Novel karya Brahmanto Anindito & Rie Yanti,
terbitan GagasMedia 2010.
KATA PENGANTAR
Oleh Suparto Brata
Tanggal 21 Februari ditetapkan oleh UNESCO sebagai Bahasa Ibu Internasional. Maksudnya agar pada hari itu masyarakat dunia memperingati bahasa ibunya masing-masing, misalnya dengan berbicara bahasa etnis lokalnya. Bahasa etnis memang harus dipelihara, dilestarikan, dan dikembangkan.
Sejak semula Allah menciptakan bangsa-bangsa di dunia dalam berbagai golongan. Masing-masing memiliki budaya dan bahasa yang beragam. Keragaman itu merupakan mosaik keindahan budaya dan bahasa anekawarna jagad. Tapi dalam perkembangannya, banyak budaya dan bahasa etnis yang punah. Menurut David Crystal, tiap dua minggu ada saja bahasa etnis yang punah. Ia tidak lagi digunakan oleh orang lokal daerah itu.
Untungnya, bahasa Sunda termasuk bahasa etnis yang masih banyak dituturkan orang. Menurut World Discovery of Minorities tahun 1997, sekitar 31 juta orang saat itu masih bercakap dalam bahasa Sunda. Entah bagaimana data itu diperoleh (dan apakah akurat). Mungkin angka itu merupakan hasil penafsiran dari data lain. Misalnya, data penduduk Jawa Barat pada tahun 2007 ada sekitar 41,5 juta jiwa, berarti penutur bahasa Sunda tidak akan terlalu jauh dari angka itu. Lumayan banyak. Masih jauh dari ancaman kepunahan.
Namun senasib dengan bahasa etnis lainnya yang dikepung budaya modern, banyak orang Sunda mulai menolak takdir sebagai orang Sunda. Sementara sebagian instansi maupun institusi ingin mempertahankan bahasa Sunda, sebagai putra Sunda tanpa merasa dosa berhenti bertutur bahasa Sunda. Mereka lebih memilih berbahasa gaul ala anak muda Jakarta. Coba, baca saja majalah-majalah anak muda Bandung atau dengarkan tutur kata penyiar-penyiar radio di sana.
Novel ini dilatarbelakangi oleh pergolakan-pergolakan semacam itu. Satin Merah ditokohutamai oleh seorang gadis cantik yang cerdas, anak orang kaya yang dijuluki Julie Estelle versi malas dandan. Nindhita Irani Nadyasari alias Nadya. Perhatikan apa yang dikatakan tokoh Lucky, ayah Nadya, padanya:
“Kamu ini ya. Sastra Sunda aja dipikirin! Ngapain sih, mau-maunya! Biar orang desa yang lebih berbakat kesenian yang ngurusin perkara remeh gitu. Di keluarga kita, nggak ada darah-darah sastrawan, tahu nggak! Kamu mau jadi apa, Naaak, ngurusin sastra itu mau jadi apaaaa! Orang kere di Indonesia ini sudah banyak!”
Di sini diceritakan, baik secara stereotip maupun detail, permasalahan bahasa dan sastra Sunda, namun dengan suasana gita ria pelajar SMA Priangan 2 Bandung pada zaman yang kata futuris kondang Alfin Toffler adalah Abad Informasi. Tokoh tokohnya fasih memanfaatkan internet (sembari bicara sastra daerah).
Eloknya lagi, salah seorang pengarangnya, Brahmanto Anindito, adalah Arek Suroboyo, yang mengusung budaya Arek, budaya yang lumayan jauh dari bumi Parahyangan yang menjadi setting Satin Merah.
Lalu pembaca kedua setelah pengarangnya adalah Suparto Brata, seorang pejuang sastra etnis Jawa yang sependeritaan dengan Sastra Sunda, yang meskipun sudah menulis dan menerbitkan buku berbahasa Jawa lebih dari 40 judul, sifatnya masih self publishing. Bukan karena seperti halnya Langit Kresnahariyadi yang ingin menggaruk royalti lebih besar saking larisnya buku-bukunya, tetapi lebih karena seperti yang dikatakan tokoh Lina Inawati (pada buku Satin Merah), “Di situ penerbit melihat potensi penjualan novelmu kecil. Bahasa Sunda lagi.... aduh!” Buku bahasa daerah itu TIDAK LAKU. Dan Suparto Brata tetap saja ngotot membeayai penerbitan buku-bukunya berbahasa Jawa!
Ubek-ubekan mengenai Sastra Sunda ini membuat saya tercengang sejak awal membaca Satin Merah. Saya benar-benar merasakan apa yang ditulis di sini persis dengan manis-asamnya keadaan sastera daerah yang saya perjuangkan (sastera Jawa).
Tapi tunggu dulu! Jangan menganggap Satin Merah hanya bicara soal Sastera Sunda. Ada hal lain yang membuat saya bergairah. Buku ini bergenre misteri atau detektif. Genre detektif, menurut A. Teeuw dalam bukunya Sastera dan Ilmu Sastera, harapan pembaca dapat dikatakan terpenuhi apabila ada mayat atau orang yang terbunuh, ada keraguan yang disengaja tentang watak tokoh, penjahat atau manusia yang tak bersalah, tentang urutan dan detail waktu, peristiwa, serta hal-hal lain (pentingnya alibi). Ada detektif yang lebih pintar dari semua pelaku, ada ketegangan yang terus-menerus, dan puncaknya terpecahkannya teka-teki atau misteri yang ditunggu-tunggu pembaca (Teeuw, 1984; 101-102).
Nah, Satin Merah memenuhi kreteria itu semua. Ada orang yang terbunuh (sastera Sunda?), ada keraguan yang disengaja atau disembunyikan dari pembacanya, ada ketegangan terus-menerus karena keraguan dari watak tokoh, dan ada (tokoh berjiwa) detektif yang lebih pintar dari semua pelaku. Saya kutipkan ungkapan cerita ini dalam terpecahkannya misteri:
“Lina menyimpulkan itu dari satu postingan sebelum postingan terakhir di blog ProSunda.blogspot.com. Dia bicara soal Densus 88 yang tugasnya sudah enteng dengan terbunuhnya gembong teroris paling dicari: Noordin M. Top. Akibatnya, jajaran Polda – terutama satreskrimnya – bisa kembali fokus menangani kasus-kasus pidana yang dulu sampai ditunda. Artinya, penjahat merasa waktunya tidak lama lagi terbongkar.”
Ada pepatah Inggris, “Jangan mati dulu sebelum melihat Roma”. Anjuran saya, jangan berhenti dulu membaca urut buku ini sebelum tahu arti Satin Merah yang jadi judul buku, dan bagaimana semua itu berakhir. Selamat membaca dan berkepuasan!
Suparto Brata (Surabaya)
Pemenang Hadiah Rancagé 2000, 2001, dan 2005, peraih
South-East Asia Write Award 2007 Bangkok, Thailand.
Pak Parto,
Saya Rie. Terima kasih untuk kata pengantarnya di Satin Merah. :)