Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » Petualangan Huijer

Petualangan Huijer

Pada hari Minggu sore 23 September 1945, tiba di stasiun Pasarturi Surabaya seorang Kapten Angkatan Laut Belanda bernama P.J.G. Huijer. Ia langsung pergi ke Hotel Oranje, tempat yang lima hari sebelumnya terjadi peristiwa perobekan bendera Belanda dengan mengakibatkan tewasnya Mr. Ploegman

Namun apa yang dilihat Huijer di depan hotel bukanlah pemuda Indonesia yang dengan penuh semangat meneriakkan “Merdeka!”, melainkan wajah-wajah pribumi yang kurang makan, miskin, hormat ketakutan kalau berpapasan dengan orang asing. Mereka baru memancarkan pandang dendam kebencian kalau melihat serdadu Jepang yang membawa senapan, menjaga keamanan hotel.

Di hotel sendiri banyak wajah-wajah Eropa. Mereka menggunakan hotel sebagai pusat kegiatannya, antara lain sebagai markas RAPWI (Rehabilitation of Prisoners of War and Internees) pimpinan De Back yang baru datang tanggal 21 September 1945 menggantikan Letnan Antonissen yang sebelumnya mendirikan RAPWI bayangan. Juga orang-orang Indo-Belanda yang mendirikan International Red Cross (Intercross) banyak yang menginap di hotel.

Siapakah Huijer?

Kapten Huijer datang di Surabaya dengan selembar surat jalan dari Laksamana Patterson, Panglima Angkatan Laut Sekutu di kapal HMS Cumberland. Kapal itu yang mendaratkan pertama kalinya tentara Sekutu di Tanjung Priok. Surat jalan itu tertanggal 22 September 1945 terdiri dari dua kalimat:

To whom it may concern. This is to certify that I have ordered Captain P.J.G. Huijer to proceed to Soerabaya in order to inspect the harbour works and all naval instalations at Tg. Perak.

Kapten Huijer sebenarnya datang ke Surabaya atas perintah Laksamana C.E.L. Helfrich di Colombo. Helfrich adalah Panglima AL Hindia Belanda sebelum Perang Dunia II. Ia kemudian mengungsi ke Colombo dan di sana mengurusi kepentingan NICA, yaitu usaha pemerintah Belanda memperoleh kembali daerah jajahannya semula. Jadi jelas bahwa kedatangan Huijer untuk mengurus kepentingan NICA.

Senja itu juga Huijer menelepon Laksamana Shibata untuk datang ke hotelnya. Shibata adalah Panglima Angkatan Laut Jepang yang berkuasa di Ujung, Tanjung Perak, dan Morokrembangan sebagai pangkalan udara AL. Shibata datang dengan stafnya ke hotel. Kepada Shibata Huijer menyatakan minatnya untuk memeriksa pangkalan angkatan laut selama tiga hari mendatang. Ia juga menyampaikan pesan Patterson bahwa Shibata harus tetap menguasai angkatan laut hingga nanti tiba saatnya diserahkan kepada Sekutu. Yang utama dikerjakan Shibata adalah menjaga suasana “tertib aman”, tidak terjadi apa-apa sehingga saat penyerahan kekuasaan. Mereka pun merencanakan acara kunjungan Huijer ke pangkalan angkatan laut.

Huijer juga memanggil Jenderal Iwabe pada sore hari berikutnya. Iwabe adalah Panglima Angkatan Darat Jepang yang menguasai seluruh Jawa Timur. Kepada Iwabe Huijer juga menekankan perlunya menjaga suasana tertib aman. Huijer juga akan memeriksa pelabuhan dagang yang dikuasai oleh Angkatan Darat.

Setelah selama tiga hari Huijer memeriksa dan mencatat barang-barang angkatan laut yang ada di Perak dan Ujung, maka ia pada tanggal 27 September 1945 terbang menumpang pesawat B25 ke Jakarta melalui Balikpapan. Sampai di Jakarta tanggal 28 pukul 15.00, dan baru sore harinya ia lapor kepada Laksamana Patterson di kapal HMS. Cumberland. Huijer melapor bahwa keadaan pelabuhan lebih buruk, namun persediaan air yang diperlukan untuk pendaratan dan pendudukan tentara Sekutu cukup. Kapan Sekutu mendarat di Surabaya? Kira-kira tanggal 20 Oktober. Patterson setuju dengan Huijer yang menekankan tentang tertib aman yang harus dijaga oleh panglima-panglima Jepang.

Huijer juga menceritakan tentang keadaan kaum interniran (bangsa asing yang ditawan Jepang). Cerita itu begitu rupa hingga akhirnya Patterson setuju menugaskan Huijer kembali ke Surabaya untuk mengurusi segala sesuatunya menjelang pendudukan Sekutu di Surabaya. Surat keterangan Patterson tertanggal 28 September 1945 menyebutkan: in order to prepare the reoccupation of Sourabaya dan ditemani stafnya terdiri dari Letkol Roelofsen, opsir penterjemah Hulseve, Residen Maasen (yang dicalonkan untuk Residen Surabaya), Letnan Timmers dan Letnan Van der Goot. Huijer dan rombongan tiba di Surabaya tanggal 29 September 1945, sekali ini menggunakan pesawat khusus yang disediai oleh Patterson.

Perebutan senjata.

Huijer tercengang melihat perubahan Kota Surabaya ketika melintas dari Morokrembangan ke Hotel Oranje. Keadaan kota tampak resah. Wajah pribumi tampak beringas. Mungkin tindakan pembalasan terhadap orang Jepang akan dilaksanakan.

Huijer segera mengadakan pertemuan dengan Shibata dan Iwabe. Ia menunjukkan surat dari Patterson yang menyatakan bahwa ia ditugasi sebagai wakil Sekutu. Karena gelagatnya mencurigakan, Huijer minta agar penjagaan diperkuat, lebih-lebih di tangsi tawanan. Kedua panglima Jepang itu menyanggupi. Iwabe bahkan menjanjikan akan mendapatkan 300 orang kenpeitai ke kamp-kamp tawanan.

Keesokan harinya tanggal 30 September 1945 keresahan kota mereda. Penjagaan prajurit Jepang di hotel ditambah kekuatannya. Huijer tidak mengisyaratkan tanda bahaya kepada Patterson. Ada didengar bahwa jalan-jalan keluar kota dirintangi. Tetapi Iwabe menerangkan bahwa semuanya telah diberesi. Sore hari itu Huijer bersama stafnya berkunjung ke instalasi pelabuhan.

Malam harinya terjadilah perebutan senjata dari tangan Jepang oleh pemuda Indonesia. Markas pasukan Jepang diserbu. Gudang senjata di Don Bosco (ujung barat Jalan Tidar sekarang) malam itu diduduki pihak Indonesia. Don Bosco merupakan gudang senjata yang paling besar di Jawa, sehingga dengan penguasaan gedung itu pejuang-pejuang Surabaya seperti Bung Tomo dapat mengirimkan senjata ke tempat lain, termasuk Jakarta dan Tasikmalaya.

Pagi harinya tanggal 1 Oktober pukul 0130 ada perintah penyerbuan umum dari pihak Indonesia kepada markas-markas pasukan Jepang. Ketika hari terang Huijer kecut hatinya karena melihat truk-truk lalu-lalang memuat pemuda Indonesia yang berteriak-teriak dan mengacung-acungkan senjata api. Lalu barisan-barisan pemuda juga berjalan tegap memanggul bedil kayu atau bambu runcing, seperti persiapan orang berperang. Sekali-sekali terdengar bunyi tembakan.

Huijer memerintahkan Jenderal Iwabe lewat telepon agar memperkuat penjagaan dan jangan ragu-ragu mempergunakan kekerasan untuk menahan keributan. Tetapi pada pukul 18.00 ia bahkan mendengar bahwa Jenderal Iwabe menarik kembali 300 orang kenpeitai di kamp tawanan wanita di Darmo. Mereka memberikan senjatanya kepada pemuda Indonesia tanpa perlawanan dan ditawan. Huijer sekali lagi memerintahkan kepada Jendral Iwabe untuk melawan.

Iwabe menerangkan bahwa ia tidak dapat meninggalkan pos komandonya, namun berjanji akan menenangkan situasi pada malam hari nanti. Malam itu tidak ada perlawanan dan di mana-mana Jepang ditawan tanpa memberikan perlawanan. Pihak Indonesia benar-benar menguasai kota secara nyata (de facto). Menurut Huijer perebutan kekuasaan itu terjadi karena perasaan anti-Jepang yang meluap karena sikap Jepang yang kejam selama penjajahannya tiga setengah tahun belakangan.

Protes Kepada Komite.

Malam harinya tembak-menembak berlangsung terus. Pihak Indonesia sudah mempergunakan senapan mesin dan segala macam senjata api milik Jepang. Bahkan ada tank yang telah direbut dan mondar-mandir di kota.

Pada hari tanggal 2 Oktober seorang Belanda bernama Groom, seorang penerbang RAAF, yang beberapa hari ini telah bergabung dengan staf Huijer, mengajukan protes kepada Komite Nasional. Groom sudah kenal dengan pemimpin-pemimpin Indonesia. Kembali ke hotel Groom membawa tiga orang anggota Komite, yaitu Mr. Dwijosewoyo, Dr. Angka dan Roeslan Abdulgani. Mereka diperkenalkan dengan Huijer dan stafnya. Dengan congkak staf Huijer menyambutnya, bahkan berjabatan tangan dengan orang Indonesia pun tidak mau.

Huijer langsung saja memuntahkan amarahnya kepada ketiga orang itu. Dengan berpindahannya kekuasaan de facto kepada pemerintah Surabaya tanggung jawab menjaga tertib aman dan perlucutan senjata berpindah pula dari tangan Jepang. Huijer mengatakan bahwa instalasi-instalasi angkatan laut dan pelabuhan adalah milik Sekutu. Karena itu pihak Indonesia harus bertanggung jawab untuk menjaga keutuhannya jangan sampai dirusak atau dirampok. Huijer tidak pernah menyebut pemerintah Republik Indonesia. Para pemuda Indonesia disebut perampok atau pangacau. Sedang pemimpin-pemimpin mereka disebut Komite Nasional atau Dewan, seperti halnya Dewan Rakyat dalam revolusi Prancis.

Mr. Dwijosewoyo dan Dr. Angka menjanjikan akan mengerahkan tenaga polisi untuk mengamankan kota. Tapi Huijer tidak percaya akan kemampuan mereka mengendalikan kekacauan kota. Ia tetap memandang orang Indonesia tidak mampu memerintah bangsanya sendiri, karena mereka hanyalah bangsa jajahan.

Sore hari itu tangsi Angkatan Laut Jepang di Gubeng (Jl. Gubeng Pojok, projek Grand City Surabaya sekarang) jatuh ke tangan Indonesia setelah melalui pertempuran sengit. Menurut analisis Huijer, pihak Shibata telah mematuhi perintah Huijer yaitu melawan, tetapi dijegal oleh Iwabe yang patuh pada pemerintah atasannya dari Jakarta.

Kerja sama dengan Komite.

Gerakan Pemuda yang disebut-sebut perampokan yang mula-mula dinilai hanya pelampiasan dendam kepada orang Jepang, setelah berhasil mengambil alih kekuasaan Jepang, kini mulai merambat kepada bangsa asing lainnya. Huijer tidak mau melihat bahwa apa yang dikerjakan pemuda Indonesia itu adalah perjuangan merebut kebebasan bangsa Indonesia yang merdeka, tidak mau lagi dijajah atau dikuasai bangsa lain.

Pagi hari tanggal 3 Oktober semua penjagaan oleh prajurit Jepang diganti oleh polisi kota, orang pribumi. Pada tengah hari Huijer keluar dari hotel dikawal oleh polisi. Betapa pun harus diakui bahwa Hotel Oranje merupakan tempat berkumpulnya orang berwajah Eropa pada waktu itu, dan segala kegiatan orang asing juga berlangsung di situ. Karena itu penjagaan di situ diperketat. Huijer pergi ke Morokrembangan. Ia tidak dapat mencapai pesawatnya karena banyak pemuda bersenjata menghadang di situ. Ini sudah keterlaluan, pikir Huijer. Ia pun pergi ke Kantor Gubernur untuk menemui Komite Nasional di sana. Ia diterima Sudirman dan stafnya.

Kepada Sudirman dan stafnya Huijer selama satu setengah jam berbicara. Ia mengatakan bahwa mereka bertanggung jawab atas perampasan senjata serta barang-barang milik Jepang sipil maupun militer. Mereka bertanggung jawab atas kekacauan dan perampokan di kota, karena pihak Sekutu menghendaki keadaan tertib aman sampai Sekutu datang dan mengadakan serah terima kekuasaan dari tangan Jepang. Orang Surabaya telah merampas kekuasaan de facto atas kota dari tangan Jepang, hal itu tentulah tidak dikehendaki oleh Sekutu.

Huijer masih punya harapan bahwa Dewan Kota yang dipimpin oleh Sudirman masih bisa menyelamatkan tiga tempat dari gangguan kerusuhan. Yaitu (1) Pangkalan udara AL (Morokrembangan) yang di sana masih ada beberapa pesawat terbang yang bisa dipakai dan dijaga oleh petugas Jepang yang ahli dalam penerbangan. Dengan terhindarnya Morokrembangan dari gangguan keamanan, maka Huijer bebas menggunakan pesawat terbang di sini. (2). Markas Jendral Shibata bersama stafnya. Selama markas ini masih ada, pihak Sekutu termasuk Huijer masih menghormati kekuasaan Jepang, dan bisa mempergunakannya. Di markas ini Huijer tahu terdapat hubungan radio dengan pihak luar Surabaya. (3). Markas Jendral Iwabe. Dengan demikian Huijer dapat memerintah Iwabe mengirimkan bala bantuan tentara Jepang dari luar kota menyerbu dan merebut kembali kekuasaan di Surabaya.

Menurut Huijer Surabaya dan Dewan Kota setuju untuk menjaga keamanan dan ketertiban ketiga tempat yang diusulkan Huijer. Bahkan Huijer diminta untuk mengurusi tawanan orang-orang Jepang, karena hubungan dengan pihak Sekutu yang paling utama adalah mengembalikan tawanan ini. Dan Huijer dianggap penghubung dengan Sekutu. Dengan kata lain Huijer diajak kerja sama.

Dari Kantor Gubernur Huijer diantar memeriksa keadaan tawanan Jepang di penjara Kalisosok. Di situ ada 5.000 tawanan orang Jepang, antara lain terlihat staf Laksamana Shibata, petugas pangkalan udara, opsir-opsir kapal dan juru terbang yang menerbangkan pesawat RAPWI. Semuanya dilucuti senjatanya dan tidak seorang pun terluka. Mereka menyerah tanpa melawan. Dari Kalisosok Huijer diantar ke Jaarmarkt (THR). Di sini ada 4.000 tawanan orang Jepang.

Huijer ambil kekuasaan.

Pertempuran di kota berhenti. Kekuatan dan kekuasaan seluruhnya kini berada di tangan orang Indonesia.
Menyadari hal ini Huijer segera bertindak menemui Shibata dan Iwabe di markas masing-masing. Huijer mencoba mempertahankan kekuasaan kedua panglima perang itu dan menyelamatkan dari gangguan pihak Indonesia, dengan cara kedua panglima tadi telah menyerahkan kekuasaannya lebih dulu kepada Sekutu lewat tangan Huijer. Dengan demikian Huijer dapat membuktikan kepada Sudirman, bahwa kekuasaan pemerintah kini telah berada di tangan Sekutu. Kalau pihak Indonesia merebut kekuasaan berarti akan berurusan dengan pihak Sekutu yang baru menang perang dalam Perang Dunia II.

Kedua panglima Jepang itu setuju dengan usul Huijer dan segera dibuatlah naskah serah terima kekuasaan dari Jepang kepada Sekutu. Untuk lengkapnya, maka dilakukan upacara simbolis pedang komando Shibata dan Iwabe diserahkan kepada Huijer. Selanjutnya kedua panglima itu memerintahkan kepada anak buahnya untuk terakhir kalinya, agar pembersihan ranjau di pelabuhan Surabaya diteruskan (untuk mengamankan kedatangan kapal-kapal pendarat Inggris 20 Oktober yang akan datang), dan semua pasukan Jepang di Jawa Timur dilarang menyerahkan kekuasaan, melainkan harus berjuang melawan serbuan orang-orang Indonesia. Huijer tahu bahwa Shibata melaksanakan keinginannya dengan sungguh hati, tetapi Iwabe dalam keragu-raguan, karena Iwabe tampaknya justru membantu Indonesia.

Kembali di hotelnya ia mendapat telepon dari tentara Jepang yang bertugas di Tanjung Perak bahwa orang-orang Indonesia bergerak mendekati pangkalan udara. Huijer segera menyuruh Roelofsen ke tempat Sudirman memprotesnya. Sudirman pergi sendiri ke Morokrembangan dan menenangkan kerusuhan di sana.

Iwabe minta maaf tidak dapat mengerjakan seperti keinginan Huijer. Ia telah mendapat perintah dari Sekutu di Jakarta lewat komunikasi Angkatan Darat Jepang bahwa tentaranya tidak boleh menembakkan senjatanya, dan tiap petugas yang membawa senjata hanya diberi lima butir peluru.

Tindakan Huijer mengambil alih kekuasaan ini kemudian hari menjadi perkara besar. Sebab serah terima kekuasaan di Surabaya yang dibayar mahal oleh Sekutu dengan terjadinya pertempuran, tidaklah seperti di tempat lain, yaitu dari pihak Jepang kepada Sekutu. Dan tidak terjadinya ini karena panglima perang Jepang yang berkuasa di Jawa Timur telah menyerahkan kekuasaannya kepada Huijer. Dan karena Huijer orang Belanda, dicurigai sebagai agen NICA oleh orang Indonesia, maka rakyat Surabaya memperjuangkan kemerdekaannya terhadap penjajah Belanda. Mereka merebut senjata karena senjata di tangan orang Belanda.

Orang Surabaya dinilai tidak melawan Jepang yang harus menjaga situasi tertib aman oleh Sekutu, melainkan melawan kekuasaan NICA. Dan tindakan Huijer itu dinilai tindakan yang amat bodoh. Sebab sekalipun kekuasaan berada di tangannya, tetapi ia tidak bisa menggerakkan tentara Jepang untuk mempergunakan senjatanya. Huijer tidak punya orang untuk menggunakan senapan melawan orang Indonesia. Yang dimiliki Huijer hanya selembar naskah dan pedang komando, dan itu kekuatannya secara nyata!

Mencoba Bertahan.

Tanggal 4 Oktober 1945 terjadi lagi gangguan di pangkalan udara AL. Huijer datang sendiri ke sana dan melihat kira-kira 100 orang Jepang tanpa senjata digiring orang Indonesia. Mereka petugas lapangan yang harus memelihara lancarnya penerbangan. Maka Huijer memerintahkan polisi kota untuk menjaga pintu masuk dan melarang orang yang tidak berkepentingan memasuki pangkalan.

Tiba kembali di hotel Huijer telah ditunggu Mr. Dwijosewoyo yang minta nasihatnya untuk mengurus tawanan Jepang, tentang biaya dan makannya. Huijer memberi catatan singkat untuk dilaksanakan pihak Indonesia.

Semua orang Jepang di lapangan terbang dikembalikan pada tugasnya. Semua orang Jepang petugas angkatan laut dikembalikan pada tugasnya. Semua personalia angkatan laut Jepang sisanya dikumpulkan di tangsi Gubeng. Semua pasukan angkatan darat Jepang dikumpulkan di markas besarnya dan di tangsi Darmo. Sedang mengenai pembiayaan dan makanan perintahkan saja kepada pemimpin-pemimpin Jepang untuk mengurusnya.

Sejam kemudian Huijer mendapat jawaban bahwa Komite Nasional sepenuhnya setuju dengan anjurannya. Tetapi tidak dapat dilaksanakan karena gerakan massa saat itu tidak memungkinkan.

Tanggal 5 Oktober anak buah Huijer yang dipimpin oleh Groom tidak dapat lagi berada di Mojrokrembangan karena didesak oleh massa rakyat. Pesawat terbang milik RAPWI dilumpuhkan, penerbangnya dipenjarakan.

Tanggal 6 Oktober Letnan De Back (RAPWI) mendapat surat dari Sudirman bahwa pihak Indonesia memutuskan kerja sama dengannya. Dan RAPWI maupun Red Cross tidak boleh bekerja mengurusi interniran lagi. Menurut kesan Huijer, pemuda Indonesia tidak lagi membenci pada orang-orang Jepang, tetapi juga merembet pada bangsa asing lainnya. Keamanan di hotel kian rawan, banyak barang hilang dicuri orang, termasuk mobil Huijer sehingga ia tidak dapat lagi pergi ke mana-mana. Huijer merasa tidak aman lagi, dan ia memprotes ketidakamanan hotel kepada Sudirman.

Dalam usaha menyelamatkan diri itu Huijer masih sempat mendatangi kasir Angkatan Laut Jepang di Jl. Sumatra, dan mengambil uang kontan 4.200.000 gulden. Uang itu sebagian dititipkan pada manajer hotel dan sisanya dibawa, tentu saja dengan pikiran untuk membiayai operasi missinya.

Melarikan diri.

Pada tanggal 7 Oktober 1945 Huijer kembali mengirimkan protes mengenai perampokan dan pencurian di hotel. Protes ditujukan kepada Sudirman. Ia mendapat jawaban surat yang ditulis tanggal 6 Oktober 1945. Isinya: Huijer sudah tidak dipercaya lagi sebagai wakil Sekutu. Tingkah laku Huijer selama ini adalah demi kepentingan NICA, yaitu kelompok orang Belanda yang menghendaki menjajah kembali Indonesia. Rakyat Surabaya tidak menghendaki agen NICA berkeluyuran di kota.

Mendapat surat itu Huijer telah merasa dirinya terancam. Maka keesokan harinya Huijer bergegas ke luar dari hotel menuju Morokrembangan. Tetapi tidak ada lagi pesawat yang bisa terbang karena penerbangnya (orang Jepang) semua sudah ditawan. Maka Huijer memutuskan pergi ke Jakarta naik kereta api, dikawal polisi Indonesia. Keberangkatannya baru terlaksana tanggal 9 Oktober. Pukul 18.00 ia sampai di Gubeng dan kereta api pun berangkat. Tetapi pada pukul 19.30 di Kertosono, Huijer diturunkan oleh rakyat dan ditahan di rumah sakit kecil di desa. (tentang penangkapan Huijer di Kertosono ini pernah ditulis oleh Mutu Mona dalam novel Arek Surobojo, asyik. Dalam novel itu Huijer mengaku orang Inggris sejati, kelahiran Southampton, diajak ngomong Inggris oleh seorang pemuda, dikatai logatnya kok seperti orang Australia, Huijer menolak, tapi kemudian ketahuan sebagai orang Belanda karena mengumpat pakai kata God verdomme. Maka ditangkap).

Keesokan harinya atas perintah Sudirman lewat telepon, Huijer harus kembali ke Surabaya. Ia dibawa ke stasiun dan naik kereta api ke Surabaya. Namun setelah lewat Jombang, rakyat memindahkan Huijer ke kereta api yang dari Surabaya, dan diangkut kembali ke Jombang. Di situ ia diturunkan, diinterogasi dan jadi tontonan. Beberapa kali telepon dari Surabaya berdering. Akhirnya pada pukul 13.00 ia dikeluarkan dari stasiun, dimasukkan ke dalam bus dan dalam penjagaan pemuda dibawa kembali ke Surabaya.

Sampai di Surabaya pukul 16.00, langsung dibawa ke Kantor Polisi. Digeledah dan pistolnya dilucuti. Akhirnya ia dibawa ke gedung bekas Konsulat Inggris di Kayun (gedung IKIP/Indosat sekarang). Oleh Kepala Polisi ia diberi tahu bahwa perlakuan terhadapnya ini bukan berarti ia ditawan, tetapi diamankan dari keroyokan rakyat. Karena itu ia dilayani seperti kalau ia di Hotel Oranje. Dan sebaiknya jangan coba-coba melarikan diri dari tempat itu.

Keesokan harinya bahkan semua orang RAPWI sebanyak 36 orang diamankan dalam satu gedung dengan Huijer. Dan karena bukti yang ditemukan kian membenarkan bahwa mereka sebenarnya bekerja untuk NICA, maka setelah tinggal empat hari di situ dengan servis yang baik, pada tanggal 16 Oktober pukul 04.30 semua penghuni diperintahkan mengepak barangnya dan dipindahkan ke Kalisosok.

Tags:

1 comments to "Petualangan Huijer"

  1. luar biasa ceritanya pak, saya baru tau kalo huijer itu pernah ditawan di kayun sebelum ke kalisosok =)
    tolong kunjungi blog kami pak, bila ada kesalahan mohon revisinya :)

Leave a comment