Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » Mencari Sarang Angin

Mencari Sarang Angin

Mencari Sarang Angin, Novel Perjuangan?

Oleh Sunaryono Basuki Ks

“Mencari Sarang Angin” (Grasindo, 2005, 726 hal) adalah novel karya Suparto Brata. Dalam pertemuan di Surabaya sebelum berangkat ke Konperensi Karyawan Pengarang se- Indonesia tahun 1964, dengan tegas Suparto mengatakan pada saya: “Jangan keliru menulis nama saya, Dik. Suparto Brata bukan Suparta.”
Ketika saya tanya kenapa dia menulis, dengan ringan dia katakan: “Cuma rasa gatal saja.”


Suparto Brata ( lahir di Surabaya 27 Februari 1932), putera pasangan Raden Suratman Bratatanaya dan ibu Raden Ajeng Jembawati, keturunan Pakubumono V dari Solo.

Dari garis keturunan ini dan juga karena dia dibesarkan ditengah keluarga ibunya, maka dalam berbagai novel yang dia tulis, latar keraton Surakarta menjadi tak asing. Salah satunya adalah “Mencari Sarang Angin” (Grasindo, 2005) yang berkisah tentang tokoh utama Darwan yang berasal dari kraton Solo namun berniat meninggalkan kehidupan kraton, menjadi rakyat jelata dan bekerrja mulai dari bawah walau punya pendidikan cukup tinggi waktu itu, dan juga sudah menjadi penulis cerita bersambung berbahasa Jawa Harian Dagblad Express.

Pergulatan Darwan dimulai pada kantor penerbit koran berbahasa Jawa Dagblad Express yang terletak di Jalan Embong Malang, Surabaya pada masa sebelum Jepang datang. Walau bercelana rapi gaya priyayi pribumi jaman Belanda serta punya kemapuan menulis bahkan sebuah cerita bersambung yang populer, dia masih mau bekerja mulai dari bawah sebagai pembantu tukang set koran. Pada masa itu koran kecil ini masih menggunakan letter press berupa huruf-huruf timah terbalik yang disusun kemudian diikat menjadi baris-baris sementara percetakan yang menerbitkan koran berbahasa Belanda di Surabaya sudah menggunakan mesin intertype.

Ternyata Dagblad Express bukan sekedar dipakai untuk menggambarkan pergulatan Darwan dalam bidang jurnalistik, tetapi menjadi pusat cerita seluruhnya. Artinya, sampai akhir novel ternyata orang-orang yang bekerja di penerbitan ini merupakan tokoh –tokoh kuncinya. Kisah dimulai pada jaman penjajahan Belanda, bergerak ke jaman penjajahan Jepang, lalu jaman Perang Kemerdekaan, sampai pecahnya pemberontakan PKI Madiun. Dengan cermat Suparto Brata menyusun kisahnya, membangun watak tokoh-tokohnya dari keadaan di penerbitan ini sejak awal.

Dari novel ini kita dapat belajar banyak hal: tentang kota Surabaya tempo dulu, tentang kebiasaan penduduknya, sistem transportasi dengan trem listrik Jurusan Jembatan Merah-Wonokromo, juga tentang perkembangan pers nasional, gerakan bawah tanah menuju kemerdekaan, perjuangan bersenjata melawan Belanda.Deskripsinya mengenai kota Surabaya dan kebiasaan penduduknya sangat cermat. Rakyatnya yang suka minum tuak dan bertaruh andhokan, lomba burung dara yang memang khas Surabaya, juga adat perkawinan cara Surabaya. Seorang pembaca ahli perkotaan pernah memuji kecermatan Suparto Brata melukiskan kota Solo di dalam salah satu novelnya.

Pada awalnya kita mengira para pekerja di koran ini tidak akan berperan penting. Rokhim alias Abdulrokhim yang cuma setter, Mas Slamet yang redaktur, Murdanu juga redaktur, Mbak Yayi yang kontributor serta Darwan sendiri. Mbak Yayi masih punya sepupu yakni Sajiwo yang kelak punya peran besar pula, sementara Rokhim punya keluarga, keluarga Jayajais dengan istri dan anaknya yang masih remaja awal: Rokhayah.

Kita tak sadar dari halaman ke halaman dituntun untuk menuju puncak yang disiapkan baik-baik. Sifat iri hati dan dengki Rokhim makin berkembang, dan saat mendapat pertolongan malah merasa pandai. Melihat hidupnya yang serba kekurangan, Darwan mencarikan pekejaan di sebuah pecetakan besar yang sudah menggunakan mesin intertype, milik Belanda. Menilik lokasinya percetakan ini menjadi sentra penerbitan pers di masa kemerdekaan, berlokasi di jalan Pahlawan, tempat sejumlah penerbitan pers, baik koran maupun majalah dicetak. Rokhim berhasil diterima sebagai setter di percetakan de Brantas.

Perkenalan Darwan dengan Stefie van Daal yang redaktur Het Soerabaiasch Nieuws Handelsblad juga bukan sekedar menceritakan perkembangan karir Darwan sebagai penulis kolom dalam bahasa Belanda yang membuatnya hidup berkecukupan. Diajaknya Darwan oleh Stefie van Daal menghadirri pengadilan soal penyelundupan radio di Gresik juga mempunyai makna tersendiri. Disana dia bertemu Slamet yang menyamar. Ternyata selain bekerja di Dagblad Express, Slamet juga pemasok info untuk Jepang yang tentu menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia. Mbak Yayi ternyata juga aktifis Yong Java yang membantu kegiatan Slamet.

Kisah diberi bunga percintaan Darwan dan Yayi namun tak terlaksana. Di akhir masa penjajahan Belanda Slamet dan Yayi menikah, namun kehidupan mereka terancam oleh ulah seseorang yang melapor kepada P.I.D. Mereka lari, mecari perlindungan ke rumah Darwan, yang menitipkan Slamet di rumah Rokhim dengan alasan betengkar dengan Yayi, istrinya. Sedangkan Yayi dikirim ke Solo untuk bersembunyi di istana ayahnya. Ternyata Darwan menitipkan Slamet di sarang macan. Slamet segera ditangkap P.I.D.

Jepang datang, banyak orang kehilangan pekerjaan termasuk Rokhim dan Darwan. Yayi datang besama rombongan pelukis dari Solo untuk berpameran. Rokhim bermain lagi, memfitnah Yayi yang ditangkap Turnadi, Kenpeihok yang membantu Kenpeitai. Turnadi, yang di dadanya tertulis namanya dalam huruf katakana : Torunadei. Saat Yayi sekarang karena siksaan dia menyampaikan pesan siapa penyiksanya dan Darwan mendengarnya sebagai Tirtonadi.

Jaman revolusi Rokhim makin oportunis, merasa dapat menyaingi Bung Tomo dan pemimpin-pemimpin lain karena suka menempel menteri yang datang ke Surabaya. Akhirnya dia menjadi tokoh PKI yang tertembak di hutan.

Novel ini, yang bermula dari kantor Dagblad Express berakhir dengan ajal sang oportunis Rokhim. Bukan hanya menceritakan kehidupan pers di Surabaya dan Yogyakarta, juga tentang budaya Surabaya, dan kisah para pejuang kemerdekaan. Suparto Brata pengarang tua yang sangat produktif, mulai dengan novel-novelnya berbahasa Jawa sampai yang berbahasa Indonesia. Selain buku-bukunya yangvterbit tahun 60an, 80an dan 90an, buku-buku novelnya yang baru antara lain:Trem ( 2002) Kremil (2002), Aurora Sang pengantin (2002),, Gadis Tangsi (2004), Saputangan Gambar Naga ( 2003), Donyane Wong Culika (2004). Semua buku itu tebalnya paling tidak 700 halaman, bukan pekerjaan main-main, dan rata-rata dirancang dengan sangat rapi, alur bergerak menuju akhir, semua masuk akal.

Layaklah kalau sastrawan Surabaya asal Solo ini mendapat berbagai penghargaan, termasuk Hadiah Rancage untuk karya sastranya berbahaya Jawa.*** Sunaryono Basuki Ks, sastrawan, tinggal di Singaraja.

Tags:

0 comments to "Mencari Sarang Angin"

Leave a comment