang-orang Dayak (yang terkenal sebagai headhunters), tidak ketahuan oleh tentara pendudukan Jepang, akhirnya para penerbang tadi bisa selamat kembali ke Australia, dijemput pesawat yang bisa mendarat di lapangan terbang yang dibuat oleh orang-orang Dayak di hutan belantara Kalimantan, perbatasan dengan Serawak.
Sempat dia tanya mengapa saya kemudian suka mengarang dalam bahasa Jawa, dan saya jawab (salah satunya yang memicu saya menulis dalam bahasa Jawa) adalah: setelah gemar membacai buku sampul hijau itu, kemudian hari setelah tahun 1958 saya dapat kesempatan menulis cerita sambung di majalah bahasa Jawa ~ Panjebar Semangat ~ cerita model buku sampul hijau Penguin tadi menjadi dorongan kuat. Menulis buku novel bahasa Indonesia belum ada kesempatan, karena penerbitan buku sampai habisnya Orde Lama masih sukar sekali buku terbit. Cerita bersambung pun belum muncul di suratkabar. Meskipun begitu saya berhasil memuatkan cerita sampai 9 seri di Majalah Aneka (majalah seni dan olahraga, pimpinan Gayus Siagian) tahun 1959. Dan dengan mesin ketik Remington di rumah saya berhasil menulis novel Tak Ada Nasi Lain (1958) ~ baru diterbitkan sebagai cerita bersambung di Kompas 1990.
*
Kamis, 20 Maret 2008, saya mengetik novel ke-2 dari tiga novel yang ingin saya terbitkan tahun 2008. Untuk mengerjakan tiga novel itu saya bekerja rutine jam 0330 – 0600, jalan-jalan sekitar kampung, minum kopi hangat, kembali ke komputer 0700-11.00, makan siang, tidur, jam 1300-1600 di komputer lagi. Begitu rutin tiap hari, tidak kecuali hari Minggu atau hari libur. Tidak sempat (tidak saya sempatkan) membaca suratkabar, mendengarkan musik (radio atau TV), menonton TV hanya jam 1700 – 2100 (hanya sinetron, kalau tidak ada yang menarik ya saya matikan, tidur-tiduran. Senang kalau ada sepak bola luar negeri yang tahun 2008 ini banyak sekali peristiwanya, tapi juga sering saya lewatkan saja. Hari ini novel ke-2 selesai, saya sempatkan menulis catatan Maret 2008 ini, saya juga tidak ingat bahwa hari ini hari libur panjang (Maulid Nabi, Paskah, Sabtu, Minggu). Karena tekun menulis, saya tidak pergi ke luar rumah selama ini, tidak tahu perkembangan dan kegiatan apa pun di Surabaya. Seperti hidup saya tahun-tahun 1952 – 1960-an, saya biasa hidup seorang diri, hanya bergaul dengan buku ~ membaca buku dan menulis buku.
Siang hari tadi saya dapat telepon dari Rob van Albada, orang Belanda yang membuat kamus Javaans-Nederlands Woordenboek (terbit 2007, 1086 halaman, huruf 8 punt), bahwa beliau tidak jadi bertamu ke rumah karena sakit. Dan akhir Maret ini beliau kembali ke Negeri Belanda. Janjinya semula, tanggal 21 Maret beliau akan ke rumah saya.
Tanggal 22 Desember kemarin, ketika saya di Jakarta,, di rumah anak saya di Elang Malindo, beliau diantar oleh Bu Arie Soegiarto (dosen UI) datang kepada saya untuk memberikan kamus karyanya itu. Banyak entre bahasa Jawa yang diambil dari buku saya Donyane Wong Culika dan Lelakone Si Lan Man. Beliau akan tinggal di Jawa sampai bulan Maret, akan mencari kata-kata bahasa Jawa lokal, utamanya bahasa Jawa dialek Banten.
Bu Arie Soegiarto ternyata putrinya Bu Amini, guru saya bahasa Inggris tahun 1947 di Probolinggo. Bu Arie juga mengabarkan bahwa Pak Djoko, juga guru saya di Probolinggo 1947 (ilmu ukur) bersama Bu Amini sama jadi dosen di Jakarta. Mereka berdua sudah sama meninggal dunia.
*
Malam harinya saya dapat telepon lewat HP dari Mas Guntarso TS, (penulis Tlatah Ngombol di blogspot ini) mengabarkan telah bertemu dengan Ibnu Wibis di rumah Ibnu di Bantul. Mereka sama-sama bekerja di Jakarta, libur panjang pulang kampung, dan bertemu karena melihat email/blogspot saya. Kata Mas Gunarso, di rumah Ibnu Wibi memang ada buku novel Jawa banyak sekali, termasuk Asmarani (yang bukunya saya sudah tak punya). Mas Gun juga ingat betul (jasa) gambar wayang untuk umbul, sedang Ibnu Wibi tanya kepada saya apa punya kenalan penggambar gambar umbul wayang. Mudah-mudahan mereka bisa berhasil menulis tentang jasa-jasa gambar wayang umbul itu.
Ada telepon dari Arief Djati, yang memperkenalkan diri dulu pernah membawa tamu dari Cornell University ke rumah. Sekarang dia ingin lagi ke rumah saya, mengantar seorang tamu lagi juga dari Amerika Serikat. Saya silakan datang. Diapun datang dengan Ms. Judith M. Heimann. Mula-mula saya terima di ruangan depan, tetapi karena tamu arisan bertambah banyak, Arief Djati dan Ms. Judith M.Heimann saya terima di kamar saya.
Judith M. Heimann adalah seorang mantan diplomat Amerika Serikat, yang tugasnya berpindah-pindah, antara lain Indonesia, Malaysia, Philipina. Pada tahun 1961 pernah tinggal di Surabaya selama 8 bulan. Keperluannya sekarang datang kepada saya, ingin mendengarkan cerita-cerita tentang Kota Surabaya tahun-tahun 1950-1961-an. Juga akan bertemu dengan orang lainnya yang sekiranya bisa berkisah tentang Surabaya tahun-tahun itu. Akan ditulis sebagai buku cerita kenang-kenangan.
Saya sempat menceritakan kejadian tahun 1956, ketika Bung Karno menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda (perkebunan, kantor dagang, penerbitan suratkabar, dll.) serta orang Belanda harus pergi dari Indonesia. Dengan perginya orang Belanda, maka juga bahasa Belanda yang ketika itu masih banyak digunakan di kantor-kantor pemerintah, diajarkan di sekolah, diterbitkan sebagai suratkabar, dilarang. Perginya orang Belanda, tentu saja tidak dapat membawa semua barang-barangnya. Maka barang-barang itu dilelang murah-murahan.
Ketika itu saya sudah bekerja di Kantor Telegrap Surabaya, dan sudah mulai menulis dan mengarang disiarkan di berbagai majalah bahasa Indonesia (Kisah, Aneka, Siasat, Garuda, Gembira, Mimbar Indonesia, Indonesia). Karangan itu biasanya saya tulis tangan dulu di rumah, pagi-pagi sekali sebelum kantor digunakan hubungan (telegrap) karangan tulisan tanganku saya bawa ke kantor (hubungan dengan Jakarta 24 jam, jadi kantor pasti buka) saya ketiki menggunakan mesin ketik yang bukan jadwalnya dipakai). Waktu hubungan kerja (dengan kantor kota lain) mulai, saya berhenti mengetik, pulang. Kalau krangan sudah selesai saya ketik, saya kirimkan ke majalah. Saya atur shif kerja saya dengan teman-teman sejawat, saya tetap bekerja pada jam 1300-1900, sedang teman saya tetap pada pagi hari (0700-1300) atau malam hari (1900-0700). Dengan begitu kami masing-masing bekerja pada jadwal yang tetap, waktu luangnya saya gunakan untuk keperluan lain. Jadwal tadi sudah kami lakukan sejak tahun 1952, setelah lulus kursus (operator teleprinter) diterjunkan ke lapangan (bekerja). Waktu luang pagi hari saya saya gunakan untuk sekolah (lagi) di SMA St. Louis, Jl. Dr. Sutomo 7 Surabaya. Tahun 1956 ketika terjadi nasionalisasi perusahaan Belanda tadi, saya sudah selesai sekolah SMA, namun tetap mempertahankan jadwal bekerja seperti itu.
Saya berhasil mendapat mesin ketik Remington standard dari pelelangan barang milik Belanda. Mesin ketik itu saya gunakan sampai tahun 1976, tahun itu saya beli mesin ketik Brother fortable, Remington saya servicekan, hilang tak kembali. Dengan adanya mesin ketik Remington di rumah itu maka kegiatan saya menulis kian bebas. Bangun pagi, tidak sekolah lagi, tidak masuk kantor untuk mengetik karangan, mengetik karangan di rumah saja. Waktu itu saya tinggal seorang diri (Ibu ikut kakak saya, R.M.Soewondo di Bandung) mengontrak rumah di Rangkah 5/23B, sejak tahun 1954 (semula kami tempati bertiga dengan Ibu dan kakak yang kemudian dipindah ke Bandung), juga selama sekolah di SMA tadi saya seorang diri saja. Selain bebas mengetik karangan di rumah pagi hari, waktu pagi saya gunakan untuk membaca buku-buku, pinjam dari USIS (US Information Service) di Surabaya (Jl. Simpang, sekarang jadi Surabaya Plaza). Di situ saya belajar membaca bahasa Inggris, dan mengenal buku-buku karangan orang Amerika. Teman sejawat-sepergaulan saya bukan seniman (sastrawan) dan bukan orang yang berusaha menguasai bahasa lain (dalam hal ini Inggris), sehingga semua yang saya jalani hidup saya waktu itu adalah berjalan seorang diri, baik fisik (di rumah) maupun dalam karir (akhirnya) sebagai pengarang. Selain teman sejawat di kantor, pergaulanku hanya dengan buku bacaan dari USIS, dan lengganan majalah Siasat, Mimbar Indonesia, Aneka, Budaya, Indonesia, Zenith, Kisah, saya bacai di rumah (sendiri).
Sampai saat itu, ~ sejak merdeka ~ penerbitan buku bahasa Indonesia sangat jarang sekali. Saya kehausan membaca buku. Maka saya mula-mula bertekad bisa dengan lancar membaca dan berbahasa Belanda. Tapi dengan nasionalisasi tadi kepandaian saya berbahasa dan membaca bahasa Belanda percuma. Untunglah ada USIS, di mana saya bisa membaca buku, meskipun bahasanya asing (kesukaran memahami).
Dengan perginya orang Belanda, yang sangat menguntungkan saya adalah ditinggalkannya buku-buku milik orang Belanda. Buku bahasa Belanda sih dilarang, dan saya merasa masa depannya kurang menguntungkan. Tetapi buku bahasa Inggris banyak terjual di loakan, di kaki lima Jalan Keputran (Urip Sumoharjo). Tiap pagi saya pergi mencari buku di situ. Bertemu buku terbitan Penguin Books yang sampulnya hijau-putih-hijau, saya gemar sekali. Itu berarti buku mystery and crime. Yang sampulnya oranye, itu fiction. Yang sampulnya ungu, biru, lain pula artinya.
Buku sampul hijau yang paling saya gemari, dan tiap kali kulihat, langsung kubeli, harganya murah, tiap jilid Rp 1,50. (gaji saya Rp 120,- sebulan, untuk membayar uang sekolah Rp 40,- karena pada pendaftaran sekolah yang menanggung kakak saya yang di Bandung, yang insinyir lulusan Negeri Belanda, gajinya besar; pada hal teman-teman sekolah kebanyakan keturunan Cina, uang sekolahnya rata-rata Rp 15,-). Saya gemari karena buku itu adalah buku cerita detektip. Banyak saya dapat karangan Agatha Christie, Erle Stanley Gardner, Georges Simenon, Josephine Tey, Richard Keverne, Sir Arthur Conan Doyle, dan lain-lain. Buku-buku seperti itu tidak saya temukan di USIS. Tapi berkat kebiasaan saya membaca buku di USIS, membaca buku detektip tadi sangat lancar dan faham sekali. Buku-buku itu masih banyak saya simpan di almari saya, ada beberapa yang saya letakkan di tempat yang gampang diraih.
Kisah saya di atas yang sempat saya ceritakan kepada tamu saya bulan Maret ini, Judith M.Heimann. Dan buku yang mudah saya raih sebagai buktinya, yaitu karangan Simenon, Agatha Christie, Erlie Stanley Gardner, (sampul hijau), Robert Graves (sampul oranye).
Judith M. Heimann, kenal benar tulisan Georges Simenon, karena sebagai diplomat dia sering berpindah-pindah negara tempat bekerja, tapi kemudian ~ sampai kini ~ punya rumah di Brussels (Belgia). Sedang Georges Simenon pengarang kelahiran Belgia (di Liège, 1903), umur 16 tahun sudah menulis novel, umur 29 tahun novelnya lebih dari 270 judul, akhirnya pindah ke Amerika Serikat. Judith M. Heimann juga punya kegemaran menulis cerita, tetapi bukan fiksi. Sudah beberapa bukunya terbit. Salah satu bukunya berjudul The Airmen and The Headhunters Harcourt, Inc, New York, 2007. menceritakan para penerbang pesawat pengebom B-24 yang tertembak jatuh oleh pasukan Jepang tahun 1944 di Kalimantan, tetapi penerbangnya pada selamat, ditolong oleh orang-orang Dayak (yang terkenal sebagai headhunters), tidak ketahuan oleh tentara pendudukan Jepang, akhirnya para penerbang tadi bisa selamat kembali ke Australia, dijemput pesawat yang bisa mendarat di lapangan terbang yang dibuat oleh orang-orang Dayak di hutan belantara Kalimantan, perbatasan dengan Serawak.
Sempat dia tanya mengapa saya kemudian suka mengarang dalam bahasa Jawa, dan saya jawab (salah satunya yang memicu saya menulis dalam bahasa Jawa) adalah: setelah gemar membacai buku sampul hijau itu, kemudian hari setelah tahun 1958 saya dapat kesempatan menulis cerita sambung di majalah bahasa Jawa ~ Panjebar Semangat ~ cerita model buku sampul hijau Penguin tadi menjadi dorongan kuat. Menulis buku novel bahasa Indonesia belum ada kesempatan, karena penerbitan buku sampai habisnya Orde Lama masih sukar sekali buku terbit. Cerita bersambung pun belum muncul di suratkabar. Meskipun begitu saya berhasil memuatkan cerita sampai 9 seri di Majalah Aneka (majalah seni dan olahraga, pimpinan Gayus Siagian) tahun 1959. Dan dengan mesin ketik Remington di rumah saya berhasil menulis novel Tak Ada Nasi Lain (1958) ~ baru diterbitkan sebagai cerita bersambung di Kompas 1990.
*
Kamis, 20 Maret 2008, saya mengetik novel ke-2 dari tiga novel yang ingin saya terbitkan tahun 2008. Untuk mengerjakan tiga novel itu saya bekerja rutine jam 0330 – 0600, jalan-jalan sekitar kampung, minum kopi hangat, kembali ke komputer 0700-11.00, makan siang, tidur, jam 1300-1600 di komputer lagi. Begitu rutin tiap hari, tidak kecuali hari Minggu atau hari libur. Tidak sempat (tidak saya sempatkan) membaca suratkabar, mendengarkan musik (radio atau TV), menonton TV hanya jam 1700 – 2100 (hanya sinetron, kalau tidak ada yang menarik ya saya matikan, tidur-tiduran. Senang kalau ada sepak bola luar negeri yang tahun 2008 ini banyak sekali peristiwanya, tapi juga sering saya lewatkan saja. Hari ini novel ke-2 selesai, saya sempatkan menulis catatan Maret 2008 ini, saya juga tidak ingat bahwa hari ini hari libur panjang (Maulid Nabi, Paskah, Sabtu, Minggu). Karena tekun menulis, saya tidak pergi ke luar rumah selama ini, tidak tahu perkembangan dan kegiatan apa pun di Surabaya. Seperti hidup saya tahun-tahun 1952 – 1960-an, saya biasa hidup seorang diri, hanya bergaul dengan buku ~ membaca buku dan menulis buku.
Siang hari tadi saya dapat telepon dari Rob van Albada, orang Belanda yang membuat kamus Javaans-Nederlands Woordenboek (terbit 2007, 1086 halaman, huruf 8 punt), bahwa beliau tidak jadi bertamu ke rumah karena sakit. Dan akhir Maret ini beliau kembali ke Negeri Belanda. Janjinya semula, tanggal 21 Maret beliau akan ke rumah saya.
Tanggal 22 Desember kemarin, ketika saya di Jakarta,, di rumah anak saya di Elang Malindo, beliau diantar oleh Bu Arie Soegiarto (dosen UI) datang kepada saya untuk memberikan kamus karyanya itu. Banyak entre bahasa Jawa yang diambil dari buku saya Donyane Wong Culika dan Lelakone Si Lan Man. Beliau akan tinggal di Jawa sampai bulan Maret, akan mencari kata-kata bahasa Jawa lokal, utamanya bahasa Jawa dialek Banten.
Bu Arie Soegiarto ternyata putrinya Bu Amini, guru saya bahasa Inggris tahun 1947 di Probolinggo. Bu Arie juga mengabarkan bahwa Pak Djoko, juga guru saya di Probolinggo 1947 (ilmu ukur) bersama Bu Amini sama jadi dosen di Jakarta. Mereka berdua sudah sama meninggal dunia.
*
Malam harinya saya dapat telepon lewat HP dari Mas Guntarso TS, (penulis Tlatah Ngombol di blogspot ini) mengabarkan telah bertemu dengan Ibnu Wibis di rumah Ibnu di Bantul. Mereka sama-sama bekerja di Jakarta, libur panjang pulang kampung, dan bertemu karena melihat email/blogspot saya. Kata Mas Gunarso, di rumah Ibnu Wibi memang ada buku novel Jawa banyak sekali, termasuk Asmarani (yang bukunya saya sudah tak punya). Mas Gun juga ingat betul (jasa) gambar wayang untuk umbul, sedang Ibnu Wibi tanya kepada saya apa punya kenalan penggambar gambar umbul wayang. Mudah-mudahan mereka bisa berhasil menulis tentang jasa-jasa gambar wayang umbul itu.
0 comments to "Catatan Maret 2008"