Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » Artikel di Sinar Harapan

Artikel di Sinar Harapan

Setia Berkarya hingga Lansia

Kebanyakan orang umumnya membayangkan bisa tinggal menikmati hidup di usia lanjut. Tidak demikian halnya dengan Suparto Brata. Pensiunan pegawai negeri sipil Pemkot Surabaya ini, pada usianya yang 74 tahun, masih sibuk berkarya.

Suparto Brata dikenal sebagai penulis cerita bersambung dan cerita pendek berbahasa Jawa. Ia juga menulis novel berbahasa Indonesia. Di tengah-tengah berkarya, ia acap menerima peneliti, mulai dari mahasiswa yang menyusun skripsi dan tesis, sampai peneliti bahasa Jawa dari luar negeri. Di antaranya Rob van Albada, Sekretaris Stichting Indonesiche Lexicografie Leiden, Belanda (2005), dan William P Tuchrello, Field Director Library of Congress Office of South East Asia American Embassy (2006).

Sekalipun sudah menghasilkan lebih dari 180 karya tulis sejak 1953, mulai dari cerita pendek berbahasa Indonesia (60 judul), cerita bersambung, dan novel berbahasa Indonesia dan Jawa, naskah sinetron, film, ia menilai masih belum cukup. "Sastra Jawa tidak boleh terbatas pada cerita bersambung dan cerita pendek di majalah dan surat kabar, tetapi harus diterbitkan menjadi buku agar menjangkau khalayak lebih banyak, karena pembaca majalah berbahasa Jawa sangat terbatas," katanya.

Membaca dan menulis buku cerita itu penting sekali untuk pendidikan iman, akhlak, dan pengabdian hidup antarmanusia. Novel juga harus mengedepankan materi yang memberi pendidikan iman, akhlak, menumbuhkan pengabdian hidup.

"Negara yang warganya mempunyai budaya membaca dan menulis buku, peradaban, iman, dan kehidupan sangat tertata baik, rukun damai, dan filosofis," kata Suparto yang pensiun pada 1988 setelah bekerja 17 tahun sebagai redaksi di majalah internal.

"Melalui karya tulis, kita bisa membayangkan, merasakan seperti pengalaman yang ditulis pengarangnya terhadap suatu peristiwa. Tapi sayangnya, siswa-siswa kita tidak mendapatkan pelajaran membaca dan menulis, beda jauh dengan masa kecil saya dulu, anak-anak terbiasa memperbincangkan buku-buku sastra," ujarnya.

Itulah sebabnya, ada dua pengalaman hidup yang mempengaruhi Suparto Brata dalam menulis novel. Pengalaman hidup secara fisik melalui melihat dan mendengar serta membaca dan menulis buku. Novel Saksi Mata serta Gadis Tangsi dan Kerajaan Raminem, hampir seluruhnya atas dasar kesaksian Suparto Brata dari melihat dan mendengar. Kerajaan Raminem, ditulis berdasarkan penuturan ayah mertuanya mengenai istrinya selama di perantauan. Gadis Tangsi menceritakan kehidupan perempuan di tangsi, sementara Kerajaan Ranimen menceritakan perempuan bangsawan.

Penghargaan

Suparto Brata menempatkan perempuan dalam novel-novel menjadi protagonis-antagonis (lakon utama dan penantangnya). Sejak kecil ia selalu dekat dengan perempuan, mulai ibu, emban, abdi dalem istana, putra-putri bangsawan, teman sekolah, teman menari, istri, dan mertua.

Suparto kecil tinggal bersama pamannya, Kanjeng Pangeran Hariya Jayadiningrat di Kampung Gajahan Surakarta, tempat ibunya saat kecil bertempat tinggal (1932-1935). Kemudian, di rumah putri pamannya saat diboyong suami, Kanjeng Pangeran Hariya Suryabrata, ke istananya Gading Kulon, (1935-1937).

Novel-novel bahasa Jawa yang berkualitas, baik itu kadar sastra, bentuk buku, peredaran dan promosinya, diharapkan bisa menarik orang-orang muda, orang pintar, orang kaya, dan orang yang berkuasa. "Tidak banyak penerbit mau menerbitkan novel berbahasa Jawa. Takut rugi. Saya terpaksa merogoh uang sendiri untuk patungan dengan penerbitnya," kata Suparto Broto sambil menyebutkan mengeluarkan uang sebesar Rp 8 juta untuk menerbitkan novel Donyane Wong Culiko (Dunia Orang Curiga, 2005).

Ia kembali membiayai ongkos produksi bersama penerbitnya untuk sebuah novelnya berbahasa Jawa tahun ini. Pada 2007, ia menerbitkan dua novel berbahasa Jawa, juga dengan ongkos patungan.

Ketika pertama kali menerima Hadiah Rancage I/2000 untuk pembina bahasa dan sastra Jawa, Suparto Brata menyebutnya salah kedaden, meminjam istilahnya dalam bahasa Jawa. Setahun berikutnya, ia menerima Hadiah Rancage II melalui hasil karya buku Trem. Pada 2005, ia kembali menerima Hadiah Rancage III untuk bukunya Donyane Wong Culika.

"Yang pertama jelas salah kedaden (salah alamat, Red), saya bukan guru, bukan pemimpin redaksi surat kabar bahasa Jawa," tuturnya.

Trem ditulisnya pada 1960 sampai 1993, sementara Donyane Wong Culika, ditulisnya 1979-2001.Tidak sembarang novel Jawa diterbitkannya. Suparto benar-benar mengingat nasihat Arswendo Atmowiloto, ketika memberinya tugas menerbitkan Tabloid Praba di Yogya pada 1990. "Aja ngedol sing kowe bisa gawe, nanging gawea sing kowe biso ngedol (Jangan menjual apa yang bisa kamu buat, tetapi buatlah sesuatu yang layak jual, Red)."

Dari hadiah-hadiah uang yang diterimanya, sebagian malah dijadikan hadiah untuk pemenang karya esai tentang cerita bersambungnya yang dimuat di majalah berbahasa Jawa di Surabaya.
Nama Suparto Brata tercatat dalam buku Five Thousand Personalities of The World, edisi keenam (1998) yang diterbitkan The American Biographical Institute, Inc.

Di belakang namanya, tertulis bermacam profesinya, mulai dari penulis sejarah, wartawan freelance, operator teleprinter, serta penulis sejumlah karya sastra Jawa serta buku-buku sejarah Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, sejarah para panglima Kodam V/Brawijaya sebelum tahun 1988, sejarah penerbitan pers di Jatim (1987). Sebagai pewawancara tokoh-tokoh pelaku perjuangan 10 November 1945, ia bisa menjadi kamus hidup.
Tulisan fiksi (cerita pendek) pertamanya dimuat di Majalah Garuda terbitan Jakarta pada 25 Oktober 1953 dengan judul Miss Rika di Angkasa. Sementara novel pertamanya, Tak Ada Nasi Lain (1958) diterbitkan sebagai cerita bersambung di Kompas (1990). Karya pertamanya berbahasa Jawa Kaum Republik, menjadi juara pertama sayembara penulisan cerita bersambung majalah berbahasa Jawa, Panyebar Semangat di Surabaya (1958).

"Website" Pribadi

Suparto membiayai sendiri uang sekolahnya hingga lulus SMP tahun 1950, dengan menjadi loper koran Jawa Pos. Ia menyelesaikan pendidikan lanjutan atas di SMAK St Louis Surabaya (1954-1956). Ia terbiasa bersekolah sambil bekerja sebagai operator teleprinter Jawatan Pos dan Telegraf sampai tahun 1960. Sambil bekerja sebagai operator teleprinter, Suparto yang pernah bekerja di Rumah Sakit Kelamin di Jln Dr Soetomo Surabaya, melanjutkan kebiasaan menulis di majalah dan surat kabar di Surabaya, kendati tidak ada honorariumnya.

Bertandang ke rumahnya, ia dengan senang hati menunjukkan ruang kerjanya, yang menyatu dengan tempat tidurnya. Ada lemari penuh dengan kliping karya tulisnya sejak 1952, dan tumpukan buku di tiga meja.

Suparto Brata dilahirkan di Rumah Sakit Simpang Surabaya, pada 27 Februari 1932. Ayahnya Raden Suratman Bratatanaya dan ibunya Raden Ajeng Jembawati, keduanya dari Surakarta Hadiningrat.

Dari pernikahannya dengan Rara Ariyati, kelahiran Aceh, pada 1962 di Purworejo, Kedu, Suparto Brata dikaruniai empat putra, yakni Tatit Merapi Brata (1963), Teratai Ayuningtyas (1965), Neo Semeru Brata (1969), Tenno Singgalang Brata (1971). Tidak seorang pun yang mengikuti jejaknya. Tiga putranya memilih bidang teknik. Ada yang bekerja di perusahaan penambangan besar di Irian, ada yang bekerja di perusahaan migas asing milik perusahaan Prancis, sedangkan satu-satunya putri menjadi ibu rumah tangga yang bersuamikan seorang insinyur.

Suparto sangat terkesan dengan ujaran penulis Mary Higgins Clark, "Kalau kepingin hidup bahagia setahun menangkanlah kuis, kalau kamu kepingin hidup bahagia selama hidup tekunilah pekerjaanmu selamanya."

Itu sebabnya ia terus berkarya. "Karena itu pekerjaan saya, berkah sekaligus amanah Allah kepada saya," kata Suparto Brata, yang ditinggalkan istrinya berpulang pada 2002. Ia kini ditemani satu-satunya anak perempuannya, dengan suaminya, serta dua cucunya.

Masih ada angan-angan yang bakal diwujudkan dengan bantuan putra-putrinya, yakni mem- buat website tentang dirinya dan karya-karyanya, agar karya-karya dapat dinikmati lebih banyak orang. [Pembaruan/Edi Soetedjo]

Last modified: 18/11/06

Tags:

2 comments to "Artikel di Sinar Harapan"

  1. Anonymous says:

    Luar biasa, perjalanan hidup Pak Suparto Brata, mengolaborasi antara intelektual dengan perjuangan dan pengabdian. Semangat sepi ing pamrih membuatnya semakin semerbak. Semoga Allah yang Maha Belas Kasih melimpahkan nikmat iman dan sehat kepada Romo Suparto Brata.

  2. Anonymous says:

    Luar biasa, perjalanan hidup Pak Suparto Brata, mengolaborasi antara intelektual dengan perjuangan dan pengabdian. Semangat sepi ing pamrih membuatnya semakin semerbak. Semoga Allah yang Maha Belas Kasih melimpahkan nikmat iman dan sehat kepada Romo Suparto Brata. (Efi, Mahasiswa Sastra Pasca Unesa).

Leave a comment