Mengutip Nietzsche sejarah itu tidak ada, yang ada hanyalah interpretasi-interpretasi. STD karangan Suparto Brata adalah sebuah contoh yang menarik. Sejarah kedatangan Jepang di Jawa dan masa "camp konsentrasi" orang-orang Ambon di Kampung Sawah dari sudut pandang orang Ambon. Tentunya ada versi babak sejarah ini versi orang Jawa, versi orang Belanda, versi orang China, versi orang Arab, dan versi orang Jepang.
Buku ini memberi wawasan dalam konteks sejarah lokal khususnya Surabaya. Sejarah penjajahan Jepang yang kita pelajari di sekolah tidak akan memberikan atmosphere sehidup novel. Buku ini memiliki suasana tutur cerita embah kita sendiri di ruang keluarga sehabis makan malam. Pak Brata melukiskan orang Jepang yang unik, pembaca tidak bisa langsung menjadikan mereka tokoh antagonis. Orang-orang Jepang itu memiliki nilai-nilai hidup yang positif juga, mengikuti perkembangan plotnya kisah kekejaman Jepang di sekolah-sekolah jadi kelihatan tidak berimbang. Orang Ambon sendiri dengan posisi yang unik karena sejarah eratnya mereka dengan Belanda juga tergambarkan dan membuka wawasan, mereka ini menjadi korban yang tergiring keadaan. Kerja paksa itu tidak terjadi dengan cara seperti yang kita bayangkan ketika mempelajari sejarah negara kita.
Satu pelajaran unik dari kenyataan sejarah adalah interpretasi dan novel Pak Brata ini, sejarah boleh banyak versi tinggal versi siapa yang tertulis menjadi buku dan dibaca masyarakat. Lebih penting lagi buku siapa yang dibaca dan memiliki standar Barat sehingga boleh diakui otoritasnya. Pak Brata menyinggung tokoh minor Boetje Sahusilawane yang bersedia berangkat bekerja ke perkebunan Malang untuk Jepang. Tokoh ini dikisahkan ringkat menjadi tokoh pejuangan "De Zwarte Hemden" yang sengit setelah Jepang kalah dan Belanda mau kembali di daerah Pujon, Batu dan Pakishadhji. Apakah dia tokoh nyata, apakah gerakan bumi hangus itu benar-benar ada hanya tersimpan di sejarah lokal dan bila tidak di "urus" bisa jadi lenyap selamanya.
Sebagai kontras sebuah essay berjudul "Life and Death of Abdul Rachman (1906 -1949): One Aspect of Japanese Indonesian Relationships" yang dipublikasikan tahun 1976 sekarang ini menjadi bahan studi Asia Tenggara di Australia. Perjuangan Abdul Rachman juga di daerah Malang tepatnya di daerah Dampit (itu yang mau ke Gunung Semeru). 9 Januari 1949 pemuda ini membakar semangat teman-temannya yang ragu-ragu melihat intensitas serangan pasukan Belanda dengan senjata yang lebih lengkap dengan maju menghadapi hujan peluru pasukan Belanda yg mencoba menguasai kembali Indonesia setelah Jepang kalah. Salah satu perjuangan paling sengit demi kemerdekaan dalam sejarah Indonesia terjadi disitu. Abdul Rachman wafat dengan banyak peluru bersarang di dahi dan tubuhnya.
Abdul Rachman adalah orang Jepang yang aslinya bernama Ichiki Tatsuo. Pemuda ini mendapatkan respect dari orang Indonesia dan nama Abdul Rachman diberikan H. Agus Salim. Pemuda ini tidak terkenal di Jepang maupun di Indonesia, sampai sebuah essay dengan otoritas barat karangan orang Jepang juga (Kenichi Goto) terbit. Kenichi melakukan studi tentang orang-orang Jepang yang membelot dan mengikuti hati nuraninya membela negeri yang dijajah negerinya sendiri.
Kita tidak familiar dengan Boetje nya Pak Brata dan Abdul Rachmannya Kenichi sampai sejarah lokal kita benar-benar "beres" dalam bekerja dan mempublikasikan essay yang berotoritas. Untuk masyarakat yang tidak menulis dan tidak membaca dan tidak peduli sejarah, sejarah versi mereka tidak akan pernah ada. Pak Brata memberikan sejarah lokal dalam perspektif penduduk Ambon di Surabaya, tinggal kita cari versi yang lain untuk memperlengkap wawasaan kita dan membekali penilaian kita akan sejarah negeri kita sendiri.
Meskipun versi Pak Brata adalah fiksi, mereka yang melakukan studi literatur tahu bahwa fiksi adalah media paling ampuh dalam menyajikan sejarah yang berotoritas. Membaca STD nya Pak Brata, kita melihat pengarang yang meskipun tidak ambisius, karyanya mewakili pengetahuan dan kebijakan akan sejarah. Tidak ada satu bagian yang tidak kongruen dengan narasi utama sejarah itu sendiri. Buku ini tidak dikarang oleh penulis yang berimajinasi dan tiba-tiba duduk mengarang novel sejarah, tapi oleh pengarang dengan pemikiran orisinil , problem pribadi, dengan studi atau recall his own memories or experience. Buku ini buku tipis ringan namun berbobot.
2010
Diambil dari Surabaya Tempo Dulu
Beberapa Komentar :
Nikki Putrayana ada jg novel beliau yg berjudul mencari sarang angin. Ini jg bersetting cerita surabaya sblm kedatangan jepang, PD II, perang kemerdekaan. Dari sudut pandang seorang jurnalis.
Bambang Irawan wah nanti harus dicari tuh, thx infonya Nikki, ada karya apa lagi yg bersetting sby?
Buku ini memberi wawasan dalam konteks sejarah lokal khususnya Surabaya. Sejarah penjajahan Jepang yang kita pelajari di sekolah tidak akan memberikan atmosphere sehidup novel. Buku ini memiliki suasana tutur cerita embah kita sendiri di ruang keluarga sehabis makan malam. Pak Brata melukiskan orang Jepang yang unik, pembaca tidak bisa langsung menjadikan mereka tokoh antagonis. Orang-orang Jepang itu memiliki nilai-nilai hidup yang positif juga, mengikuti perkembangan plotnya kisah kekejaman Jepang di sekolah-sekolah jadi kelihatan tidak berimbang. Orang Ambon sendiri dengan posisi yang unik karena sejarah eratnya mereka dengan Belanda juga tergambarkan dan membuka wawasan, mereka ini menjadi korban yang tergiring keadaan. Kerja paksa itu tidak terjadi dengan cara seperti yang kita bayangkan ketika mempelajari sejarah negara kita.
Satu pelajaran unik dari kenyataan sejarah adalah interpretasi dan novel Pak Brata ini, sejarah boleh banyak versi tinggal versi siapa yang tertulis menjadi buku dan dibaca masyarakat. Lebih penting lagi buku siapa yang dibaca dan memiliki standar Barat sehingga boleh diakui otoritasnya. Pak Brata menyinggung tokoh minor Boetje Sahusilawane yang bersedia berangkat bekerja ke perkebunan Malang untuk Jepang. Tokoh ini dikisahkan ringkat menjadi tokoh pejuangan "De Zwarte Hemden" yang sengit setelah Jepang kalah dan Belanda mau kembali di daerah Pujon, Batu dan Pakishadhji. Apakah dia tokoh nyata, apakah gerakan bumi hangus itu benar-benar ada hanya tersimpan di sejarah lokal dan bila tidak di "urus" bisa jadi lenyap selamanya.
Sebagai kontras sebuah essay berjudul "Life and Death of Abdul Rachman (1906 -1949): One Aspect of Japanese Indonesian Relationships" yang dipublikasikan tahun 1976 sekarang ini menjadi bahan studi Asia Tenggara di Australia. Perjuangan Abdul Rachman juga di daerah Malang tepatnya di daerah Dampit (itu yang mau ke Gunung Semeru). 9 Januari 1949 pemuda ini membakar semangat teman-temannya yang ragu-ragu melihat intensitas serangan pasukan Belanda dengan senjata yang lebih lengkap dengan maju menghadapi hujan peluru pasukan Belanda yg mencoba menguasai kembali Indonesia setelah Jepang kalah. Salah satu perjuangan paling sengit demi kemerdekaan dalam sejarah Indonesia terjadi disitu. Abdul Rachman wafat dengan banyak peluru bersarang di dahi dan tubuhnya.
Abdul Rachman adalah orang Jepang yang aslinya bernama Ichiki Tatsuo. Pemuda ini mendapatkan respect dari orang Indonesia dan nama Abdul Rachman diberikan H. Agus Salim. Pemuda ini tidak terkenal di Jepang maupun di Indonesia, sampai sebuah essay dengan otoritas barat karangan orang Jepang juga (Kenichi Goto) terbit. Kenichi melakukan studi tentang orang-orang Jepang yang membelot dan mengikuti hati nuraninya membela negeri yang dijajah negerinya sendiri.
Kita tidak familiar dengan Boetje nya Pak Brata dan Abdul Rachmannya Kenichi sampai sejarah lokal kita benar-benar "beres" dalam bekerja dan mempublikasikan essay yang berotoritas. Untuk masyarakat yang tidak menulis dan tidak membaca dan tidak peduli sejarah, sejarah versi mereka tidak akan pernah ada. Pak Brata memberikan sejarah lokal dalam perspektif penduduk Ambon di Surabaya, tinggal kita cari versi yang lain untuk memperlengkap wawasaan kita dan membekali penilaian kita akan sejarah negeri kita sendiri.
Meskipun versi Pak Brata adalah fiksi, mereka yang melakukan studi literatur tahu bahwa fiksi adalah media paling ampuh dalam menyajikan sejarah yang berotoritas. Membaca STD nya Pak Brata, kita melihat pengarang yang meskipun tidak ambisius, karyanya mewakili pengetahuan dan kebijakan akan sejarah. Tidak ada satu bagian yang tidak kongruen dengan narasi utama sejarah itu sendiri. Buku ini tidak dikarang oleh penulis yang berimajinasi dan tiba-tiba duduk mengarang novel sejarah, tapi oleh pengarang dengan pemikiran orisinil , problem pribadi, dengan studi atau recall his own memories or experience. Buku ini buku tipis ringan namun berbobot.
2010
Diambil dari Surabaya Tempo Dulu
Beberapa Komentar :
Nikki Putrayana ada jg novel beliau yg berjudul mencari sarang angin. Ini jg bersetting cerita surabaya sblm kedatangan jepang, PD II, perang kemerdekaan. Dari sudut pandang seorang jurnalis.
Bambang Irawan wah nanti harus dicari tuh, thx infonya Nikki, ada karya apa lagi yg bersetting sby?
0 comments to "Surabaya Tumpah Darahku by Suparto Brata (1978)"