Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » ROTI DAN PUASA

ROTI DAN PUASA

“Makan roti? Sudah kenyang? Ah, orang Jawa kalau belum makan nasi kan belum sarapan namanya? Jadi, sarapan nasi saja, ya?” istriku yang pandai memasak selanjutnya menyiapkan masak nasi untuk sarapanku setiap pagi.

Saya mengalah, sambil alasanku ketika itu, “Ya. Roti memang makanan Belanda. Apalagi ketika Solo diduduki oleh pasukan Belanda 1949 dulu. Aku terjebak masuk kota, ayah pulang membawa roti, aku takut memakannya. Sebab makan roti rasanya seperti mengkhianati perjuangan bangsa.”

Dan ceritaku tadi terus-menerus didongengkan oleh istriku kepada cucu-cucunya sebelum tidur sebagai kisah patriotik kakeknya melawan penjajahan Belanda.

Istriku telah meninggal dunia lima tahun yang lalu. Sekarang saya tinggal bersama anakku perempuan (Tera), bersama suami dan anak-anaknya (cucuku). Pagi hari menantu pergi ke kantor, cucu-cucu pergi ke sekolah, mereka tidak sarapan di rumah, disangoni roti. Jadi pagi hari Tera repot memasak nasi hanya untukku, melanjutkan kebiasaan istriku. Saya kasihan. “Enaknya aku juga sarapan roti sajalah,” usulku.

“Lo, nanti tidak kenyang?” pertimbangan Tera.

“Tidak perlu kenyang, kan? Makanlah ketika lapar, berhentilah makan sebelum kenyang, begitu sabda Nabi, bukan?” kilah alasan saya.

“Tapi roti makanan Belanda, Kek,” tegur cucu-cucuku, ingat dongeng neneknya.

“Ah, itu kan dulu, ketika Belanda menjadi musuh bangsa.”

Sejak itu saya ikut-ikutan sarapan makan roti setiap pagi. Setangkap roti, disemir mentega ditaburi misis. Minumnya Anlene Gold, gula dan Nescafé Classic ukuran 3:3:1, diaduk dengan air panas 200 ml. Semua saya racik sendiri. Sungguh, tidak merepotkan Tera lagi.

Sudah empat tahun ini kami berlengganan roti merk Fran’s jenis American Toast pada bakul roti yang dijajakan pakai motor lewat depan rumah. Sebungkus harganya Rp 5200, seminggu 6 kali, dari Senin sampai dengan Sabtu, kami bayar Rp 31.200 di muka tiap hari Senin.

Kamis 13 September 2007, kami seluruh rumah puasa. Waktu sahur jam 3, kami makan nasi bersama masakan yang sudah disediakan oleh Tera. Hari berikutnya, roti juga tidak termakan. Sampai menumpuk tiga bungkus. Ya, kapan sempatnya makan, biasanya untuk sarapan pagi, dan bekal ke sekolah, kini tidak ada sarapan pagi. Adanya sahur.

“Enaknya tidak beli roti saja selama bulan puasa,” usul para cucu.

“Ah, tidak. Kan kasihan penjual roti itu, penghasilannya berkurang karena kita semua puasa,” ujarku.

“Ya salahnya sendiri, kan. Bulan puasa jualan makanan?”

“Jangan begitu. Kita tetap berlangganan roti. Tidak berubah, meskipun pada bulan puasa ini kita menunaikan ibadah puasa. Toh kita tidak kehilangan rezeki apapun meski tetap membayar langganan roti. Jatah berlengganan roti Rp 31.200 seminggu itu sudah terjadwal dalam pengeluaran kita sehari-hari selama ini.”

“Tapi bagaimana dengan roti yang terbengkalai sebanyak itu, Kek?”

“Ya, saya coba ubah menu sahur saya. Tidak makan nasi, tapi makan roti. Atau rotinya dicampurkan dalam kuah kolak atau apa, untuk berbuka puasa. Pokok, kita bisa menunaikan ibadah puasa, tanpa mengurangi rezeki orang lain. Dalam hal ini penghasilan penjual roti itu.”

Dan begitulah selanjutnya. Kami berpuasa, dan tetap berlengganan roti. Saya juga berhasil makan sahur dengan setangkap roti dan minum racikan Anlene Gold dan Nescafé Classic seperti waktu sarapan pagi dulu-dulu. Puasaku tidak batal karena kelaparan. Dan celoteh, “Roti itu makanan Belanda” atau “Orang Jawa kalau belum makan nasi, merasa belum sarapan,” masih menjadi lelucon kami sewaktu sahur.

“Wah, kakek ini karena roti ketika masih muda jadi patriot, setelah jadi kakek pembela orang miskin!” gurau cucu saya yang sudah klas 1 SMA Mohammadiah II Pucang Surabaya.

“Ya, sedikit-sedikit. Kalau bisa urun kebaikan kehidupan untuk negara dan bangsa begitu, mengapa tidak?” jawab saya.

(Suparto Brata, mantan loper koran Jawa Pos, 1950)

Tags:

1 comments to "ROTI DAN PUASA"

Leave a comment