Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » Saksi Mata

Saksi Mata

Petualangan Bocah di Zaman Jepang

Judul Buku : Saksi Mata (Sebuah Novel)
Penulis : Suparto Brata
Penerbit : Penerbit Buku KOMPAS
Tahun : Januari 2002
Tebal : x + 434 halaman

Setelah menyelesaikan novel yang sangat tebal ini, saya jadi teringat dengan novel Mencoba Tidak Menyerah-nya Yudhistira A.N. Massardhie dan juga novel Ca Bau Kan-nya Remy Sylado. Dalam novel Mencoba Tidak Menyerah, yang menjadi tokoh sentralnya adalah bocah laki-laki berusia sepuluh tahun sedangkan dalam novel Ca Bau Kan yang telah diangkat ke layar lebar, digambarkan bagaimana keadaan Jakarta Kota era zaman penjajahan Belanda dengan sangat detail. Lalu apa hubungannya dengan novel Saksi Mata karya Suparto Brata ini? Dalam Saksi Mata, yang menjadi "jagoan" alias tokoh utamanya adalah bocah berusia dua belas tahun bernama Kuntara, seorang pelajar sekolah rakyat Mohan-gakko dan mengambil setting kota Surabaya di zaman penjajahan Jepang dengan penggambaran yang sangat apik, detail dan sangat memikat. Novel setebal 434 halaman ini sendiri sebenarnya merupakan cerita bersambung yang dimuat di Harian Kompas pada rentang waktu 2 November 1997 hingga 2 April 1998.

Kisah berawal saat Kuntara secara tidak sengaja memergoki buliknya Raden Ajeng Rumsari alias Bulik Rum tengah bercinta dengan Wiradad di sebuah bungker perlindungan-belakangan baru diketahui oleh Kuntara kalau Wiradad adalah suami sah dari Bulik Rum. "Pemandangan" yang luar biasa itu dan belum patut untuk disaksikan oleh Kuntara membuat perasaan hatinya berkecamuk. Kuntara pun masygul dengan apa yang dilakukan oleh Bulik Rum yang selama ini selalu dihormatinya. Namun ia bisa mengerti kalau ternyata Bulik Rum yang cantik ini menyembunyikan sejuta kisah yang tak bakal disangka-sangka.

Bulik Rum adalah "wanita simpanan" tuan Ichiro Nishizumi, meski pekerjaan sehari-harinya bekerja di pabrik karung Asko. Mau tidak mau Bulik Rum harus melayani nafsu Ichiro Nishizumi kapan saja. Sebenarnya Bulik Rum sudah menikah dengan Wiradad tetapi tuan Ichiro Nishizumi tidak peduli dengan semua itu dan memboyongnya ke Surabaya. Baik Wiradad maupun ayah Bulik Rum sendiri tidak mampu mencegah keinginan Ichiro Nishizawa yang sangat berkuasa ini. Tetapi Wiradad tidak mau menyerah begitu saja dan segera menyusul Bulik Rum ke Surabaya.

Saat Wiradad akan bertemu dengan Bulik Rum inilah terjadi sesuatu yang diluar dugaan. Okada yang merupakan guru Kuntara di sekolah rakyat Mohan-gakko berupaya untuk melampiaskan nafsunya kepada Bulik Rum, yang dengan tegas menolak keinginan Okada. Okada yang gelap mata ini segera menikamkan samurai kecilnya hingga akhirnya Bulik Rum terbunuh di bungker perlindungan. Okada yang selama ini sangat dihormati oleh Kuntara tenyata memiliki tabiat tidak beda dengan Tuan Ichiro Nishizawa, sama-sama doyan tidur dengan berbagai macam perempuan.

Dari sinilah awal kisah "petualangan" Kuntara dalam mengungkap kasus terbunuhnya Bulik Rum hingga upaya untuk membalas dendamnya bersama dengan Wiradad kepada tuan Ichiro Nishizawa dan juga Okada. Sejak kasus terbunuhnya Bulik Rum ini, keluarga Suryohartanan--tempat Kuntara dan ibunya menetap--mulai terlibat dengan berbagai kejadian yang mengikutinya. Kuntara yang tidak menginginkan keluarga ini terlibat dengan permasalahan yang terjadi dengan sengaja menyembunyikannya. Dengan segala "kecerdikan" ala detektif cilik Lima Sekawan Kuntara berupaya menyelesaikan kasus ini bersama dengan Wiradad.

****
Sangat jarang sekali novel-novel "serius" di Indonesia yang terbit dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir yang menggunakan tokoh utama seorang anak kecil, selain dari novel Mencoba Tidak Menyerah-nya Yudhistira ANM, mungkin hanya novel Ketika Lampu Berwarna Merah karya cerpenis Hamsad Rangkuti. Adalah hal yang menarik apabila membaca cerita sebuah novel "serius" dengan tokoh utama seorang anak kecil karena ia memiliki perspektif atau pandangan berbeda mengenai dunia dan segala sesuatu yang terjadi, bila dibandingkan dengan orang dewasa. Kita bisa membayangkan bagaimana seorang Kuntara yang baru berusia dua belas tahun menanggapi berbagai peristiwa yang terjadi dengan diri, keluarga, dan lingkungan sekitarnya pada masa penjajahan Jepang dan dengan "kepintarannya" ia mencoba untuk memecahkan persoalan tersebut. Meski menarik tetap saja akan memunculkan pertanyaan bagaimana bisa bocah dua belas tahun menjadi "sangat pintar"?

Keunggulan lain dari novel ini adalah penggambaran suasana yang detail mengenai kota Surabaya di tahun 1944 (zaman pendudukan Jepang), malah ada lampiran petanya segala! Suasana kota Surabaya di zaman itu juga "direkam" dengan indah oleh Suparto Brata. Kita bisa membayangkan bagaimanan keadaan kampung SS Pacarkeling yang kala itu masih "berbau" Hindia Belanda karena nama-nama jalannya masih menggunakan nama-nama Belanda. Juga tentang bungker-bungker perlindungan yang digunakan untuk bersembunyi kala ada serangan udara--kebetulan saat itu tengah berkecamuk Perang Dunia II. Tidak ketinggalan juga tentang stasiun kereta api Gubeng yang tersohor itu.

Sebagai arek Suroboyo yang tentunya mengenal seluk beluk kota Buaya ini, Suparto Brata jelas tidak mengalami kesulitan untuk melukiskan keadaan ini. Apalagi ia adalah penulis yang hidup dalam tiga zaman--kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang dan era kemerdekaan. Penggambaran suasana yang detail ini juga berkonsekuensi kepada cerita yang cukup panjang meski tetap tanpa adanya maksud untuk bertele-tele.
Novel ini juga diperkaya dengan adanya kosakata dan lagu-lagu Jepang yang makin menghidupkan suasana zaman pendudukan balatentara Jepang di Indonesia. Tetapi uniknya, tidak ada satupun terjemahan untuk kosakata Jepang tersebut. Jadi bagi yang tidak mengerti bahasa Jepang, seperti saya juga, ya tebak-tebak saja sendiri.



Resensi di cybersastra.net
<

Tags:

0 comments to "Saksi Mata"

Leave a comment