A Elwiq Pr
“Ai yai I yai...!!!!” lengkingku dari puncak bukit.
Anak-anak berbaju merah dan putih yang sedang bergegas sendirian, berdua, bertiga, berhenti berlari, berhenti saling seru dan melupakan kehendak untuk sesaat.
“Aiiii yaaaai I yaiiiii...!!!!” aku mulai hot menjadi cewek pencari perhatian.
Setapak yang sudah jutaan kaki melebarkan lengkung dan tikungannya di tengah ladang sayur berlajur-lajur artistik, gadis dan jaka cilik memicingkan mata mencerna apa gerangan yang menampak di puncak salah satu bukit mereka. Biasanya sunyi. Yang mereka kenali hanya suara-suara nyentrik dari tv.
Gemes juga melihat mereka hanya terpana, lalu punggung tanganku menghadap mereka dan kujentikkan empat jari. Gerakan pasti menandakan isyarat, “mari sini.”
Gadis dan jaka cilik berbaju putih dan bawahan merah perpandang-pandangan. Bukit tak jauh tapi juga tak bisa disebut dekat. Aku mulai cemas,” di mana blink-blink bocaaah negerikuu!”
Kuraih sebatang kecil ranting pohon yang tercecer dari punggung ibu-ibu pencari kayu bakar di
Berhasil. Mereka sudah di depan mata dengan cahaya kaca wajahnya. Aduhaiii dengan baju putih yang tak putih lagi. Rok dan celana merahnya di sana-sini berbasuh debu. Lusuh tapi menandakan hidup yang seluruh.
“Siapa pahlawan
Mereka menyebut dengan cuaca suara tanpa lentera, datar nian. Hei? Patimura dari Maluku, Hasanudin dari … Panglima Polim! Ki Hajar Dewantara. Kartini! Kartini … seorang gadis cilik nimbrung di antara bocah-bocah yang lebih besar. Senyumnya paling lebar.
“Ibuk, Bapak kalian juga pahlawan … mbah-mbah kalian juga. Kalian adalah pahlawan,” susulku.
“Sekarang, lihat sini,” kutunjukkan sebuah buku kecil bersampul kuning keemasan berhias daun maple jatuh. Tertera di
“Yuuk, siapa yang bisa mengejah ini …” kutunjuk salah satu anak yang kurasa umur enam atau tujuh tahun.
“Haaa … Rrrro, ss-iii, Haaa-n … Aan-wwarr,” sukses dilafalkan.
“Bagus,” ujarku tulus memastikan bocah yang selalu beringus itu bukan karena belum lancar membaca tapi sedikit asing dengan orang asing yang tiba-tiba muncul di bukit belakang rumahnya di mana Ayahnya memelihara sapi perah yang terus memamah-mamah rumput. Kuusap ingusnya dengan tisu dan tisu bekas ingus kumasukkan ke dalam kantong kertas yang kusediakan untuk sampah sebelum ketemu bak sampah.
“Kakek Rosihan Anwar ini juga pahlawan lo,” tukasku ringan.
Mereka tak peduli. Lalu salah satu dari bocah berbaju merah putih paling rapi namun dua bilah matanya paling sendu di antara kawan-kawannya memperhatikan sampul buku tak sudah-sudah
“Aah, ini daun maple. Pohon ini tumbuh di negeri empat musim. Di sini, di desa kalian mungkin bisa hidup karena udara sejuk dan kabut turun tiap-tiap waktu. Nanti coba suatu hari kalian menanamnya ya? Daun pohon maple jadi simbol bendera Kanada, di beberapa negara bermusim empat menjadi simbol kasih sayang. Cinta.”
“Hatiii,” celetuk salah satu gadis yang nampaknya kekenyangan sinetron di tv hari-hari ini.
“Ya, hati. Hati adalah rumah bagi cinta,” kataku sambil kupandangi mata yang berkata tanpa tahu maknanya itu.
Aku pandangi lagi si bocah bermata sendu dan kukatakan padanya,”suatu hari nanti bila kau sampai di Amerika Utara, rangkaian daun-daun maple di daun pintu rumah penduduk di suatu
Semua anak mengacungkan tangan dengan rasa bangga berlipat ganda.
“Bagus,” basuhku pada hati merah-putih mereka agar trubus.
“Kukenalkan pada kalian, namanya Kakek Rosihan Anwar. Beliau adalah pahlawan berita. Berita-berita di TV, di radio, di internet. Semua bermula dari berita di selembaran kertas yang kemudian disebut koran. Kakek Rosihan yang lahir di desa Kubang Nan Dua di Pulau Sumatera bagian barat
“Buku itu ngomong apa?” tanya bocah lelaki berbadan paling bongsor, matanya baik hati tapi nampak kurang pandai memilih kata-kata.
“Oya betul, buku akan ngomong kalau kita ajak ngobrol. Caranya ngobrol dengan buku yaaa, bagaimana yah?” tanyaku aksi mencari-cari sesuatu di dalam buku.
“Dibaca ..” jawab si mata sendu sedikit ragu tapi memecahkan hening angin yang mulai ikut datang menyanding.
“Itu dia. Yuuuk, sekarang kita baca …” ajakku.
Tulisane cilik-cilik! Ora ana gambar-e! Tapi ana fotone reeek!
Tumpang tindih mereka mengerubuti buku kecil, lebih besar sedikit dari buku saku Pramuka. Bau kecut lucu mereka benar-benar menjadikan nyata apa itu makna anak-anak berperangai cantik yang berkeringat. Anak-anak proletar yang sedang mekar.
“Ya, buku ini memang bacaan untuk orang yang sudah besar. Sudah besar dan mau terus belajar. Yang perlu kalian ingat adalah nama penulis buku ini. Siapa?” Aku melihat gelagat tak menangkap, “Kakek Rosihan Anwar … coba bilang,” pintaku.
Sedikit canggung mereka menyebut nama yang asing di telinga mereka dan kuminta mengulangnya beberapa kali.
“Ingat-ingat yaah, Kakek Rosihan pernah berpesan. Menurut hemat beliau, Republik
Mengertikah mereka? Batinku berdegup.
“Kakek Rosihan juga berpesan, layak bila Departemen Dalam
Kukatakan kemudian bahwa dari pesan Kakek Rosihan bisa kita pastikan bahwa memahami sejarah adalah niscaya untuk tak mengulang kenistaan dan mengembangkan kebaikan yang dimaksudkan. Jelas, tugas pejabat negara di negeri ini adalah mengurusi urusan publik. Bukan pemilik aset publik.
“
Mereka menggelengkan kepala, “suatu saat di antara kalian akan bisa, kalau mau belajar. Datanglah ke negeri Belanda, bukan hanya untuk berfoto di kanal-kanal sungai
“Kakek Rosihan sudah pernah ke Belanda?” tanya salah satu gadis berkepang dua.
“Yah pernah, kalian juga nanti akan ke
“Sekarang dia di mana?”
“Beliau sekarang sudah tentram tinggal di Kalibata.”
“Kapan-kapan kita ketemu Kakek Rosihan ya?”
“Nanti kalau kalian besar, temui beliau. Dan sekarang kalian boleh ambil coklat satu-satu. Tidak boleh dimakan di jalan. Nanti kalau sudah sampai rumah, baju merah putih diganti untuk dicuci. Ganti baju rumah yang bersih. Cuci kaki dan tangan, makan siang dulu dan setelah itu coklatnya baru boleh dimaem. Setuju?”
Mereka termangu-mangu memandangi isi tasku.
“Setuju atau tidak?” tanyaku sekali lagi dengan nada serupa.
Langit tiba-tiba suram. Anak-anak berduyun-duyun turun dari bukit dan aku menjejak tanah lalu terbang tak turun-turun.
“Lhoo, wong iku mau nangdi?” tanya salah satu dari mereka menoleh dan tak melihat apa-apa di
Mereka kian gegas dan kian erat memegang coklat masing-masing. Hujan dari langit seperti peluh keringat paling pekat mulai turun ke bumi.
Aku tergeragap dan cucian! Aku segera lari ke teras belakang membereskan cucian. Dadaku berdebar-debar. Kaget sekali. Setelah melipati cucian aku kembali ke kamar memastikan apa yang barusan kualami sekedar mimpi. Ah mimpi.
Lalu kubuka tas mencari buku yang barusan kubeli di pasar loak karya Pak Rosihan Anwar.
Batu-Turen, 15 April 2011
bagus eyang parto ceritanya..