Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » KSJ Tidak Menandingi KBJ

KSJ Tidak Menandingi KBJ



Tulisan ini akan lebih bersifat klarifikasi dalam konteks pertentangan yang dikesankan antara Kongres Sastra Jawa (KSJ) dan Kongres Bahasa Jawa (KSJ) sekaligus menggarisbawahi salah satu usul Kepala Balai Bahasa Jogjakarta Tirto Suwondo dalam tulisannya bertajuk Kongres Bahasa Jawa V (Jawa Pos, Minggu, 21 Maret 2010).

Pada butir ke-3 usulnya, Tirto antara lain menulis, ''Di satu sisi, KSJ memang dinilai positif. Tetapi, pengalaman Semarang menunjukkan ada kesan KSJ diselenggarakan hanya untuk 'tandingan' KBJ.''


Sebagai salah seorang penggagas KSJ, saya tidak sedang membantah bahwa KSJ terkesan untuk menandingi KBJ. KBJ kali pertama digelar di Semarang pada 1991 era Gubernur Ismail. Kegiatan lima tahunan itu merupakan proyek pemerintah yang didukung tiga daerah: Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur.

Pada awalnya, KBJ memang disambut sebagai kabar baik, terutama oleh mereka yang menginginkan agar bahasa Jawa mendapatkan iklim yang lebih baik untuk tetap berada dan bahkan berkembang di tengah-tengah masyarakatnya. Tetapi, terutama sejak KBJ II (Batu, 1996), beberapa pengarang mulai menunjukkan sikap ketidakpuasan mereka terhadap penyelenggaraan KBJ.

Esmiet, misalnya, melihat bahwa banyak sastrawan Jawa yang seharusnya mendapatkan undangan, tetapi ternyata tidak tampak di arena kongres. Saya masih ingat, salah seorang penyair Jawa yang jadi ''contoh kasus'' saat itu adalah Budi Palopo. Ada dua versi mengenai ketidakhadiran Budi Palopo. Versi pertama mengatakan, panitia memang tidak mengundangnya dan versi kedua mengatakan bahwa undangannya diserobot dan dimanfaatkan orang lain.

Ada juga rasan-rasan mengenai dominasi kaum akademisi sehingga kongres terkesan sebagai seminar akbar bin mewah. Saya masih ingat, betapa ketika acara kongres sedang berlangsung, beberapa tokoh malah seolah membuat forum tandingan di dalam sebuah kamar. Bahkan, J.S. Sarmo yang datang dari Suriname sebagai wong Jawa sekaligus akademisi pun memilih meninggalkan acara resmi pada salah satu sesi itu untuk ngobrol bersama Suparto Brata, Esmiet, Tamsir A.S., Bambang Sadono S.Y., D. Zawawi Imron, dan Hasan Senthot.

Dari rasan-rasan para tokoh itulah, kemudian berkembang pikiran-pikiran kritis terhadap KBJ yang salah satu di antaranya menemukan bentuknya pada KSJ. Kehadiran tokoh-tokoh, seperti Suparto Brata, N. Sakdani Darmo Pamoedjo, Arswendo Atmowiloto, dan bahkan W.S. Rendra, ketika itu memberikan bobot tersendiri pada KSJ I yang diadakan di Taman Budaya Surakarta pada 6-7 Juli 2001.

Pada KBJ III di Hotel Ambarukma, Jogjakarta, beberapa panitia dan peserta KSJ I baru mendapatkan undangan beberapa hari sebelum pelaksanaan. Itu pun hanya melalui telepon. Itulah salah satu bentuk reaksi yang tampak dari panitia KBJ terhadap adanya KSJ. Sementara itu, polemik di media cetak terus bergulir dan semakin ramai menjelang KSJ II dan KBJ IV di Semarang pada September 2006.

Masih dalam paragraf yang sama, Tirto menyatakan, ''Terlepas benar atau tidak (maksudnya, KSJ asal menandingi KBJ, Bon), hal itu menjadi suatu keniscayaan karena saat itu mereka (para pengarang dan pencinta sastra Jawa) merasa 'tidak diakomodasi' oleh KBJ.'' Kemudian, Tirto menutup paragrafnya dengan harapan, ''Untuk itu, perlu langkah nyata agar tak muncul kecenderungan dikotomis yang memecah belah.''

Banyak pihak yang salah pengertian terhadap istilah ''akomodasi'' itu. Pengertian yang salah tersebut ialah bahwa mengakomodasi pengarang sastra Jawa adalah semata-mata melibatkan mereka di dalam kepanitiaan, mengundangnya sebagai peserta, atau ditampilkan sebagai pemakalah dalam KBJ. Lagi-lagi, bahkan ada pula pengarang sastra Jawa yang masih memiliki pengertian yang salah seperti itu. Padahal, persoalan sesungguhnya terletak pada terakomodasinya aspirasi yang dalam sejarah pelaksanaan KBJ yang sudah empat kali itu belum pernah dibicarakan dari hati ke hati antara kubu-kubu yang dikesankan berseberangan tersebut.

Kalau toh para aktivis KSJ dianggap sebagai anak-anak nakal, mereka yang layak dipandang sebagai orang tua bijak pun belum pernah memanggil ''anak-anak nakal'' itu untuk dituturi atau dinasihati, atau bahkan kalau perlu dimarahi. Menjelang KBJ IV, Keliek Eswe sudah berusaha membangun dialog dan mencoba menawarkan beberapa hal yang diinginkan para aktivis KSJ. Di antaranya, bagaimana bisa diterbitkan buku-buku karya sastra (Jawa) untuk dijadikan bahan pendukung pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah. Seorang kawan dari Jogjakarta secara mendadak dan terburu-buru datang ke Surabaya kala itu, bermaksud meramaikan dialog, tapi entah karena apa, gagal terlaksana.

Sampai digelarnya Rapat Koordinasi dan Sinkronisasi Pelestarian Sastra Daerah dan Bahasa Jawa Menyongsong KBJ V di Hotel Satelit, Surabaya pada 7-9 Oktober 2009, belum ada tanda-tanda akan terbangun dialog itu. Bahkan, saya dan beberapa kawan aktivis KSJ tidak mendapatkan undangan untuk menghadiri rapat tersebut, baik sebagai salah seorang penggagas KSJ maupun dalam kapasitas saya sebagai ketua Peguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS).

Ketika saya memprotes melalui SMS, seorang kawan mewakili panitia meminta saya menyusul, tetapi saya tidak bisa datang karena saat itu telanjur bergerak ke kota lain. Melalui SMS pula, beberapa saat kemudian ada kabar bahwa saya diangkat menjadi anggota Badan Pekerja KBJ V dan saya tidak menyanggupinya. Kesimpulan sementara saya saat itu, KBJ V masih didominasi pikiran yang keliru mengenai istilah ''akomodasi'' tersebut.

Tetapi, kemudian di dalam Kemah Budaya yang diselenggarakan Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro di kawasan wisata Dander pada 27-29 Oktober 2009, ada kabar dari Suparto Brata dan JFX Hoery bahwa pada saatnya nanti panitia KBJ V akan mengadakan dialog dengan berbagai pihak, termasuk dengan para pendukung KSJ.

Semoga saja dialog tersebut dapat terlaksana sehingga kalaulah masing-masing pihak tetap berbeda pendapat, setidaknya bisa saling memahami dan tidak harus berbenturan karena perbedaan itu. (*)

*) Bonari Nabonenar, salah seorang penggagas Kongres Sastra Jawa

Dikutip dari Jawa Pos

Tags:

0 comments to "KSJ Tidak Menandingi KBJ"

Leave a comment