Buku Sastra Jawa anyar Suparto Brata 2015
Srawungku Karo Sastra Jawa
Iki buku kumpulan lelabete, lelakone, conto tulisane para jamhur sastra Jawa modern sing kasrawungan dening Suparto Brata. Kaya ta Winter (Kejawen 1864), M.Ng.Kramapawira (1874), S.Darsono 1930 bab Dedalane Guna Lawan Sekti. Dr.Soetomo (Panjebar Semangat Setu 2 September 1933). Polemik Dr.Soetomo vs S.Ajat, Hoofdredacteur DAGBLAD “EXPRES” 16 Des 1930 lan 1 Juli 1938. Lelabete Tajib Ermadi ngedegake Djojobojo ing Kediri 1945, mlebu Surabaya pas 10 November 1945, bisa nggawa mulih klise lan leter duweke NV.de Brantas sing nyithak Suara Asia jaman Nippon.Cerkake Soebagio IN (Pandji Poestaka 15 Maret 1944, Nyoewoen Pamit Kyai). Poerwadie Atmodihardjo (Dara Kapidara, Djaja Baja, April 1964), Sar BS (kondhang Sang Prajaka, Djaja Baja). M.Radjien, Basoeki Rachmat, Soenarno Sisworahardjo, Any Asmara, Widi Widayat, Satim Kadarjono, Totilawati Tjitrawasita, St.Iesmaniasita, Esmiet. Agustus 1966 Hardjono HP, Susilomurti, Handung Sudiyarsana madeg OPSD ing Sanggar Bambu Jogyakarta. Drs. Gendon Humardani ngelola PKJT ing Sasanamulya 1977-1980. Muncul para jamhur sastra Jawa: N.Sakdani Darmopamudjo, Poer Adhie Prawoto, Ruswandiyatmo, Sukardo Hadisukarno, Anjar Any, Moh. Nursahid Purnomo, Arswendo Atmowiloto, Sudharmo KD, Muryalelana, Tamsir AS. Bambang Widoyo SP. Kabeh lelabetan lan conto karyane kapacak ing buku iki. Regane Rp 70.000,-
Bisa dipundhut marang Rini T.Puspohardini, email: tripuspohardini@gmail.com HP +628157704313
Tags:
Catatan
IKA ST.LOUIS I 2013-2016
SAMBIL RAYAKAN VALENTINE DAN CAP GO
MEH
Saya
bertemu dengan Pak Ir.Mardijono Hadiwidjaja, MT, dosen Universitas Widya
Kartika Jl.Sutorejo Prima Utara II/1 Surabaya, ketika saya jadi narasumber
cerita Kho Ping Hoo di House of Sampoerna Surabaya, Sabtu malam 8 Februari
2014. Saya terucap bahwa pernah sekolah di SMAK St.Louis Surabaya, Pak
Mardijono menawari apa mau reuni dengan teman-teman SMAK St.Louis tanggal 14
Februari 2014 nanti. Sudah pernah saya dengar SMAK St.Louis mengadakan reuni
akbar, namun saya tidak sempat ikut reuni. Saya ingat salah seorang alumninya
Pak Freddy Istanto, yang kemudian saya sering bergaul dengan beliau karena
beliau sangat perhatian pada warisan budaya Surabaya. Saya cukup lama tinggal
di Surabaya, yaitu sejak lahir 1932, zaman Belanda, Jepang, Orde Baru 1950-an
sampai sekarang, cukup pengalaman hidup di Surabaya, maka segala hal mengenai
Kota Surabaya saya sangat berperhatian. Apalagi saya ditakdirkan suka menulis
buku, maka segala pengalamanku Insyallah akan saya tuliskan dalam buku. Dengan
Pak Freddy saya akrab karena warisan budaya Surabaya dan alumni St.Louis, kini
ditawari reuni sama Pak Mardijono, ya saya mau. Betapapun juga SMAK St.Louis
mencercahkan pengalaman yang amat terkenang-kenang. Saya masuk sebagai pelajar
SMAK St.Louis Jl.Dr.Sutomo 7 (sekarang Jalan Polisi Istimewa no. 7) Surabaya tahun 1954, umur saya 22 tahun,
muridnya laki-laki semua, rata-rata lulusan SMPK St.Joseph Joyoboyo, umur 14-15
tahunan, masih pakai celana pendek, cuma saya yang pakai celana panjang, karena
pulang sekolah jam 13.00 saya harus bekerja di Kantor Telegrap Jl.Niaga
(Veteran) 1 Surabaya, jam 13.00-19.00. Saya telisik sudah tidak ada teman saya
alumni SMAK St.Louis, tinggal seorang yang saya kenal, yaitu Pak Johan Silas,
dosen ITS. Bukan saja beliau teman sekelas saya di SMAK St.Louis, tetapi
beberapa kali kami berdua bekerja sama, karena beliau mendapat proyek mengenai
Kota Surabaya (Master Plan 2000, proyek Perbaikan Kampung Wr.Supratman), saya
jadi pegawai pemkot Kota Surabaya, menjadi pelayan masyarakat, jadi ya melayani
kebutuhan yang dikerjakan oleh Pak Johan Silas.
Hari
Kamis 13 Februari, saya dapat telepon dari Pak Mardijono apakah saya tetap mau
diajak menghadiri reuni SMAK St.Louis, Jumat 14 Februari besok, jam 18.00
sampai selesai. Saya mau, tapi kalau malam saya keberatan karena mata saya
sudah sulit sekali untuk melihat sinar lampu. Oh, nanti dijemput oleh Pak
Mardijono. Jadi saya siap.
Saya
ingat bahwa anak saya, Tatit Merapi Brata, dulu ya sekolah di St,Louis. Saya
tanya tahun berapa, siapa saja nama temannya, siapa saja guru-gurunya. Mas
Tatit memberi nama-nama: Susana Darwan, Tan Ing Hong, Suk Fang, Wilson, Benny,
Simonang mogi, Hendro Lukman. Guru-gurunya Pak Wahyu guru biologi, Pak Sugeng
guru olahraga.
Malam
hari Kamis 13 Februari itu, Gunung Kelud meletus hebat. Pagi harinya Kota
Surabaya matahari tidak tampak, di mana-mana terdapat debu lembut warna
keputihan. Sampai siang hari pun matahari tidak tampak. Dari TV dikabarkan
bahwa abu Gunung Kelud sampai di Madura, Bandara Juanda ditutup. Kabar-kabaran
dengan anak dan menantu di Jakarta, katanya juga gawat. Begitu juga Purworejo,
Candi Borobudur, Prambanan, mendapat hujan abu lebih hebat daripada Surabaya.
Saya jadi ragu, apa reuni SMAK St.Louis akan tetap dilaksanakan? Pendeknya saya
siap saja, apabila dijemput Pak Mardijono, ya saya siap. Jam 16.30 Pak
Mardijono telepon sedang dalam perjalanan di Jemur Handayani (lo, rumahnya di
mana?). Sebelum Pak Mardijono tiba, hujan turun. Wah, seger. Menjemput saya Pak
Mardijono bersama isterinya. Saya mengenakan baju pemberian dari Panitia
Bangkok World Book Capital 2013, biru muda lengan pendek dengan tulisan
putih-putih huruf Thailand, dan mengenakan destar sebagai identitas saya. Saya
berkata kepada Pak Mardijono, hanya mengenakan sandal, karena kalau pakai
sepatu terlalu susah bagi saya membungkuk-bungkuk. Pak Mardijono tidak
berkeberatan. Di mobil saya tanyakan acaranya apa saja. Pemberkatan dan
perkenalan pengurus Ikatan Alumni SMAK St.Louis angkatan baru 2013-2016,
sekalian perayaan Valentine dan Cap Go Meh. Selain cerita bahwa saya angkatan
1954-1957 ketika direkturnya Broeder Rosarius, anak saya Mas Tatit angkatan
1980, anak saya Tera juga di Widya Mandala, jurusan Sekretaris. Ketika Tera
masuk kuliah Widya Mandala, gedungnya di Jalan Dinoyo-Majapahit tembusan
belakang gedung SMAK St.Louis. Tetapi lulusnya gedungnya di Kalijudan. Kata Ibu
Mardijono, sekarang jurusan Sekretaris gedungnya juga kembali ke Dinoyo. Dan
ketika melewati Jalan Dinoyo, sepanjang jalan itu sudah penuh dengan
gedung-gedung bertingkat. Juga kampus Widya Mandala, sudah pepat dengan
bangunan gedung bertingkat.
Masuk
ke Jalan Dr.Sutomo yang sekarang namanya Jl.Polisi Istimewa, sudah sangat lain
dengan waktu saya sekolah di situ. Pojok jalan yang dulu ditempati aula untuk
olah raga maupun kreasi budaya, sudah jadi gedung bertingkat, kata Pak
Mardijono digunakan untuk kantor administrasi. Mobil terus masuk ke belakang,
di sana dulu memang lapangan olah raga, pantas kalau dijadikan tempat parkir
mobil, dengan perkembangan industri mobil sekarang ini. Namun sekarang selain
tanah lapang yang sudah kian menciut untuk parkir mobil, di sisi barat sudah
jadi gedung bertingkat dan tanah lapang untuk pesta perayaan hari itu, sudah
disiapkan kursi-kursi, tenda, meja absen tamu, panggung dan lain-lain. Ketika
kami datang ke meja absen sudah siap kamera foto membidik kepada saya, mestinya
sudah merasa aneh melihat wajah dan destar saya. Setelah absen, Pak Mardijono
mengajak saya duduk di tempat perayaan, yang waktu itu belum begitu banyak yang
datang. Namun tepat jam 18.00 ada pengumuman para pengurus baru IKA St.Louis
dianjurkan ke ruang gereja di sebelah barat tempat pesta, untuk misa penerimaan
pemberkatan pengukuhan kepengurusan. Saya semula tidak ikut saja, menjaga
kesakralan misa dan tidak mengganggu. Tapi banyak yang menganjurkan ikut
menonton saja, tidak apa-apa. Ada yang membisik kepada saya, “Saya juga Kong Hu
Cu, kok. Ayo, kita ikut saja.” Dan saya, tetap dibimbing oleh Pak Mardijono dan
isteri, menuju ke mimbar gereja. Ternyata tempatnya gedung yang di atas, kami
harus naik tangga dulu. Dan di sanalah ruangan gereja itu. Zaman saya sekolah
di St.Louis, tiap hari tertentu begitu kami para pelajar juga digiring
menghadiri misa di gereja, gereja besar (saya lupa namanya) yang menghadap ke
Jalan Dr.Sutomo, sebelah sisi kiri dari gedung sekolah. Kami, pelajar yang
bukan beragama Katholik, termasuk saya, juga ikut mendengarkan dan menonton
persembahyangan yang dilakukan umat Katholik para pelajar SMAK St.Louis di
sana. Sementara membimbing saya, Pak Mardijono memperkenalkan saya dengan para
alumni baik pelajar maupun guru. Antara lain dengan Pak Eddi Hariyanto, guru
agama. Berkelompok kami masuk ke ruang gereja, saya mencari tempat duduk di
tengah-tengah ruangan, itu pun sudah jauh di belakang kelompok mereka yang
harus ikut acara misa itu. Ibu Mardijono mendampingi saya duduk di samping
saya. Dengan mata tua saya, saya melihat di belakang altar terdapat patung
Gusti Yesus, dan tulisan yang terpisah-pisah di kiri-kanan patung: THE Lord – Hears / THE CRY – OF THE
POOP.
Acara
misa pemberkatan pengukuhan pengurus baru IKA St.Louis 2013-2016 berlangsung
seperti biasanya (yang sering sempat saya lihat acara upacara di gereja),
pemberkatan dilakukan oleh Rama Sigid. Sebenarnya yang melakukan Rama (saya
tidak dengar) yang lain, tapi Rama tersebut pagi-pagi hari tadi pergi ke
Kediri, melakukan pertolongan pemberkatan pada kaum pengungsi akibat meletusnya
Gunung Kelud, di mana Kota Kediri paling menderita. Rama Sigid menggantikan
tiba-tiba. Upacara misa banyak puja-puji doa, dan juga dinyanyikan. Antara lain
khodbah Rama Sigid mengatakan bahwa di dunia ini sebenarnya hanya dua profesi,
yaitu (1) profesi pendidik dan (2) profesi....(saya tidak dengar profesi yang
ke dua itu apa). Hanya Rama Sigid terus memberikan keterangan bahwa profesi
pendidik adalah guru, sedang profesi dokter, insinyir, hakim, pengusaha toko,
adalah termasuk golongan profesi yang kedua. Rama juga menasihati agar para
pengurus IKA bertindak bersih, ramah, jujur, berdisiplin. Tiap kali disela
bernyanyi, pemimpin koor penyanyi dengan semangat memberikan aba-aba. Kadang
disela yang masih muda. Saya sangat memperhatikan cara memimpin menyanyi tadi,
sangat bersemangat.
Selesai
upacara misa pemberkatan, turun ke bawah, di sana yang hadir sudah lebih
banyak. Dan dengan datangnya para pengikut upacara misa, maka pemandu acara pun
membacakan agenda acara, dan dimulai dengan permainan barongsei (perayaan
Imlik). Sementara itu saya minta tanya pada Pak Eddi Heriyanto, tadi profesi ke
dua yang diucapkan Rama Sigid apa. “Profesi satu pendidik, profesi dua bukan
pendidik. Profesi bukan pendidik boleh juga disebut profesi melayani
pendidikan,” jawab Pak Eddi Heriyanto.
Acara
pertama paduan suara dari St.Louis, dipimpin oleh bapak yang tadi mimpin koor
di misa pemberkatan, yaitu Pak Arie Soeprapto. Paduan suara ini katanya pernah
menang di forum Asia. Lalu para pengurus baru naik panggung, menggantikan paduan
suara. Menyanyikan lagu Indonesia Raya, dipimpin juga oleh Pak Arie. Lain
dengan kebiasaan, dipimpin oleh Pak Arie lagu Indonesia Raya dinyanyikan dengan
irama mars. Sigap. Saya ingat Bung Karno. Pernah membuka acara dengan memimpin nyanyi
lagu Indonesia Raya, suara awalnya lambat, Bung Karno menghentikan. Minta
hadirin menyanyikan dengan sigap dan tegap. Lalu Bung Karno memimpin nyanyi,
suara nyanyian jadi sigap. Sejak itu baru dipimpin Pak Arie ini saya ikut
menyanyi Indonesia Raya dengan suara sigap, mars. Setelah lagu Indonesia Raya,
tetap dipimpin oleh Pak Arie yang bersemangat, hadirin diharap menyanyikan mars
St.Louis. Ini lagu baru, karangan Pak Arie Soeprapto. Iramanya 4/4 J=F.
Kami pra siswa St.Louis siap berbakti.
Bekerja bersama-sama untuk nusa dan
bangsa.
Kami pra siswa St.Louis srentak bersatu
hati,
mengejar yang benar mengabdi yang suci,
untuk tanah air kami.
Reff:
St.Louis sumber ilmuku. St.Louis
pembimbingkul
Hiduplah St.Louis, majulah St.Louis,
St.Louis suburkanlah.
Harumkanlah namamu. Suburkanlah
baktimu.
Berbakti dengan sukarela hati, unmtuk
tanah airmu.
Kembali ke Reff.
Lalu
ketua kepengurusan baru IKA St.Louis memberikan sambutan, memperkenalkan nama,
angkatan (lulusan), jabatan kepengurusan, dan prestasi serta profesinya saat
ini. Ketua sendiri adalah Henry Hadi, 75.
Setelah
sambutan perkenalan diri, Pak Henry Hadi juga minta Pak Anton (Antonius
Muhartoyo, 75) untuk menceritakan kesuksesannya dalam memimpin IKA St.Louis
Regional Jakarta. Ya, IKA St.Louis selain Pusat di Surabaya memang sudah
berdiri Regional Jakarta. Sebetulnya hari itu yang datang dari Jakarta cukup
banyak, namun karena terjadinya Gunung Kelud meletus, penerbangan
Jakarta-Surabaya dihentikan. Sedang Pak Anton (President Director PT.Champion
Pacific Indonesia Tbk, Jl.Raya Bekasi Km 28,5 Bekasi Barat 17133. e-mail: antonius.muhartoyo@champion.co.id
) menceritakan suksesnya mengurusi IKA St.Louis Regional Jakarta. Salah satu
yang paling penting, penggunaan keuangan yang terhimpun pada pengurus, harus
jujur dan transparan. Sekarang Pak Anton adalah seorang dari sederet nama Dewan
penasihat Regional Jakarta. Ketua Umum: Ninik P.Nathan 84; Wakil Ketua Umum:
Ronald E.Stok 84; Sekretaris: Grace Irene Angweita 86; Bendahara: Daniel
S.Kamadjaja 84; dan Jojong Djurijanto 84.
Untuk
memperlancar gerak sosial kepengurusan IKA St.Louis 2013-2016, para alumni
diharap menyumbangkan dana. Ternyata secara spontan dari alumni 1981 (Soendoro)
menyumbang Rp 10 juta. Kemudian ditambah lagi oleh alumni 1975 Rp 16 juta. Dan
dari alumni 1974 Rp 20 juta. Dari alumni 1965, Pak Hidayat, tidak menyumbangkan
uang, melainkan bisa mencatatkan kegiatan IKA St.Louis ini dengan kegiatan di
Tugu Pahlawan Surabaya.
Selesai
sambutan begitu, maka kami dipersilakan merayakan Cap Go Meh, barongsei
bergerak lagi, beramah-tamah, makan hidangan yang telah disediakan didahului
dengan memotong tumpeng. Tentu saja lontong cap go meh pasti ada. Sementara itu
panggung diisi dengan berbagai pertunjukan, misalnya aksi barongsei, lagu-lagu
dengan penyanyi para alumni yang punya suara merdu, ada sepasang pemain biola
(maaf saya tidak dengar siapa mereka, tetapi juga pasti alumni) menyembahkan
beberapa lagu dengan gesekan biolanya berdua bersama. Dalam ramah tamah saya
sempat berbincang dengan alumni guru yang usianya lebih tua daripada saya, 84
tahun, saya lupa namanya, beliau sudah pakai tongkat penyangga berdiri. Lalu
bertemu juga dengan Pak Sugeng, guru olah raga yang disebut anak saya, alumni
1980. Sedang Pak Wahyu, guru biologi sudah wafat. Para alumni 1980 di daftar
hadir ada yang sedia datang, namun saya lihat tidak tulis absen. Pak Hidayat,
alumni 1965 yang tadi mau mencatatkan kegiatan IKA St.Louis dengan kegiatan di
Tugu Pahlawan Surabaya menegur saya, katanya pernah bertemu dengan saya di
acara pertemuan sejarah Surabaya. Ya, saya jawab saya memang berumur panjang
dan tetap tinggal di Surabaya, maka selalu ingin bersaksi dan mendengarkan seminar
atau diskusi tentang sejarah kota Surabaya. Akan saya tulis sebisa-bisa saya
untuk peninggalan kepada generasi muda. Oh, Pak Hidayat jadi tahu, waktu
pertemuan sejarah dulu itu saya orang terkenal pada pertemuan itu. Dan Pak
Hidayat sangat senang ternyata saya juga alumni St.Louis. Para alumni St.Louis
banyak yang berprestasi.
Akhir
acara, untuk penutupan, berhubung hari itu malam harinya tadi (14 Februari
2014) Gunung Kelud meletus dan menurut pemberitaan di TV Kota Kediri merupakan
kota yang paling banyak orang yang menderita, maka panitia mau mengumpulkan dana
spontan untuk disumbangkan kepada para pengungsi penderita di sana. Caranya,
ada selembar jaket milik seorang alumni yang punggung jaket telah dilukisi oleh
pemiliknya (alumni tadi) dijual secara lelang bergilir menambah harga, siapa
menambah harga terakhir dialah yang mendapatkan jaket itu. Dan jumlah harga
lelang yang terakhir akan dijadikan dana untuk disumbangkan kepada penderita
akibat meletusnya Gunung Kelud di Kota Kediri. Lelang tawar-menawar harga
berlangsung, akhirnya dana lelang jaket terkumpul Rp 37.100.000,- (tigapuluh
juta seratus ribu rupiah), penawar terakhir yang dapat jaket seorang alumni
seorang ibu yang sudah sepuh.
Lelang
seperti itu adalah cara lelang Amerika. Dulu waktu saya suka dansa-dansi, juga
ada lelang bergilir menambah harga seperti itu. Yang dilelang sebuah lagu yang
akan dinyanyikan seseorang, siapa penawar tambahan harga terakhir, ya dia yang
mendapat uangnya. Misalnya judul lagu yang akan dinyanyikan A Place in the Sun, akan dinyanyikan
oleh Bob Tutupoly. Perlu dicatat, Bob Tutupoly juga alumnus St.Louis. Tapi
waktu 1957-1960 itu dia menyanyi di pesta dansa umum yang sering
diselenggarakan tiap malam minggu di Kota Surabaya, tempatnya di Pemandian
Tegalsari, gedung Helendoorn Tunjungan, Gedung Utama THR Jl.Kusumabangsa,
gedung Pendidikan Umum (sekarang jadi gedung Sekolah Trimurti Jalan Pemuda). Para
hadirin pesta disuruh menawar secara lelang, penawar terakhir yang akan dapat uang
sejumlah akhir lelang. Ada hadirin yang menyiasati penawaran tambahan harga
lelang dengan amat lihay. Kalau penawar-penawar pemula menambah harga lelang
penyanyi Rp 100,- Rp 200,- Rp 300,-, si Lihay sebelum hitungan ke tiga
penutupan lelang menawar tambahan harga Rp 10,- Lelang berlanjut ditumpangi
penawar Rp 300,- Sebelum hitungan penutup si Lihay menambah lagi Rp 10,-.
Lelang berlanjut lagi. Akhirnya tidak ada lagi yang menawar harga, ditutup oleh
si Lihay yang jumlah uangnya yang dihabiskan hanya Rp 10,- X 5 = Rp 50,- Dia
yang menang dan dia yang mendapat sejumlah uang kumpulan lelang itu! Yang
menawar harga Rp 200,- Rp 300,- kalah.
Begitulah suasana dansa-dansi di Kota Surabaya waktu saya masih muda.
Penutup
acara pengukuhan pengurus IKA St.Louis 2013-2016 malam itupun kami merayakan
hari valentine, hari kasih sayang, yaitu musik organ tunggal melagukan irama
mars, para hadirin disuruh berpasangan (mencari dan memilih pasangan laki dan
perempuan di antara para peserta pesta) melakukan polonaise, yaitu berbaris
berpasangan laki-perempuan berputar-putar di ruang pesta. Saya juga ingat
pesta-pesta dansa tahun 1960-an. Sebelum pesta dansa dimulai, dilakukan
polonaise, musik pembukaan dansa lagunya mars, tiap orang mencari pasangan, meskipun
sama-sama belum saling kenal, asal gaet laki-laki-perempuan begitu saja, lalu berbaris
urut-urutan dari depan ke belakang, mengikuti bunyi musik, dan diiringi suara
pemandu acara dansa. Pemandu acara dansa mengatakan barisannya harus beriringan
mendekat, langkah ikut irama musik, ya para pasangan dansa mengikuti kata
pemandu acara. Pemandu acara bilang bahwa barisan pasangan nomer 1, 11, 21. 31
diwajibkan berhenti lalu berhadapan, kedua tangan bergandengan mencuat ke atas,
para barisan pasangan berikutnya diharapkan menerobos di bawah tangan pasangan
yang berhadapan, dan pasangan yang diberobosi tangannya (nomer 1, 11, 21, 31)
harus menyandera (dijala dalam rangkulan tangan) pasangan yang menerobos di
antara tangannya. Dipilih pasangan yang mana saja boleh, apa yang paling
cantik, yang paling muda, apa yang pasangannya tidak serasi. Jadi ada yang
lolos, dan meskipun diurutan belakang tapi terjaring kena jala tangan. Dan
dalam disandera tadi, harus ada hukuman. Misalnya pemandu acara memerintahkan
agar para tersandera diharuskan berciuman. Ada lagi pemandu acara mengatakan
bahwa kini barisan masuk gua hantu, para pasangan wanita ketakutan, harus
memeluk erat-erat pasangannya. Pemandu acara kreatif cari moment seperti itu. Kini
barisan menyeberangi sungai, supaya pakaiannya tidak basah para barisan harus
mencincingkan pakaiannya. Airnya mula-mula dalamnya selutut, tapi kemudian sepaha,
kaum rok harus mencincingkan roknya di atas paha. Lalu sungainya tambah dalam,
maka yang laki-laki (sambil tetap berbaris mengikuti irama musik) harus
mendukung atau menggendong yang perempuan. Kalau sudah begitu pesta jadi heboh
sekali. Akhir polonaise lagu irama mars diganti irama waltz, para pasangan
mulai berdansa irama waltz. Setelah itu maka pesta dansa berganti-ganti lagu,
dan kembali mendapatkan teman kencannya masing-masing. Boleh nanti pada suatu
waktu, selagi sedang berdansa dengan pasangan kencannya, para lelaki boleh
memilih menggantikan laki-laki yang sedang berdansa, sehingga perempuannya
berganti pasangan dengan laki-laki yang menghendakinya. Tiap kali musiknya
jeda, pemandu acara mengumumkan apa, misalnya mengomentari musik yang akan
dilagukan, atau siapa penyanyinya, atau mengadakan lomba dansa di antara
hadirin pedansa dalam iringan irama tango, dan lain-lain. Biasanya senja
awal-awal acara musiknya lagu-lagu yang lambat, Waltz, Slow-fox-trot,
Cha-cha-cha. Tapi tambah malam tambah hot. Dansanya pun begitu. Dan lewat
tengah malam akhirnya musik rock ‘n roll pun menggema, para pedansa tidak lagi
berpeluk-pelukan, melainkan berjingkrak, jengkelit, tingkahnya tidak karuan
tetapi tetap mengikuti irama rock-rock-rock everybody roll-roll-roll...!
Apakah perayaan hari kasih sayang
Valentine IKA St.Louis dengan awal berbaris polonaise tadi berakhir dengan
dansa rock ‘n roll, saya tidak tahu. Sebab waktu diumumkan akan dilakukan cari
pasangan dengan musik irama mars, Pak Mardijono dan isteri mengajak saya
pulang. Hari sudah malam. Saya pun diantar pulang.
Hidup St.Louis! Hidup alumninya,
terus berbakti kepada nusa dan bangsa Indonesia dengan kasih sayang! Bersih,
ramah, jujur, berdisiplin! (Suparto
Brata, 17 Februari 2014).
Tags:
Catatan
From: Osa Kurniawan Ilham
Date: 2013/9/18
Subject: Pertanyaan mengenai Surabaya 1945
To: sbrata@yahoo.com
Selamat malam Pak Suparto Brata,
Bersama ini saya memperkenalkan diri. Nama saya Osa Kurniawan Ilham, lulusan dari ITS Surabaya dan sekarang bekerja di Balikpapan Kalimantan Timur. Saya juga penulis buku Proklamasi: Sebuah Rekonstruksi yang baru saja diterbitkan bulan Juni lalu.
Pak Suparto Brata, saya adalah pembaca blog Bapak. Dulu, waktu masih kecil saya membaca tulisan-tulisan Bapak di Majalah Joyoboyo atau Penyebar Semangat yang sering dibeli oleh ayah saya di Kediri.
Selain bekerja di bidang teknik, saya punya ketertarikan terhadap bidang sejarah. Karena itu tulisan-tulisan Bapak mengenai Surabaya 1945 sangat menarik perhatian saya dan menjadi salah satu referensi untuk penelitian saya tentang Pertempuran Surabaya 1945.
Pak Suparto, saya mempunyai foto (terlampir) tentang konvoi Bung Karno yang duduk di atas kap mobil yang sedang berlari kencang. Ada yang bilang bahwa itu foto Bung Karno saat mengunjungi Surabaya di akhir Oktober 1945. Tapi saya masih ragu dengan keterangan tersebut karena:
1. Benarkah Bung Karno berkonvoi di atas kap mobil di tengah-tengah suasana pertempuran yang sedang bergolak? 2. Apakah Surabaya sudah mempunyai prajurit pasukan pengawal Presiden seperti yang ditunjukkan di foto? 3. Benarkah foto ini diambil di Surabaya? Siapakah perwira yang duduk di kap mobil di samping Bung Karno tersebut?
Apakah Pak Yasin?
Saya menanyakan hal ini kepada Pak Suparto Brata, siapa tahu Bapak memiliki pengetahuan terhadap foto ini dan peristiwa yang menjadi latar belakangnya.
Demikian Pak, terima kasih banyak atas kesediaan Bapak menanggapi email ini. Semoga Bapak selalu dikaruniai kesehatan sehingga bisa terus menulis untuk menjadi pengetahuan bagi kami yang muda-muda ini.
Salam,
Osa Kurniawan Ilham
2013/9/19 Suparto Brata
Mas Osa yth,
Betul kecurigaan Mas Osa. Saya juga curiga seperti itu. Kalau itu foto Oktober 1945 di Surabaya, apakah kita sudah punya pengawal presiden seperti itu? Sebab kehadiran Bung Karno 29-30 Oktober 1945 di Surabaya sedang gencarnya orang-orang Surabaya mengepung tempat-tempat yang diduduki oleh pasukan Mallaby. Kedatangan Bung Karno memang diminta oleh pihak Inggris (Mallaby) yang sudah terkepung. Karena itu waktu dikabarkan bahwa Bung Karno akan mendarat Bung Tomo memerintahkan kalau yang mendarat bukan Bung Karno harap ditembak mati saja. Dan ternyata yang dating Bung Karno bersama Bung Hatta dan Amir Syarifuddin (menteri penerangan). Dari lapangan terbang Perak, langsung dimasukkan mobil deengan bendera merah-putih, menyeberang kota dalam hujan peluru menuju ke rumah Residen Sudirman (di daerah Pacarkeling, timur kota). Tidak mungkin membawa mobilnya seperti di gambar. Setelah mengatur siasat di rumah Residen Sudirman, lalu berunding dengan Mallaby di rumah dinas residen (sekarang namanya Grahadi). Masih dalam ketegangan. Di Grahadi diumumkan cease fire (gencatan senjata). Tapi bagaimana menyiarkannya? Sebab studio radio Surabaya (jalan Simpang) sudah hancur dibakar pejuang Surabaya 28 Oktober. Maka diumumkan lewat radio pemberontakan rakyat Surabaya (radionya Bung Tomo) di Jalan Mawar 10 (Mallaby juga ikut ke sana). Namun pengumuman lewat radio pun tidak efektif sebab zaman itu orang yang punya radio tidak banyak. Pejuwang Surabaya pasti sedang berjuang mengepung pasukan Inggris di tempat-tempat yang tersisa, tidak mungkin mendengarkan radio. Jadi suasananya masih sangat tegang. Tidak mungkin Bung Karno bias santai seperti di foto. Lalu siapa di kap mobil bersama Bung Karno saya pun tidak kenal. Tapi yang punya senjata dan alat perang hari itu memang Polisi Istimewa Pak Jasin. Juga yang mbembakar Radio Surabaya ya anak buahnya Pak Jasin (Suwito dan 2 orang temannya, saya punya naskah ketikan Suwito). Gambar Pak Jasin zaman itu belum banyak dikenal umum, juga belum saya kenal. Saya ketemu Pak Jasin di rumahnya di Jakarta 1986, sudah pension. Jadi juga tidak tahu itu foto siapa. Dan melihat suasana foto tadi, yang mengantar wajah-wajahnya cerita, dan orang biasa (bukan anggota delegasi). Mestinya 29 Oktober 1945 Bung Karno dikerubungi anggota delegasi. Seperti terlihat foto 30 Oktober sore hari sesudah perundingan di Kantor Gubernur, konvoi mobil mau berangkat ke Jembatan Merah, jelas yang duduk di kap mobil Dr.Sugiri. (meskipun zaman itu sama dengan Pak Jasin, foto-foto wajah pejuang belum popular) namun foto-foto Pak Dr.Sugiri yang tubuhnya pendek, sudah sering saya lihat dan kenali. Begitu yang bias saya jawabkan, Mas Osa. Sama. Saya juga tidak bias terka foto itu kapan dan di mana dan siapa. Maaf.
Hormat saya, Suparto Brata.
From: Osa Kurniawan Ilham
To: sbrata@yahoo.com
Sent: Thursday, September 19, 2013 9:01 PM
Subject: Fwd: Fwd: Pertanyaan mengenai Surabaya 1945
Pak Suparto Brata Yang Terhormat,
Sungguh sebuah kehormatan bagi saya mendapat balasan email dari Bapak. Terima kasih atas komentar bapak yang sangat berguna ini. Saya membaca sebuah fakta bahwa memang Bung Karno melakukan konvoi untuk menemui para pemimpin laskar di front tapi tidak dengan berdiri di atas kap. Di salah satu front mobilnya sempat dicegat Soemarsono yang menyatakan keberatan dengan adamya gencatan senjata. Apakah Pak Suparto bisa mengkonfirmasi kebenaran cerita di atas?
Sekali lagi terima kasih banyak Pak Suparto Brata.
Salam,
Osa Kurniawan Ilham
Selamat malam Pak Suparto Brata,
Bersama ini saya memperkenalkan diri. Nama saya Osa Kurniawan Ilham, lulusan dari ITS Surabaya dan sekarang bekerja di Balikpapan Kalimantan Timur. Saya juga penulis buku Proklamasi: Sebuah Rekonstruksi yang baru saja diterbitkan bulan Juni lalu.
Pak Suparto Brata, saya adalah pembaca blog Bapak. Dulu, waktu masih kecil saya membaca tulisan-tulisan Bapak di Majalah Joyoboyo atau Penyebar Semangat yang sering dibeli oleh ayah saya di Kediri.
Selain bekerja di bidang teknik, saya punya ketertarikan terhadap bidang sejarah. Karena itu tulisan-tulisan Bapak mengenai Surabaya 1945 sangat menarik perhatian saya dan menjadi salah satu referensi untuk penelitian saya tentang Pertempuran Surabaya 1945.
Pak Suparto, saya mempunyai foto (terlampir) tentang konvoi Bung Karno yang duduk di atas kap mobil yang sedang berlari kencang. Ada yang bilang bahwa itu foto Bung Karno saat mengunjungi Surabaya di akhir Oktober 1945. Tapi saya masih ragu dengan keterangan tersebut karena:
1. Benarkah Bung Karno berkonvoi di atas kap mobil di tengah-tengah suasana pertempuran yang sedang bergolak? 2. Apakah Surabaya sudah mempunyai prajurit pasukan pengawal Presiden seperti yang ditunjukkan di foto? 3. Benarkah foto ini diambil di Surabaya? Siapakah perwira yang duduk di kap mobil di samping Bung Karno tersebut?
Apakah Pak Yasin?
Saya menanyakan hal ini kepada Pak Suparto Brata, siapa tahu Bapak memiliki pengetahuan terhadap foto ini dan peristiwa yang menjadi latar belakangnya.
Demikian Pak, terima kasih banyak atas kesediaan Bapak menanggapi email ini. Semoga Bapak selalu dikaruniai kesehatan sehingga bisa terus menulis untuk menjadi pengetahuan bagi kami yang muda-muda ini.
Salam,
Osa Kurniawan Ilham
2013/9/19 Suparto Brata
Mas Osa yth,
Betul kecurigaan Mas Osa. Saya juga curiga seperti itu. Kalau itu foto Oktober 1945 di Surabaya, apakah kita sudah punya pengawal presiden seperti itu? Sebab kehadiran Bung Karno 29-30 Oktober 1945 di Surabaya sedang gencarnya orang-orang Surabaya mengepung tempat-tempat yang diduduki oleh pasukan Mallaby. Kedatangan Bung Karno memang diminta oleh pihak Inggris (Mallaby) yang sudah terkepung. Karena itu waktu dikabarkan bahwa Bung Karno akan mendarat Bung Tomo memerintahkan kalau yang mendarat bukan Bung Karno harap ditembak mati saja. Dan ternyata yang dating Bung Karno bersama Bung Hatta dan Amir Syarifuddin (menteri penerangan). Dari lapangan terbang Perak, langsung dimasukkan mobil deengan bendera merah-putih, menyeberang kota dalam hujan peluru menuju ke rumah Residen Sudirman (di daerah Pacarkeling, timur kota). Tidak mungkin membawa mobilnya seperti di gambar. Setelah mengatur siasat di rumah Residen Sudirman, lalu berunding dengan Mallaby di rumah dinas residen (sekarang namanya Grahadi). Masih dalam ketegangan. Di Grahadi diumumkan cease fire (gencatan senjata). Tapi bagaimana menyiarkannya? Sebab studio radio Surabaya (jalan Simpang) sudah hancur dibakar pejuang Surabaya 28 Oktober. Maka diumumkan lewat radio pemberontakan rakyat Surabaya (radionya Bung Tomo) di Jalan Mawar 10 (Mallaby juga ikut ke sana). Namun pengumuman lewat radio pun tidak efektif sebab zaman itu orang yang punya radio tidak banyak. Pejuwang Surabaya pasti sedang berjuang mengepung pasukan Inggris di tempat-tempat yang tersisa, tidak mungkin mendengarkan radio. Jadi suasananya masih sangat tegang. Tidak mungkin Bung Karno bias santai seperti di foto. Lalu siapa di kap mobil bersama Bung Karno saya pun tidak kenal. Tapi yang punya senjata dan alat perang hari itu memang Polisi Istimewa Pak Jasin. Juga yang mbembakar Radio Surabaya ya anak buahnya Pak Jasin (Suwito dan 2 orang temannya, saya punya naskah ketikan Suwito). Gambar Pak Jasin zaman itu belum banyak dikenal umum, juga belum saya kenal. Saya ketemu Pak Jasin di rumahnya di Jakarta 1986, sudah pension. Jadi juga tidak tahu itu foto siapa. Dan melihat suasana foto tadi, yang mengantar wajah-wajahnya cerita, dan orang biasa (bukan anggota delegasi). Mestinya 29 Oktober 1945 Bung Karno dikerubungi anggota delegasi. Seperti terlihat foto 30 Oktober sore hari sesudah perundingan di Kantor Gubernur, konvoi mobil mau berangkat ke Jembatan Merah, jelas yang duduk di kap mobil Dr.Sugiri. (meskipun zaman itu sama dengan Pak Jasin, foto-foto wajah pejuang belum popular) namun foto-foto Pak Dr.Sugiri yang tubuhnya pendek, sudah sering saya lihat dan kenali. Begitu yang bias saya jawabkan, Mas Osa. Sama. Saya juga tidak bias terka foto itu kapan dan di mana dan siapa. Maaf.
Hormat saya, Suparto Brata.
From: Osa Kurniawan Ilham
To: sbrata@yahoo.com
Sent: Thursday, September 19, 2013 9:01 PM
Subject: Fwd: Fwd: Pertanyaan mengenai Surabaya 1945
Pak Suparto Brata Yang Terhormat,
Sungguh sebuah kehormatan bagi saya mendapat balasan email dari Bapak. Terima kasih atas komentar bapak yang sangat berguna ini. Saya membaca sebuah fakta bahwa memang Bung Karno melakukan konvoi untuk menemui para pemimpin laskar di front tapi tidak dengan berdiri di atas kap. Di salah satu front mobilnya sempat dicegat Soemarsono yang menyatakan keberatan dengan adamya gencatan senjata. Apakah Pak Suparto bisa mengkonfirmasi kebenaran cerita di atas?
Sekali lagi terima kasih banyak Pak Suparto Brata.
Salam,
Osa Kurniawan Ilham
Tags:
email