Kalangan seniman lebih mengenalnya dengan akronim BS meski mereka juga tahu nama lengkapnya, Bambang Sujiyono. Akronim ini bukan karena latah sejak Susilo Bambang Yudhoyono disingkat SBY, namun jauh sebelum ‘SBY’ muncul. BS dikenal sebagai sosok yang lebih suka berada di belakang layar. Dalam berbagai aktivitas kesenian maupun kelembagaan kesenian di Jawa Timur, nama BS ada di belakangnya. Karena itu, wajar ketika berita BS meninggal dunia Jumat malam (18-12-09), masih banyak juga yang bertanya, “BS itu siapa??”
Pertanyaan itu pula yang muncul dari kalangan staf dan perawat Graha Amerta RSUD dr Soetomo yang merasa heran ketika sejumlah pejabat tinggi termasuk (waktu itu) Gubernur Imam Utomo menjenguk BS yang opname di situ. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa dalam beberapa bulan terakhir, pendiri Bengkel Muda Surabaya (BMS) itu keluar masuk rumah sakit, hingga akhirnya hanya “menghabiskan sisa hidupnya” di ranjang di rumahnya, Jl. Garuda 25 Rewwin, Waru, Sidoarjo.
Menurut keterangan keluarga, dokter sudah “menyerah” menangani kanker pankreas yang diderita mantan anggota DPRD Jatim (1997-1999) itu. Dan itu berarti, penyakit ikutan pasti menyerang bagian-bagian tubuh BS. Pankreas yang rusak, pasti tak bisa menghasilkan insulin yang sangat dibutuhkan untuk menetralkan gula dalam darah. Jika sudah demikian, dampak ikutannya, kadar gulanya pasti tinggi dan akan berakibat menyerang ginjal, saraf, hingga jantung. Itu sebabnya, dokter menyerah karena hanya mukjizat Allah yang mampu menolongnya. Dan, Allah memilih tepat pukul 18.30, 1 Muharam 1431 H, memanggil BS menghadap ke hadirat-Nya.
BS memang tak pernah menjadi ketua BMS, DKS (Dewan Kesenian Surabaya) maupun DK Jatim, kecuali sebagai ketua Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah Jatim. Namun, dia lebih bangga mengatakan bahwa semua kepengurusan lembaga-lembaga tersebut selalu menurut skenario yang dimainkannya. Kecuali, ketika DK Jatim lahir pada 1998, BS sedikit “kecolongan”, karena tak ikut menentukan ketuanya.
Ketinggalan langkah ini segera disusul dengan gagasan cerdasnya membentuk Tim Penghargaan Seniman Jatim, yang kebetulan mengajak saya sebagai sekretarisnya. Atas jasa dan dedikasi serta perjuangannya yang tak kenal lelah tim ini mampu membuat gubernur Jatim harus memberikan penghargaan kepada para seniman secara rutin setiap tahun, sejak 1998 hingga 2009. Lebih-lebih di samping penghargaan, diberikan tali asih bagi ratusan seniman yang biasanya diberikan menjelang Lebaran.
Lelaki kelahiran Ponorogo, 13 Februari 1948, ini memang mencoba memadukan kesenian dan politik dalam aktivitasnya. KARENA POLITIKLAH, KESENIAN DAPAT DIPERJUANGKAN SEBAGAIMANA MESTINYA. Dan, karena kesenianlah, politik menjadi santun dan dia berusaha menjadi politikus yang berhati nurani. Aktivitasnya di lingkungan DPW PPP Jatim dan PW Muhammadiyah Jatim, serta kedekatannya dengan kalangan pejabat tinggi di provinsi ini, sedikit banyak ikut membuat kesenian mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Apalagi, salah satu pendiri FKPPI Jatim ini pernah menjadi sekretaris pribadi Ketua DPRD Jatim (waktu itu) Blegoh Sumarto.
Harian Republika dan Kalam pernah menobatkannya dalam deretan “Wong Jawa Timur Berpengaruh” (2005) dalam buku yang dimulai dari penulisan sosok Imam Utomo, dan BS di bagian paling akhir (sebagai bentuk kerendah-hatian).
Pada 1972 adalah titik tolak perjuangannya dalam kesenian dan juga politik. Ketika itu harga beras melonjak dan rakyat antre untuk membelinya. Putra purnawirawan tentara ini mengerahkan ratusan seniman dari komunitas BMS untuk berunjuk rasa dalam “Pawai Solidaritas Keprihatinan Seniman Muda Surabaya”. Ternyata, langkah ini kurang disukai pengurus DKS, karena waktu itu BMS memang menjadi bagian dari DKS.
BS segera mengambil langkah strategis. Bengkel Muda Surabaya segera memisahkan diri dari DKS dan menjadi organisasi pemuda dan kesenian, yang didirikan pada 20 Desember 1972 (hari ini 37 tahun). Dalam perjalanan BMS memang tak bisa lepas dari (kendali) BS. Memang, tanpa BS, BMS hanya akan tinggal (huruf) M. Itu anekdot sekaligus realitas.
Bersama BS, BMS bukan sekadar organisasi kesenian biasa. Dalam posisinya yang selalu menyebutnya sendiri sebagai “sesepuh BMS”, juara lomba deklamasi se-Jatim pada 1972 ini ibarat kepala suku yang sanggup menggerakkan berbagai unjuk rasa demi membela rakyat kecil yang selalu tertindas. Meski pernah ditahan setahun (1972) karena demo tersebut, bersama kalangan mahasiswa BS aktif dalam aksi menentang pembangunan TMII (Taman Mini Indonesia Indah), aksi Malari (1974), unjuk rasa koreksi nasional (1977), dan kpada 1984 BS sempat ditahan lagi karena dituduh mendukung Amir Bikki.
Muatan idealisme yang kental itu pula hingga BS bersama BMS menggarap lakon Adu Domba, adaptasi naskah Noah Chomsky, yang intinya mencela kebengisan negara adidaya terhadap anak-anak yang teraniaya, perempuan, dan kaum tertindas di Chechnya, Pakistan, Afghanistan, Iraq, Bangladesh, Bosnia, dan Indonesia.
Aktivitasnya sebagai demonstran jalanan sebetulnya dimulai sejak menjadi siswa SMAN 3 Surabaya dan bergiat di Pelajar Islam
Mantan juara judo kelas ringan tingkat mahasiswa (1970) ini pernah kuliah di UPN Veteran Surabaya dan Akademi Bank Indonesia Jogjakarta, aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), sempat menjadi PNS ~ hanya beberapa bulan di Dispenda (1981) ~, mendirikan Dewan Maritim Jatim (dan sempat menjadi pemimpin redaksi tabloid Indo Maritim), penasihat ahli Bappeprov Jatim, dan lebih banyak sebagai man behind the screen, termasuk motor tim sukses Gubernur Jatim Soekarwo.
BS kini sudah tiada. Sejak sakit, dia berpesan agar tidak memberi tahu banyak orang. Dia tidak ingin orang lain repot karenanya. Maka, di kalangan seniman
Ketika seminggu lalu saya membesuk di rumahnya, saya tak sampai hati melihatnya. Kondisi tubuhnya nyaris hanya tinggal tulang dan kulit. Wajahnya sangat cekung. Terlihat seperti tak ada batas antara tidur dan jaga. Setiap saat seperti orang mendengkur, mulutnya selalu agak terbuka. Tapi, tidak lagi bisa berbicara, meski mungkin masih bisa mendengar percakapan.
Dengan harapan semoga tidak disalahkan, saya putuskan menuliskan berita sakitnya BS di blog brangwetan.wordpress, meski saya “tidak berani” mengabarkan via Facebook, karena pesan “jangan ramai-ramai” tadi. Saya hanya ingin orang yang membaca berita itu ikut mendoakan BS. Sembuhlah kalau memang bisa sembuh, dan semoga Allah memberinya jalan terbaik kalau harus memanggilnya.
BS akhirnya pergi dengan tenang. Wajahnya bersih. Dari mulutnya terucap lafas
*) Henri Nurcahyo, praktisi budaya,
Salah seorang sahabat BS.
Dikutip dari
Ruang Putih, Jawa Pos Minggu 20 Desember 2009.
CATATAN SUPARTO BRATA:
Tahun 1972 saya (Suparto Brata) baru saja diangkat jadi PNS di Bagian Humas Pemda
Tahun 1965 setelah PKI gagal berontak, jabatan sementara Walikota
Saya dan isteri tahun 1967 keluar dari pekerjaan di PDN Jaya Bhakti, karena tidak mau menjadi anggota Soksi (embrio Golkar). Dengan yakin berusaha hidup dari mengarang, karena nama saya sebagai pengarang sastra Jawa sudah terkenal. Karangan bahasa Jawa saya kirimkan ke Kho Ping Hoo, diterima dan diterbitkan. Oleh Kho Ping Hoo saya disuruh membuat cerita silat seperti punyanya atau Nogososro. Menuruti kemauan Kho Ping Hoo (untuk hidup sebagai pengarang) saya bisa setor 2 cerita silat sebulan sekali à 30 lembar halaman, dan pasti dibayar oleh Kho Ping Hoo. Tapi ternyata tidak tiap bulan naskahku diterbitkan jadi buku. Maka saya mundur dari pengarang cerita silat. Ganti pekerjaan berdagang kapok, beli kapok di
Tahun 1972 kedekatan saya dengan Mas Bas mengerjakan pekerjaan bersama masih berlangsung. Sedang Mas Bas bergaul dalam seni drama, saya hanya kenal tahu saja. Drama-drama Mas Bas sangat populer waktu itu, misalnya Lingkaran Kapur Putih, Darmo-Darmi. Bahkan novel saya bahasa Jawa Sanja Sangu Trebela yang saya intertektual dari dramanya Friedrich Duerrenmatt (Die Besuch der Alten Dame), juga dirancang mau dimainkannya. Tentu saja dengan bantuan Goete Institute, karena Mas Bas akrap sekali dengan Zimmermann, kepala Goethe Institute di Surabaya.
Nah, suatu malam 1972, saya masih bekerja di rumah Mas Bas, banyak pemuda dari seniman drama di
Keesokan harinya terjadi demonstrasi “Lapar” yang digelar di depan Gubernur oleh para seniman. Akibatnya para provokatornya ditangkap oleh tentara. Dimasukkan ke tahanan di Korem 084 (di Ngemplak).
Tahun 1985 ketika ada ide untuk melestarikan nilai-nilai kepahlawanan 10 November 1945 di Surabaya, dibentuklah panitia, yang mencari dana dan yang mengerjakan proyek. Proyek terbagi jadi 3, yaitu membuat film perjuangan peristiwa 10 November, membuat lagu (disayembarakan) 10 November 1945 di Surabaya, dan menulis buku tentang peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.
Pekerjaan saya adalah membacai buku-buku tentang peristiwa 10 November 1945 di
Saya betul-betul orang yang sangat awam, baik tentang sejarah, maupun tatacara hidup di
Pak H.R.Muhammad Mangundiprojo ternyata sedang dioperasi perutnya, hingga tidak bisa ditemui oleh BS. Dan tidak bisa menghadiri seminar di
Setelah dapat tugas menulis buku sejarah itulah kemudian saya memperhatikan sejarah perjuangan dan sosial politik. Ternyata berguna juga menuliskan peristiwa-peristiwa yang saya alami baik lewat fisik maupun lewat pembacaan buku. Supaya sejarah bisa dipelajari, harus ditulis.
Dan BS, Bambang Sujiyono, adalah salah seorang yang pernah menuntun dan menyadarkan saya bahwa menulis tokoh-tokoh masa lampau itu adalah sangat penting untuk diingat dan dipelajari, akan berguna bagi perencanaan pembangunan sosial masa depan. Bambang Sujiyono sangat terampil, cekatan dan taktis dalam bergerak menghubungi para tokoh-tokoh sejarah saat mengantarkan saya ke
Terimakasih, Mas Bambang. Selamat jalan ke Hadirat Allah Yang Mahaesa.
0 comments to "MENGENANG BS"