Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » MENGENANG BS

MENGENANG BS

Oleh: Henri Nurcahyo

Kalangan seniman lebih mengenalnya dengan akronim BS meski mereka juga tahu nama lengkapnya, Bambang Sujiyono. Akronim ini bukan karena latah sejak Susilo Bambang Yudhoyono disingkat SBY, namun jauh sebelum ‘SBY’ muncul. BS dikenal sebagai sosok yang lebih suka berada di belakang layar. Dalam berbagai aktivitas kesenian maupun kelembagaan kesenian di Jawa Timur, nama BS ada di belakangnya. Karena itu, wajar ketika berita BS meninggal dunia Jumat malam (18-12-09), masih banyak juga yang bertanya, “BS itu siapa??”

Pertanyaan itu pula yang muncul dari kalangan staf dan perawat Graha Amerta RSUD dr Soetomo yang merasa heran ketika sejumlah pejabat tinggi termasuk (waktu itu) Gubernur Imam Utomo menjenguk BS yang opname di situ. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa dalam beberapa bulan terakhir, pendiri Bengkel Muda Surabaya (BMS) itu keluar masuk rumah sakit, hingga akhirnya hanya “menghabiskan sisa hidupnya” di ranjang di rumahnya, Jl. Garuda 25 Rewwin, Waru, Sidoarjo.

Menurut keterangan keluarga, dokter sudah “menyerah” menangani kanker pankreas yang diderita mantan anggota DPRD Jatim (1997-1999) itu. Dan itu berarti, penyakit ikutan pasti menyerang bagian-bagian tubuh BS. Pankreas yang rusak, pasti tak bisa menghasilkan insulin yang sangat dibutuhkan untuk menetralkan gula dalam darah. Jika sudah demikian, dampak ikutannya, kadar gulanya pasti tinggi dan akan berakibat menyerang ginjal, saraf, hingga jantung. Itu sebabnya, dokter menyerah karena hanya mukjizat Allah yang mampu menolongnya. Dan, Allah memilih tepat pukul 18.30, 1 Muharam 1431 H, memanggil BS menghadap ke hadirat-Nya.

BS memang tak pernah menjadi ketua BMS, DKS (Dewan Kesenian Surabaya) maupun DK Jatim, kecuali sebagai ketua Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah Jatim. Namun, dia lebih bangga mengatakan bahwa semua kepengurusan lembaga-lembaga tersebut selalu menurut skenario yang dimainkannya. Kecuali, ketika DK Jatim lahir pada 1998, BS sedikit “kecolongan”, karena tak ikut menentukan ketuanya.

Ketinggalan langkah ini segera disusul dengan gagasan cerdasnya membentuk Tim Penghargaan Seniman Jatim, yang kebetulan mengajak saya sebagai sekretarisnya. Atas jasa dan dedikasi serta perjuangannya yang tak kenal lelah tim ini mampu membuat gubernur Jatim harus memberikan penghargaan kepada para seniman secara rutin setiap tahun, sejak 1998 hingga 2009. Lebih-lebih di samping penghargaan, diberikan tali asih bagi ratusan seniman yang biasanya diberikan menjelang Lebaran.

Lelaki kelahiran Ponorogo, 13 Februari 1948, ini memang mencoba memadukan kesenian dan politik dalam aktivitasnya. KARENA POLITIKLAH, KESENIAN DAPAT DIPERJUANGKAN SEBAGAIMANA MESTINYA. Dan, karena kesenianlah, politik menjadi santun dan dia berusaha menjadi politikus yang berhati nurani. Aktivitasnya di lingkungan DPW PPP Jatim dan PW Muhammadiyah Jatim, serta kedekatannya dengan kalangan pejabat tinggi di provinsi ini, sedikit banyak ikut membuat kesenian mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Apalagi, salah satu pendiri FKPPI Jatim ini pernah menjadi sekretaris pribadi Ketua DPRD Jatim (waktu itu) Blegoh Sumarto.

Harian Republika dan Kalam pernah menobatkannya dalam deretan “Wong Jawa Timur Berpengaruh” (2005) dalam buku yang dimulai dari penulisan sosok Imam Utomo, dan BS di bagian paling akhir (sebagai bentuk kerendah-hatian).

Pada 1972 adalah titik tolak perjuangannya dalam kesenian dan juga politik. Ketika itu harga beras melonjak dan rakyat antre untuk membelinya. Putra purnawirawan tentara ini mengerahkan ratusan seniman dari komunitas BMS untuk berunjuk rasa dalam “Pawai Solidaritas Keprihatinan Seniman Muda Surabaya”. Ternyata, langkah ini kurang disukai pengurus DKS, karena waktu itu BMS memang menjadi bagian dari DKS.

BS segera mengambil langkah strategis. Bengkel Muda Surabaya segera memisahkan diri dari DKS dan menjadi organisasi pemuda dan kesenian, yang didirikan pada 20 Desember 1972 (hari ini 37 tahun). Dalam perjalanan BMS memang tak bisa lepas dari (kendali) BS. Memang, tanpa BS, BMS hanya akan tinggal (huruf) M. Itu anekdot sekaligus realitas.

Bersama BS, BMS bukan sekadar organisasi kesenian biasa. Dalam posisinya yang selalu menyebutnya sendiri sebagai “sesepuh BMS”, juara lomba deklamasi se-Jatim pada 1972 ini ibarat kepala suku yang sanggup menggerakkan berbagai unjuk rasa demi membela rakyat kecil yang selalu tertindas. Meski pernah ditahan setahun (1972) karena demo tersebut, bersama kalangan mahasiswa BS aktif dalam aksi menentang pembangunan TMII (Taman Mini Indonesia Indah), aksi Malari (1974), unjuk rasa koreksi nasional (1977), dan kpada 1984 BS sempat ditahan lagi karena dituduh mendukung Amir Bikki.

Muatan idealisme yang kental itu pula hingga BS bersama BMS menggarap lakon Adu Domba, adaptasi naskah Noah Chomsky, yang intinya mencela kebengisan negara adidaya terhadap anak-anak yang teraniaya, perempuan, dan kaum tertindas di Chechnya, Pakistan, Afghanistan, Iraq, Bangladesh, Bosnia, dan Indonesia.

Aktivitasnya sebagai demonstran jalanan sebetulnya dimulai sejak menjadi siswa SMAN 3 Surabaya dan bergiat di Pelajar Islam Indonesia (PII). Pada masa itu sebetulnya BS sudah belajar ikut demo di bawah komando Muis Usman. Pada 1969 BS juga ikut demo memprotes kematian dua marinir Indonesia di Singapura.

Mantan juara judo kelas ringan tingkat mahasiswa (1970) ini pernah kuliah di UPN Veteran Surabaya dan Akademi Bank Indonesia Jogjakarta, aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), sempat menjadi PNS ~ hanya beberapa bulan di Dispenda (1981) ~, mendirikan Dewan Maritim Jatim (dan sempat menjadi pemimpin redaksi tabloid Indo Maritim), penasihat ahli Bappeprov Jatim, dan lebih banyak sebagai man behind the screen, termasuk motor tim sukses Gubernur Jatim Soekarwo.

BS kini sudah tiada. Sejak sakit, dia berpesan agar tidak memberi tahu banyak orang. Dia tidak ingin orang lain repot karenanya. Maka, di kalangan seniman Surabaya, justru kondisi RM Yunani Prawiranegara yang lebih banyak dibincangkan. Sastrawan Jawa itu saat ini menjalani perawatan setelah operasi otak di RSUD dr Soetomo. Saya sendiri juga dipesan agar tidak memberi tahu orang lain bahwa BS sedang sakit keras.

Ketika seminggu lalu saya membesuk di rumahnya, saya tak sampai hati melihatnya. Kondisi tubuhnya nyaris hanya tinggal tulang dan kulit. Wajahnya sangat cekung. Terlihat seperti tak ada batas antara tidur dan jaga. Setiap saat seperti orang mendengkur, mulutnya selalu agak terbuka. Tapi, tidak lagi bisa berbicara, meski mungkin masih bisa mendengar percakapan.

Dengan harapan semoga tidak disalahkan, saya putuskan menuliskan berita sakitnya BS di blog brangwetan.wordpress, meski saya “tidak berani” mengabarkan via Facebook, karena pesan “jangan ramai-ramai” tadi. Saya hanya ingin orang yang membaca berita itu ikut mendoakan BS. Sembuhlah kalau memang bisa sembuh, dan semoga Allah memberinya jalan terbaik kalau harus memanggilnya.

BS akhirnya pergi dengan tenang. Wajahnya bersih. Dari mulutnya terucap lafas surat Al Ikhlas. Jumat malam itu langit cerah, makam pun mudah digali. Ratusan pelayat mengantarnya ke TPU Rewwin, tempat peristirahatan terakhirnya. Selamat jalan Mas Bambang (*).

*) Henri Nurcahyo, praktisi budaya,

Salah seorang sahabat BS.

Dikutip dari

Ruang Putih, Jawa Pos Minggu 20 Desember 2009.

CATATAN SUPARTO BRATA:

Tahun 1972 saya (Suparto Brata) baru saja diangkat jadi PNS di Bagian Humas Pemda Kota Surabaya, atas anjuran yang didesak-desakkan oleh Mas Basuki Rachmat. Mas Basuki Rachmat sendiri adalah pemimpin redaktur majalah bahasa Jawa Jaya Baya. Tahun 1964 dia harus keluar dari meja redaktur Jaya Baya karena ikut tandatangan Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang anti PKI (1964 adalah kekuasaan PKI, maka semua pengikut Manikebu harus dipecat dari pekerjaannya). Tapi Mas Bas masih dipakai oleh Pak Tajib Ermadi (pemimpin umum/pendiri Jaya Baya), namun harus bekerja tersembunyi di rumah Pak Tajib (Jl. Pasar Besar Wetan); yang muncul di meja redaktur Jaya Baya Jl. Penghela 2, Suparto Brata. Waktu itu saya bekerja di PDN Jaya Bhakti Jl. Rajawali 54, gaji saya besar, isteri juga bekerja di sana. Pada waktu jeda, saya memerlukan bersepeda cepat dari Rajawali ke Penghela, sebagai redaktur majalah bahasa Jawa Jaya Baya.

Tahun 1965 setelah PKI gagal berontak, jabatan sementara Walikota Surabaya dipegang oleh Komandan Korem, R, Soekotjo. Menjabat Walikota Surabaya Pak Kotjo memerlukan penulis pidato. Oleh pengarang wanita Totilowati Tjitrawasita (keponakannya Pak Kotjo yang ketika itu juga menjadi redaktur Jaya Baya), Mas Bas ditawarkan. Ternyata cocok sekali. Selain membuat pidatonya Pak Kotjo, Mas Bas dapat berkembang mengerjakan pekerjaan seni yang luar biasa, misalnya memotret, membuat film (kamera dibelikan oleh Pak Kotjo). Mas Baslah yang menciptakan slogan Surabaya Kota Indamardi (industri, dagang, maritim, pendidikan). Mas Bas yang menciptakan Dewan Kesenian Surabaya dengan semula mengirimkan drama Pementasan 4 kota (Medan, Jakarta, Surabaya, Makasar) ke TIM Jakarta, yang dikirim drama Suara-suara Mati yang disuteradarai oleh Sunarto Timur. Mas Bas juga yang mengcover pembangunan kota yang dilakukan oleh Walikota dengan film, lalu segera filmnya dibawa sendiri dengan pesawat terbang ke Jakarta, dibawa ke TVRI, disiarkan oleh TVRI Jakarta peristiwa pembangunan yang terjadi di Surabaya. (Waktu itu yang ada hanya TVRI, dan belum ada wartawan TV). Menjelang pemilihan umum 1971, Mas Bas mendapat proyek dari KPU Surabaya untuk memotreti panitya pemilihan umum di seluruh Surabaya, harus memotreti orang dari keluarahan ke kelurahan. Perndeknya Mas Bas banyak dapat pekerjaan yang mendatangkan uang. Di DKS dia memimpin kelompok sandiwara. Banyak sekali generasi muda yang ikut permainan dramanya, sering berkumpul dan bergaul di rumahnya (Tembok Dukuh). Antara lain kelompok muda sandiwara Mas Bas adalah Bawong SN, Sirikit Syah, Bambang Sujiyono.

Saya dan isteri tahun 1967 keluar dari pekerjaan di PDN Jaya Bhakti, karena tidak mau menjadi anggota Soksi (embrio Golkar). Dengan yakin berusaha hidup dari mengarang, karena nama saya sebagai pengarang sastra Jawa sudah terkenal. Karangan bahasa Jawa saya kirimkan ke Kho Ping Hoo, diterima dan diterbitkan. Oleh Kho Ping Hoo saya disuruh membuat cerita silat seperti punyanya atau Nogososro. Menuruti kemauan Kho Ping Hoo (untuk hidup sebagai pengarang) saya bisa setor 2 cerita silat sebulan sekali à 30 lembar halaman, dan pasti dibayar oleh Kho Ping Hoo. Tapi ternyata tidak tiap bulan naskahku diterbitkan jadi buku. Maka saya mundur dari pengarang cerita silat. Ganti pekerjaan berdagang kapok, beli kapok di Surabaya saya kirim ke Bandung. Pernah membawa kapok 3 truk, saya kawal sendiri dari Surabaya ke Bandung, truk istirahat di Tegal malam hari di alun-alun. Ayah mertua di Ngombol (Purworejo) sakit, isteri dan anak saya menunggui di sana dan rumah kontrakanku di Surabaya kosong. Tapi kemudian Ayah mertua dibawa ke Surabaya, dan anak saya sulung harus masuk sekolah, jadi saya pun berhenti jadi pedagang kapok. Yang masih saya kerjakan adalah menulis cerita bahasa Jawa di Jaya Baya. Keadaannya terbalik, saya tidak punya pekerjaan, Mas Bas banyak proyek. Maka saya pun membantu Mas Bas, segala proyek yang dikerjakan Mas Bas saya bantu. Kalau ada peristiwa pembangunan, saya ikut meladeni pekerjaan Mas Bas, misalnya memegangi lampu sorot yang digunakan untuk meliput film, Mas Bas membuat filmnya, saya membuat rilisnya di koran. Sementara itu Mas Bas dan saya tidak lepas membangun majalah bahasa Jawa Jaya Baya yang sama-sama kami cintai sejak jaman Orde Lama dulu. Majalah bahasa Jawa harus dapat hidup dan berkembang. Pernah dalam waktu lama, yang mengisi cerita sambung (keahlian saya) dari karangan saya ke karangan saya. Mas Bas tetap jadi pemimpin redaksi resmi, saya di luar pekerja (pegawai) Jaya Baya. Dapat honorarium besar atau kecil karena bekerja untuk Jaya Baya terserah kepada kerelaan Mas Bas. Tetapi jelas, hidup saya tidak kapiran karena membantu kegiatan Mas Bas tadi. Ketika pemerintah Kota Surabaya membentuk bagian Humas (1968), oleh Mas Bas saya disuruh mendaftar masuk menjadi PNS. Beban hidup saya mesti lebih kepenak daripada secara tidak tetap hanya menerima imbalan dari Mas Bas. Mas Bas sendiri tidak mau jadi PNS, karena sebagai seniman akan merasa terikat, dan juga oleh karena dia tidak punya ijazah.

Tahun 1972 kedekatan saya dengan Mas Bas mengerjakan pekerjaan bersama masih berlangsung. Sedang Mas Bas bergaul dalam seni drama, saya hanya kenal tahu saja. Drama-drama Mas Bas sangat populer waktu itu, misalnya Lingkaran Kapur Putih, Darmo-Darmi. Bahkan novel saya bahasa Jawa Sanja Sangu Trebela yang saya intertektual dari dramanya Friedrich Duerrenmatt (Die Besuch der Alten Dame), juga dirancang mau dimainkannya. Tentu saja dengan bantuan Goete Institute, karena Mas Bas akrap sekali dengan Zimmermann, kepala Goethe Institute di Surabaya.

Nah, suatu malam 1972, saya masih bekerja di rumah Mas Bas, banyak pemuda dari seniman drama di sana. Mereka itu bicara tentang keadaan bahwa ternyata stok beras nasional di Jawa Timur tidak ada. Ternyata para bupati dan walikota yang banyak dari tentara, bohong belaka mengatakan bahwa di daerahnya stok beras cukup. Jadi terjadilah antrian orang beli beras. Pikiran rerasan di rumah Mas Bas itu cenderung memprotes kebohongan ini. Mereka mau mengadakan demonstrasi. Saya ikut mendengarkan, ikut tanya-tanya. Oleh Mas Bas, saya dilarang ikut. Mereka akan meneruskan pembicaraan, dan saya bahkan disuruh pulang oleh Mas Bas, pendeknya urusan saya dengan Mas Bas tentang majalah bahasa Jawa Jaya Baya, dan soal pekerjaan saya di Humas. Bukan soal politik. Jadi saya pulang.

Keesokan harinya terjadi demonstrasi “Lapar” yang digelar di depan Gubernur oleh para seniman. Akibatnya para provokatornya ditangkap oleh tentara. Dimasukkan ke tahanan di Korem 084 (di Ngemplak). Ada 4 orang seniman yang ditahan, 3 di antaranya adalah Mas Bas, Bambang Sujiyono, Amang Rachman. Yang jadi komandan Korem waktu itu Pak Blegoh Sumarto. Di situlah perkenalan mereka. Semula lawan jadi kawan. Akhirnya ketika Pak Blegoh Sumarto menjadi ketua DPRD Jawa Timur,, Bambang Sujiyono, Basuki Rachmat, Amang Rachman menjadi pembantu pemikir terdekatnya.

Tahun 1985 ketika ada ide untuk melestarikan nilai-nilai kepahlawanan 10 November 1945 di Surabaya, dibentuklah panitia, yang mencari dana dan yang mengerjakan proyek. Proyek terbagi jadi 3, yaitu membuat film perjuangan peristiwa 10 November, membuat lagu (disayembarakan) 10 November 1945 di Surabaya, dan menulis buku tentang peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Para pucuk pimpinan panitia tentu saja mencari para ahli untuk melaksanakan proyek itu. Misalnya pada pembuatan film, dipanggil Imam Tantowi, dan Gatut Kusuma. Pada penulisan buku diminta sarannya Pak Budi Darma, Suripan Sadi Hutomo, Wiwiek Hidayat. Panitia kecil kemudian membentuk orangnya masing-masing. Bagian penulisan sejarah kemudian rapat di Kampus IKIP Negeri. Saya juga diundang. Dan di situ Pak Budi Darma berkata kepada saya, saya mendapat tugas yang tidak boleh ditolak, yaitu ikut jadi penulis sejarah 10 November 1945 di Surabaya, bersama Drs. Aminuddin Kasdi, Drs. Soedjijo. Saya tercengang. Saya ini pengarang cerita roman, tidak punya pengalaman akademis spesifiknya sejarah, kok ditunjuk. Atau sama-sama penulis buku mengapa tidak Gatut Kusumo (menulis buku Pita Merah Di Lengan Kiri), M. Radjab (penulis buku Tentara Seni Pelajar), atau Wiwiek Hidayat (wartawan Antara Surabaya). Mereka tidak ditunjuk jadi penulis, karena mereka adalah pelaku 10 November 1945 di Surabaya, maka mereka hanya menjadi narasumber.

Pekerjaan saya adalah membacai buku-buku tentang peristiwa 10 November 1945 di Surabaya yang masuk ke Panitia. Mas Wiwiek Hidayat punya banyak buku-buku tentang itu yang dibeli dari luar negeri, bisa difotocopy dan dibeli oleh Panitia, dan saya pelajari. Selain itu juga diadakan wawancara dengan para pelaku. Pelaku banyak yang di Jakarta. Siapa yang harus ke sana? Pak Aminuddin dan Pak Soedjijo adalah dosen IKIP Negeri, tidak bisa meninggalkan tugasnya. Yang paling mungkin saya. Tetapi saya tidak tahu apa-apa tentang pelaku sejarah maupun kota Jakarta. Setelah dirunding, saya dapat izin dari Pemda Surabaya, maka saya didampingi (atau diantar) oleh Bambang Sujiyono pergi selama 7 hari menemui para pelaku 10 November 1945 di Surabaya yang ada di Jakarta dan lain kota.

Saya betul-betul orang yang sangat awam, baik tentang sejarah, maupun tatacara hidup di Jakarta. Saya dan BS ke Jakarta naik keretaapi. Dari Gambir terus naik taksi ke sebuah hotel (dekat saja dengan Gambir, saya lupa namanya, kalau tidak salah Hotel Mercury). Saya juga asing sekali menginap di hotel, jadi ya mengikuti saja yang BS berbuat (misalnya makan sarapan pagi, boleh ambil sekenyangnya, baru saya alami di hotel itu). Wawancara yang kami target (yang memilih juga BS), yang ngatur pertemuan dan lain-lain BS. Dengan cakap sekali BS menghubungi mereka dan membuat perjanjian bertemu untuk wawancara (serta menyampaikan undangan seminar di Surabaya). Antara lain yang berhasil kami hubungi dan saya bisa melakukan wawancara dengan leluasa sebagaimana perjanjiannya, adalah Pak Roeslan Abdulgani (Jl. Diponegoro), Pak Abdul Syukur (Tebet Barat), Pak Moehammad Jassin (dekat Pasar Kebayoran Baru Blok A), Pak Barlan Setiadijaya (Lenteng Agung). Sedang Pak Yonosewoyo tidak dapat kami hubungi karena sedang mengurusi tennis. Saya cukup banyak mendapat catatan dari wawancara tadi. Kemudian BS mengajak saya meneruskan perjalanan ke Lampung dan Palembang. Ke Lampung menemui Pak H.R. Muhammad Mangundiprojo, ke Palembang menemui Ibu Lukitaningsih. Tapi saya minta pulang saja, karena catatannya sudah cukup banyak. Akhirnya BS sendiri yang ke Lampung dan Palembang (seraya menyampaikan undangan seminar tiga hari di Surabaya mengenai peristiwa 10 November 1945, yang transportasi, penginapan dan selama di Surabaya beayanya ditanggung oleh Panitia Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan 10 November 1945 di Surabaya). Kami berpisah, saya pulang ke Surabaya.

Pak H.R.Muhammad Mangundiprojo ternyata sedang dioperasi perutnya, hingga tidak bisa ditemui oleh BS. Dan tidak bisa menghadiri seminar di Surabaya. Tapi justru membalas surat-surat yang saya kirimkan, antara lain teks pidatonya di salah satu forum penting di Jakarta. Bu Lukitaningsih datang, saya cukup lama berwawancara dengan beliau ketika seminar. Bu Lukitaningsih pemudi cekatan dari Kantor Berita Indonesia yang bergabung pada Pemuda Puteri Indonesia (September 1945) berjuang bersama rakyat Surabaya 10 November 1945, kemudian diambil menantu oleh Walikota Surabaya 1945 Rajamin Nasution. (belum ada nama jalan Lukitaningsih di Surabaya, ya?).

Setelah dapat tugas menulis buku sejarah itulah kemudian saya memperhatikan sejarah perjuangan dan sosial politik. Ternyata berguna juga menuliskan peristiwa-peristiwa yang saya alami baik lewat fisik maupun lewat pembacaan buku. Supaya sejarah bisa dipelajari, harus ditulis.

Dan BS, Bambang Sujiyono, adalah salah seorang yang pernah menuntun dan menyadarkan saya bahwa menulis tokoh-tokoh masa lampau itu adalah sangat penting untuk diingat dan dipelajari, akan berguna bagi perencanaan pembangunan sosial masa depan. Bambang Sujiyono sangat terampil, cekatan dan taktis dalam bergerak menghubungi para tokoh-tokoh sejarah saat mengantarkan saya ke Jakarta itu. Misalnya waktu berkunjung ke Pak Roeslan Abdulgani, begitu bertemu orangnya langsung saja BS bersalam, “Merdeka!”. Segera akrap dengan Pak Roeslan.

Terimakasih, Mas Bambang. Selamat jalan ke Hadirat Allah Yang Mahaesa.

Tags:

0 comments to "MENGENANG BS"

Leave a comment