Karya Kirana Kejora
Di Surabaya, di Royal Plaza Lantai 3, dibuka Perpustakaan DBUKU bibliopolis. Direkturnya seorang perempuan muda: Diana AV Sasa. Saya menerima undangan pembukaannya atau peresmiannya. Dalam undangan ditulis: Hari Rabu, 22 Desember 2010, jam 13.00-17.00. Acaranya Pameran Foto ”Perempuan & Buku” 22-28 Des. 2010: 10.00-21.00 WIB. Bedah buku “Bintang Anak Tuhan” karya Kirana Kejora. Pembahas: Silvia Kurnia Dewi (KPPD), moderator: Nisa Amalia (ESOK). Menampilkan: Tari Puisi By: Vicky Burki Feat Nawi dè Santos, Musik Akustik by CACAK, Musikkalisasi Puisi By: Gita Pratama, Pembacaan puisi oleh Aming Aminoedhin (penggagas dan penyelenggara MALSASA = Malam Sastra Surabaya), Rara (deklamatris terbaik MALSASA Surabaya 2009) dan Zoya (novelis/penyair wanita senior Surabaya). Diresmikan Oleh Walikota Surabaya Tri Rismaharini.
Hari itu, Rabu tanggal 22 Desember 2010, Hari Ibu, saya juga mendapat undangan rapat Panitia Pra-Kongres Bahasa Jawa V di Sekretariat Daerah Propinsi Jawa Timur Jalan Pahlawan jam 10.00 WIB sampai selesai. Acara rapat: peresmian anggota panitia Kongres Bahasa Jawa 2011. Saya perkirakan waktunya singkat saja. Jadi saya bisa dari rapat di Jalan Pahlawan langsung ke Royal Plaza (Wonokromo). Karena toh akan menghadiri undangan DBUKU bibliopolis, maka saya berangkat rapat bawa buku-buku yang akan saya berikan ke DBUKU, (antara lain Kremil, buku setebal 872 halaman, Desain Cover Harry Wahyu “Si Ong”, Lukisan cover Joko Pekik “Putih Di Kegelapan, 1999”, photo cover Mijil Pakuril, Tata Letak: Dwi Agus M Cetakan I Juni 2002 oleh Penerbit Pustaka Pelajar, celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167. Buku KREMIL yang saya punya tinggal tiga jilid saja).
Betul juga. Saya datang rapat Pra-KBJ V agak terlambat, tetapi lebih banyak lagi yang lebih terlambat. Karena ada demonstrasi besar-besaran di depan Kantor Gubernur Tugu Pahlawan yang memacetkan beberapa ruas jalan di sekitarnya. Rapat ditutup jam 12.15, saya segera melepaskan diri dari kerumunan demonstran, lewat Jalan Kramatgantung sepi lalu-lintas, berjalan sampai Gemblongan baru dapat taksi. Taksi sampai di Pasar Wonokromo hujan lebat, masuk ke Royal Plaza jam 13.00.
Terus terang, saya belum pernah masuk mall Royal Plaza. Untuk menuju lantai 3, saya banyak lihat petunjuk-petunjuk jalan. Meski begitu menempuh jalan, lantai dan ruang yang salah juga. Sudah sampai lantai tiga, ruangan sangat luas, meskipun masih banyak kios atau toko yang tutup (belum ada penyewanya) tapi pengunjung cukup ramai. Anak-anak sekolah (dilihat dari seragamnya) banyak “berkeliaran” di sana, riuh santai makan-makan di meja-meja depan kios kuliner, main BB untuk ngomong dan foto-fotoan. Saya terlalu kikuk menjelajahi lantai 3, mereka (para pengunjung plaza) terlalu biasa karena di situlah dunianya.
Saya mencari tempat acara DBUKU bibliopolis diresmikan tidak ketemu. Tanya sama satpam, baca undangannya, juga tidak tahu. Pak satpam tanya dulu ke pusat informasi, baru saya dituntun ke tempat yang dimaksud dalam undangan. Yaitu Lt.3 M2-06-08. Saya sampai di tempat undangan, masih sangat sepi. Saya mendaftar sebagai tamu yang pertama. Meski terlihat banyak panitia yang bekerja (ada juga yang berseragam Telkom) tapi tidak ada yang saya kenal. Saya duduk di deretan kursi paling belakang dari panggung acara. Kursi-kursi masih kosong melompong.
Penegur pertama saya adalah Diana Amaliyah Verawati Ningsih, atau yang lebih populer disebut Diana AV Sasa. Dialah Direktris DBUKU Bibliopolis, yang punya gawe acara pembukaan peresmian DBUKU Bibliopolis di Royal Plaza Surabaya. Setelah berbicara sejenak dan memperkenalkan saya dengan tamu dari Tegal, seorang penulis muda, Diana pun pergi sibuk mengurusi lain-lain. Karena terlalu lama menunggu, dan pembukaan acara kelihatannya menunggu banyaknya hadirin, maka saya pergi kencing dan cari makan dulu.
Ketika kembali ke tempat acara, kursi-kursi sudah cukup banyak ditempati hadirin, dan acara pun dimulai. Masuk ke tempat acara, saya langsung bertemu dengan Lang Fang (novelis perempuan Surabaya yang bukunya banyak diterbitkan oleh PT Gramedia Jakarta). Dan Lang Fang mengajak saya duduk agak ke tengah sisi kiri dari panggung, berkumpul dengan Mas Arief Santoso Redaktur Budaya Jawa Pos, dan Mbak Wina. Selain orang lalu-lalang di Plaza ramai, pengeras suaranya sering kurang berfungsi sehingga saya tidak bisa berkonsentrasi menonton acaranya maupun kurang nyaman bicara dengan orang-orang sekitar. Dari kejauhan saya melihat dan memberi tegur sapa lambaian tangan dengan para teman yang mengenal saya. Ternyata banyak juga teman yang hadir, misalnya: Mas Rudy Isbandi dengan isteri, Zoya, Pak Budi Darma.
Acara berlangsung terus. Musik Akustik, tarian puisi oleh Vicky Burky Feat Nawi dè Santos, sambutan-sambutan dari berbagai tokoh sastra, misalnya Pak Budi Darma. Saya ditunjuk oleh pemandu acara untuk memberi sambutan saya tolak. Saya tidak punya bayangan apa-apa dalam bedah buku ini. Selain ingin memenuhi undangan, saya hanya ingin menyaksikan, menonton dan mendengarkannya. Isi acaranya bagi saya waktu itu masih kabur. Apalagi pengeras suaranya sering tidak berfungsi, misalnya sambutan Pak Budi Darmo, sama sekali tidak terdengar. Percuma saja bicara untuk menyambut. Ditilik dari undangan saya tahu bahwa di situ nanti selain bedah buku, mesti ada semacam perpustakaan, maka sudah saya bawakan beberapa buku saya yang akan saya sumbangkan ke situ. Tapi melihat panggungnya yang hingar-bingar (memang cocok untuk acara bedah buku dan pembukaan perpustakaan), tapi ruang peragaan buku-bukunya tidak tampak. Saya agak kecewa.
Betapa pun karena berisik dan kurang nyamannya menonton acara ini, namun tarian puisi Vicky Burki menarik perhatian saya. Saya mengenal wajah Vicky Burki semula muncul di layar TV sebagai instruktur senam. Lalu sering muncul juga menjadi pemain sinetron tokoh antagonis. Menonton di layar TV wajahnya sangat jelas terlihat. Tapi di acara bedah buku yang sekarang, duduk saya cukup jauh dari panggung, wajah Vicky terlihat buram dari pandangan mata saya, yang tampak jelas hanya gerakan tariannya. Amat bagus. Dari pandang mata saya yang buram, saya jadi tanya-tanya, ini apa benar Vicky Burki yang saya lihat di layar TV, atau familinya yang lebih muda. Dari gerakannya yang lentur, penari itu tentulah jauh lebih muda daripada Vicky Burki yang saya lihat di TV. Dan saya juga masih sangsi, apakah orang seterkenal seperti Vicky Burki mau menari di acara bedah buku dan datang ke Royal Plaza Surabaya yang hiruk-pikuk seperti ini? Kesangsian saya berdasarkan kesadaran bahwa masyarakat (baca) buku adalah masyarakat yang sulit ditonton dan didengar. Penggemar baca buku saling berkenalan dengan penggemar lain lewat baca bukunya, dan membaca buku tadi tidak saling melihat wajah/tubuhnya dan mendengarkan suaranya. Sedangkan pertunjukan tari, memang dunia kenikmatan dari menonton (melihat) dan musiknya kenikmatan mendengarkan. Ternyata dia memang Vicky Burki yang saya lihat wajahnya di TV. Dan kemudian malah dia ikut berkomentar tentang buku BINTANG ANAK TUHAN yang dibedah hari itu, serta tentang pengarangnya KIRANA KEJORA. Vicky Burki datang menari puisi sebagai penari, juga sebagai pembaca buku sastera. Luar biasa. Baik Vicky Burki maupun Kirana Kejora, mereka berdua bisa menghidangkan kebesaran kekaryaan bidang masing-masing dalam keperpaduan acara bersama, saling menghormati.
Saya memang sama sekali buta mengenai buku yang dibedah (belum pernah dengar nama judul maupun pengarangnya). Dan baru tahu setelah diberi lembar catatan oleh panitia. Berikut saya kutipkan lembar yang saya dapat.
BINTANG ANAK TUHAN (BAT), judul yang banyak mengandung tanya. Kirana Kejora berani menulis, berani bertanggung jawab atas semua tulisannya. BAT buku ke 7-nya, menawarkan spirit secara penuh. Penulis independent ini konsisten dengan pilihannya: Menggugah, menggugat, mengubah keadaan bangsa yang makin tak jelas dan tak cerah ini dengan caranya. Berbuat nyata dan ada.
Sarjana Cumlaude Perikanan dari Univ. Brawijaya (Malang) ini memang beda dengan novelis perempuan lain. Yang ia tulis sangat realis dan berani bicara. Karyanya selalu bicara drama humanis sosial budaya bangsa Indonesia. Ia berpihak pada kebenaran yang ia dengar, lihat dan rasa selama ini. Sastra dan HIV baginya sama, sama-sama terpinggirkan dalam pemberitaan media. Kurang menarik untuk diburu dan ditulis beritanya.
Kirana Kejora tahun lalu diundang Dewan Bahasa Pustaka Malaysia sebagai pembicara di Seminar Wajah Kepengarangan Muslimah Nusantara, menjadikan novel BAT sebagai sebuah paduan protesnya pada keadaan. Bangsa ini dianggapnya banyak dihuni pengeluh dan pemalas. Tanpa daya orang memahami cobaan hidup dari-NYA. BAT bicara tentang kekuatan seorang gadis kecil, Bintang Maharani dengan ibunya, Hanum Pratiwi melawan penyakit yang mematikan. Mereka masuk laskar ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), Virus yang menghuni dalam darah mereka begitu ganas, bahkan mematikan, namun virus hukuman, hujatan, caci maki sebagian masyarakat terhadap mereka, ganasnya melebihi virus HIV itu sendiri. Kirana mencoba mengubah paradigma miring, bahwa ODHA bukanlah momok mengerikan, mayat berjalan yang hak-hak hidupnya dihilangkan.
BAT, sebuah novel inspiring, penuh energi-NYA. Bintang Maharani, seorang gadis kecil yang sangat cerdas dan memiliki daya imajinasi tinggi. Hari-hari sepi yang dilaluinya karena ia harus home schooling, diisinya sendiri dengan sosok-sosok imajiner. Boneka-boneka Barbie-nya dan kepompong atau kupu-kupu, dunia imaji yang ia cipta sendiri. Ia sering menulis surat kepada siapapun yang ia anggap ada, meski surat-surat itu tak pernah terkirim. Dan Buku Harian adalah teman terbaiknya ketika ia harus bicara, mengeluarkan semua imajinasi tingginya untuk mengusir, membunuh hari-hari senyap dan sepinya.
KIRANA KEJORA merasa besar karena dukungan banyak sahabat, para kejora yang didapatkannya di mana-mana selama dalam perjalanan, pengembaraan karyanya. Launcing novel Bintang Anak TUHAN, yang bertempat di gedung sunyi Pusat Dokumentasi HB Jassin mendapat tanggapan gegap gempita oleh para orang-orang tersohor masa kini.
Oppie Andaresta (penyanyi & pencipta Lagu):
Lihatlah, dari perempuan ceking ini keluar kata-kata sehat gemuk bertenaga, kadang bikin saya berhenti membaca, menyimpannya di otak dan membawanya di hati, memaknainya bikin saya merinding. Membaca novel ini seperti menonton musik. Ada blues yang indah dan menyakitkan, lalu berubah rock yang meledak liar. Kemudian dia memainkan musik pop romantis yang manis dan tragis, dangdut yang seksi tapi satir, atau musik klasik yang megah dan sombong. Kirana Kejora, satu perempuan merangkap produser, pencipta lagu, musisi dan sekaligus biduan sedang memainkan ode tentang ODHA . Kamu hebat!
Cornelia Agatha (Artis, Pecinta Teater & Sastra):
Ini bukan cerita biasa dari orang-orang yang luar biasa, baik tokoh-tokoh dalam cerita maupun penulisnya. Membuktikan bahwa sastra bisa menyuarakan kemanusiaan dengan sangat menyentuh dan tulus.
Datok Dr. Ahmad Kemala (Sasterawan, Sarjana Tamu Univ. Putra Malaysia, Pemenang SEA Award 1986)
Ucap selamat Kirana karena terus menerus kreatif. Saya pasti Kirana Kejora akan membuat kejutan baru. Kejutan yang tak boleh dinafikan walaupun pesaing-pesaingnya memandang sepi. Kreativiti yang jujur mengabsahkan posisi sasterawati seperti Kirana yang sensitif kepada gerak yang insani dan manusiawi. Saya membaca secara rapih novel ini. Selamat.
Abd. Naddin Shaiddin (Penulis, Ketua Dua Ikatan Penulis Sabah IPS, Wartawan Harian Utusan Borneo, Sabah, Malaysia):
Saya fikir ini novel pertama yang bercerita mengenai kanak-kanak penderita Aids. Kirana Kejora, dengan bahasanya yang lincah memukau menuliskan sebuah kisah dari kacamata kanak-kanak penderita Aids yang hampir tidak pernah disentuh oleh pengarang yang lain. Keprihatinan penulis terhadap kisah pedih luka dua manusia dan memotretnya dalam sebuah karya sastera layak diacungi jempol.
Izel Muhammad (Sie Seni & Budaya Persatuan Pelajar Indonesia Yaman 10-11):
BINTANG ANAK TUHAN sangat berani, menentang! Inilah kehebatan Kirana Kejora. Menggiring pembaca pada tanya & ranah kontroversial. Bagi yang belum membaca dan menelusuri maknanya pasti akan bilang SESAT! Masa TUHAN mempunyai anak (?). Namun “husnuddzan” saya kata “anak” merupakan serapan dari “Anugerah”. Menjadi juara, pemenang pertandingan, adalah mimpi kita sebagai pemainNYA yang memilih hidup menjadi pilihan. Bukan mati menyerah pada keadaan. Novel ini tamparan keras bagi kita tentang arti keikhlasan! Sufistik banget!!! Ini baru, Qur’any...!! I like it!
Nury Arfy (Chef Executif, Pecinta Buku, Jepang):
Tergugah dengan novel ini, karena SEORANG GADIS KECIL yang melawan, bagaimana masa depannya, sedangkan ia harus merasakan kepedihan hidup. Super inspiration, yaitu inspiration hidup yang mempengaruhi dan membuat orang tidak akan merasa takut akan menghadapi kenyataan di depannya, segala macam kendala, harus dihadapi dengan jiwa besar.
Muntanah Cendani (Pecinta Sastra, Teater Angin, BMI Hongkong):
Kejora yang sangat INSPIRATIF DAN MENGGUGAH! Hatiku seketika gerimis membaca surat Bintang di dalam novel ini. Kepasrahan akan takdir ILAHI adalah bentuk keikhlasan demi meraih ridho ALLAH SWT. Keteguhan dan keyakinan diri tak membiarkan airmata tumpah sia-sia karena cintaNYA telah memilihnya menjadi pemain terbaikNYA. Dan ALLAH tahu dia mampu! Semoga menjadi pembelajaran bagi siapapun yang membaca buku ini.
Wawan Prahara (Performer, Teater Director, Actor, Percusionist, Dancer & Didgeridoo Player, Aussie):
Sebuah cerita yang berbobot yang menyentuh hati nurani dan langsung kita bisa membayangkan terjadinya peristiwa peristiwa itu di dalam reality hidup kita. Kirana bisa membuat diri kita tersangkut di dalamnya, sebuah cerita yang tidak hanya cerita tapi sebuah ungkapan kehidupan.
Priotniel Amir (Fotografer, Pecinta Novel, USA):
“refreshing and encouraging...” Sebuah missi mulia dari guratan pena seorang Kirana Kejora. Sebagai penulis independent, pemilih jalan sunyi, adalah tugas dia untuk menyajikan sebuah kenyataan, sepahit apapun itu.
Begitulah beberapa catatan orang-orang tersohor yang saya baca dari lembaran kertas yang dibagi di acara itu.
Selanjutnya sampai jugalah acara bedah bukunya. Kirana Kejora ada di sana, didampingi oleh Pembahas dan Moderator, semuanya perempuan. Juga ada pembahas seorang lagi, laki-laki, yaitu penulis dari Tegal yang tadi diperkenalkan dengan saya.
Dalam tanya jawab berikutnya dengan hadirin, sangat jelas Kirana memposisikan dirinya sebagai orang yang sukses menulis buku dalam pengembaraannya ketika di Pusat Dokumentasi HB Jassin (Taman Ismail Marzuki Jakarta). Semula pengembaraan dimulai dari Jawa Timur, termasuk Ngawi (asal kelahirannya), Malang (pendidikan tingginya) dan Surabaya, tapi kelihatannya kurang mendapatkan inspirasi kreatif/innovatif, jadi di luar asalnya itulah ia merasa sukses. Dari pusat dokumentasi HB Jassin, dapat undangan ke Medan, Malaysia dan lain-lain, untuk menyemarakkan buku karyanya dan kegigihan dirinya. Dan sekaranglah dia kembali ke Surabaya dengan sukses yang diraih di luar “tanahairnya” Jawa Timur. Gadis cilik Kejora tertarik seni sastera sejak kecil, terpesona melihat Aming Aminudhin bermain drama serta baca puisi, ketika lelaki penggagas Malsasa Surabaya itu sedang berlatih di kotanya Ngawi sebelum menempuh kuliahnya di Sebelas Maret Solo. Kini, diakui maupun tidak, baik si pengagum maupun yang dikagumi, sama-sama mengibarkan bendera sastera dari Ngawi untuk Indonesia, bahkan Asia Tenggara.
Ketika publik ada yang menanyakan soal mengapa lebih suka menulis tentang kepincangan sosial dari penderitaan HIV, mengapa tidak memilih tema dari segi politik misalnya, Kirana menjawab dengan tegas (dalam menjawab pertanyaan publik Kirana selalu bicara lantang berapi-api untuk menegaskan pendiriannya), ia ingin independent murni, ingin berjuang untuk perikemanusiaan, tetapi dengan kekuatannya sendiri, dengan kiat yang dipunyainya sendiri. Yaitu bidang penulisan sastra. Ia tidak berjuang di bidang politik, sebab ia memang bukan orang politik. Tidak ingin jadi anggota DPR atau Bupati, tetapi tetap memberi dukungan penguatan sosial masyarakat negeri ini. Seseorang bisa berjasa menjadikan masyarakat negerinya makmur damai sejahtera tidak harus berjuang di ranah politik, melainkan bekerja dengan keras di bidang bakat dan kekuatan masing-masing. Kirana Kejora di bidang penulisan buku.
Hugeng, pelukis dari Sidoarjo, sedikit protes, mengapa Kirana menganggap berkarya di Surabaya Jawa Timur tidak sukses. Apakah karena Surabaya kurang memberikan nuansa seni dan sastera? Menurut pengamatan Hugeng, Surabaya maupun Malang juga sudah memberikan sasterawan kreatif/inovatif yang cukup hebat untuk Indonesia. Menjawab tentang itu, Kirana berjanji akan pulang ke “tanahair” Jawa Timur/Surabaya sebagai tempat berkarya, setelah sukses atau mencipta karya-karya monumental di luar Jawa Timur..
Setelah diskusi selesai, maka acara diteruskan dengan pemberian “bingkisan” oleh-oleh buku yang “dititipkan” pada Kirana untuk Perpustakaan DBUKU bibliopolis. Bingkisan tadi antara lain dari Malaysia, Brunai dan lain-lain.
Sebenarnya di tas saya juga sudah tersedia beberapa buku karangan saya yang akan saya sumbangkan untuk Perpustakaan DBUKU bibliopolis Royal Plaza, sudah saya siapkan sejak berangkat dari rumah menghadiri rapat Panitia Pra-Kongres Bahasa Jawa ke-V di Lantai 5 Kantor Gubernur Jatim. Tetapi karena acara pemberian “bingkisan” itu berlangsung begitu cepat, saya belum beranjak dari tempat duduk sudah selesai.
Diana AV Sasa setelah menerima “bingkisan” buku, segera meninggalkan mimbar, membawa “bingkisan”-nya ke ruangan di belakang kursi hadirin (berseberangan dengan mimbar panggung acara). Sudah terlanjur berdiri tetapi acara sudah bubar, maka saya pun segera mengikuti Diana membawa “bingkisan” buku yang baru diterimanya tadi ke ruang di seberang mimbar panggung itu. Ternyata ruang itulah tempatnya Perpustakaan DBUKU bibliopolis. Ruangan itulah dipajang buku-buku yang bisa dipinjam dan dibaca. Ruang itulah tempat Pameran Foto “Perempuan & Buku” yang diselenggarakan tanggal 22-28 Desember 2010 (sejak hari itu), jam bukanya berbareng dengan Royal Plaza Surabaya, jam 10.00-21.00 WIB. Sungguh, selama berada berjam-jam untuk menghadiri acara peresmian Perpustakaan DBUKU bibliopolis di Royal Plaza Surabaya hari itu, mata saya selalu memandang ke mimbar atau tempat pegelaran. Sama sekali tidak menengok ke ruang yang tepat di belakang saya duduk. Saya duduk paling belakang dari deretan kursi, dan ruang Perpustakaan itu berada sekitar dua meter di belakang saya. Saya betul-betul tidak tahu, ruang perpustakaannya berada di belakang saya duduk.
Masuk ke ruangan itu mengikuti Diana AV Sasa, saya tercengang. Kok tidak mulai tadi saya diperkenalkan ruangan itu. Bersama diserahkannya “bingkisan” buku di situ, saya pun menyerahkan satu dari buku-buku di tasku kepada Diana AV Sasa. Yang saya ambil buku KREMIL. Diana dan saya pun dipotret. Diana menunjukkan buku KREMIL yang baru saya berikan kepadanya.
Acara di mimbar kelihatannya sudah mendekati rampung, saya bersama Mas Arief Santosa dan Mbak Wina minum-minum kopi sejenak di bagian utara lantai itu, menjauh dari tempat acara. Bergabung juga kemudian Mas Bonari Nabonenar yang datang ke acara terlambat. Akhir Januari rencananya Mbak Wina mau launching bukunya, saya diharapkan bisa menjadi pembicara pada launching buku itu. Insyaallah berjalan lancar.
Akhirnya kami berpisah, Mas Arief Santosa dengan mobil ATOZ-nya mengantar saya pulang.
Untuk menutup journal saya kali ini baik saya catatkan ihwal mengapa Diana AV Sasa membuka penyelenggaraan Perpustakaan DBUKU bibliopolis di Royal Plaza ini.
Dalam galaksi digital saat ini, membaca buku telah menjadi sebuah gaya hidup (lifestyle) bagi masyarakat urban, termasuk di Kota Surabaya. Dalam sejarahnya Kota Surabaya merupakan kota urban yang mempunyai jejak kuat pada aktivitas pergerakan yang dekat pada dunia buku serta membaca.
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Komunitas Peneleh pada masa HOS Tjokroaminoto atau kelompok pergerakan NIAS merupakan tempat persemaian budaya baca yang sangat kuat. Sejumlah tokoh dan bapak bangsa, seperti Soekarno, memulai jam terbang membacanya justru ketika terjun dalam pergerakan di Kota Surabaya. Oleh karena itu, semangat urban Kota Surabaya sesungguhnya adalah membebaskan pikiran melalui budaya membaca.
Warga Surabaya seharusnya bergerak mengembalikan tradisi kebudayaan kota melalui aktivitas membaca sebagai gaya hidup. Perubahan kesadaran masyarakat (people’s consciousness) perlu dilakukan secara sistematis, terstruktur dan massif, sehingga mampu menjadikan Surabaya dari sebuah kota yang hiruk-pikuk dengan melulu aktivitas shopping dan internet chatting di café, menjadi sebuah kota yang masyarakatnya memiliki kesadaran terhadap literasi, Bibliopolis.
Bibliopolis, Metropolis sebagai karakter dan Biblio(buku) sebagai semangat literasi kota menjadi dasar berdirinya dbuku.
Bergabunglah dengan DBUKU BIBLIOPOLIS Royal Plaza Surabaya, alamatnya:
DBUKU BIBLIOPOLIS Rintisan Balai Belajar Bersama TBM@mall Royal Plaza.
Perpustakaan: Royal Plaza Lt.3 M2-06-08, Surabaya 60231
Kantor: Karangrejo VI No. 5 Wonokromo, Surabaya 60231.
Telp: 08289 540 4641 (Kiky).
Email: dbuku.dbuku@gmail.com CC: perpustakaan@dbuku.com www.dbuku.com
0 comments to "BEDAH BUKU ‘BINTANG ANAK TUHAN’"