EDITORIAL:
Beberapa hari yang lalu saya memenuhi undangan J.F.X Hoery (penyair sastra Jawa) yang kini menetap di Padangan (Bojonegoro) untuk mengikuti acara Kemah Budaya Jawa 2009. Acara diselenggarakan selama 3 hari, tanggal 27 s/d 29 Oktober 2009 mengambil tempat di Taman Tata Wana, Dander, Bojonegoro
Kendati acara diselenggarakan di bawah kemah (yang kalau siang hari panasnya bukan main, dan kalau malam hari jenes dan dingin karena diguyur hujan yang cukup lebat), saya cukup senang mengikuti acara tersebut. Sebagimana yang sudah-sudah, acara diisi dengan sarasehan-sarasehan,. Hebohnya, panitia masih menjamu peserta kemah dengan beberapa pagelaran seni: cokekan, oklik, athiririt, wayang tobos dan wayang thengul. Spektakuler, memang.
Namun yang membuat saya terkesan, adalah pertemuan dengan beberapa sastrawan Jawa modern yang menurut saya masih menunjukkan semangat berjuang menegakkan panji-panji sastra Jawa di tengah serbuan budaya pop (audio visual) yang terus menerus menggerus budayaa baca tulis. Mereka bertemu, saling menyapa, berbincang membicarakan sastra Jawa (yang tetap berjalan di tempat). Ada yang mengeluh, putus asa dan akhirnya mencoba survival dengan beralih ke sastra Indonesia. Namun ruh mereka tetap. Mereka tetap pejuang sastra Jawa yang militan.
Salah seorang pejuang sastra Jawa itu adalah Suparto Brata. Sudah sepuh memang. Namun energi kepenulisannya tiada tara. Saya sudah cukup lama mengenal suparto Brata. beberapa kali berbincang deengan pengarang sepuh itu. Namun perbincangan paling mengesankan baru terjadi di Bojonegoro kali ini. saya benar-benar kagum dengan semangat beliau dalam menulis. Tiada hari tanpa menulis. Konon beliau menetapkan harus menulis sebanyak 8 halaman setiap hari. Kalau satu hari tidak dapat melakukan maka ia harus membayarnya di lain waktu.
Apa sih yang membuat Pak Parto demikian dahsyat nguri-uri semangat menulis, tanya saya. Menurut beliau, kalau orang mau disebut modern, maka ia harus mau meninggalkan tradisi omong dan jagongan. Itu tradisi kuno. Tradisi bangsa primitif. Bangsa modern sudah tidak membiasakan diri dengan budaya omong-omong dan jagongan. Bangsa modern harus membiasakan diri deengan budaya membaca dan menulis. Semua profesi membutuhkan tulisan. Seorang sarjana, mahasiswa, dosen, semua harus menulis untuk menunjukkan profesi mereka, katanya dengan senyum.
Sudah barang tentu saya tidak menyindir kawan-kawan di Fakultas Sastra dan Seni Rupa. Mungkin kata-kata Suparto Brata itu betul. Kita memang ditakdirkan sebagai seorang dosen. Menjadi agak bermasalah kalau sebagai seorang dosen sudah tidak suka menulis atau tidak bisa menulis. Menjadi sangat bermasalah kalau seorang dosen hanya suka omong dan jagongan ke mana-mana. Sarasehan memang sebuah omong-omong dan jagongan, namun sarasehan merupakan sebuah iplementasi dari kebiasaan membaca dan menulis sebelumnya. Kalau waktu habis hanya dipakai untuk omong dan jagongan, kata-kata Suparto Brata mungkin benar. Kita adalah orang primitif. Orang yang tidak suka menulis, dan tidak bisa menulis.
Salam.
Wiranta.
Dikutip dari MAJALAH ILMIAH HALUAN SASTYRA BUDAYA no. 55 Th. XXVII Nopember 2009.
diterbitkan Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret.
Home » Sarasehan » PENGARANG ITU BERNAMA SUPARTO BRATA.
PENGARANG ITU BERNAMA SUPARTO BRATA.
Posted by Admin on 21.1.10 // 0 comments
0 comments to "PENGARANG ITU BERNAMA SUPARTO BRATA."