Srawungku Karo Sastra Jawa

Home » » MENANAM POHON DUWET

MENANAM POHON DUWET


Saya sangat kecewa. Hatiku sakiiit sekali. Sekarang menulis di blog ini sebagai curhat. Mudah-mudahan ada yang menghibur saya.

Ketika merayakan peringatan HUT Proklamasi RI 17 Agustus 2008, keluarga RT III RW 011 berkumpul di pos penjagaan RT III. Antara lain juga membicarakan program RT III, yang kebetulan ketua RW 011, Pak Hari juga bertempat tinggal di RT III, jadi juga ikut hadir. Antara lain juga membahas rencana penggantian pohon sono yang tumbuh besar di tepi sungai, dikeluhkan para warga setempat kalau musim gugur pohon tadi daunnya berguguran mengotori jalan. Ada keputusan yang diambil, pohon sono itu akan ditebangi dan diganti pohon lain. Tentang menebangi pohon sono itu bahkan sudah dimulai tahun lalu (oleh RT periode yang lampau, yang kini jadi ketua RW), ditebangi beberapa pohon dulu, berhubung dengan pembiayaan serta menunggu tumbuh besarnya pohon pengganti. Dalam rapat 17 Agustus 2008 itu ada warga (Pak Budi) yang menyanggupi akan menyumbang menanami pohon di tepi sungai dengan pohon sawo, yang kalau sudah besar nantinya akan menggantikan pohon-pohon sono. Pohon sono nya ditebang.

Penanaman pohon sawo selanjutnya dilaksanakan dengan (biaya) bibit dari Pak Budi. Sebanyak 16 pohon sawo kecik (seperti yang ditanam di sepanjang Malioboro Jogja) rata-rata setinggi satu meter telah ditanam di sepanjang sungai wilayah RT III.

Bulan November 2008, pohon duwet di rumah saya berbuah. Buahnya yang masak jatuh di pekarangan di bawahnya. Saya merasa eman, maka saya punguti, saya sebarkan di antara pohon-pohon sono di berem di samping rumah tetangga. Karena letaknya berem dan pohon sono di samping rumah (tidak di depan rumah) dan pagar rumah tembok, maka perawatan terhadap berem itu terbengkalai. Waktu menyebarkan biji duwet itu, ketahuan sama Bu Agus, tetangga yang justru depan rumahnya menghadap ke berem yang saya sebari biji duwet. Bu Agus pernah mengeluh (saya dengar sendiri) tentang pohon sono di berem tetangga yang selalu berguguran daunnya, hingga jalan depan rumahnya selalu kotor oleh dedaunan pohon sono yang gugur. “Mengapa, Pak?” tegurnya. “Tanam biji duwet, untuk nanti menggantikan pohon-pohon sono di berem ini,” sahutku. “Sampai berapa tahun lagi?” sindir Bu Agus. “Ya, pohoknya ada usaha untuk membuat Bu Agus tidak mengeluh lagi soal daun-daun sono yang berguguran,” jawabku.

Bulan-bulan Desember 2008, ternyata banyak sekali tumbuhan duwet yang tumbuh dari bijinya di halaman rumah saya. Saya merasa sayang. Saya tengok biji-bijian yang saya sebar di berem tetangga tidak tumbuh. Maka, dengan dipengaruhi oleh anjuran penanaman seribu pohon oleh para pejabat negeri untuk mengantisipasi pemanasan global, juga dipicu oleh kegiatan lomba lingkungan hidup yang diselenggarakan di Kota Surabaya, dan juga untuk menggerakkan badan saya yang saban hari kerjanya hanya mengetik di komputer dan membacai buku-buku (aktivitas gerak badan saya hanya di kamar rumah dan diemperan rumah ketika membaca buku), maka saya pindahi tumbuhan-tumbuhan biji duwet di pekarangan saya ke berem tetangga di seberang jalan depan rumah Bu Agus. Tukulan kecil tadi harus dirumat baik-baik. Harus disiram. Satu hari saja tidak hujan, terlihat layu. Selama bulan Januari-Februari masih banyak hujan. Namun sehari saja tidak hujan, daunnya layu. Bukan pohon tumbuhan duwet saya saja, juga pohon sawo kecik punya Pak Budi, juga layu. Tapi karena tumbuhannya cukup besar, jadi pagi harinya pohon-pohon sawo tadi sudah kelihatan segar lagi. Tidak begitu dengan tanaman saya duwet yang masih kecil-kecil. Pernah dua hari tidak hujan, mati. Wah, saya harus rajin menyiram.

Karena banyaknya tumbuhan biji duwet di pekarangan rumah saya, maka bukan saja di berem tetangga tadi saya tanami pohon tumbuhan biji duwet, juga di tepi sungai yang kurang rapat ditanami pohon sawonya Pak Budi saya tanami pohon duwet tumbuhan dari bijinya itu. Dan selama bulan Januari-Februari 2009 kalau tidak hujan, pasti saya sirami.

Pernah saya ditanya oleh anakku Neo (Jakarta), bapak bekerja apa saja. Saya ceritakan menyirami tanaman di tepi sungai. Tiap jam 09.00 (pagi) dan 14.30 (sore). Airnya ambil dari mana? Ambil dari kamar mandi di rumah. “Wah, kan jauh sekali!” kata Neo. Antara rumah dan tepi kali kira-kira 600 meter. Saya menyiram dengan 4 X ember, tiap ember berisi 8 gayung. Jadi, kalau misalnya tiap tumbuhan saya sirami satu gayung, maka tanaman duwet yang saya piara ada 8X4 = 32 batang kecil tumbuhan duwet. Tapi seringkali tidak satu batang disirami satu gayung air, ada yang 3 batang satu gayung, karena tumbuhannya toh masih terlalu kecil. Jadi pastilah jumlahnya lebih dari 32 batang.

Pada bulan Maret, hujan semakin jarang turun. Kegiatan menyiram tanaman duwet kian lebih sering, hampir tiap hari pagi sore (karena tidak hujan). Pembantu (perempuan) tetangga saya yang punya salon, seringkali melihat saya meneteng ember berisi air untuk siram-siram, pernah menegur, “Alah, Pak, Bapak ini panas-panas kok rajin sekali menyiram tanaman. Sudah tua mbok jangan ngaya.”

La kalau bulan-bulan depan ini datang musim kemarau, dan saya masih harus tetap menyiram tumbuhan duwet kecil agar tidak mati, maka saya sudah bersiap-siap selama musim kemarau 2009 ini tidak pergi dari rumah. Ada undangan dari Mas Bonari tentang Festival Sastra Jawa di Trenggalek, masih saya pikir-pikir bisa hadir atau tidak. Kalau membelai sastra Jawa, tanaman duwetku mati bagaimana? Sastra Jawa di Trenggalek tanpa saya hadiri masih ada yang memperjuangkan, tetapi tanaman duwet mati karena saya tinggalkan dua hari tidak saya sirami, saya pasti kecewa sekali.

Ketika dapat tawaran jadi pembicara pada “Wong Jawa Ilang Jawane” di House of Danar Hadi Solo 14 Juni 2009, terus terang saja saya kepingin sekali lekas-lekas pulang dari Solo. Ternyata seminarnya selesai jam 15.30 sore. Mau naik bis dari Solo jam 16.00 sampai di Surabaya tentu sudah malam. Saya kasihan sama yang menjemput saya karena sampai di Surabaya sudah pasti tengah malam, maka saya minta tolong kepada Mas Daniel Tito mengantar saya ke terminal jam 11 malam. Kalau berangkat bis dari Solo jam 11 malam,, sampai Surabaya jam 7 pagi, tidak usah dijemput, dari terminal Bungurasih kendaraan umum banyak, saya berani pulang sendiri. Sampai rumah pagi itu bisa langsung menyirami duwet saya. Saya tinggal ke Solo dua malam (malam pertama tidur di Hotel Dana, malam kedua dalam perjalanan naik bis), rumah saya Rungkut tidak hujan, selamat tidak ada tumbuhan duwet saya yang mati.

Tidak semua duwet yang saya pindahkan, terus tumbuh subur. Ada yang mati, karena waktu memindahkan akarnya tidak total ikut terpindahkan. Untuk yang mati begitu segera saya ganti. Pendeknya selagi di pekarangan saya masih ada tumbuhan kecil biji duwet, mau saya pindahkan ke tepi sungai atau berem tetangga. Dan tumbuhan yang telah saya pindahkan pun saya rawat, kalau ada yang terinjak oleh anak bermain layangan atau andhokan dara di situ, lekas-lekas saya rumat agar tidak mati. Ada satpam di seberang sungai yang tanya saya menanam apa. Saya bilang tanam duwet. Mbok diberi tenger atau kurungan biar tidak diinjaki anak-anak yang main layangan maupun mancing ikan. Saya bilang ini hanya untuk olah raga orang tua kok. Tidak ngaya, menurut kemampuan baik tenaga maupun materi saya. Kalau diberi kurungan apa itu kan saya harus lebih bersusah payah lagi.

Pak Agus, yang tahu tiap kali saya menyirami duwet di berem saberang jalan rumahnya pernah berkata, “Pak, nanti anak-anak saya atau saya sendiri ikut menyirami. Kasihan Bapak siang-siang jam 2 jam 3 sudah susah payah.” Tidak usah, ini hanya untuk olah raga saya, kok. Sepanjang saya bisa berjasa kepada manusia dan bangsa dengan umur saya yang tua ini, maka mau saya laksanakan. Tidak usah mengganggu orang lain seperti Pak Agus itu. Dan Bu Agus (yang dulu tahu saya menyebarkan biji duwet) pernah bilang, “Wah, Pak, duwetnya sudah kelihatan tumbuhnya.”

Lomba Kampung Lingkungan di Surabaya sudah diumumkan pemenangnya (merayakan hari jadi Kota surabaya). Ada juga yang menang karena kegiatan para penghuni kampung yang anak sekolah atau ibu-ibu PKK-nya giat menanam seribu pohon. Memang peserta lomba harus mendaftar dulu kepada panitia. Sedang RW/RT saya tidak mendaftar, tidak dibentuk tim peserta lomba. Penanaman biji duwet ya karena aktivitas saya saja seorang diri dan tidak punya maksud untuk meraih menang dalam lomba kampung lingkungan. Pokok melihat tumbuhan duwet saya hidup, berarti hidup saya masih berguna bagi kehidupan manusia masa depan, saya sudah bahagia sekali..

Sebenarnya saya ingin memberi pupuk kandang untuk tanaman-tanaman kecil saya itu. Kalau tiap tanaman kecil diberi pupuk kandang satu genggam tangan, kiranya tumbuhnya akan lebih subur, lekas membesar. Sayangnya saya menunggu orang jual bunga yang biasanya juga membawa pupuk kandang, tidak juga lewat.

Menunggu orang jual pupuk kandang tidak juga lewat, dan melihat daun sono di jalan muka rumah Bu Agus berserakan gugur kering (warna cokelat), terilhami saya untuk mengumpulkan daun-daunan kering yang Bu Agus sambat tidak bisa membersihkan jalan di depan rumahnya, saya kumpulkan dan saya timbunkan ke tumbuhan pohon duwet kecil di berem tetangga depan rumah Bu Agus. Karena musim kemarau jarang hujan, maka keadaan berem juga mulai mencokelat. Tumbuhan rumput atau meniran atau lainnya yang tumbuh pada musim penghujan mulai mengering, dan saya bantu melenyapkan dengan menjeboli tumbuhan-tumbuhan liar itu. Maka di berem tetangga tadi mulai kelihatan tumbuhan duwetku yang segar-segar. Tetangga sebelah Bu Agus ikut senang, “Wah, tumbuhannya sudah kelihatan, Pak.” Dapat pujian seperti itu, kemarin (Minggu 21 Juni 2009) jam 1600, waktu nyirami, daun-daun kering sono yang berserakan di jalan, sekali lagi saya kumpulkan, saya timbunkan ke tumbuhan duwet kecil saya. Dan rerumputan yang tumbuh di sekitar duwet saya jeboli. Dengan disiram air, maka daun-daun kering itu bakal cepat membusuk, dan jadi humus, pupuk untuk tumbuhan duwet saya. Menyirami tumbuhan duwet sore itu, sungguh membuat saya terharu, kok saya bisa punya pekerjaan yang menyehatkan diri saya seperti itu.

Dan, pagi ini (Senin 22 Juni 2009) jam 09.30 pagi, ketika saya menyiram tumbuhan duwet di tepi sungai, 2 ember dengan a 8 gayung air dari kamar mandi rumah sudah saya siramkan, pohon kecil yang kecelakaan (mungkin diinjak anak) patah, saya tegakkan, saya rumat agar kembali sembuh tumbuh, kembali dari menyiram tumbuhan di sungai, berjalan bawa ember kosong ke rumah, saya tengok tumbuhan duwet di berem, di antara daun-daun yang kering yang saya timbunkan kemarin sore itu, ternyata tumbuhan duwetnya tidak ada! TUMBUHAN DUWETNYA TIDAK ADA! Saya tengoki semua tumbuhan duwet peliharaan saya selama 6 bulan ini, ternyata habis semua. Dicabut orang! Bekasnya, kurban batangnya, sama sekali tidak tampak. Semua jumlahnya 13 batang, sudah terlihat tumbuh setinggi sejengkal jari tangan, lenyap!

Aduh! Saya sakiiiit hati benar-benar. Tidak mungkin tumbuhan itu hilang karena digondhol kucing atau dieker-eker anjing. Pasti perbuatan manusia. Sebanyak 13 batang sederet tumbuhan yang jaraknya setengah meteran, di sepanjang berem rumah tetangga, habis semua! Saya sirami pagi sore selama 7 bulan (Desember-Juni) lenyap dalam satu malam!

Siapapun yang mencabuti dan memusnakan tumbuhan duwet saya itu, tentulah orang yang antidengan perbuatan saya. Tapi, apa salah saya?

Ini suatu keluhan curahan hati seorang tua lewat internet. Mudah-mudahan tidak terkena masalah hukum Begitu tumbuhan duwet peliharaan saya hilang, begitu saya tulis cerita ini. Semoga ada yang mau menghibur saya lewat curahan hati ini.

Surabaya, 22 Juni 2009, jam 13.00 – 14.30. (ada tamu, pengetikan berhenti). Saya teruskan setelah melihat penampilan Kuburan menyanyi yang kedua kalinya menyambut hari jadi Kota Jakarta di Trans 7


Tags:

9 comments to "MENANAM POHON DUWET"

  1. Anonymous says:

    Saya ikut terharu, pak. Solusinya itu kan perbuatan pencurian, laporkan ke polisi. Mungkin bagi polisi di Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) yang dinilai kerugian materiil 13 batang pohon duwet, namun biar saja. Diproses nggak, maksudnya pencurinya dicari nggak , juga nggak ada salahnya bapak kirim email ke Pak Kapolda Jatim yang sering memberi khotbah subuh itu. Hikmahnya Pak Suparto kalau merasa memiliki sesuatu itu jangan terlalu possesiv pak, nanti kalau barangnya dicuri atau hilang yang sakit perasaannya. Ekhlaskan saja. Namun juga tetap ikhtiar pencurinya dilaporkan soal ditangkap agar jera itu serahkan pada polisi. Kalu polisi tergerak berarti polisi Indonesia itu memiliki hati nurani tapi kalau EGP alias laporan diterima setelah itu cuma rokokan dan nggak peduli ya nasib, itulah sosok Polri kita. Mungkin bapak harus berteman dengan kapolda atau kapolri diri agar urusan 13 pohon duwet yang hilang bisa dicari dengan segala cara. Ok selamat menulis terus pak, hikmahnya soal pohon duwet juga bisa tulisan yang menarik. Matur nuwun.gusdjar@yahoo.com

  2. beebill says:

    Siapapun yang melakukan tindakan itu pasti perasaannya kurang peka terhadap lingkungan sekitarnya.
    Saya menghargai perjuangan Pak Suparta, teruskan terus Pak penanamannya dan ikhlaskan saja batang2 yang dicuri kemaren sama "manusia bukan dari planet bumi" itu.
    Tuhan Maha Adil Pak.

  3. Anonymous says:

    Hmmmm...saya ikut sedih dan terharu..kok ada tangan2 jahil bergentayangan kenapa tidak berfikir bahwa tanaman apalagi duwet (buah langka yang waktu kecilku aku sempat makan tapi sekarang sudah tidak beredar lagi) yang harusnya dilestarikan yang harusnya dieman2 separti pak SuBra ?

  4. udit says:

    saya ikut prihatin. seharusnya pohon" itu dilestarikan bukan dirusak oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

  5. Anonymous says:

    Apa saat ini masih punya stok biji duwet kering pak?

  6. Anonymous says:

    Pak.. di Qur'an banyak ayat yg nyebut bahwa air hujan punya keistimewaan buat bumi , tumbuhan dan makhluk hidup ... simpan air hujan pak buat tanaman juwetnya.

  7. my deary says:
    This comment has been removed by the author.
  8. Anonymous says:

    kira2 sekarang masih ada gak ya pohon n buahnya? dan dimna yang ada? saya lagi butuh untuk penelitian. mohon bantuannya :)

  9. Anonymous says:

    Pa Suparta, walau ini telah agak kedaluwarsa, ttp pengalaman Bapa mengingatkan ke rituil mandala sand/earth painting dan berkebun samon/hokime dng aktivitas yg diulangi terus. Penggarukan pasir/batu di tanah/kebun diulangi terus menerus setelah gambar/hasil lenyap. Semoga kl msh ingat dan sedih, dpt terhibur lagi, krn aktivitas Bapa pasti bermakna dan mendatangkan berkah.

Leave a comment