Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » Donyane Wong Culika Jilid II

Donyane Wong Culika Jilid II

Kamis 5 April 2007, saya terima surat dari mahasiswi Jogja, Yuyun Yuliani. Dia akan menggarap skripsi dengan buku saya Donyane Wong Culika (DWC) sebagai objeknya. Dia mengajukan berbagai pertanyaan yang harus saya jawab. Tiap pertanyaannya saya ulang tulis, dan berikan jawabannya. Antara lain pertanyaannya dan jawaban saya sebagai berikut:


Mengapa bapak memberi judul Donyane Wong Culika? Apakah maknanya?
Donya bahasa Jawa memang bisa berarti harta kekayaan, dunia (masyarakat). DWC judul buku saya berarti: Negerinya Orang Curang. Buku itu menceritakan keadaan Indonesia (yang saya alami), antara lain polah partai (komunis) yang begitu merisaukan negeri, sehingga kemajuan negeri tersendat, terongrong oleh partai tersebut. Antara lain saya kisahkan lelakon Steffy Tjia (etnis Cina), ketika masih jadi pelajar SMP di Malang sering bermain-main di markas IPI (Ikatan Pelajar Indonesia) yang juga jadi markas TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Pagi hari Selasa 21 Juli 1947 ketika anak-anak TRIP di situ sedang bangun tidur dan malas-malasan (Malang dingin sekali), maka markas TRIP dan biro perjuangan lain di sekitar Jl. Salak/Ijen Boulevard itu diserbu oleh tentara Belanda. Penyerbuan yang tidak terduga tadi menimbulkan banyak kurban (lebih dari 30 anak TRIP gugur, kemudian dikuburkan dalam satu luangan, hal ini kisah nyata). Ada yang lolos, salah satunya Steffy Tjia (ST). Melihat teman-temannya gugur tidak semena, dia menaruh dendam, memimpin gerilya di daerah Kepanjen, Sumberpucung sampai Blitar, merepotkan pasukan Belanda yang bernama Huzaren van Boreel. Kedaulatan NKRI kembali (1949), ST tidak jadi petinggi negara, tapi melanjutkan studi atas biaya negara di Chicago. Akhirnya dia jadi dokter spesial kanak-kanak, dan sempat disuruh memimpin Medical Center Hospital di Chicago, sukses. Untuk jabatan yang ke-dua, dia menolak, karena ingin berbakti kepada bangsanya, dan mendirikan RS di Jakarta (1964). Dibantu oleh alumninya diberi alat-alat elektro medis yang paling canggih di Indonesia, supaya anak-anak Indonesia jadi tumbuh sehat. Rsnya berlangsung baik, namun waktu itu PKI sedang bergolak, semua yang berbau Amerika adalah musuh rakyat. RS-nya ST diserbu, alat-alatnya dirusak, ST sendiri luka parah, lari dari RS-nya, jatuh ke pangkuan seorang pelacur (Pratinah). Kepada Pratinah dia bilang, “Bangsa Indonesia ini nekrofilia, yaitu berpotensi membangun, tetapi digerogoti sendiri oleh kekuatan bangsanya sendiri”. Itulah nekrofilia. Negeri ini banyak orang curang yang menggerogoti potensi membangun bangsa. Karena itu buku saya saya juduli Negerinya Orang Curang, nekrofilia, Donyane Wong Culika.

Apa maksud bapak menulis buku ini, menerbitkan buku ini dengan biaya sendiri? Dan apakah sudah merasa berhasil dengan maksud bapak itu?(pertanyaan Yuyun)
Saya menulis dan menerbitkan buku ini agar BANGSA INDONESIA MEMBACA BUKU SASTRA JAWA. (DWC mendapat Hadiah Rancage 2005, sebagai buku bahasa Jawa terbaik terbitan tahun 2004). Itu bukan maksud tunggal. Maksud ke dua adalah agar BANGSA INDONESIA MEMBACA BUKU SASTRA. Dan maksud yang paling mendasar adalah agar BANGSA INDONESIA MEMBACA BUKU.
Saya ulangi maksud saya menulis/menerbitkan buku:
Antara lain agar BANGSA INDONESIA MEMBACA BUKU SASTRA JAWA.
Yang kedua agar BANGSA INDONESIA MEMBACA BUKU SASTRA.
Yang paling utama agar BANGSA INDONESIA MEMBACA BUKU.
Sebab dengan MEMBACA BUKU, bangsa Indonesia akan mempelajari sejarah dan belajar segala ilmu untuk hidup dan membangun negeri, (setidaknya dengan memahami isi bacaan buku) mereka tidak akan mengulang kesalahan membangun negeri/bangsa. Dengan membaca DWC setidaknya bangsa Indonesia tidak nekrofilia lagi.

Tapi, maksud utama saya belum berhasil. Bangsa Indonesia sekarang belum (mungkin tidak akan) MEMBACA BUKU. Sehingga saat ini masih nekrofilia. Kita lihat, siapapun presidennya, Gus Dur, Megawati, SBY; apapun tindakannya cacat hukum, tidak memihak rakyat, berbau Amerika (apapun yang berbau Amerika adalah musuh rakyat dalam DWC), maka ramai-ramai digerogoti, diinterpelasi, didemonstrasi, dibikin lelucon, dilecehkan dan dipermalukan oleh bangsa sendiri. Nekrofilia. Oleh karena itu kalau saya berkesempatan menulis novel yang menyinggung keadaan Indonesia yang sekarang judulnya tentunya Donyane Wong Culika jilid II.

Tulisan berikutnya tidak saya sertakan dalam jawaban saya kepada Yuyun.
Kegagalan bangsa tidak beranjak dari nekrofilia, karena maksud utama saya menulis dan menerbitkan buku gagal, yaitu BANGSA INDONESIA TIDAK MEMBACA BUKU. Mengapa tidak membaca buku, karena sistem pendidikan (kurikulum nasional) Indonesia tidak mengajarkan/mendidik anak bangsa untuk berbudaya membaca/menulis buku. Kurikulum kita lebih mementingkan mengumpulkan ilmu hidup dari melihat dan mendengar, dan menebak-nebak. Dari ujian nasional sampai menonton TV, anak bangsa disuruh menebak (melingkari jawaban betul/salah), Tirai I atau Tirai II. Kalau seorang anak pintar melingkari jawaban salah ya tidak lulus unas atau uas. Kurikulum nasional menargetkan anak belajar di SD untuk bisa masuk ke SMP, (kalau tidak masuk SMP, tidak lulus uas, muridnya malu, gurunya malu, sekolahnya malu, orang tuanya bingung). Belajar di SMP untuk bisa masuk ke SMA, di SMA untuk masuk ke PT. Menurut laporan Taufik Ismail 1996, anak lulus SMA rata-rata tidak sejilid buku pun yang dibaca (ditekuni dengan baik). Kesimpulan saya, karena anak bangsa tidak membaca buku maka bangsa Indonesia akan terus nekrofilia.

Menurut pengamatan dan pengalaman saya, di negeri maju seperti Belanda, Jepang (zaman penjajahan yang saya alami), anak masuk sekolah itu yang paling mendasar adalah dari tidak tahu apa-apa soal tulis-menulis, menjadi orang yang berbudaya membaca buku dan menulis buku. Membaca buku dan menulis buku menjadi kiat hidup di zaman modern (sejak berdirinya academi, 300-an tahun Sebelum Nabi Isa). Kiat hidup atau ilmu kehidupan seseorang (maupun bangsa) memang paling besar bisa diperoleh karena melihat dan mendengar. Melihat dan mendengar itu kodrat, anak umur 3 tahun disuruh menonton tv sudah tahu dan mengerti maknanya, karena tv adalah guru budaya yang mujarab untuk dilihat dan didengar. Guru dan dosen sepandai apapun kalah mujarab dengan tv. Tetapi mengemudi mobil, badminton, main piano, membaca buku dan menulis buku itu bukan kodrat, harus diperkenalkan, dilatih, diajari, dibudayakan. Tidak mungkin menguasainya, membudayakannya dengan kodrati melihat dan mendengar. Mengemudi mobil, badminton, main piano berlatihnya bisa di kursus-kursus, tetapi membaca buku dan menulis buku di mana? Dan untuk membudayakan (tidak asal bisa membaca) berapa tahun waktunya? Ya di sekolah, se usia anak sekolah! Seusia manusia-manusianya, seumur hidup! Tapi di sekolah Indonesia, sejak zaman merdeka (atau lebih-lebih sejak kurikulum 75 zaman Orde Baru), putra bangsa di sekolah tidak diajari membaca. Di sekolah tidak diajari membaca batin itu bagaimana (bibirnya tidak boleh bergerak), membaca cepat itu bagaimana (kepalanya tidak boleh ikut geleng-geleng, matanya saja yang bergerak), dikte, menulis halus, membuat kalimat, mengarang tulis cerita. Tidak ada pelajaran begitu SAMPAI SEKARANG. Maka tidak mustahil sampai abad ke-21 ini bangsa Indonesia hidup primitif, artinya yang menjadi kiat hidupnya hanya dari melihat dan mendengar, sebagaimana kodratnya! Tidak hidup modern, yang artinya untuk kiat hidupnya dengan membaca buku dan menulis buku. Bangsa Indonesia adalah bangsa Primitif (ini istilah lokal saya, lo!) yang hidup di zaman modern. Diukur dari berdirinya academi (orang hidup modern harus membaca buku, menulis buku, diperdebatkan di academi), ketinggalan 24 abad!

Di zaman Jepang, saya kelas 5 kokumin gakko (sekolah rakyat). Diajari bahasa Jepang. Tiap hari, 7 pelajaran dalam seminggu (seminggu 5 hari belajar, karena hari Sabtu kerja bakti di sekolah, namanya Kinrohoshi no Doyobi), disuruh membaca dan menulis cerita-cerita bahasa Jepang dengan huruf katakana. Tiap hari kadang sampai 2 jam pelajaran, membaca, menulis, menghafal, bicara di depan kelas (hanasikata, yomikata). Sin Jawa gakkuto no cikahi. Dai Toa kensetsu no tameni, manabi. Jui no jenjahi karankoto wo cikahu! Di sela-sela menghafal baca tulis huruf katakana, diberi huruf konji. Huruf konji adalah huruf yang melambangkan satu kata. Jadi berapa banyaknya kata bahasa Jepang bisa ditulis dengan sekian banyaknya huruf (gambar) konji. Di klas 5, saya mendapat pelajaran huruf konji 20 kata. Di klas 6 tambah lagi 20 huruf konji, jadi yang saya hafal sudah 40 huruf konji. Andaikata sampai di perguruan tinggi, saya kira saya sudah bisa membaca/menulis huruf konji 2000 buah. Bisa baca koran atau buku bahasa Jepang, karena huruf konji itulah yang digunakan untuk koran dan buku bahasa Jepang. Saya kira sampai sekarang pun sistem pendidikan di Jepang masih seperti itu. Maka dari itu kalau sudah jadi mahasiswa, orang Jepang pasti sudah menguasai membaca/menulis setidaknya 2000 huruf konji.

Kalau kurikulum Indonesia diterapkan di Jepang, yaitu masuk sekolah tidak diajari membaca buku dan menulis buku, sangat mustahil ketika jadi mahasiswa orang Jepang tiba-tiba bisa menghafal 2000 huruf konji, bisa membaca buku yang banyak mengandung ilmu kehidupan modern yang membuat orang Jepang jadi pandai dan menguasai dunia seperti saat ini. Kalau kurikulum Indonesia diterapkan di Jepang, saya percaya, maka 10 tahun kemudian bangsa Jepang akan menjadi bangsa yang BODOH, PRIMITIF seperti bangsa kita. Oleh karena itu kalau bangsa Indonesia mau mengalahkan bangsa Jepang, hendaklah usul kepada pemerintah Jepang agar mengeterapkan kurikulum Indonesia di Negeri Jepang. Saya tanggung orang Jepang bakal terpuruk primitif seperti bangsa kita sekarang, dan mungkin bisa kita kalahkan dalam segala bidang kehidupan abad ke-21 ini.

Kesimpulan saya: Kurikulum Nasional sekolah Indonesia, tidak membuat bangsa Indonesia bisa hidup secara modern, dan ketinggalan zaman 24 abad dari negara-negara maju. Mungkin akan ada novel Donyane Wong Culika jilid II, III, IV dan seterusnya.
Jakarta, 4 Juni 2007.
Suparto Brata.

Tags:

0 comments to "Donyane Wong Culika Jilid II"

Leave a comment