Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » INGAT NAK, NEGERIMU BUKAN NEGERI PEJABAT

INGAT NAK, NEGERIMU BUKAN NEGERI PEJABAT

A Elwiq Pr



“Ai yai I yai...!!!!” lengkingku dari puncak bukit.

Anak-anak berbaju merah dan putih yang sedang bergegas sendirian, berdua, bertiga, berhenti berlari, berhenti saling seru dan melupakan kehendak untuk sesaat.

“Aiiii yaaaai I yaiiiii...!!!!” aku mulai hot menjadi cewek pencari perhatian.

Setapak yang sudah jutaan kaki melebarkan lengkung dan tikungannya di tengah ladang sayur berlajur-lajur artistik, gadis dan jaka cilik memicingkan mata mencerna apa gerangan yang menampak di puncak salah satu bukit mereka. Biasanya sunyi. Yang mereka kenali hanya suara-suara nyentrik dari tv.

Gemes juga melihat mereka hanya terpana, lalu punggung tanganku menghadap mereka dan kujentikkan empat jari. Gerakan pasti menandakan isyarat, “mari sini.”

Gadis dan jaka cilik berbaju putih dan bawahan merah perpandang-pandangan. Bukit tak jauh tapi juga tak bisa disebut dekat. Aku mulai cemas,” di mana blink-blink bocaaah negerikuu!”

Kuraih sebatang kecil ranting pohon yang tercecer dari punggung ibu-ibu pencari kayu bakar di padang terbuka di mana aku berdiri. Keangkat tinggi-tinggi lalu kusilangkan, kugoyang kepala naik turun laksana ksatria bergitar orkes Melayu dan sekali lagi, thaaaat's awaaaay ahak..ahak... i like iiiiit..ahak ahak...!!!”

Berhasil. Mereka sudah di depan mata dengan cahaya kaca wajahnya. Aduhaiii dengan baju putih yang tak putih lagi. Rok dan celana merahnya di sana-sini berbasuh debu. Lusuh tapi menandakan hidup yang seluruh.

“Siapa pahlawan Indonesia yang kalian kenal?” tanyaku serta-merta sambil mengajak mereka duduk berkarpet rumput.

Mereka menyebut dengan cuaca suara tanpa lentera, datar nian. Hei? Patimura dari Maluku, Hasanudin dari … Panglima Polim! Ki Hajar Dewantara. Kartini! Kartini … seorang gadis cilik nimbrung di antara bocah-bocah yang lebih besar. Senyumnya paling lebar.

“Ibuk, Bapak kalian juga pahlawan … mbah-mbah kalian juga. Kalian adalah pahlawan,” susulku.

Tas kubuka coklat aneka rupa membuat mata mereka berbinar-binar bagai bintang di siang benderang,”untuk nanti …” ujarku kalem.

“Sekarang, lihat sini,” kutunjukkan sebuah buku kecil bersampul kuning keemasan berhias daun maple jatuh. Tertera di sana kata-kata “MUSIM BERGANTI” dengan anak judul Sekilas Sejarah Indonesia 1925-1950.

“Yuuk, siapa yang bisa mengejah ini …” kutunjuk salah satu anak yang kurasa umur enam atau tujuh tahun.

“Haaa … Rrrro, ss-iii, Haaa-n … Aan-wwarr,” sukses dilafalkan.

“Bagus,” ujarku tulus memastikan bocah yang selalu beringus itu bukan karena belum lancar membaca tapi sedikit asing dengan orang asing yang tiba-tiba muncul di bukit belakang rumahnya di mana Ayahnya memelihara sapi perah yang terus memamah-mamah rumput. Kuusap ingusnya dengan tisu dan tisu bekas ingus kumasukkan ke dalam kantong kertas yang kusediakan untuk sampah sebelum ketemu bak sampah.

“Kakek Rosihan Anwar ini juga pahlawan lo,” tukasku ringan.

Mereka tak peduli. Lalu salah satu dari bocah berbaju merah putih paling rapi namun dua bilah matanya paling sendu di antara kawan-kawannya memperhatikan sampul buku tak sudah-sudah

“Aah, ini daun maple. Pohon ini tumbuh di negeri empat musim. Di sini, di desa kalian mungkin bisa hidup karena udara sejuk dan kabut turun tiap-tiap waktu. Nanti coba suatu hari kalian menanamnya ya? Daun pohon maple jadi simbol bendera Kanada, di beberapa negara bermusim empat menjadi simbol kasih sayang. Cinta.”

“Hatiii,” celetuk salah satu gadis yang nampaknya kekenyangan sinetron di tv hari-hari ini.

“Ya, hati. Hati adalah rumah bagi cinta,” kataku sambil kupandangi mata yang berkata tanpa tahu maknanya itu.

Aku pandangi lagi si bocah bermata sendu dan kukatakan padanya,”suatu hari nanti bila kau sampai di Amerika Utara, rangkaian daun-daun maple di daun pintu rumah penduduk di suatu kota kecil di sana, menandai kehadiran bayi. Maple benar-benar berkah seperti untaian padi yang diselipkan di dekat pintu rumah-rumah desa di mana sawah-ladang jadi hulubalang dan bunga-bunga apel yang besar dan berwarna merah muda jadi tanda akan panen mendatang yang melimpah. Siapa yang punya pohon apel?” tanyaku kemudian.

Semua anak mengacungkan tangan dengan rasa bangga berlipat ganda.

“Bagus,” basuhku pada hati merah-putih mereka agar trubus.

“Kukenalkan pada kalian, namanya Kakek Rosihan Anwar. Beliau adalah pahlawan berita. Berita-berita di TV, di radio, di internet. Semua bermula dari berita di selembaran kertas yang kemudian disebut koran. Kakek Rosihan yang lahir di desa Kubang Nan Dua di Pulau Sumatera bagian barat sana adalah yang tiap-tiap hari kerjanya mengisi lembar-lembaran koran dengan ceritanya tentang Indonesia pada sepanjang hidupnya. Kakek Rosihan menulis dibantu mesin ketik meskipun semua orang sekarang ini sudah menggunakan komputer.”

“Buku itu ngomong apa?” tanya bocah lelaki berbadan paling bongsor, matanya baik hati tapi nampak kurang pandai memilih kata-kata.

“Oya betul, buku akan ngomong kalau kita ajak ngobrol. Caranya ngobrol dengan buku yaaa, bagaimana yah?” tanyaku aksi mencari-cari sesuatu di dalam buku.

“Dibaca ..” jawab si mata sendu sedikit ragu tapi memecahkan hening angin yang mulai ikut datang menyanding.

“Itu dia. Yuuuk, sekarang kita baca …” ajakku.

Tulisane cilik-cilik! Ora ana gambar-e! Tapi ana fotone reeek!

Tumpang tindih mereka mengerubuti buku kecil, lebih besar sedikit dari buku saku Pramuka. Bau kecut lucu mereka benar-benar menjadikan nyata apa itu makna anak-anak berperangai cantik yang berkeringat. Anak-anak proletar yang sedang mekar.

“Ya, buku ini memang bacaan untuk orang yang sudah besar. Sudah besar dan mau terus belajar. Yang perlu kalian ingat adalah nama penulis buku ini. Siapa?” Aku melihat gelagat tak menangkap, “Kakek Rosihan Anwar … coba bilang,” pintaku.

Sedikit canggung mereka menyebut nama yang asing di telinga mereka dan kuminta mengulangnya beberapa kali.

“Ingat-ingat yaah, Kakek Rosihan pernah berpesan. Menurut hemat beliau, Republik Indonesia kita ini adalah negara pejabat, yaitu kelanjutan dari Beamtensstaat zaman Hindia Belanda duluuu. Zaman dulu. Itu bisa kita telusuri dalam buku Besturen Overzee di mana buku tersebut menjelaskan bahwa pejabat dalam negeri memang sebagai alat perkakas suatu kekuasaan penjajah dan tujuan mereka adalah melanggengkan kolonialisme di Nusantara. Tetapi dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana pejabat dalam negeri tersebut semestinya melakukan tugas dengan tertib dan cermat, menangani persengketaan tanah, perkelahian, tindak pidana dsb. Pejabat dalam negeri itulah yang menangani. Mereka juga dilatih supaya teliti dalam mengelola kas keuangan daerah yang dipercayakan kepada mereka. Satu sen pun tidak boleh kurang. Korupsi dicegah betul jangan sampai terjadi, “ aku menghela nafas. Yang menakjubkanku mata anak-anak seperti mata elang yang menyambar-nyambar mencari lengah anak ayam.

Mengertikah mereka? Batinku berdegup.

“Kakek Rosihan juga berpesan, layak bila Departemen Dalam Negeri RI mengambil prakarsa atau menyediakan dana dan fasilitas untuk menerjemahkan buku tersebut ke dalam bahasa Indonesia agar dibaca oleh pejabat pamong praja kita,” ulasku lebihnya.

Kukatakan kemudian bahwa dari pesan Kakek Rosihan bisa kita pastikan bahwa memahami sejarah adalah niscaya untuk tak mengulang kenistaan dan mengembangkan kebaikan yang dimaksudkan. Jelas, tugas pejabat negara di negeri ini adalah mengurusi urusan publik. Bukan pemilik aset publik.

Ada yang bisa berbahasa Belanda?” tanyaku pada mereka satu demi satu mata mereka kupandangi sejernih langit yang menaungi kami.

Mereka menggelengkan kepala, “suatu saat di antara kalian akan bisa, kalau mau belajar. Datanglah ke negeri Belanda, bukan hanya untuk berfoto di kanal-kanal sungai kota Amsterdam atau ke desa-desa di mana kincir angin masih berdiri gagah. Belanja dan memandangi etalase di Zeedijk. Tapi datangilah perpustakaan mereka, bahkan yang berada di lorong-lorong bawah tanah. Carilah Indonesia kalian di sana sebab 300 tahun mereka menancapkan bendera di bumi pertiwi bukan waktu yang sedikit. Di sana, kalian akan mengerti siapa diri kalian dan pulanglah setelah kalian mengerti apa yang terlupakan di sini.”

“Kakek Rosihan sudah pernah ke Belanda?” tanya salah satu gadis berkepang dua.

“Yah pernah, kalian juga nanti akan ke sana untuk menyelesaikan banyak pekerjaan rumah beliau yang belum beliau selesaikan dan kalian yang meneruskan pekerjaan beliau kelak kalian besar.”

“Sekarang dia di mana?”

“Beliau sekarang sudah tentram tinggal di Kalibata.”

“Kapan-kapan kita ketemu Kakek Rosihan ya?”

“Nanti kalau kalian besar, temui beliau. Dan sekarang kalian boleh ambil coklat satu-satu. Tidak boleh dimakan di jalan. Nanti kalau sudah sampai rumah, baju merah putih diganti untuk dicuci. Ganti baju rumah yang bersih. Cuci kaki dan tangan, makan siang dulu dan setelah itu coklatnya baru boleh dimaem. Setuju?”

Mereka termangu-mangu memandangi isi tasku.

“Setuju atau tidak?” tanyaku sekali lagi dengan nada serupa.

Ada yang mengangguk, ada yang bilang setuju dan kuulang lagi pada yang masih nampak kurang jelas dengan apa yang kukatakan. Dan ternyata, aku keliru, yang diam bukan tak terang justru langsung masuk di dalam hati sebab setelah diulang dengan kata-katanya sendiri, segala yang kusampaikan jauh lebih sederharna dan bukan hal yang harus dibesar-besarkan.

Langit tiba-tiba suram. Anak-anak berduyun-duyun turun dari bukit dan aku menjejak tanah lalu terbang tak turun-turun.

“Lhoo, wong iku mau nangdi?” tanya salah satu dari mereka menoleh dan tak melihat apa-apa di padang savana di atas bukit.

Mereka kian gegas dan kian erat memegang coklat masing-masing. Hujan dari langit seperti peluh keringat paling pekat mulai turun ke bumi.

Aku tergeragap dan cucian! Aku segera lari ke teras belakang membereskan cucian. Dadaku berdebar-debar. Kaget sekali. Setelah melipati cucian aku kembali ke kamar memastikan apa yang barusan kualami sekedar mimpi. Ah mimpi.

Lalu kubuka tas mencari buku yang barusan kubeli di pasar loak karya Pak Rosihan Anwar. Ada kantong kertas. Lo? Kok ada tisu berikut ingus!

Batu-Turen, 15 April 2011

Tags:

1 comments to "INGAT NAK, NEGERIMU BUKAN NEGERI PEJABAT"

  1. Anonymous says:

    bagus eyang parto ceritanya..

Leave a comment