Pergulatan Raden Mas Suparto Brata, 78, untuk membumikan bahasa dan sastra Jawa tidak hanya dengan menulis buku dan menyosialisasikannya lewat internet. Di tengah ‘hampir punahnya’ bahasa dan sastra Jawa, sastrawan ini mendesak pemerintah turun tangan.
MUJIB ANWAR
SURABAYA
Raden Mas Suparto Brata, pun mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan, yakni memasukkan bahasa dan budaya Jawa sebagai bahan ajar muatan lokal di sekolah dan mempraktikkannya dalam laku kehidupan sehari-hari. Minimal saat mereka berada di lingkungan sekolahan.
Harapan Suparto tersebut bukan tanpa alasan. Sebentar lagi, Jawa Timur, dalam hal ini Surabaya, akan menjadi tuan rumah Kongres Bahasa Jawa (KBJ) V, Oktober 2011 nanti. Inilah untuk pertama kalinya event lima tahunan ini digelar di Jatim. Selain Jatim, pesertanya adalah provinsi yang selama ini berada di garda terdepan menjaga survive-nya bahasa dan sastra Jawa, yakni Jogjakarta dan Jawa Tengah.
Menurut Suparto, pentingnya upaya dan terobosan untuk menggeliatkan penggunaan bahasa Jawa, karena bahasa ibu orang Jawa ini sudah mulai ditinggalkan oleh generasi penerus. Dianggap kolot dan tidak gaul.
“Istilah saya, bahasa Jawa saat ini tidak ada maju-majunya,” tuturnya kepada Surya, yang pekan lalu menyambangi rumahnya di kawasan Rungkut Asri III/12 Surabaya.
Kondisi tersebut, kata Suparto, jika terus dibiarkan bisa membuat bahasa Jawa ‘tinggal nama’. Tidak bisa mewarnai laku hidup keseharian masyarakat Jawa yang mestinya berada di garda terdepan untuk melestarikannya hingga kapanpun.
Padahal sejak tahun 1980 atau tiga dasawarsa lalu, ketika menghadiri pertemuan di Sasonomulyo Solo, pengarang Arswendo Atmowiloto menyatakan bahwa sastra Jawa telah mati. Karena itulah, menghadiri sarasehan sastra Jawa, kata Arswendo, ibaratnya seperti melakukan ziarah.
“Untuk membuktikan bahwa pernyataan itu tidak benar. Semua pihak yang ingin bahasa dan sastra Jawa survive dan maju harus melakukan upaya untuk menjaganya,” tegasnya.
Suparto, satu di antara sedikit pengarang Indonesia yang namanya tercatat dalam buku Five Thousand Personalities of the World, Sixth Edition, 1998, terbitan American Biographical Institute, Inc 5126 ini, mengaku sangat menyayangkan mulai ditinggalkannya program Java Day yang dicanangkan Pemkot Surabaya sejak 2008 lalu.
Program wajib untuk melestarikan bahasa Jawa di lingkungan sekolah setiap hari Senin ini hanya jalan di tempat, bahkan bisa dikatakan tidak berjalan. Banyak sekolah yang meninggalkan program ini, mulai dari tingkat SD sampai SMA. Padahal melalui program itu, Dinas Pendidikan ingin menumbuhkan sikap unggah-ungguh dan sopan-santun pada siswa yang mulai luntur. Sebab, berbicara dengan bahasa Jawa ngoko apalagi krama harus melihat dan menyesuaikan dengan lawan bicara.
Untuk itu, bapak empat anak dan delapan cucu ini yang pernah mendapat penghargaan Gubernur Jatim sebagai pelestari bahasa dan sastra Jawa ini ingin program Java Day menjadi pembahasan serius dalam KBJ V di Surabaya nanti. Semua kendala harus diurai dan dicarikan solusinya. “Ini penting agar Java Day gemilang lagi dan masyarakat makin mencintai budaya dan bahasa Jawa,” tegas Suparto.
Harapan pengarang sepuh yang menjadi penjaga gawang sastra Jawa itu ada benarnya. Keputusan dan rekomendasi yang dicapai dalam KBJ IV di Jawa Tengah 2006 lalu, ternyata belum dapat direalisasikan alias sebatas jadi macan kertas saja.
Padahal, sejumlah keputusan, misalnya di bidang pendidikan formal, dibuat rekomendasi tentang muatan lokal wajib bahasa Jawa di SLTA. Tapi, hingga kini belum sepenuhnya ditindak-lanjuti. Demikian juga dengan rekomendasi pengadaan buku ajar bahasa Jawa, bidang pendidikan informal, dan kearifan lokal juga kurang terdengar gema realisasinya di lapangan. n
Diambil dari Surya Online
0 comments to "desak Java Day Dijadikan Isu Serius dalam KBJ V"