Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » Suparto Brata, Pengarang Pertama di Harian Surya

Suparto Brata, Pengarang Pertama di Harian Surya

Ketika Harian Surya terbit kali pertama pada 10 November 1989, satu pengarang ikut membuka lembaran baru. Namanya Suparto Brata. Sampai sekarang pengarang ini tak pernah berhenti menulis.

Ada bangga yang ditahan ketika Suparto Brata bercerita tentang Membakar Surabaya, cerita bersambung yang dimuat di Harian Surya. Setiap hari sejak 10 November 1989 hingga sebulan kemudian namanya menempel terus di koran ini.

Sayang, dia lupa honor yang diterima waktu itu. Dia hanya terkekeh karena waktu itu memang nama Suparto Brata sedang top-topnya. Belum berasa mantap bila satu media belum menyeret namanya di jajaran pengarang. Sekarang usianya 75 tahun lewat delapan bulan. Belum ada keinginan mundur dari dunia yang memberinya teman, sahabat, sedulur, dan penghargaan.

Bagi Suparto, menulis itu tingkatan tertinggi dalam perkembangan intelektual manusia. “Krungu lan weruh (mendengar dan melihat) itu kodrat,” kata Suparto yang ditemui Surya, Selasa (30/10).

Sebaliknya membaca dan menulis itu harus dikenalkan. Untuk urusan yang satu ini pemilik supartobrata.com ini memang tidak kenal kompromi. Jika ingin modern, membacalah. Jika ingin modern dan pintar, menulislah.

Seperti biasa, Suparto selalu mengajak masuk ruang kerja sekaligus kamar yang sesak dengan buku, majalah, kliping koran, print out naskah, hingga tumpukan kertas yang sudah berwarna kuning. Itu harta karun yang dimiliki dan ditumpuk di lemari besi. Di salah satu dinding terpasang foto ukuran 10 R. Foto Suparto dengan perempuan cantik, Trinil. Nama ini selalu dilontarkan Suparto ketika mencari nama penulis bahasa Jawa. Trinil disebutnya sebagai salah satu penulis yang mumpuni.

Di atas satu meja dari tiga meja yang dimasukkan kamar, ada komputer dengan monitor layar datar lengkap dengan printer. Pengalaman membuktikan dia memang bisa menjadi modern dengan menulis ketika usia sebenarnya sudah tak menjangkau modernisasi. Alat ini membantu mengembalikan kisah lama yang kebanyakan menjadi latar belakang novel-novelnya.

Puluhan novel lahir dengan ciri masa perjuangan sebagai sumber ceritanya. Paling tidak, 14 novel sudah diterbitkan tahun ini. Jumlah yang luar biasa bahkan untuk pengarang muda yang paling produktif.

Walau terhitung produktif, penyandang dua penghargaan Rancage -penghargaan untuk seniman yang mempertahankan tradisi di Jawa Barat- mengaku ada naskah yang sempat tak tersentuh. Novel Tak Ada Nasi Lagi mati suri selama 32 tahun sejak 1958 sebelum akhirnya diterbitkan Kompas 1990.

Tak heran bila akhirnya namanya disejajarkan dengan Goenawan Muhammad, Marianne Katoppo, Budi Darma, Putu Wijaya, atau Sutarji Calzoum Bachri. Paling tidak dia ikut mewakili Indonesia dalam SEA Write Award pertengahan Oktober lalu. Ini ajang bergengsi untuk para penulis di kawasan Asia yang setiap tahun mencari penulis jempolan di seluruh negeri. Suparto menjadi penerima ke-18 setelah nama-nama di atas.

Menjadi penulis yang dilirik bahkan oleh pembaca di luar negeri membuat Suparto menemukan jurus untuk menaklukkan mereka. “Jika menulis buku, jangan tanggung-tanggung. Buatlah buku yang tebal,” kata penulis yang cerita pertamanya Miss Rika di Angkasa terbit di Majalah Garuda, 25 Oktober 1953, ketika diskusi tentang perkembangan buku bahasa Jawa yang mulai surut di Hotel Santika Surabaya bulan lalu.

Sekarang hampir seluruh naskah lama yang dibundel dan dimasukkan dalam map diketik ulang dan siap diterbitkan. Jangan tanya tebalnya, bisa dipastikan lebih dari 200 halaman. Hanya ada beberapa buku tipis yang memang untuk konsumsi siswa SD.
Tahun ini seperti 18 tahun lalu ketika menulis untuk Surya, Suparto melemparkan buku Lelabuhane Gubernur Jatim I, Gubernur Suryo yang diterbitkan Grasindo. “Ini bentuk perhatian saya pada kota ini,” kata Suparto.

Sayang, dari empat anaknya tak ada satu pun menjadi penulis. Cucu? “Walah… cucu saya lebih suka menonton televisi dan main game,” kata Suparto yang teratur membaca koran dari pagi hingga siang. Seperti Socrates yang tetap dikagumi selama 2.500 tahun oleh bangsa Eropa, Suparto ingin seluruh idenya dituangkan dalam buku. “Plato berjasa merekam pemikiran Socrates menjadi literatur. Jika tidak, Socrates tidak sebesar ini,” katanya./Endah Imawati

Dari Surya Online

Tags:

0 comments to "Suparto Brata, Pengarang Pertama di Harian Surya"

Leave a comment